Mongabay.co.id

Masih Ada Kekosongan Hukum untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Janji Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan penuh kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) dan atau pelaut, nampaknya masih belum bisa diwujudkan. Penyebabnya, karena sampai sekarang belum ada regulasi yang mengatur secara khusus para TKI yang bekerja di atas laut tersebut.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku, tidak ada klausul yang mengatur secara khusus tentang pelaut.

Sementara, meski diatur tentang pelaut awak kapal dan perikanan, namun UU No.13/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dinilai masih belum selaras dengan konvensi pokok Organisasi Perburuhan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO).

“Saat ini masih terdapat kekosongan hukum tentang perlindungan pelaut,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Agar kekosongan tersebut tidak lagi terjadi, Kemko Marves saat ini tengah melakukan studi analisis bersama kementerian dan lembaga (K/L) terkait di Indonesia. Dengan fokus melakukan perbandingan 2019-2021 tentang peraturan perundang-undangan Indonesia dan Konvensi ILO No.188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (ILO C-188).

Hasil dari studi tersebut akan menjadi rujukan bagi Kemko Marves untuk menyusun draf kerangka acuan regulasi hukum yang mengatur tentang perlindungan pekerja di sektor perikanan di Indonesia. Kegiatan tersebut dilakukan bersama ILO melalui program Ship to Shore Rights Southeast Asia (SEA).

baca : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

 

Para ABK sedang mengangkut seekor hiu ke atas Long Xing 621 milik DOF di tengah Samudra Atlantik pada September 2019. Foto : Tommy Trenchard untuk Greenpeace.

 

Menurut Basilio Dias Araujo, kegiatan tersebut juga akan mendukung harmonisasi regulasi dan implementasi hukum yang mengatur tentang perlindungan awak kapal dan perikanan. Dengan demikian, diharapkan bisa diketahui mana yang sudah sesuai antara peraturan Indonesia dengan ILO.

Agar proses penyusunan bisa berjalan lancar dan cepat, Kemko Marves menggandeng Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker) untuk membentuk Tim Upaya Hamonisasi. Tim tersebut akan diwakili kementerian dan lembaga terkait, dengan tugas melanjutkan diskusi terkait harmonisasi peraturan perundang-undangan yang relevan di sektor perikanan.

Dia menjelaskan, dari laporan yang disampaikan Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, peraturan perundangan yang berlaku sudah sesuai dengan konvensi ILO 188.

Kemudian, penyesuaian juga dilaksanakan Kementerian Perhubungan RI yang melaksanakan perlindungan hak awak kapal dan perikanan dengan mengikuti aturan yang ada dalam Konvensi ILO 188. Keselarasan tersebut diharapkan bisa menjadi bentuk perlindungan hukum dengan kuat.

“Temuan-temuan ILO dalam studi analisis perbandingan tersebut harus menjadi perhatian kita semua, dan menjadi bahan perbaikan bagi peta jalan pelindungan awak kapal perikanan yang saat ini disusun oleh Kementerian dan Lembaga,” pungkas dia.

Pentingnya dilakukan penguatan perlindungan hukum, karena pekerjaan di atas kapal itu menjadi kegiatan yang berat dan berisiko. Ada banyak kasus penelantaran dan eksploitasi pelaut dan awak kapal yang terjadi setiap tahun, dan itu jelas memerlukan perhatian dan penanganan khusus.

Terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki tersebut, karena kewenangan yang ada di Indonesia masih tumpang tindih yang mengakibatkan koordinasi lintas sektor menjadi tidak optimal. Kondisi tersebut membuat penanganan kasus menjadi lambat.

