Mongabay.co.id

Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

 

Kehidupan di Desa Serdang Menang, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, kian memburuk tahun 1990-an. Persawahan yang subur dan sungai-sungai yang dipenuhi ikan, tiba-tiba berubah drastis ketika perusahaan sawit datang. Rawa-rawa menjadi gundul dan kering. Bencana banjir di musim hujan maupun kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau, telah menghancurkan sumber penghidupan masyarakat.

Di sanalah seorang pemuda bernama Sepri berasal. Ia menyaksikan pergantian wajah desanya itu kala beranjak dewasa. Ayahnya yang seorang buruh tani, kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di kantor polisi. Seperti anak-anak lainnya yang terlilit kemiskinan di kampung, Sepri ingin merantau untuk mendapat penghidupan yang lebih baik.

Dengan bermodalkan ijazah SMP, Sepri menjajal nasib di Jakarta. Namun, gajinya dari bekerja di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Timur, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sepri sempat pulang kampung dengan perasaan kecewa setelah beberapa tahun bekerja. Di desa, ia banyak menghabiskan waktunya dengan bersantai dan terkadang menonton sepak bola di rumah kakaknya yang bernama Rika. Perempuan itu punya kekhawatiran pada adik laki-lakinya tersebut.

Banyak lelaki muda pengangguran di sana terjerumus narkoba, terutama sabu-sabu. Polisi di desa kala itu baru saja menembak mati seorang pengedar dan tak segan-segan menghabisi siapa saja yang terlibat. Rika yang kesehariannya sibuk mengelola warung kelontong bersama sang suami, mendesak Sepri untuk lekas mengambil pekerjaan apa pun, tidak cari-cari masalah, dan cepat membina rumah tangga. Tetapi, Sepri punya ambisi untuk hal yang lebih besar.

“Dia itu ingin mencari banyak uang,” kata Rika kepada kami di teras rumahnya di desa. “Dia ingin menyenangkan saya (dan) keponakannya. Itulah keinginannya. Meskipun saya selalu bilang (kalau) yang penting dapat kerja.”

baca : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Pulau Jawa dan Sumatera menjadi tempat tinggal bagi tiga perempat populasi Indonesia.

 

Suatu hari, Sepri melihat postingan pada Facebook berupa lowongan pekerjaan sebagai awak kapal penangkap ikan asing. Posisi itu tidak mensyaratkan pengalaman apa-apa. Gajinya mencapai Rp5 juta. Itu adalah angka yang lumayan besar dengan membandingkannya pada Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Selatan yang berkisar Rp3 juta. Bagi Sepri, pekerjaan itu terdengar menjanjikan sampai-sampai enam temannya pun ikut melamar. Tak lama kemudian, mereka bertujuh pergi ke Tegal, Jawa Tengah untuk mendaftar di perusahaan yang tertera.

Kesempatan tersebut seharusnya menjadi petualangan besar bagi hidup mereka. Namun, satu tahun kemudian, Sepri dan seorang kawannya yang bernama Ari, justru tewas.

Menurut wawancara dengan empat orang saksi mata, mereka –Sepri, Ari, dan para pekerja asal Indonesia lainnya pada kapal mereka– dipukuli, dipaksa bekerja tanpa kenal waktu, dijatahi makanan basi, dan diberi air minum yang kotor. Sebagian dari mereka kemudian menderita penyakit yang tidak diketahui dengan gejala pembengkakan pada bagian tubuh tertentu. Pembengkakan mulai muncul di kaki para pekerja, lantas sebagian ada yang mengalami gejala sama hingga ke leher dan wajah. Pada Desember 2019, Sepri sempat mengalami sesak napas. Ia jatuh di dek kapal dan meninggal. Mayatnya dibuang ke laut. Menyusul setelahnya, Ari bersama dua orang rekannya tewas dengan kondisi serupa.

Kapal yang menjadi tempat mereka bekerja itu bernama Long Xing 629. Kapal tersebut dimiliki dan dioperasikan oleh Dalian Ocean Fishing (DOF), sebuah perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Samudra Pasifik dan Atlantik. DOF mengklaim dirinya sebagai pemasok tuna segar siap makan (sashimi-grade) terbesar untuk Jepang.

Meski begitu, berita-berita terkait kematian para ABK Long Xing 629, bukanlah insiden terisolasi. Sebab, siksaan maupun kematian terhadap buruh migran asal Indonesia sebetulnya juga terjadi di banyak kapal lain milik DOF.

Selama satu tahun terakhir, tim kami yang terdiri dari Mongabay, Tansa, –kantor berita independen yang berbasis di Jepang– dan Environmental Reporting Collective –jaringan kerja jurnalis investigasi di sejumlah negara– melakukan pelacakan dan berbicara dengan 13 orang buruh migran Indonesia yang bekerja di delapan kapal DOF. Kami juga mendapat tambahan informasi lain berupa transkrip wawancara terhadap 11 pekerja Indonesia yang bekerja di enam kapal lain milik perusahaan yang sama. Transkrip tersebut kami dapat dari sebuah organisasi non-profit di London, Inggris, yaitu Environmental Justice Foundation, yang melakukan penyelidikan terhadap industri perikanan.

Secara kolektif, wawancara-wawancara kami menjangkau para ABK pada 40 persen armada DOF yang diketahui. DOF sendiri memiliki sekitar 35 kapal rawai (longliner). Kapal rawai adalah kapal penangkap ikan berskala industri yang mempraktikkan teknik penangkapan ikan komersial, di mana ribuan tali maupun kail dengan umpan dan kait dibentangkan ke laut untuk mencari ikan. Mereka yang kami wawancarai tersebut bekerja untuk DOF pada rentang 2018 dan 2020. Kami juga berbicara dengan berbagai ahli untuk membantu kami menempatkan kesaksian para pekerja itu pada konteks persoalan.

Temuan kami menunjukkan bahwa kondisi yang digambarkan dialami oleh para pekerja di Long Xing 629, –mencakup makanan yang di bawah standar, air minum yang mungkin berbahaya, dan jam kerja yang berlebihan– ternyata sudah menjadi aturan ketimbang suatu pengecualian di berbagai kapal DOF yang diawaki oleh ratusan buruh migran asal Indonesia dan sebagian juga Filipina.

Hampir semua awak kapal yang kami wawancarai, mengatakan kalau mereka diperintahkan untuk melakukan pekerjaan berat selama 18 jam per hari, bahkan ada yang hingga 20 jam per hari, dalam tujuh hari seminggu. Jika tangkapan ikan sedang banyak, mereka bahkan bisa bekerja sampai dua hari berturut-turut tanpa istirahat.

Selain nasi dan mi yang menjadi makanan sehari-hari para awak kapal, lauk utama mereka termasuk umpan ikan yang digunakan untuk menangkap tuna dengan kail. Mereka juga mendapat potongan kecil daging ayam yang kerap telah berlendir dan berubah warna serta sedikit sayuran layu.

Setiap kapal rawai memiliki sekitar 20 ABK serta tujuh atau delapan anggota kru senior yang berkebangsaan Tiongkok. Anggota kru senior memiliki akses ke makanan dengan kualitas lebih baik dan kuantitas lebih banyak. Mereka minum air kemasan dalam botol, sementara para pekerja di geladak meminum air laut yang telah disuling. Namun, seperti yang dideskripsikan dalam wawancara, air minum itu seringkali berwarna keruh kekuningan, berbau karat, dan asin. Kami pun meminta keterangan sejumlah pakar mengenai hal tersebut. Menurut dr. James Allen, seorang dokter berkebangsaan Amerika Serikat (AS) dengan pengalaman 21 tahun mengoordinasikan program kesehatan di Asia Tenggara untuk perusahaan minyak, karakter dari air minum yang semacam itu kemungkinan disebabkan oleh rusaknya unit desalinasi (penyulingan air laut) atau tangki penampung.

baca juga : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Sepri (kiri) dan Ari (kanan).

 

Long Xing 629 bukanlah satu-satunya tempat yang membuat pekerjanya sakit-sakitan. Kami mendapati temuan bahwa terdapat sedikitnya 30 pekerja yang jatuh sakit, baik itu yang berkewarganegaraan Indonesia maupun Filipina, berasal dari lima kapal DOF. Menurut wawancara kami terhadap para ABK tersebut, mereka mengaku mengalami gejala serupa dengan apa yang dialami Sepri dan Ari.

Gejala yang paling sering ditemui adalah pembengkakan –kondisi yang umum dikenal dengan edema– serta lainnya termasuk badan yang terasa lemah, nyeri pada kaki, kesulitan berdiri atau berjalan, pusing atau kebingungan, dan sesak di dada. Kami meminta lima dokter untuk meninjau gejala penyakit yang mereka gambarkan itu. Mereka menduga bahwa gejala tersebut kemungkinan disebabkan oleh diet yang terbatas dan/atau air minum.

Meski para dokter tidak dapat memastikan apa yang sesungguhnya menimpa para pekerja tersebut tanpa melakukan pemeriksaan secara langsung, namun beberapa dari mereka mengidentifikasi sejumlah kemungkinan patologi, antara lain adanya indikasi beri-beri, malnutrisi karena kekurangan vitamin B1 yang dapat menyebabkan gagal jantung, dan sindrom nefrotik atau gangguan ginjal yang bisa berasal dari kelebihan garam akibat konsumsi air laut yang tidak mengalami penyulingan dengan baik dalam jangka panjang.

“Saya pikir, Anda sedang melihat gambaran campuran antara kekurangan vitamin dan mineral yang disebabkan oleh pola makan yang sangat tidak memadai. Itu diperburuk pula oleh konsumsi air sulingan,” kata dr. Frank Wieringa kepada kami melalui surat elektronik. Ia adalah seorang ahli malnutrisi dan peneliti senior di French National Research Institute for Sustainable Development, sebuah lembaga pemerintah Perancis.

baca juga : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan

 

Para ABK sedang mengangkut seekor hiu ke atas Long Xing 621 milik DOF di tengah Samudra Atlantik pada September 2019. Foto : Tommy Trenchard untuk Greenpeace.

 

Meski bekerja dalam kondisi yang buruk, sebagian ABK mengungkapkan bahwa mereka tidak dapat atau takut untuk meninggalkan kapal mereka.

Kapal-kapal jarang berlabuh. Terkadang mereka harus tinggal di atas laut selama lebih dari dua tahun. Sementara itu, hasil tangkapan mereka hanya akan diberikan kepada kapal pengumpul untuk kemudian dilanjutkan pendistribusiannya. Praktik itu dikenal dengan istilah transshipment, di mana muatan dipindahkan dari satu kapal ke kapal lain.

Aktivitas transshipment telah menjadi bagian dari praktik penangkapan ikan jarak jauh karena memungkinkan kapal utama untuk menghemat bahan bakar dengan tetap berada di tengah laut selama bertahun-tahun. Namun, hal tersebut secara luas dapat dilihat sebagai faktor risiko terhadap kerja paksa karena pekerjanya terisolasi dan dibatasi geraknya. Mengacu pada definisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kerja paksa dapat dipahami sebagai pekerjaan yang dilakukan dengan tidak secara sukarela dan di bawah ancaman.

Seorang pekerja di bagian geladak kapal DOF memberi tahu kami bahwa pernah ada pekerja penangkap ikan yang mencoba kabur dengan melompat ke kapal pengumpul hasil tangkapan, tapi gagal karena ketahuan kapten kapal dan diminta agar ia loncat kembali. Lainnya mengatakan kalau hanya para kru yang berkebangsaan Tiongkok saja yang diizinkan pergi ke pelabuhan untuk beristirahat.

Para pekerja pun berjuang untuk bertahan karena mereka dihantui hutang. Seperti praktik umum yang terjadi di Indonesia dalam hal perekrutan ABK yang hendak disalurkan untuk bekerja di kapal-kapal perikanan asing, tertulis pada kontrak kerja mereka bahwa jika mereka tidak menuntaskan masa kerja dua tahun, mereka akan kehilangan sebagian besar gaji mereka.

Sementara itu, mereka tetap dibebani dengan biaya perekrutan yang harus mereka tanggung dan bayar dengan gaji mereka. Maka, bukan hanya tak akan membawa uang, tapi mereka bisa saja dikejar-kejar hutang seandainya pulang bukan pada waktunya. Beberapa ABK mengungkapkan kalau itulah yang membuat mereka memilih untuk tetap tinggal dan kerja di kapal.

Mereka yang kami wawancarai juga mengungkapkan bahwa awak kapal senior sering mengancam akan menahan gaji mereka jika mereka tidak patuh pada perintah. Serangan fisik terjadi pada setidaknya separuh dari 14 kapal yang menjadi tempat mereka bekerja, seperti ABK yang dipukul, ditendang, ditampar, dan dilempari barang-barang semacam tali dan tongkat ganco yang terbuat dari kayu dengan ujung besi. Para ABK tidak mempunyai akses pada sinyal atau internet ketika berada di atas laut, sehingga mereka tak tahu bagaimana cara untuk melaporkan situasi yang terjadi.

perlu dibaca : Cita-cita Perlindungan Awak Kapal Perikanan Semakin Mendekati Kenyataan

 

Berbagai kapal rawai DOF yang menjadi tempat kerja bagi para ABK yang diwawancarai oleh kami dan Environmental Justice Foundation.

