Mongabay.co.id

Klaim ‘Hijau’ Rencana Penyediaan Listrik 2021-2030, Apa Kata Mereka?

Cerobong PLTU Cilacap yang mengeluarkan asap pembakaran batubara lepas ke udara bebas. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Menjelang pertemuan iklim (Conference of the Parties/COP) 26 di Glasgow, Scotlandia, Pemerintah Indonesia tampak ingin menunjukkan komitmen iklim, salah satu lewat sektor energi dengan merilis rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim lebih ‘hijau’. Benarkah lebih ‘hijau’?

Adila Isfandiari, peneliti Greenpeace Indonesia mengatakan, meski porsi PLTU batubara lebih sedikit dibanding RUPTL 2019 bukan berarti Indonesia terlepas dari ketergantungan terhadap batubara.

Ada 39 PLTU batubara baru dengan kapasitas 13,8 gigawatt atau 34% dari total pembangkit baru yang akan dibangun pada 2021-2030. “Atau 43% dari kapasitas PLTU eksisting saat ini,” katanya.

Dengan kata lain, Indonesia harus berhadapan dengan masalah emisi karbon selama 25-30 tahun ke depan. Pada 2050, Indonesia juga menargetkan capai nol emisi.

Selain itu katanya, kebijakan ini juga bertentangan dengan rekomendasi global antara lain, rekomendasi PBB untuk hentikan pembangunan PLTU baru setelah 2020. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC ) juga merekomendasikan menutup 80% PLTU eksisting dan phase out dari batubara sebelum 2040.

Penambahan energi terbarukan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) ini tercatat 51,6% atau 20,9 gigawatt.

“Kita apresiasi PLTS lebih banyak dari RUPTL sebelumnya, namun tantangannya juga harus membangun energi terbarukan dua kali lipat dari sekarang,” katanya.

Saat ini bauran energi terbarukan baru 12,5% dan pada 2025 harus 23%. “Cukup jauh ya gap-nya,” kata Dila.

Kalau melihat lima tahun terakhir, kapasitas penambahan energi terbarukan hanya 2 gigawatt. Untuk mencapai 23% perlu 10,6 gigawatt. Jadi, Indonesia perlu membangun energi terbarukan lima kali lebih cepat dari sekarang.

Skenario rendah karbon dalam RUPTL, katanya, masih bertumpu pada PLTA skala besar dan geothermal (PLTP), untuk penambahan energi terbarukan pada 2025. Masalahnya, kata Dilla, kedua jenis energi terbarukan ini seringkali tertunda pembangunan baik karena masalah eksplorasi, untuk geothermal, maupun masalah lingkungan, sosial, atau penolakan masyarakat. Jadi, katanya, ada risiko tak bisa capai target karena penundaan ini.

Greenpeace pun mengusulkan, pemerintah mempertimbangkan energi terbarukan lain seperti surya dan angin dengan pembangunan lebih cepat, sumber daya melimpah serta harga makin murah.

Catatan Greenpeace, penambahan PLTS masih minim dan dari perkiraan, perkembangan cenderung stagnan setelah 2025, hanya bertambah 0,1% menjelang 2030. Secara keseluruhan energi terbarukan juga stagnan setelah 2025, hanya 24,8% pada 2030.

Kondisi ini, katanya, masih jauh dari rekomendasi IPCC, minimal 50% energi terbarukan pada 2050 agar Indonesia tetap pada jalur tepat mencapai target 1,5 derajat celcius.

 

 

Baca juga: Rencana Penyediaan Listrik 2021-2030 Lebih Hijau, Benarkah?

Batubara yang diangkut dengan tongkang melalui jalur air. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Tambah over supply

Dengan dominasi batubara, mencapai 59,4% atau dua kali porsi energi terbarukan, penambahan PLTU baru kelak akan menambah kelebihan pasokan (over supply), hingga 90% di Jawa dan Sumatera. Praktis, kondisi ini akan menambah beban keuangan PT PLN karena mayoritas PLTU milik independet power producer (IPP) yang menggunakan skema take or pay, dimana listrik yang dihasilkan, dipakai atau tidak, tetap harus dibayar PLN.

