Mongabay.co.id

Kala Penurunan Tanah Picu Banjir di Pantura Jawa

 

 

 

 

Banjir jadi bencana tahunan bagi sebagian kota besar di Pulau Jawa. Terlebih, kota-kota di pantai utara Jawa, tak hanya banjir kala hujan turun, ditambah banjir dari pasang surut air laut (rob). Daerah-daerah itu antara lain Jakarta, Kendal, Pekalongan, Demak, dan Semarang sampai Surabaya. Penyebabnya banyak faktor, salah satu karena penurunan muka tanah.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, pantura Jawa berisiko lebih tinggi dibanding pesisir selatan (pansela). Struktur geologi kedua wilayah ini memiliki perbedaan begitu kontras.

Resistensi pantura Jawa, tinggi bisa dilihat dari tingkat abrasi dan banjir rob yang terjadi sepanjang tahun dari Jakarta, Cirebon, Pekalongan, Brebes, Kendal, Semarang, Demak, hingga Surabaya.

Bila tidak ada upaya signifikan, katanya, bukan tidak mungkin pantura yang dihuni jutaan jiwa akan tenggelam.

 

Penurunan muka tanah

Banjir yang melanda pantura Jawa, salah satu penyebab penurunan muka tanah. Profesor Edvin Aldrian, pakar Iklim dan Meteorologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, telah melakukan penelitian banjir rob yang melanda pantura Jawa. Hasilnya, penurunan tanah atau land subsidence lebih berperan ketimbang peningkatan muka laut.

“Kami sudah mengukur di Pesisir Pulau Jawa itu ternyata (peningkatan muka air laut) hanya 3,6 milimeter per tahun. Jadi tidak terlalu signifikan sebenarnya,” katanya.

Bila banjir rob merata di kota-kota pesisir Jawa, lebih banyak karena penurunan muka tanah. Penurunan ini, kata Edvin, dipicu penggunaan air tanah masif baik untuk kegiatan industri maupun permukiman.

 

Pemandangan banjir Jakarta, awal 2020. Foto: BNPB

 

Dalam konteks Jakarta, setidaknya ada tiga jenis banjir kerap terjadi. Pertama, banjir lokal, banjir kiriman dari daerah hulu, dan banjir rob berasal dari limpahan air laut.

Masing-masing memiliki penyebab dan faktor berbeda. Khusus banjir rob, dilihat dari penyebab paling dominan. Dia merekomendasikan tidak lagi menggunakan air tanah. Sebagai ganti, pemerintah harus mensuplai kebutuhan air bersih untuk warga.

“Pola pembangunan harus diubah. Kota-kota besar tidak lagi mengambil air tanah. Pemerintah yang mensuplai, menyediakan air bersih yang bisa diakses warga,” katanya.

Kendati demikian, dia tak mengelak bila perubahan iklim tetap membawa dampak besar di masa mendatang terutama sebagai akibat dari mencairnya tiga lapisan es di permukaan bumi, yakni, Kutub Selatan, Greenland, dan Pegunungan Himalaya.

“Inilah yang kita khawatirkan karena akan terjadi pelelehan, yang pada akhirnya akan memicu meningkatnya muka air laut,” kata anggota Panel Intergovermental Perubahan Iklim (IPCC) ini.

Irvan Pulungan, utusan Gubernur Jakarta untuk Mitigasi dan Perubahan Iklim benarkan, ada banyak faktor yang menjadikan pesisir Utara Jakarta kerap banjir rob belakangan ini. Selain ekstraksi air tanah masif, hampir 40% wilayah DKI berada di bawah muka air laut.

Penyebab lain, kata Irvan, peningkatan muka air laut yang melipattigakan ancaman tenggelamnya Jakarta saat ini. “Nah, salah satu yang dilakukan pemerintah Jakarta saat ini membuat kebijakan-kebijakan guna menekan agar ancaman itu tak terjadi. “

Tahun ini, katanya, Gubernur Jakarta menerbitkan peraturan Bomor 52 dan 57 tentang tarif air minum. Didalamnya, mengatur pemberian subsidi bagi pelanggan.

