- Sebanyak 51 orang pekerja perikanan migran yang bekerja di atas kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dilaporkan masih terjebak di tengah Laut China sampai saat ini. Mereka semua, berstatus sudah habis kontrak dan seharusnya bisa kembali ke Indonesia
- Laporan tersebut diketahui dari publikasi Fishers Center yang ada di Kota Bitung, Sulawesi Utara dan Kota Tegal, Jawa Tengah. Dari kedua kota tersebut, laporan dari sejumlah AKP yang bekerja di kapal perikanan luar negeri masuk dan diceritakan secara detail
- Di sisi lain, perusahaan perekrut dan pengirim AKP ke kapal perikanan di luar negeri, banyak di antaranya yang masih belum memiliki izin berusaha. Akibatnya, pengawasan terhadap AKP menjadi sangat sulit dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
- Persoalan tersebut bisa dipecahkan, dengan cara diterbitkan regulasi yang baru yang berkaitan dengan segala permasalahan tersebut. Dari situ, Pemerintah diyakini akan bisa melaksanakan kewajibannya untuk melindungi warganya dengan penuh
Sejumlah tindakan tidak manusiawi harus dialami para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada kapal perikanan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Mereka yang mengalami perlakuan tersebut dilaporkan jumlahnya mencapai sedikitnya 51 orang.
Laporan tersebut diungkapkan Fishers Centre yang berada di Kota Bitung, Sulawesi Utara dan Tegal, Jawa Tengah, dan kemudian disampaikan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan akhir pekan lalu di Jakarta.
Menurut dia, seluruh AKP yang berjumlah 51 orang tersebut hingga saat ini masih terjebak di Tiongkok dan enam orang di antaranya menjadi korban kerja paksa saat berada di atas kapal perikanan berbendera negara tersebut.
AKP yang masih berada di Tiongkok tersebut, tidak lain adalah mereka yang sudah menyelesaikan kontrak kerja dengan kapal perikanan, namun terpaksa harus tetap ada di atas kapal karena belum bisa kembali ke daratan.
“Itu karena pandemi COVID-19,” ucap Abdi Suhufan singkat.
baca : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

Selain mendapatkan perlakuan berupa praktik kerja paksa, para AKP yang bekerja di Tiongkok juga dilaporkan tidak mendapatkan hak atas gaji selama bekerja. Untuk perlakuan tersebut, pihak yang terlibat adalah sejumlah agen yang ada di Indonesia.
Menurut Abdi Suhufan, Pemerintah Indonesia perlu untuk segera menindaklanjuti resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perlindungan pelaut (seafares) melalui koordinasi dengan Pemerintah RRT untuk memulangkan AKP asal Indonesia di negara tersebut.
“Sepanjang bulan Desember 2020, Fishers Center menerima pengaduan sejumlah awak kapal perikanan yang saat ini terjebak di perairan Tiongkok dan minta bantuan untuk segera dipulangkan ke Indonesia,” tutur dia.
Di antara AKP yang sudah menjadi korban, adalah FH yang sudah bekerja selama 24 tahun dengan perjanjian kontrak mendapatkan gaji sebesar USD300 per bulan atau sekitar Rp4,3 juta. Akan tetapi, dari perjanjian tersebut, gaji yang diterima baru mencapai Rp4,1 juta per bulan.
Selama bekerja di kapal perikanan berbendera RRT, FH sudah mengalami perpindahan kapal hingga tiga kali dengan bendera RRT semua. Perlakuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Fisher Centre dan diikuti empat orang AKP lainnya yang diberangkatkan oleh PT MSI, PT JBP, PT NA, dan PT GMA.
baca juga : Moratorium Pengiriman Awak Kapal Perikanan Harus Diwujudkan

Praktik Intimidasi
Di luar itu, Abdi Suhufan menyebutkan bahwa ada juga pelapor yang melaporkan kepada Fishers Center dan menyebutkan bahwa dia tidak hanya sekali mendapatkan perlakuan intimidasi dan ancaman dari kapten dan sesama AKP yang berasal dari Tiongkok.
“Makanan yang diberikan tidak manusiawi, bahkan untuk minum pun harus mengonsumsi air dari keran pencuci piring yang airnya sudah berwarna kuning,” papar dia.
Selama kurun waktu dari Januari hingga Desember 2020 lalu, DFW yang berperan sebagai pengelola Fisher Center di kedua kota tersebut, menerima 40 pengaduan korban AKP yang bekerja di kapal perikanan di dalam dan juga luar negeri.
Dari 40 pengaduan tersebut, tercatat ada 103 korban AKP yang masih terjebak dalam praktik kerja tidak adil dan merugikan. Pengaduan tersebut harus mendapatkan perhatian penuh dari Pemerintah Indonesia dan bertindak secepat mungkin untuk mencegah ada korban lebih banyak.
“Pemerintah secepatnya mengambil langkah dan kebijakan strategis,” tambah dia.
Lebih rinci, Abdi Suhufan menerangkan bahwa pengaduan yang masuk ke Fishers Center adalah kasus terjadi di dalam dan luar negeri. Dari 40 pengaduan kasus, sebanyak 64,32 persen adalah kasus di luar negeri dan 36,68 persen adalah kasus yang terjadi di kapal perikanan dalam negeri.
Dengan kata lain, pengaduan kasus yang masuk ke Fishers Center hingga saat ini masih didominasi oleh AKP yang bekerja di kapal perikanan di luar negeri, atau biasa disebut pekerja perikanan migran. Dari situ, didapatkan fakta bahwa AKP di luar negeri sangat rentan mengalami masalah.
perlu dibaca : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