Data 2020, over supply mencapai 55% di Sumatera dan Jawa-Bali 46,8%.

Rencana PLN mempensiunkan PLTU juga baru bisa setelah 2060, menurut Carbon Tracker, biaya pengoperasian PLTU eksisting setelah 2030 akan lebih mahal dibanding membangun PLTS baru. Hal itu, katanya, karena aturan lingkungan makin ketat seperti carbon tax dan pemasangan carbon capture storage (CCS) yang mahal, selain karena harga batubara terus naik.

Belum lagi, berhadapan dengan harga energi terbarukan yang makin murah, katanya, dan risiko stranded asset bagi PLTU yang akan dibangun.

Dalam RUPTL bisa terlihat, kata Dila, pada 2059 porsi batubara tetap besar sekitar 38%. Kebijakan berupa pemasangan CCS pada 76% PLTU akan menambah biaya pembangkitan. Begitupun co-firing atau campur biomasa dengan batubara pada 52 PLTU. Saat ini, 32 PLTU saja perlu 8-14 juta ton biomassa pertahun.

“Ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana pemerintah menjamin bahan baku sangat besar dalam waktu singkat?” kata Dila.

Belum lagi, katanya, ada target iklim global harus dipenuhi Indonesia, yakni nol emisi dan 50% bauran energi terbarukan pada 2030.

Dila mengingatkan, tak membangun PLTU baru saja Indonesia masih belum bisa mencapai target 50% energi terbarukan pada 2050. Dengan tak membangun PLTU baru dan mengganti, misal dengan PLTS akan membantu Indonesia mencapai 27% bauran energi terbarukan pada 2050. Meskipun masih jauh dari target, katanya, minimal Indonsia bisa on track menuju target iklim global.

Indonesia, katanya, juga harus betul-betul mempersiapkan transisi energi menghindari krisis energi seperti terjadi di Eropa, dengan kepastian regulasi untuk iklim investasi lebih baik.

“Harus bikin RUPTL hijau yang sebenarnya.”

 

Baca juga: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan Matahari

Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

Tak konsisten

Andi Prasetyo, peneliti Trend Asia, mengatakan, dalam RUPTL baru porsi energi fosil masih besar, dan menunjukkan inikonsistensi pemerintah soal pembatalan proyek PLTU yang pernah disebutkan PLN.

Trend Asia menemukan, ada 25 PLTU baru skala kecil (kurang 50 megawatt) terkendala baik teknis maupun kelayakan, dipaksakan dibangun dan masuk RUPTL. Ada beberapa PLTU besar ‘parkir’. Maksudnya, tetap masuk dalam RUPTL namun tak disebutkan tanggal commercial operation date (COD) dan diberi keterangan “menyesuaikan dengan kebutuhan sistem.”

Padahal sebelumnya, saat mengumumkan target nol emisi Indonesia 2060, PLN sempat menyatakan tak akan meneruskan PLTU yang terkendala dan belum memiliki pendanaan (financial close).

RUPTL ini, katanya, tak cukup ‘hijau’ karena masih memberikan penugasan untuk mempercepat fast track program (FTP) 1 dan 2, dan program 35 gigawatt yang didominasi PLTU. Besarnya over supply, menurut Andri, tak menjadi evaluasi serius bagi pemerintah.

Trend Asia juga menemukan, pembangkit dengan status masih power purchase agreement (PPA) dalam RUPTL masih muncul dan punya target COD antara lain, PLTU Jambi I dan II dan PLTU Sumbagsel yang pernah dinyatakan presiden akan dibatalkan karena belum ada pendanaan.

Mestinya, tak hanya membatalkan PLTU yang belum ada pendanaan, pemerintah berani membatalkan PLTU yang sudah financial close karena tak menguntungkan secara bisnis dan lingkungan.