“Untuk itu diperlukan kerja sama dan koordinasi yang baik antara kementerian dan lembaga terkait, dan perwakilan Indonesia di luar negeri,” jelas dia.

baca juga : Rekrutmen Awak Kapal Perikanan Masih Belum Transparan

 

Salah satu jenazah yang diturunkan di Bitung pada November 2020. Jenazah tersebut merupakan milik Saleh Anakota dan Rudi Ardianto yang meninggal tiga bulan sebelumnya di Samudera Pasifik. Keduanya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui, kata kementerian luar negeri Indonesia saat itu. Foto : Kementerian Luar Negeri

 

Sebagai bentuk upaya peningkatan koordinasi dan pelindungan secara menyeluruh, Basilio Dias Araujo mengatakan kalau saat ini sedang dilakukan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pelindungan Pelaut dan AKP (RAN-PPAKP).

Adapun, RAN-PPAKP memuat sasaran kegiatan yang perlu dilaksanakan setiap pemangku kepentingan, agar dapat meningkatkan pelindungan terhadap pelaut dan AKP secara holistik. Saat ini sedang berproses diajukan untuk mendapatkan izin prakarsa dari Presiden RI.

Menurut Basilio Dias Araujo, RAN-PPAKP bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama seluruh pemangku kepentingan dalam upaya memberikan pelindungan yang maksimal bagi pelaut dan AKP Indonesia. Perlindungan itu diberikan kepada para pekerja yang di dalam dan luar negeri.

Wujud perlindungan tersebut, adalah dengan melakukan penyelarasan peraturan perundang-undangan yang ada di masing-masing sektor, melakukan kesepakatan bersama lintas K/L untuk melakukan pengawasan bersama.

Selain itu, juga melakukan edukasi, rekrutmen, penempatan, pelaporan, dan pelayanan kepada AKP yang bekerja di dalam maupun luar negeri. Pada prosesnya, penyusunan RAN-PPAKP melibatkan Kementerian Luar Negeri, Kemenhub, KKP, Kemnaker, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dan K/L lainnya.

baca juga : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan

 

Awak kapal bagang. Bisanya mereka berasal dari nelayan setempat, dengan waktu kerja di bagang selama sekitar seminggu, sebelum shift ke darat. Foto; :Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Akar Masalah

Lebih detail, dengan melakukan ratifikasi ILO C-188, maka tiga akar masalah yang selama ini menyebabkan masalah bagi para AKP yang bekerja di kapal perikanan asing, diharapkan bisa segera diatasi.

Ketiganya adalah, belum adanya sinkronisasi antara pendidikan dan pelatihan bagi pelaut serta AKP yang sesuai dengan standar Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F).

Kondisi itu terjadi, karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih belum menganggarkan dana untuk membeli silabus kurikulum standar IMO yang semuanya harus dibeli dari Singapura dengan nilai mencapai Rp60 juta.

Kedua, belum adanya tata kelola yang baik untuk mengatur perusahaan yang melaksanakan penempatan kerja bagi para pelaut dan AKP. Ketiga, belum ada sumber data terpadu secara nasional antar kementerian dan lembaga yang bisa dijadikan rujukan data untuk menelusuri keberadaan pelaut dan AKP Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing (KIA).

Menyikapi permasalahan tersebut, Kemnaker RI juga sudah menyatakan komitmennya untuk melakukan ratifikasi ILO C-188, agar perlindungan AKP dan pelaut Indonesia yang bekerja di dalam dan luar negeri bisa meningkat.

Sekretaris Jenderal Kemnaker RI Anwar Sanusi mengungkapkan bahwa ILO C-188 adalah standar ketenagakerjaan internasional yang ditujukan untuk memastikan para pekerja yang bekerja di atas kapal perikanan memiliki kondisi kerja yang layak.

“Khususnya terkait syarat dan kondisi kerja, akomodasi dan makanan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), layanan kesehatan, dan jaminan sosial,” jelas dia.