 

Selain kabar adanya empat orang yang meninggal di atas kapal Long Xing 629 pada akhir 2019 dan 2020, kami juga menemukan enam orang lagi dari lima kapal DOF lain dalam rentang waktu tersebut. Mereka adalah:

 

Pada bulan Mei 2021, pihak Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (U.S. Customs and Border Protection) melarang impor hasil laut dari DOF. Itu adalah pertama kalinya pelarangan diberlakukan oleh lembaga itu, bukan hanya terhadap satu kapal, melainkan seluruhnya. Lembaga dari Negeri Paman Sam itu mengutarakan bahwa alasan mereka dilandasi temuan adanya “indikasi kerja paksa” dari operasi bisnis DOF. Meski begitu, mereka tidak memaparkan secara terbuka bukti atas klaim mereka. Kementerian Luar Negeri Tiongkok segera menyanggah tuduhan yang dikatakannya sebagai “rekayasa” dan mengutarakan kalau temuan itu adalah kebohongan yang dibuat oleh AS guna menekan perusahaan-perusahaan Tiongkok.

 

Wang Wenbin, juru bicara dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok, pada konferensi pers tanggal 31 Mei lalu mengutarakan bahwa tuduhan kerja paksa di kapal DOF tidak mempunyai dasar sama sekali.

 

Sementara itu, Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch, sebuah organisasi internasional yang berkantor di New York, AS –yang meninjau kesaksian pada wawancara kami– melalui surat elektronik mengatakan: “Penjelasan para awak kapal itu menegaskan semua atribut kerja paksa yang sangat kejam: waktu yang lama di laut, bahkan di tengah samudra; jam kerja yang sangat panjang; pelecehan verbal dan fisik; pemotongan gaji sewenang-wenang; dan tidak ada jalan keluar.

“Semua orang, mulai dari para pemilik armada, agen penyalur ABK, hingga kapten dan kru lainnya, harus bertanggung jawab karena menjadikan pekerja-pekerja itu sasaran dari serangkaian tindak pelanggaran hak asasi manusia. Mereka juga bertanggung jawab atas kompensasi untuk kerja paksa, cedera, dan berbagai kerugian yang dialami para ABK.”

Kementerian Luar Negeri Tiongkok tidak menanggapi surat elektronik yang kami kirimkan ke kantor pusat mereka di Beijing dan Kedutaan Besar (Kedubes) Tiongkok di Jakarta, di mana kami merinci berbagai temuan sekaligus daftar pertanyaan. Sementara itu, upaya untuk menghubungi pihak kementerian tersebut melalui telepon, juga tidak membuahkan hasil berupa tanggapan.

DOF bukan perusahaan perikanan pertama yang dituduh melakukan kerja paksa. Pada 2011, terdapat peristiwa kaburnya 32 Warga Negara Indonesia (WNI) dari kapal milik perusahaan perikanan terbesar asal Korea Selatan, yakni Sajo Oyang, ketika tengah berlabuh di Selandia Baru. Kasus itu kemudian menguak potret lain dari kondisi kerja yang mengerikan di kapal. Hal itu akhirnya berujung pada adanya reformasi dan tindakan penegakan hukum di kedua negara. Pada 2015, serangkaian fakta kekerasan dan kondisi ekstrem selayaknya perbudakan di kapal Thailand, termasuk adanya pria yang diculik dan dikurung, memicu ancaman larangan perdagangan dari Eropa dan disusul dengan pengawasan oleh Pemerintah Thailand.

Dengan aktivitas tangkapan di perairan jauh yang hampir setara dengan penggabungan empat negara besar di sektor yang sama, Tiongkok kini telah memantapkan dirinya sebagai negara dengan pengaruh terbesar atas industri penangkapan ikan di dunia. Meski begitu, kapal-kapal Tiongkok seringkali dikenal sebagai tempat terburuk bagi para buruh migran untuk bekerja. Banyak dari mereka berasal dari Indonesia yang pula telah umum dianggap menjadi negara yang menduduki peringkat teratas sebagai pemasok tenaga kerja untuk industri penangkapan ikan jarak jauh. Namun, data pasti mengenai jumlah maupun situasi pekerja di sektor itu masih amat minim.

Menurut pengaduan yang dihimpun Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam rentang 13 bulan terakhir, dari total 35 kapal penangkap ikan yang dilaporkan, terdapat 29 kapal milik Tiongkok. Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW), –sebuah konsorsium yang berfokus pada pemantauan praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak– mengatakan bahwa terdapat lebih dari 80 persen dari 35 WNI yang diketahui tewas di kapal penangkap ikan asing pada November 2019 hingga Maret 2021, bekerja di kapal-kapal berbendera Tiongkok.

“Dibandingkan dengan kapal-kapal asing lainnya, mereka (kapal-kapal berbendera Tiongkok) yang terburuk dalam memperlakukan para pekerjanya,” ungkap Fadilla Octaviani melalui surat elektronik. Fadila yang merupakan salah satu pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative, di mana organisasinya telah mewawancarai puluhan pekerja awak kapal asing untuk laporan tentang kondisi kapal-kapal di perairan jauh.

 

Proporsi upaya penangkapan (fishing effort) ikan di laut lepas yang dilakukan oleh 10 armada teratas berdasarkan data tahun 2016-2017 yang mengacu pada Laporan Stimson terhadap Penangkapan Ikan Jarak Jauh (Stimson Distant Water Fishing Report) yang terbaru. Upaya penangkapan adalah ukuran atas jumlah penangkapan ikan yang dapat didefinisikan dengan berbagai cara.

 

Sejak didirikan tahun 2000, DOF telah didukung oleh beragam investor yang luas. Pemegang sahamnya saat ini termasuk beberapa perusahaan milik negara dan perusahaan publik terbesar di Tiongkok. Pembeli utama tunanya pun tak lain adalah bagian dari konglomerat Mitsubishi Jepang sebagai salah satu pedagang makanan laut terkemuka di dunia. Meski begitu, perusahaan tersebut mengatakan kepada kami bahwa mereka telah berhenti berbisnis dengan DOF pada April 2020, sebulan sebelum terkuaknya kematian para ABK Long Xing 629.

“DOF adalah perusahaan besar dengan investasi besar dan pula keuntungan yang besar,” kata Steve Trent, pendiri dan CEO Environmental Justice Foundation. Dia lah yang menyadari bahwa perusahaan-perusahaan Thailand yang dicurigai telah melakukan pelanggaran ekstrem sekitar tahun 2015, ternyata cenderung memiliki kapal yang jauh lebih kecil dan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan DOF. “Fakta bahwa DOF melakukan semuanya dan mengoperasikan bisnis mereka dengan cara tersebut, jauh lebih mengerikan dalam konteks itu.”

 

Ikan tuna yang dijual di Pasar Ikan Tsukiji di Jepang sebagai negara konsumen makanan laut terbesar di dunia. Foto : Paul Keller/Flickr.

 

ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal DOF, mendapat bayaran –sesuai dengan yang tertulis pada kontrak kerja mereka– umumnya sebesar AS$300 per bulan. Jika nilai satu dolar setara dengan Rp14 ribu, maka kira-kira gaji yang mereka terima itu berjumlah Rp4,2 juta. Namun, banyak dari mereka malah tidak menerima gaji secara penuh, bahkan tak sedikit yang belum dibayar sama sekali. Dugaan atas pengabaian DOF dalam membayar tenaga kerja mereka, terindikasi dari situasi agen penyalur ABK Indonesia yang umumnya dibiarkan memegang tagihan. Lantas, ada yang kemudian membayar gaji para ABK itu dengan meminjam uang jika perlu, sedangkan lainnya tak sedikit yang menghilang dan meninggalkan mereka begitu saja tanpa apa-apa.

Lima perekrut di Indonesia telah dipenjara atas perekrutan ilegal atau tindak perdagangan manusia terkait dengan Long Xing 629. Meski begitu, masih belumlah jelas apakah ada oknum di DOF yang bertanggung jawab atas perlakuan terhadap para buruh migran asal Indonesia dan Filipina. Status operasi perusahaan itu juga tidak jelas. Menurut saksi dan citra satelit, pada September 2019, –tiga bulan sebelum Sepri akhirnya dinyatakan tewas– kapal-kapal berhenti beroperasi secara normal. Mereka terombang-ambing di laut lepas selama berbulan-bulan dan tak berburu tuna. Akhir tahun 2020, DOF memulangkan seluruh pekerjanya yang berkebangsaan Indonesia dan menarik kembali sebagian besar armadanya ke Dalian, sebuah kota di bagian timur laut Tiongkok yang sekaligus menjadi kantor pusat perusahaan.

Sejak pertengahan 2019, terdapat puluhan tuntutan hukum yang diajukan terhadap perusahaan di Tiongkok atas pinjaman dan tagihan yang belum dibayarkan. Mengacu pada informasi publik, pengadilan di sana telah mengeluarkan sedikitnya 16 perintah pembatasan konsumsi tinggi (high-consumption restriction orders) yang melarang debitur mereka, yakni Li Zhenyu selaku pendiri DOF, untuk melakukan sejumlah kegiatan, termasuk bepergian dengan tiket pesawat kelas satu, membeli real estat, dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah mahal. Pihak DOF tidak menanggapi permohonan kami untuk memberikan komentar, termasuk atas berbagai temuan kami, yang telah dikirimkan beberapa kali melalui melalui telepon dan surat elektronik.

Selain tuduhan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, para pekerja di bagian geladak dari semua kapal –yang kami peroleh kesaksiannya lewat wawancara– mengatakan bahwa para awak kapal rawai (longliner) telah ikut terlibat dalam tindakan ilegal dalam pemotongan sirip hiu dalam jumlah yang besar dan pembuangan sisa tubuh ikan yang dilindungi itu ke laut. Banyak dari mereka mengutarakan kalau kapal-kapal mereka memang sengaja menargetkan hiu dengan peralatan khusus. Persoalan ini dan masalah-masalah terkait lainnya akan dibahas dalam artikel berikutnya yang akan diterbitkan sebagai bagian dari investigasi ini.

 

Dari kurir menjadi buruh migran di kapal asing

Seperti umumnya ABK yang bekerja untuk DOF, Rizky Fauzan Alvian ditempatkan di Long Xing 629 oleh salah satu agen kru kapal terbesar di Indonesia yang menyalurkan para pekerjanya untuk kapal-kapal penangkap ikan di luar negeri.

Kisah Rizky menjadi calon pekerja di kapal asing, dimulai ketika ia menandatangani kontrak dengan PT Lakemba Perkasa Bahari (Lakemba) tahun 2013. Langkah tersebut diawalinya setelah ia bertemu dengan teman kecilnya yang telah mengenyam pengalaman bekerja di kapal berbendera Spanyol. Kedua karib itu pernah tumbuh bersama di Kota Bekasi sebelum akhirnya kawan Rizky tersebut pindah bersama keluarganya ke Tegal, salah satu kota di Jawa Tengah yang menjadi bagian dari Jalur Pantura (Pantai Utara Jawa). Tegal juga dikenal sebagai pusat perekrutan para buruh migran untuk kapal-kapal di luar negeri. Saat itu, Rizky masih 20 tahun. Ia pengangguran yang ingin tahu tentang kehidupan di laut dan mencoba pekerjaan serupa seperti kawannya itu.

 

Menurut Ketua Umum Indonesia Fishermen Manning Agent (IFMA) Del Agus, kawasan Pantura (Pantai Utara Jawa) merupakan rumah bagi sebagian besar agen penyalur ABK Indonesia.

 

Rizky tidak punya pengalaman apa-apa dalam urusan menangkap ikan. Ia hanya bermodalkan ijazah dari SMK Akuntansi. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai staf administrasi dan kurir di Jakarta. Motivasinya untuk mendaftar bekerja di kapal asing, adalah tawaran gaji bulanan dengan nilai AS$300. Rizky belum pernah mendapatkan upah sebesar itu. Maka, ia pun mengikat kontrak kerja dengan PT Lakemba dan mengikuti program pelatihan untuk para pekerja kapal yang belum berpengalaman.

PT Lakemba didirikan pasca-krisis moneter pada pertengahan tahun 2000-an. Kala itu, nilai mata uang Indonesia anjlok dan disusul dengan angka pengangguran yang meroket. Kondisi itu memicu lonjakan penduduk angkatan kerja untuk bekerja ke luar negeri. Sebagian besar dari mereka yang laki-laki, menjadi buruh migran di berbagai perkebunan sawit di Malaysia dan kapal-kapal penangkap ikan asing. Sedangkan banyak dari mereka yang perempuan, menjadi pekerja rumah tangga dan perawat di negara seperti Arab Saudi dan Hong Kong.

Pengiriman uang dalam bentuk valuta asing, meningkat tajam hingga empat kali lipat dengan nilai mencapai AS$5,4 miliar per tahun pada 2005 atau –mengacu pada data Bank Dunia– hampir setara dengan dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Para buruh migran yang dulu dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW), kemudian populer dijuluki gelar “pahlawan devisa” oleh pemerintah dan media. Mereka memberikan kontribusi besar dalam penerimaan sumber devisa dan pertumbuhan ekonomi.

Tahun 2013, PT Lakemba adalah salah satu pemasok ABK terkemuka untuk kapal-kapal Taiwan. Mereka mempunyai puluhan staf yang tersebar di kantor pusat di Jakarta, kantor cabang di Tegal, dan berbagai pelabuhan di luar negeri. Ketika Rizky melamar di kantor cabang mereka itu, ia harus mengantri bersama puluhan pemuda lainnya yang mencoba peruntungan dengan bekerja di kapal-kapal asing. Perekrutan buruh migran pun menjadi bisnis yang menjanjikan pundi-pundi.

 

Foto-foto unggahan Facebook PT Lakemba. Searah jarum jam dari kiri atas adalah sekelompok pria yang berlatih dengan benang pancing, papan nama pada kantor perusahaan di Kota Bekasi, para calon ABK dari PT Lakemba, serta sebungkus rokok dan segelas kopi.

