Mongabay.co.id

Kasus di Wadas dan Keseriusan Komnas HAM

Suasana di Balai Desa Wadas. Foto: Gempadewa

Suasana Balai Desa Wadas pada Jumat, 23 April 2021. Foto : Dok Gempadewa.

 

 

“Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon, Hubbul Wathon minal Iman. Wala Takum minal Hirman, Inhadlu Alal Wathon, Indonesia Biladi, Anta Unwanul Fakhoma, Kullu May Ya’tika Yauma, Thomihay Yalqo Himama.”

Begitulah penggalan lirik mars yang dikumandangkan pada saat setiap pertemuan-pertemuan warga di Desa wadas yang membuat lebih bersemangat dalam perjuangan dan rasa haru menyelimuti.

Perjuangan rakyat Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, belum berakhir. Sekitar empat tahun ini warga berupaya mempertahankan ruang hidup dan sumber kehidupan di tanah leluhur mereka dari galian tambang untuk material Bendungan Bener.

Seperti 28 September lalu, panas matahari menyengat seakan tak wadon Wadas rasakan. Baju merah yang mereka kenakan berarti berani dalam perlawanan. Wadon Wadas duduk di halaman mesjid menunggu kedatangan Komnas HAM untuk investigasi ke Desa Wadas. Ini tindak lanjut audiensi yang dilakukan secara daring. Ini salah satu upaya dari sekian banyak usaha yang wadon Wadas lakukan.

Dalam budaya patriarki perempuan atau bahasa Jawa adalah wadon, dianggap sebagai manusia kelas nomor dua. Wadon diartikan sebagai suatu entitas dalam masyarakat dengan eksistensi dianggap tidak terlalu penting atau hanya pelengkap.

Simone de Beauvoir dalam buku,”Le Deuxieme Sexe atau The Second Sex,” menyampaikan, secara eksplisit kalau perempuan tak punya hak atas diri atas tubuh dan pikiran, bahkan kesantunanpun harus menyesuaikan keinginan lingkungan dan komunitas. Lebih jauh lagi dalam hal ini perempuan seolah tak punya “kehadiran” karena yang memberi “makna” adalah laki-laki. Penempatan perempuan sebagai manusia kelas nomor dua yang terjadi cukup lama dan masih mapan hingga kini bukan suatu alamiah. Hal ini dikontruksikan oleh sistem budaya patriarki.

 

Baca juga: Warga Wadas Bertahan, Tolak Penambangan buat Proyek Bendungan Bener

Wadon Wadas sedang berkumpul. Foto: SP Kinasih Yogyakarta

 

Kontruksi budaya patriarki juga dialami wadon Wadas. Namun dalam persoalan yang tengah dihadapi masyarakat Wadas ini, bisa terlihat betapa besar peran perempuan dalam mempertahankan hak atas penghidupan mereka.

Saat investigasi Komnas HAM di Wadas, wadon Wadas berada di garis terdepan. Begitupan dengan pos-pos penjagaan yang dibuat masyarakat Wadas– di tempat-tempat penting untuk menjaga tanah mereka—pada perempuan yang banyak berjaga. Mereka sambil membesek (menganyam) seraya menjaga anak-anaknya.

Dalam UUD 1945 Pasal 28 A menjelaskan, setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupan. Dalam konteks ini, tidak ada yang salah dalam perjuangan rakyat Wadas sebagai warga negara. Mereka seharusnya mendapatkan hak seperti tercantum UUD 1945 Pasal 28 A. Itu hak dasar setiap warga negara.

Pendiri bangsa, Soekarno, pernah berujar, “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Ungkapan ini sama dengan perjuangan yang dilakukan warga Wadas. Mereka bukan melawan penjajahan pemerintah kolonial tetapi negara-bangsa sendiri yang memiliki watak kolonialisme.

Rencana pertambangan batuan andesit di Desa Wadas, sebagai penyuplai bahan material pembangunan Bendungan Bener telah meneror warga selama bertahun-tahun. Dalam perjuangan mempertahankan ruang hidup dan sumber kehidupa ini, warga Wadas merasakan asam dan pahit perjuangan. Satu peristiwa, tindakan represif aparat terhadap warga Wadas pada 23 April 2021.

Peristiwa ini berdampak trauma bagi warga Wadas, terkhusus perempuan dan anak-anak yang saat itu menjadi korban dan menyaksikan tindakan represif aparat. Trauma belum pulih akibat kejadian April lalu, warga Wadas kembali dalam suasana ketakutan dua pekan lalu, yang dipicu aparat kepolisian berseragam dan membawa senjata lengkap lalu lalang di Desa Wadas, dengan kedok berpatroli, membagi sembako dan masker. Secara implisit tindakan aparat ini menakut-nakuti warga.

 

Baca juga: Warga Wadas Tolak Pengerukan Bukit untuk Proyek Bendungan Bener

Warga protes pengerukan bukit untuk bangun bendungan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Tentu dalam konteks penolakan tambang ini sudah banyak upaya baik litigasi maupun non litigasi ditempuh warga Wadas, seperti pengaduan dan audiensi ke Komnas HAM. Komnas HAM melakukan investigasi atau pemantauan langsung ke lapangan serta meminta keterangan dari warga wadas pada 28 September lalu.

Namun, proses investigasi Komnas HAM terkesan terburu-buru dan kurang mendalam pada aspek-aspek yang seharusnya diperhatikan. Komnas HAM hanya investigasi dalam dua jam di Desa Wadas. Padahal, komplekstitas dampak dan risiko warga Wadas kalau pertambangan batuan andesit dilakukan sangat krusial, terutama hak kehidupan aman dan hak asasi tak terlanggar. Seharusnya, inilah yang digali lebih dalam oleh Komnas HAM. Dan tak bisa hanya dalam waktu singkat alias dua jam.

UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan, tugas dan wewenang Komnas HAM. Dalam Pasal 89 Ayat 3 menyatakan, Komnas HAM melakukan penyusunan laporan hasil pengamatan. Tak heran kalau muncul pertanyaan data apa yang akan disusun Komnas HAM kalau waktu investigasi sangat singkat.

Ataukah investigasi sekadar formalitas? Keseriusan kerja Komnas HAM pada persoalan tambang quarry di Desa Wadas menjadi tanda tanya besar. Berharap, investigasi kilat ini menghasilkan rekomendasi besar yang selama ini dituntut warga, yaitu, menolak Desa Wadas jadi lokasi penambangan quarry. Panjang umur perjuangan!

 

*Penulis: Ari Surida dari Pengorganisasian SP Kinasih Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Baca juga: Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)

Unjuk rasa warga Wadas beberapa waktu lalu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

*******

Foto utama: Suasana Balai Desa Wadas, 23 April lalu. Foto: Gempadewa.

 

Exit mobile version