Mongabay.co.id

Gugatan Perusahaan Sawit ke Pemerintah Sorong, HuMa Ajukan Sahabat Peradilan

 

 

 

 

Sidang gugatan tiga perusahaan sawit kepada Pemerintah Kabupaten Sorong, berlangsung tiap pekan. Setelah beberapa minggu sempat berlangsung online, sejak 18 Oktober lalu kembali offline di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Kini, sidang sudah memasuki pemeriksaan saksi, seperti pada Senin (1/11/21). Sebelum itu, Perkumpulam HuMa Indonesia (HuMa) mengajukan sahabat peradilan (amicus curiae) ke PTUN Jayapura.

Gugatan ini bernomor perkara 29, 30, 31, dan 32. Perkara nomor 29/G/2021/PTUN.JPR dari PT Inti Kebun Lestari (IKL) kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Sorong atas pencabutan izin lokasi. Gugatan nomor 30/G/2021/PTUN oleh perusahaan sama terhadap Bupati Sorong atas keputusan pencabutan izin lingkungan dan izin usaha perkebunan (IUP).

Untuk gugatan nomor 31/G/2021/PTUN dan 32/G/2021/PTUN berturut-turut oleh PT Sorong Agro Sawitindi (SAS) dan PT Papua Lestari Abadai (PLA) terhadap Bupati Sorong atas keputusan pencabutan izin lokasi, izin lingkungan, dan IUP.

SAS dan PLS berada dalam satu grup Mega Masindo. Keduanya gunakan pengacara sama dalam perkara ini. Ada Juhari, M. Yasin Djamaluddin, dan Iwan K. Niode.

Untuk semua perkara, bupati dan Kepala Dinas PMPTSP Sorong menggunakan sembilan pengacara antara lain, Nur Amalia, Petrus P. Ell, Abdul Rahman Upara, H. Rahman Ramli, Winarso, Muslim, Lardin, Ivonia S. Tetjuari, dan Hendrik Nanimindei.

 

Baca juga: Cerita Pemilik Ulayat Setelah Bupati Sorong Cabut Izin Perusahaan Sawit

 

Nur Amalia, mengatakan, untuk gugatan SAS dan PLA, Bupati Sorong ajukan masing-masing 21 surat bukti. Bukti-bukti itu antara lain, SK Bupati Sorong soal pencabutan izin lingkungan, izin lokasi, dan IUP. Bukti lain yang penting, kata Amalia, adalah kop surat perusahaan yang menyatakan alamat mereka di Jalan Gunung Tidar.

“Faktanya, waktu kami pengecekan dan Pemkab Sorong mengantarkan surat ke sana untuk menyampaikan undangan, kantor kosong. Kami temui kepala RT, RT mengatakan, tidak ada kantor SAS dan PLA di alamat itu.”

Bukti lain, struktur pengurus sama dalam akta SAS dan PLA yang melanggar aturan tentang anti monopoli. Ada juga dokumen-dokumen seperti Instruksi Presiden tentang Moratorium Sawit, dan Deklarasi Manokawari. Ada juga Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), dan pembentukan tim evaluasi di tingkat Sorong. Pernyataan dukungan dari masyarakat adat di lokasi izin juga masuk dalam pembuktian ini.

Muslim, pengacara Pemkab Sorong mengatakan, secara substansi gugatan ini menyoal tiga hal, yaitu, kewenangan, prosedur, dan substansi keputusan. Tiga hal ini yang akan jadi fokus para pengacara dalam melakukan pembuktian. Sah atau tidak keputusan, katanya, tergantung pada kewenangan dan prosedur.

“Bupati termasuk Kepala Dinas Penanaman Modal punya kewenangan mengeluarkan surat keputusan. Karena itu secara kewenangan tidak ada soal alam perkara ini.”

Dia bilang, evaluasi di level provinsi maupun kabupaten dengan pembentukan tim khusus oleh bupati untuk mengevaluasi semua izin sawit di Kabupaten jadi bukti bahwa prosedur sudah dilalui.

Dari segi substansi, katanya, ada banyak alasan bisa jadi bukti kalau keputusan pencabutan ini sudah tepat.

“Termasuk dukungan-dukungan dari masyarakat yang menunjukkan, bahwa perusahaan ini memang bermasalah.”

Catatan Yayasan Pusaka pada 2015 menunjukkan, Grup Mega Masindo milik Mr Ting Ting Hung atau Mr Hung, punya bisnis, mulai dari kayu, tambang, hingga pelayaran. Perusahaan ini banyak beroperasi di wilayah selatan Papua seperti Merauke, Timika, Kaimana, Teluk Bintuni hingga Sorong.

IUP kedua perusahaan ini terbit masa Bupati Stephanus Malak. PLA dapat izin melalui SK Bupati Sorong No. 503/529 tahun 2013 seluas 15.631 hektar. SAS melalui SK Bupati No. 503/730 tahun 2013 seluas 40.000 hektar.

Baca juga: Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat

Aksi masyarakat mendukung keputusan Bupati Sorong, mencabut izin perusahaan sawit sebagai hasil dari evaluasi perizinan menyeluruh. Foto: Asrida Eliabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, kebijakan mencabut izin ini rekomendasi hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat yang berlangsung sejak 2018. Gubernur Papua Barat di bawah koordinasi Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, memimpin evaluasi ini.

Berbagai instansi pemerintah baik kabupaten, provinsi maupun kementerian dan lembaga di tingkat nasional terlibat, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perusahaan-perusahaan juga diundang untuk menyerahkan data dan menginformasikan perkembangan izin mereka.