 

Proses pembelajaran yang dijalani Rizky selama sebulan, tampak selayaknya sebuah program pelatihan militer. Rambut mereka dibotaki, mereka diminta untuk membalik-balikkan ban truk, dan mereka melatih kekuatan otot dan tangan dengan menarik tali. Namun, umumnya Rizky lebih banyak berlatih menggulung benang pancing. Pihak agen juga membantunya mendapatkan berbagai berkas yang diperlukan untuk bekerja secara legal di luar negeri, seperti paspor dan Buku Pelaut sebagai dokumen resmi yang berisi catatan seorang pelaut maupun ABK. PT Lakemba membayar semua biaya-biaya itu dengan ekspektasi bahwa Rizky akan membayarnya kembali dengan cicilan bulanan melalui pemotongan dari gajinya. Tentu saja tidak sulit bagi PT Lakemba untuk melakukan itu sebab merekalah yang akan menerima gaji Rizky dari perusahaan tempatnya bekerja. Dengan begitu, mereka dapat memotongnya dan kemudian mentransfer sisanya ke rekening bank milik ibunya.

 

Para calon ABK tengah berlatih dengan peralatan penangkapan ikan dengan pukat pada 2019. Video merupakan bagian dari material promosi PT Lakemba.

 

Tiga hari menjelang waktu keberangkatan Rizky, PT Lakemba menyerahkan kontrak kerjanya. Rizky terkejut melihat ketentuan yang tertulis di situ. Ia tidak akan menerima secara penuh gaji bulanannya selama lebih dari satu tahun. PT Lakemba memotong gajinya untuk menutupi berbagai ongkos dan keperluan, termasuk AS$600 untuk penggantian biaya pelatihan dan lain-lain serta AS$2.400 untuk “deposit” yang baru dapat dicairkan jika Rizky telah menuntaskan pekerjaan dalam masa dua tahun. Seandainya ia berhenti atau meninggalkan kapal tempatnya bekerja sebelum waktunya, –untuk berbagai alasan– maka ia akan kehilangan uang jaminan dan sisa gajinya. Akan tetapi, ia tetap punya tanggungan untuk membayar lunas sisa hutangnya kepada PT Lakemba.

Seandainya pun Rizky memutuskan untuk berhenti atau tidak melanjutkan, ia tetap berhutang kepada PT Lakemba atas biaya pelatihan dan kepengurusan dokumen-dokumen. Tentu saja, ia tidak punya pilihan untuk mundur kala itu. Istrinya tengah mengandung anak kedua dan Rizky menjadi tulang punggung keluarga. Ia punya beban tanggung jawab untuk mencari uang. “Selama pelatihan ngga ada uang buat keluarga. Jadi, ya, ini lama banget. Kadang, saya ngomong sama pelatih kapan berangkat. Sudah ngebet banget,” katanya kepada kami menerangkan tentang perasaannya begitu akhirnya namanya terpilih untuk diberangkatkan bekerja.

Rizky pergi ke Trinidad, salah satu pulau di Laut Karibia, bersama sekitar 20 orang lainnya yang pula direkrut PT Lakemba dan ia menaiki kapal rawai berbendera Taiwan. Pekerjaannya berat, tapi kapten kapal memberi mereka cukup waktu untuk istirahat. Rizky dan ABK lainnya juga mendapatkan jatah ransum harian dengan baik dan mereka menepi di pelabuhan secara teratur. Pada suatu hari, Rizky mendapat kabar kalau sejumlah staf PT Lakemba, termasuk pemilik perusahaan, dipenjara atas pemalsuan ratusan Buku Pelaut. Namun, perwakilan PT Lakemba di pelabuhan mengatakan kepadanya untuk tak perlu khawatir sebab yang terpenting adalah menyelesaikan masa kerja yang tertera pada kontrak kerja, mendapatkan uang, dan pulang.

Setelah dua tahun berlalu, Rizky akhirnya kembali ke Tanah Air dan menerima upah yang telah menjadi haknya. Ia bisa membeli motor dari hasil jerih payahnya itu dan melunasi sebagian hutang keluarganya selama ia bekerja di luar negeri. Secara keseluruhan, Rizky merasa segalanya berjalan lancar dan ia ingin melanjutkannya lagi.

 

Rizky Fauzan Alvian di sebuah asrama di Jakarta pada Agustus 2021. Foto : Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

 

Pada 2018, Rizky merampungkan pekerjaannya selama dua tahun itu untuk yang kedua kalinya di kapal rawai Taiwan. Ia pun menerima seluruh uang sesuai dengan ketentuan. Namun, beberapa minggu kemudian, ia dan istrinya bercerai. Rizky pun meminta kepada PT Lakemba untuk melanjutkan pekerjaan yang sama. Pada kesempatan itu, ia mengajukan permohonan untuk ditempatkan di kapal Eropa yang cenderung memberikan bayaran lebih besar. PT Lakemba menyetujui dan memprosesnya. Tapi, setelah beberapa bulan, datang kabar yang memberitahunya kalau ia gagal mendapatkan posisi yang diincarnya. Meski begitu, ada ruang yang tersedia di kapal Tiongkok yang bernama Long Xing 629.

Rizky tak punya pilihan untuk menimbang-nimbang. Saat itu, putri sulungnya akan mulai sekolah dan ia punya tanggungan lain atas ibunya yang lansia. “Ketika ada kesempatan, saya harus ambil saja,” katanya. “Pilihannya cuma ambil pekerjaan yang ada atau berhutang.” Pada Februari 2019, Rizky kembali menandatangani kontrak kerja tersebut. Ia telah membiasakan ritme hidup dengan dua tahun bekerja di laut, enam bulan di rumah, dua tahun selanjutnya di laut lagi, dan enam bulan setelahnya kembali berada di rumah.

 

‘Saya sudah pasrah’

Tidak seperti banyak agen penyalur ABK untuk kapal asing yang beroperasi tanpa izin, –bahkan, seringkali menggunakan taktik yang agresif dalam perekrutan calon pekerja– PT Lakemba mengurusi dokumen yang dibutuhkan untuk mengirim para pekerja ke kapal-kapal luar negeri.

Bernardus Maturbongs, pria yang kini berusia 36 tahun dan telah menghabiskan satu dekade hidupnya dengan bekerja di kapal niaga yang melayani industri pertambangan di Indonesia Timur, adalah seorang ABK yang turut terjebak oleh penyalur ilegal.

Pria asal Tual, Maluku itu pernah terpikir untuk mencari penghasilan lebih dengan bekerja di kapal penangkap ikan asing. Ia menonton video pada kanal YouTube tentang hal tersebut dan mencoba memahami seluk beluk pekerjaan sebagai ABK untuk kapal penangkap ikan. Pintu untuknya terbuka ketika pada salah satu video, ia menemukan nomor ponsel seseorang yang lantas menghubungkannya pada seorang “sponsor” semacam makelar untuk perusahaan penyalur tenaga kerja yang kemudian membawanya ke agen ABK bernama Joni Kasiyanto.

Joni –pria berperawakan kurus-tinggi dan berusia akhir 20-an– menjadi bagian dari orang-orang yang berbisnis di gelombang baru perekrutan buruh migran, terutama pada rentang tahun 2015 hingga 2020. Ekspansi global pada sektor penangkapan ikan jarak jauh, telah mendorong kemunculan agen-agen penyalur awak kapal di Indonesia. Del Agus, Ketua Indonesia Fishermen Manning Agents (IFMA) Association, meyakini bahwa jumlah agen telah meningkat pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Menurutnya, pertambahan itu telah meroket dari puluhan menjadi ratusan, kemungkinan 600 agen. “Kita tidak tahu persis jumlahnya berapa, tapi sangat banyak. Hampir di setiap gang, ada,” kata Del kepada kami.

 

Potret Del Agus, mantan pengusaha ekspor-impor yang kemudian memulai bisnis perekrutan buruh migran pada 1990-an. Ia mendirikan IFMA Association tahun 2009. Foto : Del Agus.

 

Sebagian dari perusahaan atau agen penyalur itu juga menjalani bisnis lain, seperti penyaluran jasa pekerja rumah tangga maupun jasa perjalanan untuk haji atau umroh. Lainnya, ada juga yang didirikan oleh mantan ABK seperti Joni yang sebetulnya belum banyak pengalaman dalam bisnis tersebut. “Ini tiba-tiba menjadi direktur. Tiba-tiba kenal agency. Kemudian, memberangkatkan (calon ABK) dalam jumlah besar. Inilah yang membuat masalah besar,” kata Del.

Selama bertahun-tahun, pada level nasional, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan telah menerapkan sistem perizinan paralel untuk perekrutan ABK secara masing-masing. Sementara di tataran daerah, sejumlah Pemerintah Daerah juga ikut mengeluarkan izin-izin. Banyak pihak, termasuk Del, mengatakan kepada kami bahwa kurangnya kejelasan tentang lembaga mana yang memegang tanggung jawab pada hal tertentu, telah membuka peluang terhadap keberadaan perekrut-perekrut yang tidak dapat diandalkan atau tak dipercaya. Del Agus menyebutnya sebagai “perusahaan yang aneh-aneh.”

Menurut Irham Ali Saifuddin, staf Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) di Jakarta, hal itu dapat membahayakan para pelaut. “Proses yang sudah legal itu, sayangnya, tidak bisa menjadi jaminan bahwa pekerja ABK migran kita tidak rentan untuk diperdagangkan atau dikerjapaksakan,” ujarnya.

Seperti kebanyakan agen di Indonesia, Joni pun tidak pernah berhubungan langsung dengan para pemilik kapal. Kliennya adalah sebuah agen kru yang berbasis di Fiji dan dikelola oleh orang-orang Tiongkok dengan nama Orient Commercial and Trade. Orient pun memiliki aturannya sendiri dalam menjalin kerja sama dengan DOF maupun perusahaan perikanan lain. Setelah keluar dari pekerjaannya di sebuah agen di Pemalang, Jawa Tengah, Joni mendirikan perusahaannya sendiri, yaitu PT Sinar Muara Gemilang. Ia kemudian melakukan koordinasi dengan direktur Orient yang berkantor di negara kepulauan di Samudra Pasifik itu melalui Skype. Hanya dalam waktu seminggu, Joni mendapatkan kesepakatan untuk memasok tenaga kerja asal Indonesia. Dari kesaksian Joni di pengadilan, ia mengaku mendapatkan uang sebesar AS$30 setiap bulannya dari satu orang buruh migran yang dikirimnya. Jika dibandingkan dengan PT Lakemba, PT Sinar Muara Gemilang tidak memberikan pelatihan yang sama kepada para calon pekerjanya.

 

Pelampung bola yang biasanya yang terpasang pada ujung basket alat penangkap ikan. Foto oleh Jennifer/Flickr.

 

Dua awak kapal Long Xing 629 memberi tahu kami bahwa Joni mengancam mereka ketika mereka punya keraguan atas kontrak kerja mereka, salah satunya Bernardus Maturbongs. Ia bahkan sampai harus ke Pemalang untuk membahas persyaratan lamaran dengan Joni dan kemudian pulang kembali ke rumahnya di Bekasi untuk menunggu. Beberapa minggu setelahnya, saudara ipar Joni menemui Bernardus dan memberi draf kontrak kerja yang siap untuk ditandatangani. Namun, Bernardus keberatan atas ketentuan yang tertulis di situ. Menurutnya, gaji yang ia akan terima jauh lebih rendah dari yang dijanjikan di awal. Selain itu, Bernardus secara khusus juga sudah meminta untuk tidak ditempatkan di kapal rawai karena ia tahu pekerjaan di kapal tersebut jauh lebih berat ketimbang jenis kapal penangkap ikan lain. Tapi, orang yang mewakili Joni itu mengabarkan kalau pihaknya sudah membelikan tiket pesawat untuk penerbangan pada hari yang sama. Bernardus kemudian memperlihatkan kontrak kerja itu ke istrinya di rumah karena istrinya tidak percaya apa yang diutarakan Bernardus melalui telepon mengenai hal tersebut. Bernardus pun mencoba menegosiasikan kontrak kerja itu dengan Joni lewat sambungan telepon.

Bernardus mengatakan kepada kami, “Soalnya dia (Joni) bilang tiket kamu sudah turun. Kalau kamu mau membatalkan tiket, itu nanti kamu dicari polisi, ditangkap. Terus, kamu ganti itu sekitar Rp20 jutaan. Dia bilang ke saya begitu. … Ya, sudahlah, saya sudah pasrah. Berangkat, ya berangkat saja. Istri saya juga sudah pasrah.”

 

Kebangkitan raksasa pemburu tuna dari Tiongkok

Sepri, Ari, Rizky Fauzan Alvian, dan Bernardus Maturbongs tidak tahu menahu, namun mereka telah mendaftar untuk menjadi kru pelayaran perdana Long Xing 629 di bawah pemilik baru. Dalian Ocean Fishing kala itu membeli kapal tersebut dari perusahaan lain sebagai bagian dari serangkaian akuisisi yang diharapkan DOF akan mampu membuat mereka menjadi perusahaan perikanan tuna terbesar di dunia.

Li Zhenyu, seorang mantan pegawai bank HSBC dan eksportir pakaian yang berasal dari Dalian, mendirikan DOF dengan tiga kapal rawai tahun 2000. Dengan pesat, kapal rawai itu bertambah menjadi tujuh. Bisnis tersebut menghasilkan keuntungan besar yang kemudian ia investasikan ke dalam pembangunan kapal pesiar dan usaha galangan kapal di Provinsi Liaoning, Tiongkok yang berbatasan dengan Korea Utara dan Laut Kuning.

