Mongabay.co.id

Ubi Hutan, Tumbuhan Kaya Manfaat di Kawasan Ekosistem Leuser

 

 

Ubi hutan [Dioscorea hispida Dents] atau dalam Bahasa Aceh disebut janeng, merupakan jenis tanaman yang masuk kategori umbi-umbian. Tumbuhan merambat yang dikenal luas dengan nama gadung ini, banyak tumbuh di hutan Aceh, termasuk di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

Ubi hutan, meski mengandung racun, jika diolah dengan benar akan menjadi makanan kaya karbohidrat. Pejuang-pejuang Aceh yang bertahan di hutan saat melawan penjajah Belanda, memanfaatkannya sebagai makanan pokok, pengganti nasi.

Masyarakat Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, masih mengolah ubi hutan untuk bahan baku kue dan makanan ringan.

Samar Kilang merupakan Ibu Kota Kecamatan Syiah Utama, yang dalam kondisi normal [tidak hujan], ditempuh sekitar empat jam dari Simpang Tiga Redelong, Ibu Kota Kabupaten Bener Meriah.

“Janeng banyak tumbuh di hutan, tidak kami tanam khusus di kebun. Kalau butuh, kami ambil saja,” ungkap Amirah, perempuan asal Samar Kilang yang giat mengolah ubi hutan untuk bahan kue, Minggu [17/10/2021].

Baca: Ubi Hutan Ini Beracun Tetapi Banyak Manfaat

 

Ubi hutan atau gadung merupakan tumbuhan yang memiliki manfaat, asalkan benar mengolahnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Amirah mengatakan, janeng tidak bisa langsung dimakan, harus diolah beberapa hari sebelum dijadikan bahan makanan. “Kalau langsung dimakan bisa keracunan kita.”

Mengolah janeng butuh waktu beberapa hari. Buahnya diambil, dikupas dan ditaburi garam.

“Lalu dimasukkan ke karung dan direndam selama tiga hari, di sungai yang airnya mengalir. Setiap pagi dikeluarin dari karung dan diperas.”

Berikutnya dijadikan bahan makanan, keripik maupun tepung, lalu dijemur. “Banyak jenis kue yang bisa dibuat dari tepung janeng, termasuk sebagai bahan utama cendol,” terang Amirah.

Baca: Madu Kelulut dan Kelestarian Hutan Leuser

 

Masyarakat Aceh menyebut ubi hutan ini janeng. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan penelitian La Ode Aman berjudul “Efektifitas Penjemuran dan Perendaman dalam Air Tawar untuk Menurunkan Kandungan Toksik HCN Ubi Hutan [Dioscorea hispida Dennst]” Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo, glikosida sianogenik pada ubi hutan bersifat toksik dan dapat terhidrolisis sehingga membantuk asam sianida [HCN]. Kandungan HCN dapat berkurang bahkan hilang bila dilakukan melalui pengeringan di bawah sinar matahari dan perendaman di air tawar.

Berdasarkan penelitian ini, pengeringan dengan sinar matahari efektif menurunkan kadar sianida sebesar 48,28 persen. Sementara, dengan perendaman dapat menurunkan kadar sianida sekitar 68,24 persen.

Baca juga: Ada Gairah Budidaya Jernang di Kaki Leuser

 

Tidak sembarang mengolah ubi hutan ini, harus direndam dan dijemur terlebih dahulu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Makanan utama 

Kepala Desa Kerlang, Kecamatan Syiah Utama, Syam mengatakan, janeng merupakan makanan utama pejuang Aceh saat bergerilya melawan tentara Belanda, sebelum Indonesia merdeka. Umbi-umbian ini juga pernah dikonsumsi masyarakat Samar Kilang saat gagal panen, karena kemarau pada 1970-an.

“Meskipun janeng saat ini merupakan makanan selingan seperti kue, tapi tepungnya pernah menjadi makanan utama masyarakat Samar Kilang. Saat itu, padi gagal panen dan untuk mengakses daerah luar sangat sulit, karena masih jalan setapak,” ungkapnya.

 

Bagi masyarakat Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, ubi hutan diolah sebagai bahan baku kue dan makanan ringan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Syam mengatakan, tahun 1970-an, untuk keluar dari Samar Kilang ke Pondok Baru, Kabupaten Bener Meriah, butuh waktu lebih lima hari jalan kaki. Sementara, menuju Kabupaten Aceh Utara, butuh waktu beberapa hari dengan menyusuri sungai dengan rakit.

“Akses sangat sulit, ketika kemarau, masyarakat Samar Kilang saat itu hanya bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka sebagai makanan utama. Salah satunya adalah janeng.”

Menurut Syam, saat itu masyarakat Samar Kilang menjadikan janeng sebagai makanan utama selama empat bulan lebih.

“Kami baru bisa makan nasi kembali setelah padi panen, karena padi yang biasanya disimpan habis semua,” ujarnya.

 

Inilah makanan berbahan dasar ubi hutan hasil olahan masyarakat Samar Kilang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dian Islami, Project Officer Yayasan Katahati di Banda Aceh mengatakan, ubi hutan sebenarnya bisa dimanfaatkan masyarakat Samar Kilang untuk meningkatkan ekonomi. Tanaman ini tumbuh sendiri di hutan dan termasuk dalam hasil hutan bukan kayu [HHBK].

“Kami tengah membantu masyarakat Samar Kilang agar bisa memanfaatkan tanaman ini guna meningkatkan perekonomian mereka. Salah satunya, untuk mengalihkan mata pencaharian masyarakat Samar Kilang yang sangat tergantung pada kayu di hutan Leuser,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version