Adapun, masalah yang sering jadi aduan adalah berkaitan dengan gaji dan upah yang tidak dibayar atau mengalami pemotongan yang dilakukan oleh pengelola kapal perikanan. Kemudian, masalah lainnya adalah berkaitan dengan asuransi, kesehatan, dan keselamatan kerja.
Di sisi lain, walau aduan terus masuk, Abdi Suhufan menilai bahwa Pemerintah Indonesia kurang responsif dalam menyikapi kesemrawutan tata kelola AKP di Indonesia. Akibatnya, Negara tidak bisa memberikan perlindungan yang maksimal kepada para pekerja perikanan.
Menurut dia, sejumlah kebijakan perlindungan terhadap AKP sampai ini masih tertunda, karena berbagai faktor dan alasan. Contohnya, adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaut migran dan pelaut perikanan, serta rencana aksi nasional perlindungan AKP.
”Kedua hal tersebut menjadi penting, sebab akan menjawab sejumlah masalah awak kapal perikanan dengan pendekatan program yang holistik dan terintergrasi oleh kementerian dan lembaga,” tutur dia.
baca juga : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan

Dokumen Pribadi
Staf pengelola Fishers Center Bitung Laode Hardiani menjelaskan, ada salah satu korban yang mengadu berinisial MD dan melaporkan bagaimana kondisi selama bekerja di atas kapal perikanan. Termasuk, aduan sejumlah dokumen pribadi sangat penting ditahan oleh perusahaan.
Dokumen yang dimaksud di antaranya adalah ijazah dari lembaga pendidikan, sertifikat basic safety training (BST), kartu keluarga (KK), dan akta kelahiran. Seluruh dokumen tersebut masih ditahan oleh perusahaan dan juga dalam penguasaan penuh manning agent yang menjadi perusahaan perekrut.
Di luar aduan dokumen, MD juga melaporkan bahwa selama 24 bulan bekerja untuk kapal perikanan berbendera RRT, hak atas gaji masih belum ditunaikan secara penuh. Dari dua tahun perjanjian kerja, gaji yang sudah dibayarkan baru 15 bulan saja.
“Sementara, gaji sembilan bulan dan uang jaminan sebesar USD1000 masih ditahan oleh manning agent,” kata Laode menyebut nilai uang yang setara dengan Rp14,2 juta itu.
Agar semua laporan yang masuk bisa mendapat perhatian segera dari Pemerintah, Fishers Center akan melaporkan seluruh data dan laporan resmi pengaduan kasus kepada Kementerian Luar Negeri RI. Harapannya, seluruh laporan bisa langsung ditindaklanjuti langsung.

Sementara, Koordinator Program SAFE Seas Project Baso Hamdani meminta kepada Pemerintah untuk bisa segera menghentikan jatuhnya korban AKP lain karena bekerja di kapal perikanan. Semua itu, memerlukan penanganan lebih cepat dan legal, agar AKP bisa mendapat perlindungan penuh.
Tak hanya itu, pemenuhan aspek legalitas dan akreditasi perusahaan perekrut dan penempatan atau manning agent juga perlu untuk dilakukan segera. Hal itu, karena didapatkan fakta bahwa sampai sekarang masih ada puluhan manning agent yang tidak memiliki perizinan berusaha.
“Mereka ini melaksanakan perekrutan dan pengiriman AKP ke Tiongkok dan negara lain,” jelas dia.
Kondisi tersebut bisa terjadi, karena perizinan perekrutan dan penempatan pekerja perikanan migran masih ada di bawah dua lembaga kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan RI dan Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Hal itu menyebabkan ketidakpastian berusaha dan memicu biaya yang tinggi bagi manning agent saat melakukan perekrutan dan penempatan kerja. Sementara bagi Pemerintah, kondisi ini menyebabkan lemahnya pembinaan dan pengawasan, terutama yang tidak memiliki izin resmi.
Agar permasalahan itu bisa dipecahkan, Baso menyarankan agar Pemerintah segera menerbitkan regulasi yang berkaitan dengan hal tersebut. Dengan demikian, Pemerintah bisa melakukan akreditas kepada seluruh perusahaan perekrut dan pengirim AKP ke luar negeri.