 

Setelah sempat dikuasai oleh Rusia dan Jepang, Dalian berkembang menjadi sentral pembuatan kapal dan pusat bisnis. Kapal induk pertama Tiongkok dibangun di kota tersebut tahun 2012.

 

Pada awal berdirinya, DOF diuntungkan dari keberadaan tenaga kerja murah di Negeri Tirai Bambu itu. Sementara Jepang, –sebagai negara yang kala itu berada pada urutan teratas dalam penangkapan ikan jarak jauh di dunia– semakin mengurangi armadanya karena tak banyak lagi orang-orang Jepang bersedia bekerja di laut. Situasi tersebut berbeda dengan apa yang terjadi di Tiongkok, di mana jutaan petani dari provinsi lain berbondong-bondong bermigrasi untuk bekerja di sektor industri yang sedang merangkak naik di kota-kota di pesisir timur.

Pada masa itu, Tiongkok punya alasan kuat yang mendorongnya untuk mengembangkan penangkapan ikan jarak jauh. Sektor itu sendiri telah mulai didorong sejak 1980-an untuk mendukung ketahanan pangan dan penciptaan lapangan kerja negara tersebut. Tapi, pada awal 2000-an, Tiongkok memasukkan industri itu ke dalam bagian dari kebijakan mereka untuk mendorong perusahaan-perusahaan berinvestasi di luar negeri (Going Global Strategy). Situasi itu disusul dengan adanya subsidi pemerintah, terutama atas bahan bakar. Pada dekade itu, Tiongkok menduduki peringkat teratas untuk sektor tersebut, bahkan punya ambisi yang kian besar terhadap armada penangkapan ikannya. “Sumber daya hayati laut dilihat sebagai cadangan protein terbesar, maka siapa saja yang mampu memiliki dan menguasai laut, berarti memiliki dan menguasai masa depan,” begitulah kira-kira ucapan yang diutarakan oleh sebuah gugus tugas yang beranggotakan 12 orang mewakili pihak pemerintah, perusahaan perikanan, dan akademisi pada 2010 silam. Deklarasi itu menandai babak baru atas perluasan sektor perikanan Tiongkok di dunia.

 

Tuna sirip biru (Pacific bluefin) adalah spesies ikan tuna paling berharga di dunia. Tuna jenis itu – dengan berat mencapai ratusan kilogram dan kualitas terbaik – pernah terjual hingga jutaan dolar pada pelelangan tuna tahunan di Pasar Ikan Tsukiji, Jepang. Sementara itu, DOF lebih banyak mengincar jenis tuna mata besar (bigeye tuna) dan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) yang pula punya harga jual bagus di pasar internasional. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay

 

DOF siap memanfaatkan insentif kebijakan negaranya dalam rangka menaklukkan persaingan di sektor penangkapan ikan global. Pada 2012 dan 2013, DOF memutuskan kesepakatan pertamanya dengan para investor internasional. Tiga pihak masing-masing membeli saham minoritas di perusahaan itu dengan total nilai pembayaran mencapai AS$38 juta (sekitar Rp463 miliar saat itu) atas penggabungan dari 29 persen saham perusahaan. Pembelinya adalah Ares Management, sebuah “rumah” investasi yang berbasis di Los Angeles, AS dan didirikan oleh Tony Ressler yang pula memiliki waralaba tim bola basket Atlanta Hawks; Liu Yonghao, seorang miliarder asal Tiongkok sekaligus taipan di bidang agribisnis; dan sebuah dana ekuitas swasta Tiongkok yang investor utamanya mencakup dana kekayaan negara Singapura Temasek, raksasa makanan AS Archer-Daniels-Midland, konglomerat Mitsui Jepang, dan International Finance Corporation yang tak lain adalah perpanjangan dari Bank Dunia. DOF menggunakan dana tersebut untuk membeli lebih banyak kapal rawai. Pada rentang tahun 2012 dan 2014, armadanya meningkat tiga kali lipat dengan jumlah mencapai 24 unit. Tapi, itu belumlah apa-apa sebab mereka baru saja melangkah.

 

Menurut laporan media, Li Zhenyu (kedua dari kanan) pernah menjabat sebagai presiden untuk bidang perikanan laut pada Asosiasi Perikanan Laut Dalian (Dalian Marine Fisheries Association).

 

Tahun 2014, DOF berupaya mendanai pembelian lebih banyak kapal rawai dengan membuka penawaran saham ke masyarakat luas di Bursa Efek Hong Kong. Dengan kata lain, DOF menjadikan dirinya sebagai perusahaan yang go public atau dalam dunia bisnis disebut Initial Public Offering (IPO). Namun, rencana itu kandas setelah Greenpeace melayangkan keberatan. Dalam dokumen yang dihimpun oleh DOF dan diajukan ke bursa, Greenpeace mengungkapkan bahwa DOF keliru dalam menafsirkan situasi tuna mata besar dan tuna sirip kuning di area yang hendak diincar oleh DOF. DOF mengacu pada data lama, sementara berdasarkan pada data terbaru, dua jenis ikan tuna tersebut telah berada dalam status yang ditangkap secara berlebihan di sana.

Pengajuan DOF juga menyarankan bahwa Tiongkok harus melihat dengan kacamata lain, sedangkan perusahaan-perusahaan penangkapan ikan Tiongkok justru telah melanggar batas tangkapan yang disepakati secara internasional. Dalam teguran yang bernada keras, biro perikanan di Tiongkok menegaskan bahwa DOF telah “menyesatkan para investor dan komunitas internasional, sehingga menyebabkan dampak buruk yang luar biasa.” Tak lama setelah peristiwa itu, DOF menarik penawaran IPO-nya. Kejadian itu disusul pula dengan kemunculan berbagai berita negatif tentang DOF.

Setelahnya, tiga pihak yang tadinya hendak berinvestasi terhadap DOF, melakukan divestasi. Akan tetapi, penanaman modal pun digantikan oleh para investor asal Tiongkok, termasuk sejumlah konglomerat terbesar di Tiongkok, perusahaan ekuitas swasta, dan perusahaan manajemen aset milik negara.

 

Potret kantor DOF. Foto diambil pada Januari 2021.

 

Tahun 2017, mengacu pada dokumen yang diproduksi di tahun yang sama oleh salah satu investornya, DOF menerima subsidi dari pemerintah sebesar lebih dari 50 juta yuan (sekitar Rp98 miliar pada nilai di tahun 2017) setiap tahun dan direncanakan untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut di bawah program modernisasi kapal yang didukung negara. DOF mengklaim telah menghasilkan keuntungan lebih dari 324,3 juta yuan tahun 2016 (sekitar Rp626 miliar pada nilai di tahun yang sama). Mereka mengatakan nilai itu akan berlipat ganda pada 2020 karena mereka akan memperbanyak armada hingga 56 kapal rawai dalam upaya “menjadikan dirinya sebagai perusahaan perikanan tuna lepas pantai terbesar di dunia,” sesuai dengan uraian pada dokumen tersebut.

Satu tahun kemudian, Kementerian Pertanian Tiongkok memuji DOF atas konstruksi “mahakaryanya” dari dua kapal baru yang merupakan produksi Tiongkok pada gelombang pertamanya untuk kapal penangkap ikan tuna bersuhu sangat rendah yang diperkuat serat kaca. Inovasi material yang mutakhir untuk kulit keras dalam ukuran raksasa itu, membuat kapal dapat menghemat bahan bakar dan biaya perawatan. Kapal pun dapat tetap berada di laut untuk jangka waktu yang lebih lama.

Tahun 2018, dua tahun setelah DOF sempat mencoba dan gagal lagi untuk go public, produsen kecap terbesar di Tiongkok, yaitu Jiajia Food, mengumumkan rencana untuk membeli seratus persen perusahaan perikanan itu seharga 4,8 miliar yuan (sekitar Rp10,4 triliun). Jiajia Food terdaftar di Bursa Efek Shenzhen. Penggabungan dua perusahaan tersebut dapat dipandang sebagai upaya lain DOF –sebagai perusahaan yang sebetulnya lebih besar dari Jiajia– untuk bisa terdaftar di bursa saham. Media Tiongkok menjuluki merger keduanya dengan pengandaian “ular yang menelan gajah,” di mana sosok hewan raksasa itu mengacu pada DOF.

 

Bagan valuasi dan ukuran dari armada DOF. Sumber: Draf dokumen untuk IPO 2014 yang dibatalkan DOF di Bursa Efek Hong Kong, opini/audit hukum 2018 dari Guoco Lawyers (Shanghai), Equasis

 

Meroketnya DOF bersama dengan pesatnya perkembangan industri perikanan perairan jauh di Tiongkok secara keseluruhan, dipicu bukan hanya oleh melimpahnya subsidi Pemerintah Tiongkok, melainkan juga oleh pasar tenaga kerja murah dari Asia Tenggara. Pada pertengahan 2010-an, peningkatan taraf hidup dan pertambahan populasi lansia di Tiongkok, membuat perusahaan-perusahaan perikanan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja. Sementara itu, menurut Dina Nuriyati sebagai koordinator penelitian dan hubungan luar negeri di Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mengatakan kalau seorang pekerja di bagian geladak kapal asal Indonesia dapat dibayar dengan upah hingga kurang dari setengah upah pekerja asal Tiongkok.

Mengacu pada data pengaduan yang dihimpun oleh SBMI, DOF diperkirakan mulai mempekerjakan buruh migran Indonesia setidaknya pada awal tahun 2015. Pengaduan tersebut dilayangkan oleh seorang pemuda dari Jawa Timur yang pernah bekerja di salah satu kapal rawai DOF. Ia mengeluhkan soal kondisi kerja, di mana ia mendapat jatah ransum di bawah standar dan dipaksa bekerja 19 jam sehari. Meski berbagai laporan terkait dengan sejumlah pelanggaran telah merebak luas, terutama yang diduga terjadi di kapal-kapal berbendera Tiongkok, Dina mengungkapkan bahwa pemuda-pemuda –termasuk Sepri– yang berasal dari banyak daerah yang merupakan kantong-kantong “kemiskinan secara struktural,” tetap mengincar lowongan pekerjaan sebagai buruh di kapal-kapal asing.

 

Alat berat yang sedang bekerja di kanal yang menjadi bagian dari sistem drainase sebuah perkebunan kayu untuk industri bubur kertas (pulp) di Sumatera. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay.

 

“Contoh, daerah itu awalnya ada tanah yang banyak untuk pertanian. Kemudian, tanah itu digusur, (lalu) dijadikan bangunan. Itu juga faktor pendorongnya,” ungkap Dina menjelaskan apa yang mendorong banyak pemuda Indonesia memutuskan untuk bekerja menjadi buruh migran di laut. Janji-janji soal gaji yang besar dan kondisi kerja, juga jadi daya pikat yang kuat. Tapi kenyataannya, lanjut Dina, “Lebih banyak iming-iming, penipuan.”

 

‘Ini kalau bukan air (laut), (kita) sudah lari’ 

Ketika pertama kali melihat Long Xing 629, Rizky Fauzan Alvian –yang telah berpengalaman bekerja di geladak kapal sebelumnya– merasa gembira. Kapal yang tengah menepi di pelabuhan di Busan, Korea Selatan itu, berukuran raksasa dengan besar dua kali lebih panjang dan lima kali lebih berat dari kapal yang menjadi tempat kerjanya dulu. Ia pikir itu akan jadi pengalaman baru. Saat itu, Rizky dengan penuh semangat menatap lambung kapal yang berwarna merah-putih dari tempat duduknya di sebuah perahu angkut kecil yang mengangkut sekelompok pekerja untuk segera bisa ditelan oleh Long Xing 629 pada malam hari di tanggal 14 Februari 2019.

Nur –pria yang hanya mau disebutkan dengan nama depannya pada artikel ini– duduk di dekat Rizky pada momen yang sama. Ia punya kesan yang berbeda dengan Rizky. Ketika pria berusia 19 tahun itu naik ke atas kapal rawai untuk duduk, suhu sedikit di atas titik beku. Rasa tidak nyaman merayapi Nur kala ia menyadari betapa ia sungguh belumlah siap untuk melakukan pekerjaan di atas kapal itu.

Sekitar pertengahan tahun 2018 lalu, instruktur Nur di SMK Pelayaran Lintas Nusantara Barru di Barru, Sulawesi Selatan, menawarkan untuk membantunya dan beberapa teman sekelasnya mencari pekerjaan di kapal penangkap ikan asing. Setelah lulus, enam dari mereka pergi ke Jawa untuk mendaftar dengan agen kru. Tapi, seperti kebanyakan dari 22 pemuda asal Indonesia yang kemudian terdampar di Long Xing 629, Nur tidak menerima pelatihan dari penyalurnya. Sementara itu, proses belajar di tempat kerja punya tantangan terkait dengan kendala bahasa di antara para awak kapal yang satu negara dengannya dan delapan orang lainnya yang berkewarganegaraan Tiongkok. Mereka hanya berkomunikasi melalui aplikasi penerjemahan Google Translate yang dimiliki Rizky melalui handphone, di mana ia telah lebih dulu mengunduh kamus bahasa Indonesia-Mandarin sebelum meninggalkan rumah.

 

Wisuda SMK Pelayaran Lintas Nusantara Barru pada pertengahan 2018.