Sampai 2029, akan ada tambahan kapasitas PLTU baru 13,8 gigawatt. Dengan begitu akan ada penambahan 86,9 juta ton emisi tiap tahun, atau setara total emisi karbon tiap tahun Nigeria.

Sorotan lain, pemerintah masih prioritas PLTU mulut tambang 3,3 gigawatt di Sumatera yang masuk dalam proyek strategis. Padahal, kata Andri, PLTU mulut tambang biaya lebih tinggi dibandingan PLTU non-mulut tambang karena invetasi transmisi besar untuk menyalurkan listrik ke pusat beban.

PLTU mulut tambang juga menyebabkan potensi kehilangan pendapatan negara karena pemberlakukan royalti nol persen bagi perusahaan tambang yang melakukan nilai tambah terhadap batubara. Meskipun pakai batubara kalori rendah pada PLTU dinilai tak memberi nilai tambah apapun.

Alih-alih menjalankan PLTU tepat waktu, operasional pembangkit seringkali melebihi masa berlakunya, seperti PLTU Suralaya sudah beroperasi sekitar 35 tahun.

“Pemerintah malah memperpanjang umur tekno ekonomis PLTU yang ke depan berpotensi membuat Indonesia sebagai negara yang bisa mengagalkan target Perjanjian Paris.”

Dia berkesimpulan, pembangunan PLTU baru merugikan sejak awal, karena bisa menunda pencapaian target nol emisi. Kalau pensiun lebih awal harus mengeluarkan kompensasi.

 

Sumatera Selatan, jadi provinsi percontohan pengembangan energi terbarukan. Daerah ini sudah mulai bangun pembangkit energi terbarukan, antara lain pembangkit biomassa dari sekam padi dan energi surya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, PLTU kecil juga berada di daerah yang jauh dari sumber batubara. Dengan begitu, katanya, ada ongkos membawa batubara ke PLTU kecil ini yang sebagian berada di timur Indonesia seperti Sumbawa Barat dan Roten Dao.

Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyayangkan, Indonesia sebetulnya bisa menawarkan nature based solution dalam COP 26, malah akan menurunkan kredibilitas dengan terus membangun PLTU termasuk mulut tambang.

Pada level daerah, Gubernur Jambi, misal sudah menolak pembangunan PLTU Jambi I dan II.

“(PLTU) Jambi I dan II berpotensi mengalami peningkatan biaya yang diteruskan ke konsumen,” kata Pius. Dalam RUPTL baru, kedua PLTU ini kembali muncul.

Pembangunan PLTU mulut tambang di Sumatera, katanya, meningkatkan laju kerusakan hutan dan keragaman hayati (kehati).

Padahal, katanya, Indonesia sedang ‘promosi’ solusi mitigasi iklim berbasis alam dengan biaya paling murah dan paling banyak menyerap emisi dibanding pengurangan teknologi buatan.

Catatan AEER, Indonesia negara nomor tiga terkaya kehati di dunia. Setelah Papua, Sumatera menjadi daerah nomor dua paling kaya. Kalau PLTU baru tetap dibangun, di Nagan Raya misal, akan memicu konflik antara manusia dengan gajah.

“PLTU mulut tambang memberi nyawa bagi sumber daya batubara kualitas rendah di Sumsel,” kata Pius.

Dengan PLTU mulut tambang, batubara kalori rendah yang semula tak laku di pasar internasional jadi punya nilai tambah.

Di balik kebijakan ini, katanya, merugikan lingkungan dan masyarakat Indonesia.

Sebagai bagian dari negara G20, kata Pius, Indonesia harus mengedepankan nature based solution untuk negosiasi iklim agar dapat dukungan internasional dan hak warga untuk lingkungan bersih bisa tercapai. “Ini yang harus diperjuangkan pemerintah Jokowi (Presiden Joko Widodo) dalam COP.”

 

 

 

*****

Foto utama: RUPTL 2021-2030 hijau? PLTU masih andalan. Foto: Tommy Apriando

Exit mobile version