Selain memperkuat kerangka hukum nasional, perlindungan kepada para TKI perikanan tersebut harus diberikan melalui ketentuan peraturan internasional. Di antaranya STCW-F, Konvensi Perjanjian Cape Town (CTA) 2012, dan ILO C-188.

baca juga : Pekerjaan Rumah Pemerintah untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN/Mongabay Indonesia

 

Anwar Sanusi mengakui, sejak disahkan pada 2007 dan kemudian diadopsi Indonesia pada tahun yang sama hingga 2020, ILO C-188 termasuk salah satu konvensi ILO yang tingkat ratifikasinya masih sangat rendah. Hingga sekarang, tercatat baru 19 negara anggota ILO yang sudah meratifikasi ILO C-188.

Negara tersebut di antaranya adalah Angola, Argentina, Bosnia and Herzegovina, Kongo, Estonia, Prancis, Lithuania, Maroko, Namibia, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan, Thailand, dan Britania Raya. Selain itu, ada Belanda, Polandia, dan Portugal yang sudah ratifikasi namun belum menerapkan (not in force)

“Selain itu ada juga Denmark, ditambah lagi satu negara belum entry into force,” terang dia.

Staf Ahli Bidang Ekonomi Ketenagakerjaan Kemnaker RI Aris Wahyudi menambahkan, saat ini sudah ada rencana penyusunan peta jalan penyelerasan regulasi, program, dan kebijakan nasional Indonesia terhadap ILO C-88.

Kemudian, ada juga program prioritas seperti penyelarasan peraturan perundang-undangan, penguatan sistem pelindungan, penyelenggaraan pelatihan bahasa asing dan keterampilan non-nautika, pelaksanaan joint inspection, serta integrasi data dan informasi.

ILO sendiri sebelumnya sudah menyampaikan hasil studi analisis tentang kerangka acuan hukum nasional dalam perlindungan AKP dan pelaut Indonesia. Meski sudah ada perkembangan yang sangat bagus, namun masih ada sejumlah aspek yang harus ditingkatkan.

Di antaranya, adalah aturan terkait pendefinisian tanggung jawab pemilik kapal yang lebih jelas, jam kerja dan jam istirahat, mekanisme perjanjian kerja laut, perekrutan dan penempatan kerja, penggajian, serta penyepakatan competent authority.

Diketahui, pada 26 September 2021 terjadi peristiwa kapal tenggelam di perairan Laut Arafura. Peristiwa tersebut menggelamkan kapal, namun seluruh AKP yang berjumlah 26 orang berhasil diselamatkan seluruhnya oleh tiga kapal ikan yang saat itu ada di dekat lokasi.

baca juga : Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Deretan perahu nelayan bersandar di pelabuhan Muara angke, Jakarta, Oktober 2019. Foto : Shutterstock

 

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyebutkan kalau seluruh AKP kemudian dibawa ke Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Di sana, mereka terlantar, meski ada di lokasi penampungan darurat.

PT Mekar Subur Sejahtera yang disebut oleh korban peristiwa tersebut adalah pemilik kapal, dinilai sudah lalai dalam memberikan perlindungan kepada para pekerjanya. Selain tidak berusaha menghubungi seluruh AKP setelah peristiwa terjadi, hak AKP juga sangat lamban ditunaikan.

Dia mengatakan, akibat ketiadaan perlindungan yang baik, banyak AKP/pelaut yang akhirnya menjadi korban kerja paksa, hak asasi manusia (HAM), dan perdagangan orang selama bekerja di atas kapal perikanan asing. Tak sedikit, di antara mereka ada yang harus berakhir dengan meregang nyawa.

Menurut Peneliti DFW Indonesia Asrul Setyadi, KKP perlu meningkatkan standar keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan AKP Indonesia. Dia menyarankan agar KKP melakukan inspeksi rutin untuk memastikan standar keselamatan dan tenaga kerja perikanan yang bekerja di WPP 718 tetap terjaga.

“Tingkat kerawanan penangkapan ikan sangat besar di Dobo sehingga pengawasan menyeluruh perlu ditingkatkan,” terang dia.

 

Exit mobile version