 

Saat kapal memulai perjalanan dua minggu pertamanya ke arah bagian barat Samudra Pasifik, Rizky diminta melatih rekan-rekannya. Tugas utama mereka terkait dengan “setting” dan “hauling“. Setting adalah mengaitkan dan membuang umpan ke ribuan cabang-cabang benang pancing yang terhubung dengan tali utama yang panjangnya bisa mencapai puluhan kilometer, sedangkan hauling adalah menarik tali maupun pelampung yang menempel pada rangkaian pancing raksasa yang terhubung pada kail, di mana ikan-ikan yang berhasil tertangkap itu tersangkut di sana. Karena para pekerja baru tersebut berusaha keras untuk bisa bekerja seefisien mungkin, maka putaran terhadap proses setting dan hauling itu masing-masing dapat berlangsung sampai 12 jam. Rizky mengatakan kalau pekerja yang telah selesai melakukan setting, seringkali diminta lanjut bekerja untuk mengurusi hauling.

Tidak lama setelah mereka mulai bekerja, kru senior di kapal pun berlaku kasar secara fisik. Hal itu diakui oleh dua orang yang kami wawancarai. Ketika awak kapal Indonesia bekerja dengan lambat, wakil mandor mereka akan memukul atau menendang. Kadang-kadang, ia menghajar para pekerja dengan gagang ganco atau pengait yang terbuat dari kayu hingga meninggalkan luka memar. Ari, awak kapal asal Sumatera Selatan, sering menjadi sasaran. Ia pemuda yang biasanya kalem, lantas suatu ketika Ari pernah mendorong balik wakil mandor tersebut. Kala itu, Ari sedang merapikan benang pancing yang semrawut dan ia memegang gunting, sementara wakil mandor memegang pisau. Khawatir situasi kian intens, Rizky pun berinisiatif untuk melerai. Rizky menjelaskan kepada kami kalau mereka dapat dianggap melanggar kontrak kerja jika sampai berkelahi dengan kapten atau orang lain, sehingga –seandainya itu benar-benar terjadi– seorang ABK bisa dipulangkan tanpa membawa apa-apa. “Itu malu sama keluarga,” ungkap Rizky.

 

Pada pekerja di bagian geladak sedang mengurusi tali pancing di kapal milik DOF yang lain saat tengah berada di Samudra Pasifik. Video oleh Raswin/Long Xing 601.

 

Para awak kapal asal Indonesia biasanya bekerja 18 jam berturut-turut, bahkan terkadang lebih, dalam tujuh hari seminggu dengan waktu istirahat untuk makan hanya 10 menit. Selama sekitar enam jam rehat, mereka sekadar mandi, cuci pakaian, dan tidur.

Mereka biasanya menangkap 15-20 tuna per hari dengan berat satu ekornya mencapai 30-40 kilogram. Tapi, seandainya mereka menemukan sekawanan tuna, –seperti yang pernah terjadi beberapa kali dalam sebulan– kapten kapal akan menyuruh mereka terus bekerja lebih keras lagi, bahkan hingga 30 jam tanpa henti. Pada saat-saat itu, di mana mereka dapat memindahkan 50 tuna sehari, kapten meminta mereka bekerja dalam dua kelompok atau alur, sehingga setting dan hauling dapat dikerjakan dalam waktu yang bersamaan. Kadang-kadang kapten tersebut pernah menghina mereka dengan melemparkan minuman dan permen ke arah para pekerja dari tingkat atas kapal saat mereka tengah bekerja keras di bawah. “Memang firaun,” kata Rizky untuk mengacunya pada tingkah si kapten. “(Kami seperti) romusa. Parah.”

 

Sirip-sirip hiu berserakan di geladak kapal Long Xing 629. Selama 13 bulan para pekerja berada di kapal, mereka mengisi sekitar 20 kontainer plastik berukuran besar dengan sirip hiu. Menurut Rizky, setiap kemasan tersebut diperkirakan seberat 40-50 kilogram, sehingga total terdapat hampir satu ton sirip hiu.

 

Selain nasi dan mi, para pekerja geladak mengatakan bahwa mereka diberi makan umpan ikan, ayam busuk yang sudah berubah warna, dan sayuran layu. “Untuk beras, kami dapat ambil sebanyak yang kami inginkan. Tapi untuk lauk pauk, seringkali tidak cukup,” kata Yudha Pratama yang kini berusia 21 tahun. Pemuda asal Makassar, Sulawesi Selatan itu adalah lulusan SMK Kemaritiman. “Kami bekerja keras bersama-sama. Jadi, jika seseorang dari kami ada yang tidak kebagian, kami merasa tidak enak.”

 

Muhamad Alfatah (kiri), Aldi Renaldi (tengah), dan Efendi Pasaribu (kanan) sedang makan di atas kapal Long Xing 629, di mana mereka seringkali menyantap lauk berupa umpan ikan. Rossen Karavatchev, koordinator seksi perikanan di Federasi Pekerja Transportasi Internasional (International Transport Workers Federation), berpendapat bahwa umpan tersebut sama halnya dengan “pakan ternak” sehingga umpan itu tak lain merupakan berbagai “ikan kecil yang tidak terjual dari pelabuhan perikanan atau pasar ikan dan ditawarkan ke pedagang untuk dibekukan dan dijual sebagai umpan.”

 

Sementara para kru yang berkewarganegaraan Tiongkok minum air kemasan botol, para buruh migran Indonesia hanya mendapat jatah air sulingan dari mesin desalinasi yang ada di kapal. “Air laut yang disuling terasa asin, terus ada bau karat,” kata Bernardus Maturbongs, mantan awak kapal. Yudha bilang, “Semakin kami minum, semakin kami merasa haus.”

“Waktu lagi di Long Xing (629) itu, saking ngga betah, (kami) ingin pulang,” kata Rizky kepada kami. “Itu anak-anak (para ABK) sampai ngomong: ‘Ini kalau bukan air (laut), (kita) sudah lari (karena) saking muaknya.”

Selama enam bulan perjalanan mengarungi laut, sejumlah awak kapal berhasil terhubung ke sinyal Wi-Fi yang dipancarkan kapal tanker ketika mengisi bahan bakar Long Xing 629. Nur, pemuda yang baru beranjak dewasa, mengirim pesan kepada ibunya melalui aplikasi perpesanan pada telepon selulernya. Ibunya lantas lekas membalas dan menanyakan kabar anaknya tersebut. Itu menjadi kali pertama bagi para pelaut Indonesia mendapatkan akses ke telepon atau internet sejak naik ke kapal.

Nur tak mau membuat orangtuanya khawatir. Ia tidak menjelaskan tentang kondisi yang mengerikan dengan bekerja di kapal atau meminta bantuan. Ia cuma bilang bahwa ia sudah di laut. Nur tak lagi mendapat sinyal setelah lima menit berlalu.

 

‘Kalau saya bisa keluar hidup-hidup, saya mau menikah’

Pada Desember 2019, Sepri mulai mengalami sesak napas. Kru berkewarganegaraan Tiongkok memberinya air kemasan untuk pertama kalinya. Namun, diakui oleh awak kapal yang kami wawancarai, kondisi Sepri tak kunjung membaik. Wajahnya pucat dan bengkak, nafsu makannya berkurang, dan tidurnya pun gelisah. Teman-teman sekamarnya bergiliran mengawasi Sepri di malam hari sambil mereka membacakan ayat-ayat Alquran yang mereka hafal sebagai doa selama Long Xing 629 melintasi bagian barat Samudra Pasifik.

Sesaat sebelum fajar tiba pada 21 Desember, Sepri pingsan saat hendak ke kamar mandi. Rekan-rekan kerjanya kemudian membawanya ke ruang makan, tapi mereka tidak dapat membangunkan kawan mereka itu. Pada jam tujuh pagi, Sepri dinyatakan telah tiada.

“(Sepri) sudah kayak saudara sendiri,” kata Bernardus Maturbongs. “Jadi, waktu dia meninggal, saya menangis. Ngga bisa tertahan (sampai) menggebu-gebu. Saya merasa kehilangan sekali.”

Sepri adalah orang pertama yang tewas di atas kapal Long Xing 629. Namun, ia bukan satu-satunya pekerja pertama maupun terakhir yang jatuh sakit.

Sekitar September 2019, Yudha Pratama menyaksikan dengan matanya sendiri kakinya semakin membengkak. “Saya memberi tahu teman-teman saya seandainya saya tidak berhasil keluar hidup-hidup, tolong beri tahu keluarga saya,” katanya kepada kami.

 

Potret Yudha Pratama diambil pada Agustus 2021. Foto : Febriansyah untuk Mongabay.

 

Kondisi kesehatan Yudha membaik, tetapi sekitar setengah dari 20 awak kapal, –di mana dua dari 22 pekerja telah dipindah ke kapal lain– mengalami gejala yang sama di bulan November atau satu bulan sebelum Sepri pingsan di kapal.

Mereka yang menderita gejala serupa hampir tak sanggup berdiri. Pembengkakan menjalar ke bagian tubuh yang lain, sehingga celana yang biasa dipakai sehari-hari pun menjadi semakin tidak muat. Sebagai awak kapal yang berpengalaman, Rizky Fauzan Alvian pernah mendengar rumor tentang penyakit seperti itu. “Kaki yang bengkak, terus tahu-tahu meninggal,” katanya. Sebelumnya, beberapa awak kapal pernah menyinggung tentang penyakit beri-beri, malnutrisi, dan kaki gajah, tetapi tidak ada dari mereka yang tahu dengan pasti. “Itu cuma kabar angin saja.”

Menurut lima dokter yang kami minta untuk meninjau keluhan dari orang-orang yang kami wawancarai, mengutarakan bahwa para pekerja di bagian geladak Long Xing 629 dan kapal-kapal DOF lainnya berpeluang menderita berbagai penyakit yang terkait dengan makanan dan air yang dikonsumsi. Sebagian besar menyebutkan beri-beri sebagai kemungkinan penyebabnya.

Beri-beri pernah menjadi ancaman serius bagi para pelaut yang melakukan perjalanan panjang. Tetapi, hal itu kemudian sudah dapat diatasi pada abad ke-19 setelah seorang ahli bedah angkatan laut Jepang menemukan pencegahannya secara mudah dengan penyesuaian pola makan. Tapi, kasus beri-beri masih terus terjadi di berbagai kamp pengungsi, rumah detensi imigrasi, dan tempat serupa lainnya. Penyakit tersebut juga ditemukan di kapal-kapal penangkap ikan jarak jauh.

Biro Epidemiologi Thailand belakangan ini mendokumentasikan beberapa wabah baru di kapal pukat negara itu dengan para awak kapal asal Kamboja dan Myanmar. Greenpeace yang menyelidiki insiden tersebut, mengungkapkan pada 2016 lalu bahwa itu “disebabkan oleh gizi buruk, kerja dengan beban berlebihan, dan periode waktu berlayar yang lama tanpa berlabuh, di mana itu dimungkinkan karena adanya transshipment [pemindahan muatan dari satu kapal ke kapal lain] di atas laut.”

 

Pemindahan ikan-ikan beku yang dilakukan dari kapal rawai Taiwan ke kapal pengumpul berbendera Panama tahun 2019, merupakan contoh transshipment di laut lepas. Foto : Tommy Trenchard untuk Greenpeace.

 

Beri-beri diakibatkan oleh kurangnya tiamin atau vitamin B1 yang berperan dalam proses metabolisme karbohidrat menjadi energi. Kerja berat dan pola makan yang tidak seimbang dapat menguras simpanan tiamin tubuh. Meski begitu, diperlukan tes laboratorium untuk mendiagnosis dengan pasti bahwa seseorang mengidap beri-beri. Sebagian besar dokter mengatakan bahwa faktor risiko dan gejala yang dialami oleh para awak kapal DOF, diduga kuat merupakan bentuk penyakit yang dikenal sebagai beri-beri jenis “basah”, di mana penderita mengalami gejala, mulai dari pembengkakan, sesak napas, bahkan hingga gagal jantung.

“Dugaan saya, mereka memiliki sejumlah penyakit, tapi yang dominan adalah beri-beri,” kata dr. Richard Johnson, Kepala Divisi Penyakit Ginjal dan Hipertensi di University of Colorado-Denver, melalui sambungan telepon.

Pendapat yang sama juga diutarakan oleh dr. Hanni Stoklosa, pendiri HEAL Trafficking, sebuah kelompok di AS yang memiliki fokus pada advokasi korban perdagangan manusia dari perspektif kesehatan masyarakat. “Saya dapat mengatakan bahwa gejalanya TAMPAKNYA cocok dengan beri-beri dalam beberapa aspek, dalam lain tidak,” tulisnya melalui surat elektronik. “Menurut saya, gambaran klinis mereka itu MULTI-FAKTOR, mencakup beri-beri plus penyakit lain.”

Dua dokter menduga penyakit itu kemungkinan besar disebabkan oleh air minum yang beracun atau terkontaminasi karena kerusakan pada unit desalinasi atau tangki penampungan air.

“Unit (desalinasi) yang mengalami kerusakan, bisa menjadi sumber, contohnya oksida besi, yang ditandai dengan warna kuning-oranye pada air maupun besi sulfat yang ditandai dengan warna yang lebih keruh pada air,” tulis dr. James Allen selaku koordinator program kesehatan masyarakat melalui surat elektronik.

Ia melanjutkan bahwa tangki penampungan yang cacat kemungkinan juga mengakibatkan adanya kontaminasi logam berat. “Menaruh air asin pada wadah semacam itu untuk waktu yang lama, menyebabkan korosi. Itulah mungkin mengapa rasa dan warna pada air menjadi tidak normal.” Jika logam berat berada di air yang rasanya tidak wajar, katanya, itu bisa berdampak pada kondisi jantung yang disebut dengan kardiomiopati yang dapat menimbulkan pembengkakan parah, bahkan kematian.

