Mongabay.co.id

Rekahan dan Gerakan Tanah di Area Terdampak Gempa Mengancam Warga

 

Gempa berpusat di Karangasem, Bali pada 16 Oktober 2021 menyebabkan kerusakan signifikan padahal magnitude tidak terlalu besar, 4,8 dengan kedalaman dangkal 10 kilometer di darat.

Dampak di Karangasem adalah 1 orang meninggal, 9 luka berat, 115 luka ringan, dan 1992 bangunan rusak. Sedangkan di Bangli ada 2 meninggal, 3 luka berat, 5 luka ringan, dan 420 bangunan rusak.

Titik perhatian pada tingkat kerentanan bangunan yang berdampak pada keselamatan penghuninya.

Sejumlah peneliti mengkhawatirkan dampak susulannya karena mulai masuk musim hujan. Kalau ada rekahan di zona pascagempa akan meningkatkan potensi risiko gerakan tanahnya.

Hal ini dibahas dalam konferensi pers update gempa bumi Bali pada Jumat, 22 Oktober 2021 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam pertemuan daring.

Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan bukan gempa yang membunuh tapi bangunan yang tidak tahan gempa. Kurangnya standar keamanan bangunan di kawasan rawan gempa bumi di Indonesia mendorong pembangunan rumah tahan gempa.

Tantangan lain, pihaknya belum bisa bisa memisahkan mana korban gempa dan longsor. Dijadikan satu dengan kejadian utamanya, yakni gempa.

baca : Gempa Bumi Dangkal karena Longsoran, Sedikitnya 3 Warga Meninggal

 

Rumah warga yang runtuh di Desa Ban. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

I Made Rentin, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali mengatakan total perkiraan kerugian material hampir Rp67 miliar. Delapan titik longsoran di ruas jalan utama ke tiga desa yang terisolasi di sekitar Gunung Abang, Kintamani sudah dibersihkan. Namun jalan utama akses desa ini belum dibuka untuk umum karena masih ada risiko longsor lain. Akses logistik bantuan ke desa ini menggunakan perahu lewat Danau Batur.

Dua posko bantuan dan tanggap darurat adalah Dermaga Kedisan di Kabupaten dan Kantor Desa Ban untuk Kabupaten Karangasem. Fase tanggap darurat selama sepekan di Karangasem diperpanjang sampai 30 Oktober. Sedangkan untuk Bangli 27 Oktober.

Opsi relokasi bagi rumah-rumah warga di area potensi bencana tinggi sudah jadi wacana lama, namun menurutnya warga menolak. “Warga tidak bersedia pindah dan ada keterbatasan lahan,” katanya. Contoh sebelumnya adalah relokasi korban banjir bandang dilakukan ke tanah negara.

Daryono, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan gempa bumi yang terjadi adalah gempa tektonik. Ada 3 susulan gempa bumi pada saat peristiwa yakni M3,8, lalu 2,7, dan 2,1.

“Ini menariknya, kami mencurigai ini gempa residual stres, tersimpan lalu terlepas lagi. Gempa yang terjadi jenis dangkal akibat sesar aktif Gunung Agung dan Batur. Sesar ini termasuk minor. Kecil tapi kenapa merusak?” tanyanya. Ia menyimpulkan karena kedalaman sangat dangkal dan bangunan di sekitar gempa tidak sesuai standar. Endapan lunak mengaplikasi dampak gempa akibat efek topografi perbukitan sehingga memicu longsor dan reruntuhan batu.

“Jangan ditempati dulu, karena berbahaya,” harapnya pada warga yang rumahnya mengalami kerusakan. Apalagi nanti jika hujan deras bisa memicu longsor. Gempa ini memicu dampak ikutan seperti longsoran dan reruntuhan batu. Terlebih dari pemantauan ada beberapa tempat yang tanahnya sudah merekah dan tidak stabil.

Makin curam tebing maka ketidakstabilan tinggi. Analisis gempa sebelumnya pada September-November 2017 ada gempa swarm di antara Gunung Agung-Batur, magnitude terbesar 4,2. Berikutnya ada gempa dengan M4,9. Akibatnya ada slip atau pergeseran batuan.

baca juga : Mewaspadai Gempa dan Longsor Susulan di Area Terdampak Gempa Bumi Bali

 

Rumah rusak di Karangasem, Bali akibat gempa bujmi. Foto : BPBD Bali

 

Dari sejarah kegempaan, Bali mengalami hal berulang. Gempa dahsyat 22 November 1815 mengakibatkan banyak lereng bukit longsor dan menelan korban jiwa. Rekahan tanah menyebar termasuk memotong Danau Tamblingan dan mengakibatkan banjir besar. Berikutnya gempa 21 Januari 1917, sekitar 1.500 orang meninggal dan 80% karena longsoran gempa. Lalu pada 14 Juli 1976 Gempa Seririt 14 Juli 1976 mengakibatkan likuifaksi, juga pergeseran tanah dan longsoran dengan 559 korban jiwa dan lebih dari 30 ribu rumah rusak.

Upaya mitigasinya, masyarakat di pegunungan tengah Bali disarankan membangun bangunan tahan gempa dengan bahan ringan seperti bambu. Berikutnya memperhatikan geologi tata lingkungan berbasis risiko gempa misalnya tidak membangun di area terjal.

Agus Budianto Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menganalisis pergerakan tanah di area longsoran yakni bebukitan di Desa Trunyan dengan sedikitnya 8 titik longsor besar.