Benidiktus Hery Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Papua Barat, menyatakan, proses evaluasi ini berhasil mengumpulkan data izin sawit di Papua Barat.​​

“Jadi, sebelum evaluasi perizinan, data itu nggak jelas ada di mana. Pelan-pelan kita kumpul sampai lengkap, kita evaluasi,” katanya saat berdialog dengan wartawan 18 September lalu secara daring.

Ada 24 izin sawit dengan luas 576.090,84 hektar yang dievaluasi. Dari hasil evaluasi itu, Tim merekomendasikan pencabutan izin 10 perusahaan, empat ada di Sorong.

Hery Wijayanto menyatakan, selain tidak memenuhi satu pun kewajiban dalam IUP, SAS dan PLA sama sekali tidak beraktivitas di Kabupaten Sorong.

“Di provinsi itu ketika kita mengevaluasi, saya cari siapa sih yang bisa dihubungi di perusahaan ini, baru dapat nomor kontak, ya karena dievaluasi baru mereka memberikan data. Tapi kantornya tidak ada. Tiba-tiba setelah ada gugatan ini kok ada kantornya gitu.”

Dia meyakini, hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat sudah sesuai aturan. Keputusan Pemerintah Sorong mencabut izin ketiga perusahaan juga dinilai tepat. Apalagi, merupakan bagian dari Inpres Moratorium Izin sawit di Papua Barat. Inpres ini bertujuan memperbaiki tata kelola sawit dan meningkatkan produktivitas.

 

Baca juga: Izin Dicabut, Perusahaan Sawit Gugat Hukum, Pemerintah Sorong Banjir Dukungan

Seratusan warga masyarakat adat Moi dari tiga Distrik di Kabupaten Sorong, yaitu Distrik Klaso, Saengkeduk dan Distrik Persiapan Selekobo melakukan aksi menolak perkebunan sawit di perempatan jalan masuk ke ibukota Distrik Klaso. Foto: Agus Kalalu

 

Amicus Curiae

Mendukung keputusan bupati dan Kepala Dinas PMPTSP Kabupaten Sorong, Perkumpulam HuMa Indonesia (HuMa) mengajukan sahabat peradilan (amicus curiae) ke PTUN Jayapura. HuMa jadi lembaga masyarakat sipil pertama yang mengajukan amicus curiae dalam empat perkara ini.

Amicus curiae merupakan istilah latin berarti sebagai friend of the court atau sahabat peradilan. Amicus curiae diajukan seseorang yang bukan merupakan pihak terlibat dalam suatu perkara di suatu proses peradilan dan tak memiliki hubungan atau kepentingan dengan pihak yang bersengketa.

HuMa adalah lembaga yang fokus pada isu pembaharuan hukum bidang sumberdaya alam dengan menekankan pada pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alam, keragaman sistem sosial/budaya dan hukum dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, dan memelihara kelestarian ekologis.

Dalam dokumen amicus curiae, HuMa menyampaian pertimbangan pengaturan perolehan hak atas tanah dalam usaha perkebunan. Hal ini berdasarkan argumen tergugat dan penggugat.

Sebagai tergugat, Bupati Sorong dan Kepala Dinas PMPSP mencabut izin karena perusahaan-perusahaan ini tidak memenuhi persyaratan dalam izin lokasi dan tidak melaksanakan kewajiban dalam IUP.

Dalam gugatan, perusahaan-perusahaan ini berdalil atas dasar putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian UU No. 39/2014 tentang Perkebunan. Di mana mereka belum bisa berusaha perkebunan karena belum memperoleh hak atas tanah.

HuMa menyampaikan empat pendapat. Pertama, bahwa tidak ada aturan mengenai jangka waktu perolehan hak atas tanah, setelah perusahaan memperoleh izin lokasi. Semua Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN yang mengatur izin lokasi sepanjang rentang waktu izin lokasi perusahaan-perusahaan ini terbit tidak mengatur jangka waktu perolehan HGU.

Kedua, tidak ada mengenai jangka waktu perolehan hak atas tanah, setelah perusahaan memperoleh IUP. Semua peraturan Menteri Pertanian yang mengatur IUP sepanjang rentang waktu IUP perusahaan-perusahaan ini terbit tidak mengatur jangka waktu perolehan HGU.

Ketiga, dalam perkara ini, ketiga perusahaan belum memiliki hak atas tanah dalam hal ini hak guna usaha (HGU). Adapun SAS dan PLA baru mengajukan permohonan HGU. Permohonan itu hanyalah satu tahap dalam proses memperoleh sertifikat.

Keempat, ada kewenangan dan diskresi pemerintah daerah. Bupati dan Kepala Dinas PMPTSP mencabut izin ini tidak terlepas dari tanggungjawab dalam melaksanakan UU.

UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bupati dan Kepala Dinas PMPTSP menjalankan tanggungjawab antara lain, melaksanakan aspirasi rakyat Sorong, menerapkan prinsip tata pemerintahan bersih dan baik.

Selain itu, ada kekosongan peraturan yang mengatur tentang batas waktu antara terbit izin lokasi maupun IUP sampai terbit HGU. UU No. 30/2014 mengatur kewenangan pejabat untuk mengeluarkan diskresi. Diskresi adalah keputusan dan,atau tindakan yang ditetapkan dan,atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan.

“Dalam perkara a quo, para penggugat belum memiliki hak atas tanah. Ada ketiadaan atau kekosongan hukum mengenai jangka waktu perolehan hak atas tanah, setelah perusahaan memperoleh izin lokasi dan IUP. Dengan alasan ketiadaan hukum ini, maka para tergugat memiliki kewenangan mengeluarkan diskresi dengan menerbitkan obyek perkara a-quo,” sebut kesimpulan akhir dokumen amicus curiae HuMA.

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Pemukiman di Distrik Segun, Sorong. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama: Hutan alam di pinggir Kali Segun, Sorong, bakal terancam kalau ada perusahaan sawit masuk. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version