Menurut dia, kebijakan ini dibuat sebagai satu instrumen untuk menekan penggunaan sumur bor dan beralih ke air bersih yang disediakan pemerintah. Selain itu, sejak 2019, Pemprov Jakarta juga intens menggelar inspeksi guna memantau ketaatan pelaku industri terhadap izin penggunaan air.

Sebagai upaya mitigasi perubahan iklim atas meningkatnya air laut, Pemerintah Jakarta juga rajin membangun tanggul pantai. “Tetapi, fokus sementara kami adalah pada bagaimana penurunan muka tanah itu tidak terjadi.”

Gubernur juga baru menandatangani (Pergub) Nomor 90/2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon. Dokumen ini disebut Irvan yang pertama bagi daerah-daerah di Indonesia.

Salah satu poin paling penting dalam dokumen itu adalah komitmen pemprov mengurangi emisi 30% pada 2030. “Pergub ini juga mengatur tegas aksi adaptasi mitigasi yang akan mendorong pembiayaan untuk implementasi adaptasi berkelanjutan,” kata Irvan.

Selama ini, katanya, kebijakan pembiayaan terkait adaptasi perubahan iklim relatif lebih kecil ketimbang mitigasi.

Perubahan iklim merupakan permasalahan global yang perlu mendapat perhatian banyak pihak. Bukan hanya lintas sektoral, teritorial, bahkan lintas generasi. Masalahnya, dalam praktik, persoalan ini seolah-olah hanya jadi tanggung jawab sub bidang lingkungan hidup (DLH).

 

Banjir rob di Demak. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Atas dasar itulah, Pemprov Jakarta berinisiatif membentuk tim kerja lintas sektoral fokus terhadap penanganan dampak perubahan iklim.

Tim ini terdiri dari empat kelompok kerja (pokja)., yakni, Pokja Mitigasi, Pokja Adaptasi, Pokja Riset dan Teknologi, dan Pokja Partisipasi. Salah satu disusun adalah kebijakan soal zero ground water guna mencegah penurunan tanah tadi.

Pakar sistem informasi spasial dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Profesor Dewayany Sutrisno mengatakan, penelitian dampak perubahan ikim di Pantura Jawa sudah cukup banyak karena dampak lebih terasa ketimbang daerah lain.

Namun begitu, menurut Dewayany, perlu digarisbawahi apa yang terjadi di pantura tidak berdiri sendiri. Ada faktor manusia, lingkungan, iklim yang saling berkaitan. “Hanya, yang paling dominan adalah penurunan tanah tadi.”

 

Riset di Semarang

Pada Februari lalu, Konsorsium Ground Up terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil yaitu IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Amrta Institute dan KruHA penelitian mengenai akses dan risiko terkait air di Kota Semarang. Penelitian sejak Oktober 2020 hingga Januari 2021.

“Penelitian di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik, yaitu zona air tanah kritis, rentan dan aman. Akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir dan amblesan tanah. Metode yang digunakan survei dengan 319 responden di enam lokasi terpilih dilengkapi observasi lapangan dan studi literatur,” kata Nila Ardhianie, anggota konsorsium juga Direktur Amrta Institute for Water Literacy dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, dalam diskusi daring kala itu.

Selain Nila, ada Doktor Amalinda Savirani, Kepala Departemen Politik & Pemerintahan, Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lalu Profesor Margreet Zwarteveen, ahli Tata Kelola Air pada University of Amsterdam dan IHE Delft Institute for Water Education. Juga Doktor Michelle Kooy dari Departemen Sistem Air Terpadu dan Tata Kelola pada IHE Delft Institute for Water Education, juga Bosman Batubara merupakan Mahasiswa Program Doktor pada IHE Delft Institute for Water Education, serta Muhammad Reza Shahib, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat atas Air (KruHA).