Morfologi Gunung Abang adalah tangkapan air, kaldera termuda dari letusan Gunung Batur. “Secara kasat mata, meyakinkan mengkhawatirkan,” ujarnya. Area ini sudah sering longsor karena gempa atau lainnya. Peta potensi gerakan tanah memberikan tanda peringatan merah, kuning, hijau terkait probablilitas kejadian longsor dan saat diguncang gempa. Daerah Kintamani potensinya menengah-tinggi. Sering terjadi gerakan tanah lama, yang dipicu hujan dan gempa sehingga bisa longsor.

Dari peta topografi bebukitan sangat terjal, aliran air ada di mulut lembah walau kering. Potensial jadi aliran bahan rombakan dan banjir bandang. “Wilayah ini sudah terbuka, perlu mitigasi berkelanjutan misalnya memasang tanda longsor,” kata Agus.

Sedangkan dari faktor geologi, jika material hanya lava akan relatif kuat. Namun endapan sudah lepas, dilapisi lava dengan retakan. Rekomendasinya, titik merah adalah potensi tinggi gerakan tanah. Karena kejadian berulang, yang harus dilakukan jika rekan tanah sudah terbuka tidak lagi penanaman pohon, apalagi lereng curam. Pemukiman di area ini perlu dipindahkan, karena potensial berulang. “Jangan ada pemukiman di mulut lembah dan lereng kaldera,” tambah Agus.

Warga diminta menjauhi jalur terbuka, waspada hujan, dan menjaga kestabilan lereng. Bangun kewaspadaan dengan tanda-tanda peringatan longsor, membuat jalur evakuasi, dan pemantauan curah hujan. Ancamannya dinilai sudah permanen di wilayah ini.

baca juga : Siaga Bencana, Bali Diapit Dua Sumber Gempa Bumi

 

Rumah yang rusak akibat gempa bumi. Fot : BPBD Bali

 

Sebagai solusi, Fauzan dari Universitas Andalas menyarankan perbaikan rumah atau pembangunan kembali dengan konsep rumah tahan gempa.

Perkuatan rumah masyarakat yang sudah diujicoba menggunakan ferrocment layer (kawat anyam dilapisi semen mortar). Klinik Rumah Tahan Gempa sudah mempraktikkan pasca gempa Sumatera Barat pada 2009 yang mengakibatkan 124 ribu rumah rusak berat dan ringan.

Tantangannya saat itu saat pemulihan adalah kesulitan tukang dan bahan. Bantuan pun tidak sekaligus, bertahap selama 3 tahun. Banyak rumah rusak dibiarkan tak dibangun karena warga takut tak diberi biaya pemerintah. Saat itu jumlah bantuan yang diberikan tak memadai, dan pengetahuan tukang lokal membangun rumah tahan gempa terbatas.

Rumah yang retak-retak tidak harus dibongkar karena selama masih berdiri maka bisa diperbaiki dan diperkuat sehingga mampu menahan beban gempa. Solusi rumah dengan perkuatan kawat ayam ini diyakini karena sudah diuji di meja getar dengan gempa kuat. Menurut Fauzan, biaya perbaikan lebih murah 30% dibanding perkuatan besi.

 

Aplikasi Kawat Anyam

Jika retak kecil, area yang dibobok sekitar 50 cm, kupas plesterannya dan isi retakan dengan air campur semen berbanding 1:3 lalu plester dan diaci kembali.

Namun retak besar, lebarnya lebih 5 mm makan perlu dipasang kawat anyam. Aplikasinya mirip, kupas plesteran, dan bagian retak isi dengan spesi 1:3. Kemudian pasang kawat anyam, beri paku seng, lalu diplester. Modalnya adalah kawat anyam galvanis, harga rata-rata Rp15 ribu/meter persegi dan paku seng.

Pengujian untuk mengukur seberapa kuat kawat anyam dilakukan dengan meja getar. Dari ujicoba, rumah yang diperbaiki dengan model kawat anyam ini tidak mengalami kerusakan ketika kena gempa sebesar beban gempa Kobe. Fauzan juga bekerja sama dengan profesor dari Jepang untuk ujicoba model ini. “Kalau bata dibungkus kawat anyam, 10 kali lipat lebih kuat dibanding bangunan bata murni,” sebutnya.

Untuk menguatkan, rumah juga perlu perkuatan sistem bandage (tiap pojokan) dengan kawat anyam. Jika biaya sedikit, menurutnya tidak perlu aplikasi keseluruhan tembok, bisa perkuat satu kamar saja. Misalnya di kamar utama sebagai antisipasi saat gempa tidak rubuh.

Ia mencontohkan perkuatan SD Negeri 13 Batu Gadang di Kota Padang yang diperkuat dengan kawat anyam. Biaya disebut lebih murah 30% dibanding bangun baru. Waktu pelaksanaan sekitar 3-4 bulan.

baca juga : Belajar Mitigasi Bencana Dari Refleksi 200 Tahun Gempa Dahsyat di Bali  

 

Dua rumah terkubur di lokasi tewasnya 2 korban gempa bumi Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ia menyarankan memperbaiki rumah yang rusak dengan mandiri dahulu, perkiraan biaya Rp5-10 juta, kalau sistem bandage lebih mahal sekitar Rp15-20 juta untuk rumah tipe 45. Rumah yang tidak sesuai standar konstruksi menurutnya harus diperkuat dengan sistem bandage di bagian sudut bangunan, bukaan pintu serta jendela.

Faktor utama banyaknya rumah rubuh walau gempa tidak terlalu besar adalah bangunan didesain tidak sesuai standar. Kalau bangunan tembok tanpa tulang, minimum ketebalannya 30 cm, sering dikurangi untuk efisien biaya jadi 15 cm. Tulangannya juga harus standar diameter 10-12 cm. Walau ada struktur besi, tapi tulangan geser jaraknya jauh, diameter tidak sesuai standar.

 

Exit mobile version