Menurut dr. Noah Rosenberg, kuat dugaan bahwa kelebihan kadar garam pada air minum yang tidak disuling dengan baik, dapat mengakibatkan masalah ginjal. “Ginjal hanya bisa menghilangkan garam jika memiliki cukup air tawar. Itulah mengapa Anda tidak akan bisa bertahan dengan minum air laut,” tulis dokter ruang gawat darurat yang telah bekerja di AS dan Afrika itu melalui surat elektronik.

 

Efendi Pasaribu, salah seorang pelaut kapal Long Xing 629, yang mengalami pembengkakan parah dan sesak napas sebelum (before) dan sesudah (after) jatuh sakit. Foto milik Advokat untuk Hukum Kepentingan Publik (Advocates for Public Interest Law).

 

Kematian Sepri menimbulkan semacam konflik di atas kapal Long Xing 629 terkait dengan apa yang harus dilakukan dengan jasadnya. Dalam Islam, penguburan yang layak harus lekas dilakukan. Sedangkan mengacu pada kontrak kerja, jika terdapat awak kapal yang meninggal, maka ia harus dibawa ke tepi pantai. Para awak kapal mengutarakan kepada kami bahwa kapten kapal setuju untuk pergi ke pelabuhan. Namun, setelah melakukan beberapa panggilan melalui telepon satelitnya, si kapten mengabarkan kepada rekan-rekan Sepri kalau pihak keluarga telah memberikan izin untuk membenamkan jasadnya ke laut. Kelak, keluarga Sepri membantah hal tersebut. Rika, kakak perempuan Sepri, mengatakan kepada kami bahwa beberapa hari setelah Sepri dinyatakan tewas, pihak agen hanya meminta perwakilan keluarga untuk pergi ke kantornya di Tegal. Di sanalah, Rika dan suaminya diberi tahu bahwa Sepri telah tiada.

Rizky dan Bernardus sempat berdebat dengan kapten kapal mengenai pemakaman Sepri. Tapi, keduanya tak berdaya untuk mengubah ketetapan. “Takut juga kalau melawan, (kontrak kerja) akan di-broken (diputus),” kata Rizky. Pada malam yang sama dengan meninggalnya Sepri, jasad rekan mereka itu dikemas ke dalam peti mati darurat dan akhirnya dibuang ke laut. Peti itu mengambang karena tidak diberikan pemberat. Kawan-kawan seperjuangan Sepri pun hanya mampu melepas kepergian Sepri dengan tatapan kosong hingga jasadnya hanyut begitu saja.

Setelah Sepri berpulang, kapten kapal menetapkan laju arah ke Samoa. Sejumlah awak kapal lainnya telah menunjukkan gejala sakit parah, termasuk Yudha Pratama yang kembali kambuh. Pada 26 Desember, Long Xing 629 menjemput seorang WNI dari kapal DOF lain, yaitu Long Xing 630. Ia dalam kondisi tidak sehat. Keesokannya, kapal tersebut bertemu dengan kapal rawai ketiga milik DOF, yaitu Long Xing 802, di perairan internasional. Mereka memindahkan Yudha, seorang pekerja baru, dan dua awak di bagian geladak lainnya yang juga sakit. Dua orang itu adalah Muhamad Alfatah dan Karman. Keduanya baru lulus dari SMK Kemaritiman di Sulawesi Selatan. Long Xing 802 –yang datang dari pelabuhan di Apia, ibu kota Samoa– kemudian beralih menuju ke daratan; sedangkan Long Xing 629, kembali berlayar ke lautan.

Muhammad Alfatah sempat mengalami sesak napas sebelum akhirnya tewas pada malam di hari yang sama. “Kalau saya mati, tolong kabari keluarga saya,” kata Yudha mengulang pesan terakhir Alfatah. “Tapi, kalau saya bisa keluar hidup-hidup, saya mau menikah. Doakan saya, ya, Yud.” “Lalu, saya bilang, ‘Iya, saya akan mendoakanmu, tapi jangan bicara begitu.’”

Jasad Alfatah juga dilempar ke laut. Beberapa hari kemudian, Yudha, Karman dan seorang kawan lainnya diturunkan di pelabuhan di Apia. Kapten kapal menyerahkan paspor mereka, tiket pesawat pulang, dan sejumlah uang dalam bentuk mata uang setempat, sehingga mereka bisa membeli makanan dan naik taksi ke bandara. Sementara itu, kapal hampir tidak menyentuh daratan dan lekas beralih menuju samudra lagi.

 

Citra satelit menunjukkan Long Xing 629 (berwarna biru) sedang mengambil seorang ABK mereka yang sakit dari Long Xing 630 (berwarna merah), kemudian bertemu dengan Long Xing 802 (berwarna kuning) pada akhir Desember 2019.

 

Di bandara, Yudha –yang khawatir ketinggalan pesawat– bergegas melalui terminal sambil menyeret-nyeret kakinya yang bengkak dan mendorong seorang kawan lain yang duduk di kursi roda. Mereka merasa beruntung karena petugas bandara membantu mereka sampai naik ke pesawat. “Syukur, mereka baik,” katanya.

Tak ada kerabat yang menanti maupun menjemput ketika mereka akhirnya tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Yudha tidak memiliki keluarga di Jakarta. Kampung halamannya masih sangat jauh dari ibu kota. DOF tidak memodalinya apa-apa untuk transportasi pulang dan ia tidak punya kartu ATM untuk bisa mengambil uang. Ia akhirnya menginap sementara di agen kru Karman, di mana ia punya kesempatan menelepon ibunya dan mengatur penerbangan pulang.

“Saya merasa sangat marah,” katanya kepada kami, “karena saya telah diperlakukan seperti binatang.”

 

Yurisdiksi universal

Pada 26 April 2020, Jong-Chul Kim –seorang pengacara publik Korea Selatan– mendapatkan video mengejutkan di ponselnya. Video tersebut direkam sehari sebelumnya dan menayangkan seorang ABK Long Xing 629 yang bernama Efendi Pasaribu, tengah berjuang bernapas sambil duduk di kursi belakang sebuah mobil van dalam perjalanan ke rumah sakit di Busan, sebuah kota pelabuhan besar di Korea Selatan.

Beberapa minggu sebelumnya, puluhan ABK telah jatuh sakit. Sebanyak 16 orang dari mereka kemudian lebih memilih untuk tetap hidup ketimbang memusingkan urusan pelanggaran kontrak kerja. Secara kolektif, mereka menuntut agar kapal segera menepi. Pada awalnya, kapten kapal mereka terus menerus melontarkan janji-janji kosong. Tetapi, ketika mereka mengancam akan merusak fasilitas kapal dan tidak menutup kemungkinan memukulinya, ia akhirnya menuruti keinginan para pekerja. Mereka dikirim ke pelabuhan menggunakan kapal rawai milik DOF yang lain, sementara Long Xing 629 tetap tidak pernah menepi ke pelabuhan. Ari yang kala itu tengah meregang nyawa, akhirnya tak bisa diselamatkan. Ia tewas dalam perjalanan setelah mengalami sesak napas. Badannya telah membengkak. Seperti kawan sebelumnya yang juga tewas mengenaskan, mereka pun merelakan laut untuk menelan tubuh Ari.

Ketika para awak kapal tersebut berhasil menginjakkan kaki di daratan Busan pada 24 April 2020, mereka baru menyadari akan adanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Mereka disambut oleh petugas setempat yang mengenakan alat pelindung diri. Petugas menggiring mereka ke kantor pabean, melakukan tes, dan menjalani karantina selama dua minggu di Hotel Ramada sebelum mereka dapat pulang ke Tanah Air.

Kim yang memiliki pengalaman mengadvokasi kondisi kerja buruh migran di kapal-kapal Korea Selatan, bersedia menolong. Saat itu, ia punya kesempatan untuk mendalami persoalan karena biasanya para ABK memang telah sering menepi di Busan, namun mereka hanya singgah beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan. Situasi pandemi memberi Kim celah karena pekerja-pekerja kapal Long Xing 629 itu tak diperkenankan langsung pergi begitu saja. Sebelumnya, kerja-kerja Kim untuk isu yang sama, telah memberikan dampak signifikan terhadap reformasi kebijakan di Korea Selatan. Maka, ketika mengetahui keberadaan buruh migran asal Indonesia itu, ia tak menyia-nyiakan peluang langka untuk bisa mengobrol dengan para ABK yang selamat dari perjuangan mempertaruhkan nyawa dengan bekerja di atas laut.

 

Jong-Chul Kim bekerja di Advocates for Public Interest Law (Advokat untuk Hukum Kepentingan Umum), sebuah kantor pengacara non-profit yang ia dirikan sejak 2011. Foto : Jinsub Cho untuk Mongabay.

 

Seorang dari para ABK yang selamat, tak mampu bertahan dan lagi-lagi mereka harus kehilangan seorang kawan. Efendi Pasaribu meninggal di usianya yang baru 21 tahun pada pagi hari setelah masuk rumah sakit. (Keluarganya di Indonesia menolak otopsi.) Berkat sambungan Wi-Fi di hotel, Kim pun segera melakukan serangkaian panggilan video dengan awak kapal yang masih bertahan. “Mereka sangat ingin berbagi kisah tentang apa yang telah mereka alami. Tapi, mereka juga tak terlalu yakin bahwa suara mereka akan didengar oleh dunia,” kata Kim kepada kami.

Selama beberapa hari berikutnya, mereka mengutarakan cerita mereka melalui penerjemah. Terkejut dengan apa yang didengar, Kim meminta Pengawal Pantai Korea setempat untuk menyelidiki. Tapi, lembaga itu mengatakan kepada Kim bahwa tak ada yang bisa dilakukan karena kapal-kapal DOF telah meninggalkan perairan Korea Selatan.

Kim masih percaya ia bisa mendesak pihak berwenang untuk lekas bertindak. Selagi ia melanjutkan wawancara dengan para ABK, ia menulis laporan yang menyatakan bahwa mereka adalah korban perdagangan orang. Hal tersebut merupakan ketentuan yang baru-baru ini dimasukkan ke dalam hukum pidana di sana. Sehingga, penegak hukum setempat memiliki “yurisdiksi universal” untuk mengejar pelaku tindak pidana perdagangan orang tanpa memandang kewarganegaraan maupun tempat kejadian perkara. Kim awalnya melihat ketentuan tersebut sebagai alat untuk memerangi perbudakan seks, tapi menurutnya itu juga bisa dipakai untuk kasus yang tengah ia pelajari tersebut. “Para ABK mengalami berbagai tindak pelanggaran hak asasi manusia, tapi mereka tidak bisa meninggalkan kapal,” tutur Kim kepada kami. “Itulah mengapa saya meyakini ini bukan sekadar eksploitasi tenaga kerja, tapi perdagangan orang.”

Kim melanjutkan kisah itu ke stasiun televisi di Korea Selatan, yaitu MBC. Pada 5 Mei, media tersebut menjadikan kisah para ABK tersebut sebagai berita utama, di mana ikut pula ditayangkan rekaman video yang menampilkan pembuangan jasad Ari ke laut. Keesokannya, ketika kisah mereka mulai viral, Jang Hansol, seorang YouTuber Korea Selatan yang pernah tinggal di Malang, Jawa Timur, menjelaskan kontroversi kasus tersebut agar masyarakat Indonesia bisa memahaminya. “Mereka ini pun tidak bisa lepas dari lingkungan kerja yang ngga ada bedanya dengan lingkungan kerjanya budak,” kata pria berusia 25 tahun itu dalam video. Tayangan tersebut ditonton jutaan kali dan sukses menarik perhatian media di Indonesia, di mana para anggota parlemen kemudian mendesak pertanggungjawaban pelaku.

 

Seorang jurnalis MBC tengah mengabarkan tentang rekaman video pembuangan kantong berisi tubuh Ari ke laut. Rekaman tersebut diambil oleh rekan kerja Ari di kapal.

 

Dengan besarnya sorotan publik, pihak berwenang Korea Selatan pun menindaklanjuti laporan Kim. Pengawal Pantai Korea melakukan wawancara dengan para pekerja di geladak kapal itu ketika mereka masih dikarantina, lalu merujuk kasus mereka ke kantor pengadilan. Namun, untuk melanjutkan penyelidikan, para ABK itu harus tetap tinggal di Korea Selatan. Mereka berunding. Rizky Fauzan Alvian berpendapat mereka sebaiknya tidak lekas pergi. Namun, sebagian besar mau segera pulang. Maka, pada awal Mei, mereka semua terbang keluar dari Busan bersama-sama. Penuntasan atas penyelidikan kasus mereka oleh otoritas Korea Selatan pun menjadi sulit untuk dilanjutkan.

“Mereka masih trauma dan takut,” ungkap Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan Ari Purboyo terkait dengan keputusan para ABK tersebut. “Di dalam kapal itu, kawan mereka meninggal. Mereka ingin cepat pulang. … Waktu itu, mereka sudah tidak tahan di Korea karena beban psikologis.”

 

(Secara berurutan dari sebelah kiri) M. Yusuf, A. Faisal, Aldi Renaldi, Efendi Pasaribu, Yudha Pratama, dan Aditya Purnomo ketika tengah menaiki kapal Long Xing 629. Sebagian dari mereka berusia 18 tahun saat mulai bekerja sebagai ABK untuk kapal asing.

 

‘Tak ada duit

Ketika tengah berada di Busan, para ABK memiliki kesempatan untuk mengecek saldo rekening bank. Saat itulah mereka menyadari bahwa mereka hanya menerima sekitar 11 persen dari upah yang dijanjikan dengan mempertimbangkan perhitungan terkait pemotongan dalam kontrak kerja mereka. Lima orang dibayar hanya sebesar AS$120 untuk pekerjaan selama 13 bulan. Ada dari mereka yang berhasil terhubung dengan agen penyalur mereka, menanyakan mengenai upah. Mereka mendapat penjelasan yang menegaskan bahwa DOF tidak membayarkan gaji mereka.