 

Mesjid Layur, Semarang, terendam satu lantai. Kini, yang digunakan lantai dua, karena lantai pertama sudah terendam karena penurunan muka tanah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Para peneliti menyoroti terjadinya land subsidence atau penurunan muka tanah akibat pemanfaatan air tanah berlebihan. Fenomena amblesan tanah itu merupakan temuan pertama mereka, dari empat temuan lain selama penelitian.

Konsorsium menemukan, Semarang memiliki ketergantungan besar terhadap air tanah untuk kebutuhan sehari-hari, sebesar 79,7%. Dari besaran itu, sebanyak 48,6% pakai air tanah dalam (ATDm) dan 31,1% air tanah dangkal (ATDl).

Pemanfaatan ATDm secara komunal melalui program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) diinisiasi pemerintah. Sementara pengelolaan sumur oleh pengurus yang dibentuk di wilayah setempat yang sejak awal dikelola warga.

Para peneliti menemukan di wilayah yang sudah tersedia jaringan PDAM, para responden gunakan ATDm sebagai sumber air utama. Contoh, di Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Kangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah. PDAM pun masih pakai ATDm sebagai salah satu sumber air baku.

“Hubungan antara air tanah dengan banjir adalah kalau kita nyedot air tanah terlalu berlebihan akan terjadi perubahan di bawah tanah, terus terjadi ambles,” kata Nila.

Saat air tersedot terlalu banyak hingga tak seimbang dengan kemampuan air hujan masuk dan membentuk air tanah lagi, maka terjadi ambles. “Amblesan tanah itu berkontribusi cukup besar meningkatkan risiko banjir, baik karena air hujan deras hingga saluran-saluran yang ada atau sungai ada tidak bisa menampung, juga banjir karena rob.”

Nila menunjukkan beberapa bukti penurunan muka tanah di Kota Semarang. Misal, Masjid Layur, pada 1910, bangunan masjid dua lantai itu masih utuh. Sebuah foto kuno koleksi Tropen Museum, Belanda memperlihatkan bangunan masjid dua lantai, berikut tangga berundak di lantai satu masih terlihat jelas. Pada 2007, separuh bangunan lantai bawah sudah turun.

Ketika peneliti mengunjungi Masjid Layur, tahun lalu, seluruh bangunan lantai satu sudah tidak terlihat. “Seluruh lantai satu sudah tidak bisa dipakai. Bangunan yang tadinya dua lantai sekarang lantai dua menjadi lantai satu,” ujar Nila.

Pada bangunan mercusuar yang sekarang masih digunakan juga terlihat ambles. Sebuah plakat bertuliskan bahasa Belanda yang aslinya di atas pintu kini sejajar dengan tanah.

Mengutip tulisan Zeitoun dan Wakshal, selain pemanfaatan air tanah berlebihan, penyebab amblesan lain adalah pembebanan bangunan, kompaksi atau pemadatan tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala di Pelabuhan Tanjung Emas, yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut. Penyedotan air tanah berlebihan biasa menyebabkan terjadi amblesan tanah dalam skala luas, sedangkan pembebanan bangunan menyebabkan amblesan lebih lokal.

 

Tak cuma infrastruktur

Linda memaparkan, meski kebijakan infrastruktur seperti pembangunan rumah pompa, infrastruktur banjir kanal timur, berhasil mengurangi dampak curah hujan tinggi namun tatkala itu berlangsung berhari-hari, Semarang kembali banjir. Ini menunjukkan ada yang keliru dengan tata kelola air di Semarang.

“Kami berusaha memahami yang disebut dengan fenomena alam, aspek teknis dari isu banjir di Semarang, dengan aspek sosial. Jadi ada pendekatan yang saling berinteraksi. Kami berusaha pahami dan dalami, sebenarnya bagaimana tata kelola air bawah tanah dan air permukaan di Semarang,” katanya.

