- Masyarakat Bengkulu protes keputusan Presiden Joko Widodo, menghapus limbah batubara hasil pembakaran, yaitu Fly Ash dan Bottom Ash [FABA], dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun [B3].
- Ali Akbar, Ketua Kanopi Bengkulu mengatakan, dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batubara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.
- Di Bengkulu, berdasarkan pemantauan Kanopi, abu sisa pembakaran ditumpuk di tempat penyimpanan sementara [TPS] yang diduga tidak dikelola baik. Truk pengangkut abu tidak tertutup..
- Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun [PSLB3] Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan penghapusan FABA dari limbah B3 karena pembakaran batubara dikegiatan PLTU dilakukan pada temperatur tinggi. Dengan begitu, kandungan unburnt carbon menjadi minimum dan stabil saat disimpan. FABA masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun.
“Kami protes.”
“Kenapa?”
“Kampung kami paling terdampak PLTU.”
Kalimat itu disampaikan Rustam, warga Teluk Sepang, Bengkulu, Jumat [19/3/2021]. Pernyataan itu disampaikan sebagai reaksi atas keputusan Presiden Joko Widodo, yang pada Selasa [2 Februari 2021] telah menghapus limbah batubara hasil pembakaran, yaitu Fly Ash dan Bottom Ash [FABA], dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun [B3].
Hal itu tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ketika FABA berstatus limbah B3 saja, banyak pemberitaan yang mengabarkan pemilik izin membuang limbah ilegal tanpa pengelolaan dekat rumah penduduk Bengkulu. Bagaimana setelah ini dihapus?” tutur Rustam.
Pria 58 tahun itu mengatakan, PLTU Bengkulu berada di Kelurahan Teluk Sepang, satu wilayah dengan rumah Rustam di Kecamatan Kampung Melayu. Jaraknya sekitar satu kilometer.
“Saya cemas dengan kesehatan saya dan warga lainnya, kalau tiap hari menghirup udara berdebu,” kata Rustam.
Keraguan Rustam disuarakan pegiat lingkungan Bengkulu, mahasiswa, seniman, dan masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Langit Biru. Rabu [17/3/2021], dengan mengikuti protokol kesehatan COVID-19, mereka melakukan aksi protes teatrikal jalanan.
Kegiatan ini merupakan bagian dari aksi serentak #BersihkanIndonesia yang juga dilakukan di beberapa daerah seperti di Padang, Pekanbaru, Cilacap, Kaltim, Banten, dan Jakarta.
Budi Franata, kordinator aksi menegaskan keputusan pemerintah lebih mementingkan bisnis pengusaha energi kotor.
Menurut dia penetapan ini tidak lepas dari desakan Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia [APLSI] dan Asosiasi Pengusaha Indonesia [APINDO] termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia [APBI-ICMA] yang menjadi bagian di dalamnya, yang bergulir sejak pertengahan 2020.
“Kami takut, jika tidak menjadi perhatian pemerintah, akan menimbulkan dampak buruk luar biasa di kehidupan kami di masa mendatang,” kata pemuda 27 tahun itu.
Baca: Cerita Warga Terdampak Debu Batubara di Tengah Kebijakan Limbah FABA Tak Masuk B3
Ali Akbar, Ketua Kanopi Bengkulu mengatakan, dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batubara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.
Ketika batubara dibakar di pembangkit listrik, unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya yakni abu terbang dan abu padat [FABA]. Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thalium ke badan lingkungan.
“Aturan ini akan menjadi ancaman kesehatan warga Kota Bengkulu dan nelayan di pesisir barat Sumatera,” tuturnya.
Di Bengkulu, berdasarkan pemantauan Kanopi, abu sisa pembakaran ditumpuk di tempat penyimpanan sementara [TPS] yang diduga tidak dikelola baik. Truk pengangkut abu tidak tertutup.
“Atas fakta-fakta itu, FABA tidak dikelola dengan baik dan sesuai aturan, apalagi sekarang dikeluarkan dari limbah B3,” kata Ali.
Baca: Kala Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun [PSLB3] Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati, Senin [15/3/2021], melalui rilis tertulis menegaskan pengelolaan FABA, sebagai limbah B3 dan limbah non B3 tetap memiliki kewajiban untuk dikelola hingga memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan.
Ia menggarisbawahi, penghapusan FABA dari limbah B3 karena pembakaran batubara dikegiatan PLTU dilakukan pada temperatur tinggi. Dengan begitu, kandungan unburnt carbon menjadi minimum dan stabil saat disimpan.
“Hasil uji karakteristik FABA PLTU, yang dilakukan Kementerian LHK tahun 2020 menunjukkan, FABA masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun,” tulis Vivien.
Menurutnya, hasil uji tersebut menunjukkan FABA tidak mudah menyala dan tidak mudah meledak, suhu pengujian di atas 140 derajat Fahrenheit. Informasi lainnya, pada FABA tidak ditemukan hasil reaktif terhadap sianida dan sulfida, serta tidak ditemukan korosif.
“Dengan demikian, limbah FABA tidak memenuhi karakteristik sebagai limbah B3.”
Nurul Taufiqurahman, Kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Metrial LIPI mengatakan, secara umum, komposisi FABA sama dengan tanah lempung. Di dalamnya terkandung banyak silica yang bisa dijadikan pupuk sekunder untuk tanaman padi, sawit, dan sebagainya. Menurutnya, kandungan silica sekitar 35 hingga 60 persen.
“Itu bagus, dipakai untuk remediasi pupuk tanaman,” katanya dalam acara Polemik Trijaya Fm, Selasa [16/3/2021].
Lanjut Nurul, dalam FABA ada alumina dan magnesium, kemudian kalsium dan besi oksida. “Dan yang kecil-kecil lagi ada fosfor, kalium, dan natrium yang harus bisa dimanfaatkan sesuai potensinya,” ucap dia.
Baca juga: Tumpahan Oli Bekas PLTU Teluk Sepang Diduga Cemari Kebun Warga
Koalisis masyarakat sipil menolak
Koalisi Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia menolak semua alasan pemerintah. Menurut mereka, banyak laporan dan fakta atas terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga di sekitar PLTU.
Seperti yang dialami warga dan petani di Mpanau [Sulawesi Tengah], Cilacap [Jawa Tengah], Indramayu dan Cirebon [Jawa Barat], Celukan Bawang [Bali], Ombilin [Sumatera Barat], Muara Maung dan Muara Enim [Sumatera Selatan], dan Suralaya [Banten].
“Derita serupa dialami warga di banyak kampung di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, termasuk di Morowali Sulawesi Tengah, terdapat smelter nikel, juga PLTU mulut tambang dan kawasan industri yang listriknya berasal dari batubara. Dan itu akan segera dialami petani dan warga di Teluk Sepang [Bengkulu] dan banyak daerah lain yang akan dibangun pembangkit batubara,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional, pada siaran langsung di Facebook, Jumat [12/3/2021].
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, apabila pemerintah memiliki orientasi pada upaya pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup, mencegah bencana lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat, pemerintah seharusnya tetap mengatur FABA batubara sebagai jenis limbah B3.
Koalisi ini terdiri JATAM Nasional, Trent Asia, Walhi Nasional, ICEL, dan Kanopi Bengkulu. Mereka mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut kebijakan yang menghapus FABA sebagai Limbah B3.
Mereka juga mendorong pemerintah untuk segera beralih ke energi terbarukan. “Transisi energi harus dilakukan secara serius dan dimulai dengan kebijakan phase out batubara, bukan terus memfasilitasi industri energi batubara.”