Mengacu pada catatan publik, terdapat puluhan tuntutan hukum diajukan ke pengadilan di Tiongkok terhadap DOF oleh para kreditur, penyedia layanan, dan pemasok sepanjang 2019 dan 2020. Hal tersebut menunjukkan kalau perusahaan tengah mengalami kesulitan finansial, bahkan sebelum pandemi Covid-19, di mana permintaan atas tuna dengan kualitas sashimi-grade pun telah ikut merosot tajam. Persoalan DOF terkait dengan tagihan-tagihan yang dikirimkan itu, tidak hanya mempengaruhi orang-orang yang bekerja di kapal-kapal milik DOF, melainkan juga berbagai agen yang telah menyalurkan para buruh migran.

Samuel Panjaitan merupakan salah satu agen tersebut. Ia seorang mantan pekerja kapal pesiar yang belakangan memulai usahanya dalam bisnis penyaluran tenaga kerja untuk kapal-kapal asing. Ia berharap usaha yang dilandasi atas pengalamannya itu, bisa memberikannya pundi-pundi. Salah satu upaya awalnya sebagai seorang perekrut atau penyalur ABK, tentunya adalah mendapatkan kesepakatan kontrak kerja sama dengan Hu Zhulian, seorang perempuan berkebangsaan Tiongkok yang menjalankan sebuah agen dari Fiji yang turut memasok tenaga kerja bagi kapal-kapal DOF. Mereka tidak pernah bertemu langsung dan komunikasi hanya dilakukan dengan saling mengirim pesan. “(Ia) tidak mau dihubungi pakai telepon. Hanya pesan,” ungkap Samuel yang tidak pernah mendengar suara kliennya itu.  “Saya tidak pernah bisa melakukan telepon (panggilan suara) dengan dia. Kalau saya telepon, selalu di-reject (ditolak).”

Agen yang dikelola Hu itu adalah Orient Commercial and Trade. Mereka menyalurkan para buruh migran untuk bekerja sebagai ABK ke kapal-kapal DOF dari sejumlah agen Indonesia, termasuk PT Karunia Bahari Samudra yang memberangkatkan Sepri dan Ari serta PT Sinar Muara Gemilang yang didirikan oleh Joni Kasiyanto. Tidak hanya tenaga kerja, Orient pun ikut memasok umpan ikan kepada DOF. Mengacu pada bukti transaksi keuangan yang kami peroleh, transaksi keuangan di antara Orient sama DOF dilakukan melalui transfer rekening bank yang berada di Hong Kong.

 

Samuel Panjaitan di kantornya di Jakarta Utara. Meski bukan Long Xing 629, tetapi lewat perusahaannya yang bernama PT Samuel Maritim Jaya, ia turut menyalurkan para pekerja ke kapal-kapal milik DOF. Foto : Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

 

Samuel menceritakan pada kami kalau segalanya berjalan dengan cukup mulus. Tapi, di awal 2019, aliran uang dari agen yang bermitra dengannya itu, tersendat. Samuel pun menghubungi mereka dan menanyakan mengenai hal tersebut. Kliennya bilang bahwa mereka belum dapat melanjutkan pembayaran karena DOF belum membayar mereka. Ia mencoba tegas dengan mengutarakan kalau alasan tersebut tak dapat diterima. Tapi, ia tak punya kemampuan untuk berbuat lebih. Menghadapi jalan buntu untuk bisnisnya yang baru seumur jagung, Samuel kemudian menulis surat ke beberapa Kedubes Indonesia di luar negeri. Pada suratnya, ia menduga pihak DOF telah melakukan “penipuan gaji.” Tak banyak yang lantas membalas. Seorang pengacara di Tiongkok mengatakan padanya bahwa upaya untuk menuntut perusahaan tersebut akan sulit.

Pada November 2019, sebulan sebelum kematian Sepri, Samuel mengetahui bahwa tiga kapal DOF yang membawa empat ABK yang disalurkannya, berlabuh di Samoa. Melalui telepon, ia mengatakan kepada ABK tersebut bahwa DOF tidak membayar gaji mereka dan meminta mereka untuk membuat laporan ke pihak kepolisian setempat dengan harapan pihak yang berwajib di sana akan menahan kapal DOF. Hal semacam itu terkadang dapat dilakukan ketika ada pemilik kapal yang tidak membayar upah pekerja. Namun, setelah beberapa hari, kapal-kapal DOF justru kembali berlayar tanpa pekerja-pekerja yang direkrut Samuel karena mereka telah memutuskan untuk pergi meninggalkan kapal. Ivan, seorang dari para ABK tersebut, mengabarkan kami kalau ia sampai-sampai harus memohon kepada kapten kapal agar mau menyerahkan paspornya dan membiarkan ia untuk pulang dengan pesawat.

Belakangan, para ABK dari armada DOF yang berlayar di sekitar Samudra Pasifik dan Atlantik, termasuk Long Xing 629, kian menyadari adanya perubahan yang mencolok di kapal mereka. Sekitar September 2019, kapal-kapal secara mendadak berhenti memburu tuna. Armada milik DOF pun hanya mengambang di atas laut selama hampir satu tahun, bahkan ketika para pekerjanya telah dipulangkan. Maka, kapal-kapal itu sudah tak melaut lagi dari sekitar September 2019 hingga sekitar Agustus atau September 2020.

 

Citra satelit mengonfirmasi keberadaan kapal-kapal DOF:

 

Mengacu pada citra satelit, tampak rute dua kapal milik DOF dalam menangkap ikan di Samudra Pasifik pada awal 2019 (atas) dan pergerakan lain pada 2020. “Jejak kedua kapal tersebut memperlihatkan bahwa kemungkinan mereka berhenti beroperasi secara normal sekitar September 2019,” kata Sarah Bladen, kepala bidang komunikasi di Global Fishing Watch, yang membuat citra satelit itu.

 

Ketika kapal-kapal DOF melintasi bagian barat Samudra Pasifik, mereka terlihat jarang berburu tuna. Meski begitu, para ABK mengaku kepada kami kalau mereka masih disuruh untuk melempar jaring dan menangkap banyak hiu. Sementara kapten-kapten kapal terlihat sesekali kumpul-kumpul, para pekerja asal Indonesia di sana tak tahu menahu mengapa mereka berhenti beroperasi. Ketika mereka menanyakannya ke pekerja-pekerja berkebangsaan Tiongkok tersebut, mereka hanya mendapat racauan dalam bahasa Inggris dan gerakan tangan. Sehingga, para ABK pun sedikit-sedikit menduga bahwa mereka tengah mengatakan kalau DOF sedang kacau. “Mereka menjelaskannya itu hanya bilang seolah-olah ngga ada duit. Mereka menjelaskan pakai bahasa Mandarin dan kita mengerti cuma sedikit-sedikit,” kata Rusnata yang kini berusia 39 tahun dan berasal dari Jawa Barat.

Pada Agustus 2020, sekelompok kapal DOF di Samudra Pasifik berkumpul di wilayah perairan internasional, tepatnya di luar wilayah Kepulauan Marshall. Mereka kemudian berlayar menuju Tiongkok. Dalam beberapa minggu, mereka tiba di ujung Semenanjung Shandong di Laut Kuning. Untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, bahkan dua tahun bagi sebagian pekerja, mereka akhirnya bisa melihat daratan dan gunung-gunung dari kejauhan.

Kapal-kapal itu terparkir selama 10 hari. Namun, mereka tak berlabuh ke daratan. Ketika sebuah kapal tanker yang diawaki oleh sesama orang Indonesia datang mengisi bahan bakar kapal, Rusnata sempat berbincang. Ia baru tahu kalau dunia tengah dilanda virus Covid-19. Lalu, tibalah waktunya para ABK yang berkebangsaan Indonesia dikumpulkan di dua kapal rawai milik DOF yang hendak menuju Bitung di Sulawesi Utara. Mereka berjumlah 155 orang. Saat tiba di Indonesia, mereka pun disambut oleh petugas yang mengenakan alat pelindung diri dari ujung kepala hingga kaki. Kala itu, Rusnata melihat ada dua kantong besar yang diangkut dari salah satu kapal rawai DOF ke kapal penjaga pantai. Ia memperhatikan sejenak sebelum akhirnya menyadari bahwa bungkusan tersebut berisi mayat.

 

Salah satu jasad yang diturunkan di Bitung pada November 2020. Dua jenazah tersebut bernama Saleh Anakota dan Rudi Ardianto yang tewas tiga bulan lalu di Samudra Pasifik. Pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) mengatakan bahwa keduanya meninggal karena penyakit yang belum diketahui secara pasti. Foto : Kemlu Indonesia

 

Beberapa agen, termasuk Samuel Panjaitan, yang terbang ke Bitung untuk bertemu dengan para ABK-nya, berharap pihak Indonesia menahan kedua kapal rawai tersebut sampai DOF membayar gaji-gaji pekerjanya. Namun, menjelang kedatangan kapal-kapal di Kota Cakalang itu, ungkap Samuel, Direktur Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemlu Judha Nugraha, mengatakan kepada para agen bahwa pihak Kedubes Tiongkok telah meminta pihak Indonesia untuk tidak menyita kapal dengan janji bahwa DOF akan segera melunasi hutang-hutangnya kepada para pekerja dalam waktu tiga bulan atau paling lama pada Februari 2021. (Judha Nugraha tidak menanggapi permohonan kami untuk menindaklanjuti perihal tersebut kemudian.) Seydina Keita, rekanan Federasi Buruh Transportasi Internasional (International Transports Workers’ Federation) di Dakar, –di mana mereka juga turut membantu pemulangan 88 orang ABK asal Indonesia dari armada DOF di Samudra Atlantik DOF pada akhir 2020– juga mengatakan kalau ia mendengar kabar dari Kedubes Indonesia di Senegal bahwa Tiongkok telah berjanji kalau DOF akan membayar para pekerjanya paling lambat akhir Februari 2021.

Samuel mengaku kalau ia belum menerima uang. Dia memberi tahu kami di awal September lalu bahwa total piutangnya yang belum dibayarkan oleh tiga agen yang tak lain adalah kliennya, termasuk Orient Commercial and Trade, mencapai lebih dari AS$100 ribu atau sekitar Rp1,4 miliar. Samuel terpaksa berhutang untuk membayar para ABK yang telah ia salurkan.

Dihubungi melalui surat elektronik, Hu Zhulian mengaku berhutang sekitar AS$10 ribu kepada perusahaan Samuel. Tapi, ia justru menyalahkan DOF karena belum melanjutkan pembayaran upah para ABK yang disalurkan itu pada 2018. “Meskipun kami terus menuntut mereka untuk membayar, mereka menunda terus menerus lagi dan lagi,” kata Hu. DOF akhirnya melakukan pembayaran pada Juni 2021. Namun, itu pun belum lunas. Hu mengutarakan bahwa DOF masih harus melunasi tanggungannya yang mencapai AS$90 ribu, di mana dari situlah ia punya hutang pada sembilan agen Indonesia yang menjadi mitranya dengan nilai masing-masing AS$10 ribu. Sementara itu, menurut Hu, DOF membantah hal tersebut dan mengaku sudah membayar seluruhnya. Maka, Hu bilang, ia pesimis akan mampu melanjutkan pembayaran dalam waktu dekat.

Sejumlah pelaut kapal Long Xing 629 akhirnya mendapat pembayaran restitusi dari agen mereka. Tapi, sebagian besar dari mereka yang kami wawancarai dan bekerja di kapal-kapal  selain Long Xing 629, mengaku belum menerima satu rupiah pun atas upah selama bekerja di laut. Rusnata mengatakan kalau agennya bahkan punya hutang mencapai lebih dari AS$11 ribu. Itu tentu bukan jumlah yang kecil baginya. Sebagai mantan pekerja bangunan, Rusnata awalnya melaut dengan harapan untuk bisa menabung dan membangun usaha kecil-kecilan. Namun, sejak pulang ke rumah, ia ternyata masih harus berjuang mencari sumber penghidupan di tengah pandemi. Kebutuhan sehari-harinya bahkan didukung dari kerabatnya dan juga bantuan dari SPPI. Ketua Umum SPPI Ilyas Pangestu mengatakan bahwa baru sekitar setengah dari para ABK yang dipulangkan melalui Bitung, telah menerima gaji, sedangkan lainnya tak memiliki pilihan untuk pulang dengan tangan kosong.

“Rasanya ada ketidakmampuan pada Pemerintah Indonesia untuk melakukan dealing-dealing politik dengan Pemerintah Tiongkok,” kata Samuel kepada kami. Menurutnya, Indonesia gagal melindungi warganya.

 

‘Jangan biarkan itu terus terjadi’

Di Indonesia, tragedi Long Xing 629 membuka mata publik dalam melihat kondisi para buruh migran yang bekerja sebagai ABK untuk kapal-kapal asing, khususnya yang berbendera Tiongkok. Berdasarkan temuan kami melalui penelusuran media, sedikitnya terdapat 30 pekerja Indonesia tewas di 19 kapal penangkap ikan milik delapan perusahaan Tiongkok pada rentang Maret 2019 dan November 2020. Sembilan belas orang meninggal akibat penyakit yang belum diketahui dengan pasti. Namun, beberapa dari mereka dilaporkan memiliki gejala serupa edema atau sesak napas.