Menghubungkan peristiwa banjir Semarang dengan data yang mereka kumpulkan, memang ada ketergantungan warga Semarang dan banyak kota di Indonesia pada air bawah tanah untuk keperluan sehari-hari.

“Masalahnya ketika air bawah tanah disedot meninggalkan rongga di bawahnya, di sisi lain ada tekanan bangunan dari atas. Ditambah lagi di Semarang dari segi geologi, tanah di Kota Semarang sangat muda. Itu tiga faktor yang berpengaruh membuat penrunan muka tanah yang sangat tinggi di Indonesia, selain Jakara. Terakhir kajian penurunan muka tanah di Kota Semarang mencapai 19 cm per tahun,” kata Linda.

Aspek teknis itu oleh para peneliti digabungkan dengan aspek kebijakan, manusia yang melakukan kebijakan, dan apa dampaknya ke warga. Temuan di lapangan memperlihatkan memang banyak terjadi amblesan tanah, dan banjir di Kota Semarang terjadi karena banyak faktor. Bukan cuma karena cuaca ekstrem sebagaimana coba dijelaskan oleh beberapa pejabat publik.

“Selama ini pendekatan-pendekatan teknis dari kajian geologi atau yang terkait dengan penyediaan infrastruktur, menurut kami tidak cukup memadai karena ada faktor sosial juga. Bagaimana kebijakan diambil, apa yang jadi pertimbangan, siapa yang jadi prioritas. Hal-hal seperti itu yang menurut kami penting untuk diketahui publik, bahwa persoalan-persoalan ekologi Indonesia termasuk banjir di Kota Semarang, tidak hanya soal teknis bagaimana selesai dengan infrastruktur.”

Menurut dia, bencana banjir selama ini memperlihatkan ada keterbatasan dengan pendekatan parsial, misal, yang hanya mementingkan solusi infrastruktur tadi.

“Buktinya adalah saat dihajar hujan yang panjang sekali, berurutan, memberi dampak luar biasa. Ini menjadi keprihatinan kami semua. Kajian ini berusaha merefleksikan, seberapa sih. Apakah memang infrastrukur raksasa, atau giant infrastructure itu satu-satunya solusi dalam menangani persoalan-persoalan ekologis, seperti banjir.”

Bosman juga menyoroti proyek tol tanggul laut Semarang Demak yang dikampanyekan para pejabat sebagai solusi mengatasi dampak banjir.

“Amdal proyek itu saja tidak logis. Berdasar ilmu yang saya pelajari, penurunan tanah sebagai salah satu yang memperparah banjir tidak didiskusikan. Mengapa tidak mereview artikel-artikel yang sudah terbit bagaimana para ahli melihat amble tanah di Semarang?” katanya.

Dia menyayangkan, langkah pengambil kebijakan langsung meloncat ke solusi infrastruktur, tanpa kajian mendalam tentang berbagai penyebab banjir. Padahal, di sanalah muara persoalan. Proyek infrastruktur raksasa justru potensial menambah beban lingkungan.

Bosman juga menyoroti data yang bisa diakses publik minim terkait persoalan air. Dia membandingkan di negara seperti Belanda atau Belgia, seseorang bisa mengunduh data debit air, bahkan dari sungai kecil secara real time. Sebuah contoh sistem data base yang bagus, sekaligus menunjukkan kepedulian tinggi dari negara terhadap masalah air.

“Data hidrometeorologi di Indonesia, data satu aliran sungai, atau curah hujan di satu tempat di Indonesia secara real time ke mana kalau mau mencari?”

 

Banjir yang terjadi di Stasiun Tawang Semarang, pada 7 Februari 2021 lalu. Foto: Dok. Kominfo Jateng

 

“Kita mau tahu berapa jumlah sumur tanah dalam yang mengekploitasi air tanah dalam di Semarang, itu ke mana? Itu angka misterius. Tidak ada data yang dikeluarkan. Kalau kita tanya ke mereka, juga tahu itu bukan data kongkrit karena banyak orang tidak melaporkan.”