Terkuaknya berbagai pelanggaran yang terjadi di atas kapal Long Xing 629 juga telah mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk bertindak. Dalam beberapa minggu setelah kisah dari para ABK itu tersebar pada Mei 2020, sejumlah perekrut di tiga dari empat agen Indonesia yang turut menyalurkan tenaga kerja untuk kapal-kapal asing, akhirnya ditangkap. Joni Kasiyanto adalah satu di antara mereka yang akhirnya dijatuhi hukuman empat setengah tahun penjara karena tindak pidana perdagangan orang atas taktik perekrutan yang menipu. Ada pula Muamar Kadafi, CEO PT Lakemba Perkasa Bahari, yang mendapat satu tahun penjara karena menempatkan pekerja dalam kondisi kerja yang melanggar kontrak mereka, termasuk makanan dan air minum di bawah standar, jam kerja yang berlebihan, dan praktik pembuangan mayat ke laut, menurut pengadilan. Setidaknya terdapat tujuh orang –yang ditangkap terkait dengan kematian di kapal-kapal Tiongkok lain– dipenjara dalam satu setengah tahun terakhir. Menurut Nono Sumarsono, Direktur Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea (SAFE Seas), –sebuah proyek perlindungan awak kapal perikanan yang dikelola Plan International– tindakan keras terhadap para agen awak kapal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menilai itu adalah langkah yang baik dalam upaya melindungi para ABK dari eksploitasi.

 

Sustriyono dan Muhammad Hoji, pendiri agen penyalur ABK PT Mandiri Tunggal Bahari, dalam baju tahanan berwarna biru pada konferensi pers yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Jawa Tengah pada 22 Mei 2020. Perusahan mereka terkait dengan kematian enam orang ABK pada empat kapal Tiongkok yang berbeda tahun 2019 dan 2020. Mereka berdua dijatuhi hukuman lebih dari satu tahun penjara karena beroperasi tanpa izin.

 

Mewakili pengusaha penyaluran awak kapal, Del Agus mengatakan bahwa seolah-olah usaha perekrutan ABK ini “menjadi usaha haram” di Indonesia atas keterlibatannya dengan skandal kapal-kapal luar negeri. Del termasuk satu dari banyak pihak yang meminta Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan regulasi baru terkait dengan pengawasan atas agen perekrutan tenaga kerja seperti yang telah dimandatkan Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Menurut Fadila Octaviani dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sebuah kelompok advokasi kebijakan terkait tata kelola kelautan yang berkelanjutan, rancangan terkait peraturan tersebut telah mandek selama lebih dari setahun. Faldo Maldini, staf khusus Menteri Sekretaris Negara Pratikno di bidang komunikasi dan media, mengungkapkan kepada kami bahwa peraturan itu masih menunggu tanda tangan dari beberapa kementerian sebelum dapat dikirim ke presiden.

Irham Ali Saifuddin, staf ILO di Jakarta, mengatakan bahwa peraturan yang merupakan respon atas Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan tersebut, akan memberikan kekuatan diplomatik yang lebih besar bagi Indonesia terkait dengan negosiasi dengan Tiongkok.

“Kita tidak bisa menyalahkan (hanya) bendera kapalnya, negara asal perusahaannya,” kata Irham. “Yang patut kita salahkan, ya diri kita sendiri (Indonesia) karena tidak menyiapkan perangkat hukum yang optimal.”

Sejumlah pengamat, termasuk aktivis dari Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI, mengungkapkan bahwa mereka menganggap tindakan Pemerintah Indonesia dalam menghukum para agen penyalur ABK, sudah tepat. “Dari obrolan informal saya dengan beberapa agen penyalur ABK, mereka mengatakan kalau mereka yang ditangkap, adalah mereka yang sedang kena sial saja karena ada lebih banyak lagi yang melakukan hal yang sama,” ujar Nono dari SAFE Seas kepada kami. Tapi, para pengamat berpendapat bahwa menghukum perekrut Indonesia pun belumlah cukup. Menurut mereka, penangkapan ikan di perairan jauh secara inheren bersifat lintas batas atau negara, maka para agen ABK asing dan pemilik kapal pula harus dimintai pertanggungjawabannya.

“(Mereka) yang melakukan kejahatan, mereka yang diskriminatif, orang (berkewarganegaraan Tiongkok). Mereka minum air mineral (dalam botol), (sementara) orang kita (para pekerja asal Indonesia) minum air sulingan,” kata Ilyas Pangestu, pimpinan dari serikat buruh awak kapal menyinggung tentang kondisi kerja di atas kapal Long Xing 629. “Yang melakukan adalah kapal di bawahnya Dalian (DOF), tapi yang dihukum manning agents. Loh, kok, masalahnya di sana, (namun) di sana ngga diapa-apakan? Adil ngga buat masyarakat Indonesia? Saya setuju manning agents dikenakan KUHP Pasal 55. (Mereka) bukan pelaku utama, tapi ikut serta.”

 

Tiga kapal DOF berlabuh di Dakar, ibu kota Senegal di Afrika Barat pada akhir September 2020. Foto tersebut ditampilkan melalui Facebook.

 

Pada akhir 2020, setelah Menlu Retno Marsudi bertemu dengan mitranya dari Tiongkok untuk membahas tentang adanya peningkatan jumlah WNI yang tewas di kapal-kapal Tiongkok, kedua negara sepakat menandatangani Mutual Legal Assistance (MLA) –sebuah perjanjian timbal balik dalam masalah pidana– untuk mengatasi masalah tersebut, termasuk perihal saling berbagi informasi terkait dengan penegakan hukum, ungkap Judha Nugraha mewakili pihak Kemenlu.

Namun, terlepas dari telah dijatuhinya hukuman kepada para agen penyalur di Indonesia, tidaklah jelas apakah sesungguhnya Tiongkok benar-benar sudah melakukan tindakan untuk menyelidiki perusahaan-perusahaan yang dituduh telah menganiaya para ABK asal Indonesia maupun Filipina. Kementerian Luar Negeri Tiongkok dan Kedubes Tiongkok di Jakarta tidak menanggapi permohonan kami untuk memberikan komentar tentang masalah tersebut.

Sementara itu, menurut Greenpeace Asia Timur, Tiongkok sendiri belum mengeluarkan laporan resmi apa-apa atas penyebab kematian para ABK Indonesia yang meninggal di atas kapal-kapal berbendera Negeri Tirai Bambu itu. Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan kepada kami pada awal September, “Kami sendiri terus melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait terhadap perkembangan kasus tersebut.”

Basilio mengatakan bahwa pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada awal Juni lalu untuk mengatasi masalah kemaritiman yang disebutnya sebagai “platform yang memadai untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang dapat lebih menjamin perlindungan pelaut dan awak kapal perikanan Indonesia di RRT [Republik Rakyat Tiongkok].” Sekarang, katanya, yang perlu dipertanyakan adalah tindak lanjutnya. “Saat ini, kami masih berupaya mendiskusikan langkah-langkah strategis yang perlu diambil oleh Pemerintah Indonesia maupun RRT dalam merealisasikan kesepakatan tersebut.”

 

Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok hadir di konferensi pers pada Mei 2021.

 

Kepada publik, Tiongkok belum mengakui bahwa terdapat buruh migran yang dilecehkan di kapal-kapal milik DOF. Pada Mei lalu, setelah pihak Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS melarang impor dari DOF, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin mengatakan di hadapan para jurnalis di Beijing, “Yang disebut dengan ‘penyalahgunaan (tindakan kasar) terhadap ABK,’ sama sekali tidak ditemukan.” Sedangkan merujuk pada kasus Long Xing 629, ia bilang, “Tahun lalu, sejumlah media menghebohkan masalah tersebut. Menanggapi hal itu, perusahaan yang terlibat secara langsung telah mengecek ke ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal tersebut. Seluruh ABK mengatakan tidak pernah diperlakukan secara tidak adil, apalagi kasar.”

“Saya tidak pernah ditelepon Dalian (DOF),” diakui oleh Rizky Fauzan Alvian, ABK yang bekerja di Long Xing 629, kepada kami pada Agustus lalu. “Aku tanya anak-anak (awak kapal lainnya), juga ngga ada yang diwawancara. Tapi biasalah, membantah. ‘Kan Dalian perusahaan besar.”

 

Pada Desember 2020, setelah lebih dari setahun tidak ada kepastian mengenai apakah merger akan dilanjutkan, perusahaan produsen kecap Jiajia Food mengumumkan bahwa rencana mengakuisisi DOF, diakhiri. Sejak November 2019, menurut sumber yang kami dapatkan, pihak pengadilan di Tiongkok telah membekukan puluhan juta dolar aset DOF dan perusahaan lain yang dimiliki oleh pendirinya Li Zhenyu sebagai dampak dari berbagai tuntutan hukum yang masih berjalan. Para penggugat mencakup perusahaan-perusahaan besar, mulai dari perusahaan pembuat kapal terbesar di sana hingga puluhan kru kapal DOF sendiri yang berkewarganegaraan Tiongkok. Para pekerja mereka menuntut perusahaan atas upah yang belum dibayar. Kapten kapal Long Xing 629 –yang pernah bertindak kasar pada ABK Indonesia– termasuk di antaranya.

Terlepas dari masalah finansial yang dihadapi, DOF tampaknya tidak akan menutup perusahaan. Seorang narasumber kami di kota Dalian, mampir ke kantor mereka pada Januari 2021 lalu. Ia memberi tahu kami bahwa perusahaan masih beroperasi. Pada Maret 2021, terdapat sebuah pengumuman –disebarkan oleh salah satu pemegang saham perusahaan– yang mengundang investor lain untuk membeli saham perusahaan tersebut. Di sana, tersebut bahwa DOF punya rencana untuk mengakuisisi hingga 10 kapal rawai lagi dalam waktu dekat.

Beberapa dari ABK Long Xing 629, termasuk Yudha Pratama dan Nur, kini telah bekerja di kapal kargo yang hanya melintasi perairan Indonesia. Keduanya tidak mau lagi bekerja di kapal penangkapan ikan milik asing.

 

Yudha Pratama ketika tengah berada di Surabaya, Jawa Timur pada Agustus 2021. “Kalau kamu mau mempekerjakan orang, ya kamu harus pikirkan bagaimana kalau kamu ada di posisi mereka,” ujarnya. “Saya tidak keberatan kerja keras. Tapi, ketika kamu hendak memberi makanan ke orang lain, beri mereka makanan yang layak.” Foto : Febriansyah untuk Mongabay.

 

Rizky Fauzan Alvian saat ini tinggal di sebuah rumah kos di Jakarta Timur. Ia bekerja pagi hari sebagai kurir dan malamnya sebagai tukang bersih-bersih di fasilitas perawatan pasien Covid-19. Dari situ, ia mengaku bisa memperoleh penghasilan yang cukup untuk ia dan keluarga. “Keuanganku Alhamdulillah membaik. Sekarang, saya bisa memberikan (sebagian uang) ke orangtua dan anak walaupun bisa dibilang kurang. Alhamdulillah, saya syukuri.”

Meski telah memiliki pengalaman bekerja di kapal asing, Rizky mengaku enggan untuk kembali melaut. Menurutnya, untuk membandingkan pendapatan dari pekerjaan saat ini dengan bekerja di laut, tentu sangat berbeda. “Itu mungkin pilihan terakhir,” jawabnya ketika kami bertanya apakah ia masih mau kerja lagi di kapal-kapal asing. Seandainya pun kelak ia terpaksa harus memilih pekerjaan itu, ia tegas bilang, “Cari perusahaan dan kapal yang benar pastinya.”

 

Rizky Fauzan Alvian sedang bersiap untuk berangkat kerja pada suatu hari di bulan Agustus. Foto : Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

 

 

Lapangan pekerjaan masih sedikit di kampung halaman Sepri di Desa Serdang Menang, Sumatera Selatan, seperti yang diutarakan Rika pada kami. Namun, sejak pecahnya tragedi Long Xing 629, kakak dari ABK yang tewas di atas kapal itu, mengaku kalau tidak ada lagi pemuda-pemuda di desanya yang mau melamar sebagai pelaut di kapal-kapal penangkap ikan di luar negeri.

“Kalau bersama, mungkin itu tidak akan terjadi,” ungkap sepupu Sepri yang menolak untuk disebutkan namanya. Ia bersama Sepri dan Ari pergi secara berbarengan ke Jawa Tengah untuk melamar di agen penyalur ABK di sana. Namun, Sepri dan Ari dipanggil lebih dulu. “Aku kloter kedua, tapi sampai sekarang belum berangkat.”

Keluarga menerima sejumlah kompensasi dari agen penyalur atas kematian Sepri. Namun, menurut Rika, uang tetap tidak akan bisa mengembalikan adiknya yang telah tiada. “Kalau bisa, kasus ini (biar) hanya Sepri saja (yang mengalami),” ucap Rika kepada kami. “Jangan sampai terjadi lagi.”

 

***

 

Editor pelaksana: Philip Jacobson. Dilaporkan oleh Philip Jacobson (Chicago), Basten Gokkon (Jakarta), Taufik Wijaya (Palembang), Seulki Lee (Seoul), Makoto Watanabe (Tokyo), dan Annelise Giseburt (Tokyo).

Ilustrasi oleh Yunroo dan Lim Wei.

Artikel ini diproduksi melalui kerja sama dengan Oceans Inc –sebuah investigasi kolaboratif lintas batas oleh ERC terhadap berbagai kejahatan di industri perikanan global– dan didukung oleh Global Initiative Against Transnational Organized Crime.

Artikel ini telah dimuat di Mongabay.com pada tautan ini : Worked to death: How a Chinese tuna juggernaut crushed its Indonesian workers

 

Exit mobile version