Temuan lain dari riset itu adalah dampak kepada warga yang tinggal di daerah dekat pantai makin tinggi. Responden yang tinggal di Mangkang Wetan, Randu Garut, Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan, paling banyak alami banjir, baik luapan sungai maupun rob.

Sebanyak 73,2% responden di Mangkang Wetan dan Randu Garut pernah mengalami banjir dan 40% alami rob.

Sedangkan, 96,2% responden di Terboyo Wetan dan Terboyo Kulon pernah mengalami rob. Separuh responden di Kelurahan Kuningan, Panggung Kidul dan Panggung Lor pernah mengalami banjir dan 37,5% rob.

Temuan selanjutnya, penduduk di dekat pantai menghadapi risiko lain terkait air yaitu kesulitan mendapat air bersih.

Kawasan dekat pantai seharusnya jadi prioritas layanan jaringan PDAM. Di lokasi penelitian dekat pantai yaitu Mangkang Wetan, Randu Garut dan Terboyo, justru belum terlayani PDAM. Sebagian besar, 98,8% responden di kawasan ini memperoleh air dari air tanah.

Temuan lain, perubahan tata guna lahan di Panggung Lor, Panggung Kidul dan Terboyo juga berperan meningkatkan risiko banjir. Semula kawasan ini merupakan daerah resapan air kini berubah menjadi perumahan dan industri.

Temuan terakhir, respon dominan terhadap banjir melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidraulik. Ini sudah dimulai sejak Belanda mulai meluruskan aliran Sungai Garang menjadi Banjir Kanal Barat pada 1850, diikuti pembangunan Banjir Kanal Timur di sisi kanan pada 1896.

Mega infrastruktur ini ditunjang pengoperasian pompa yang tersebar di banyak lokasi di Semarang. Setidaknya, ada 78 pompa di seluruh Semarang yang berfungsi pada 43 rumah pompa dengan kapasitas 83,620 m3 per detik.

Dari siret itu, Konsorsium Ground Up menyimpulkan, risiko terkait air di Semarang bagian integral dari beberapa faktor. Yaitu, lokasi berada di kawasan rendah dengan jenis tanah alluvial muda, kenaikan muka air laut, konsentrasi penduduk, dan aktivitas ekonomi.

Konsorsium berpendapat, pendekatan sekarang tidak lagi tepat dipakai sebagai pendekatan utama.

Para peneliti pun memberi rekomendasi hal-hal yang perlu dikembangkan untuk mengurangi risiko banjir di Semarang. Pertama, pengelolaan dari sisi permintaan melalui efisiensi penggunaan air.

Kedua, pemerintah perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah. Ketiga, pemanenan air hujan pada beragam skala.

Keempat, pengembangan sistem peringatan dini. Kelima, demokratisasi infrastruktur, yaitu mencari alternatif-alternatif infrastruktur dengan prinsip meninggalkan mega infrastruktur yang terpusat dan biasa dipaksakan dari ‘atas ke bawah’, pindah ke infrastruktur lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari “bawah ke atas”.

Terkait desentralisasi pengelolaan banjir yang berbasis warga, mereka menemukan inisiatif warga di Semarang Selatan di Gunung Pati. Warga membangun sumur resapan dengan cara arisan.

Lindah bilang, perlu sebanyak mungkin mendorong pendekatan penyelesaian masalah baik dari negara maupun warga. “Memang skala kecil, tidak seraksasa infrastruktur seperti giant sea wall atau Tol Tanggul Laut Semarang Demak, polder, atau yang lain. Tapi kalau ini difasilitasi akan mendorong ownership dan partisipasi tinggi dari warga.”

 

Banjir rob terjadi di Tegal. Foto: BNPB
Foto utama:  Rumah warga di Demak terkena banjir rob. Sebagian warga tetap bertahan, sebagian memilih pindah. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version