Mongabay.co.id

Kajian Ini Perlihatkan Potensi Energi Terbarukan Indonesia Jauh Lebih Besar

 

 

 

 

Indonesia memperbarui komitmen nationally determined contribution (NDC) untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris menyiratkan upaya pemerintah kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim yang mengancam kehidupan rakyat.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan kesempatan untuk transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi lebih besar,” katanya.

Manfaat ekonomi dapat dirasakan masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru hingga dapat menyerap tenaga kerja lebih besar. Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan lebih murah serta udara lebih bersih.

Ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris juga akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celcius.

Indonesia, kata Fabby, perlu punya peta potensi teknis energi terbarukan yang komprehensif untuk mendukung transisi energi menuju pemanfaatan 100% energi terbarukan dan mencapai Indonesia bebas emisi pada 2050.

Data potensi teknis energi terbarukan Indonesia saat ini masih merujuk pada rencana umum energi nasional (RUEN) sebesar 443,2 GW, belum diperbarui sejak 2014.

“Data RUEN juga jauh lebih rendah dari potensi energi terbarukan sesungguhnya,” kata Fabby.

 

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni

 

Data potensi energi terbarukan yang tidak optimal akan mempengaruhi cara pandang, strategi dan pembuatan keputusan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Kesalahan ini, katanya, akan membuat pemerintah dan pelaku usaha tak optimal merencanakan transisi energi dan formulasi kebijakan untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan.

“Pemutakhiran data jadi sangat penting dalam merencanakan transisi energi Indonesia.”

Dalam kajian terbaru yang rilis Oktober lalu, “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potentials”, IESR menggunakan GIS untuk memutakhirkan data potensi teknis surya, angin dan air.

Dengan mempertimbangkan masalah variabilitas dan sifat intermitensi ketiga jenis energi terbarukan itu, IESR juga mengkaji potensi biomassa serta penyimpanan daya hidro terpompa (pumped hydro energy storage/PHES).

Hasilnya, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES.

Dari dua skenario, untuk PLTS baik atap, ground mounted dan terapung terdapat potensi 6.749,3 gigawatt pada skenario 2 dan 7.714,6 gigawatt untuk skenario 1. Untuk PLTA mikro dan kecil dengan kapasitas kurang dari 10 megawatt, potensinya berada antara 6,3 gigawatt dan 28,1 gigawatt untuk kedua skenario.

Kajian ini juga menghitung potensi PLTB darat. Hasilnya, dengan skenario I untuk ketinggian 50 meter ada 106 gigawatt dan 88 gigawatt untuk ketinggian 100 meter. Sedangkan, skenario II dengan ketinggian 50 meter potensi mencapai 25 gigawatt dan 19,8 gigawatt pada ketinggian 100 meter. Biomassa dari limbah tanaman dan kayu memiliki potensi 30,73 gigawatt.

Menurut kajian ini, biomassa dan PHES dapat sebagai sumber-sumber pelengkap untuk mengatasi masalah intermitensi dan variabilitas dari energi surya, angin, air.

“Hasil hitungan kami menunjukkan potensi biomassa mencapai 30,73 gigawatt, namun efisiensi hanya 20-35% hingga memerlukan PHES,” kata Handriyanti Diah Puspitarini, Peneliti Senior IESR yang menulis kajian ini.

Sebelumnya, kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia oleh IESR telah publikasi Mei lalu memproyeksikan, kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 gigawatt pada 2050. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan listrik tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nol emisi pada 2050.

Kontribusi utama bisa dari 1.492 gigawatt pembangkit listrik tenaga surya atau 88% dari bauran energi primer, 40 gigawatt tenaga air, dan 19 gigawatt panas bumi dan didukung dengan kapasitas storage (penyimpanan) optimal.

Kajian terbaru IESR ini juga memuat data potensi teknis surya, angin, air, biomassa dan PHES secara rinci di 34 provinsi di Indonesia. Data ini dapat digunakan pemerintah pusat dan provinsi untuk lebih gencar promosi dan kembangkan energi terbarukan terdesentralisasi sesuai potensi terbesar, namun saling terhubung antar pulau dan provinsi untuk menyeimbangkan pasokan energi.

Melalui kajian ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah, pertama, memperbaiki data potensi energi terbarukan yang jadi acuan perencanaan di sektor energi dan pembangunan, dan tinjauan berkala seiring makin matang teknologi energi terbarukan.

Kedua, pemerintah maupun para ahli perlu melengkapi peta potensi teknis dengan analisis singkat mengenai intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan, termasuk prediksi kondisi di beberapa tahun ke depan.

Ketiga, pemerintah dan pemangku kepentingan juga harus mulai mempertimbangkan pengembangan sistem terdesentralisasi dan koneksi antar pulau sebagai cara untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan yang dapat diakses masyarakat di seluruh pulau, terutama daerah terpencil.

Keempat, pemerintah perlu memberi dukungan lebih pada berbagai inovasi teknologi energi terbarukan hingga membuka peluang pemanfaatan potensi energi terbarukan yang besar.

 

PLTU Labuhan.  SUmber energi terbarukan besgitu besar, mengapa terus bergantung energi batubara? Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Ruang bagi energi terbarukan

Saat ini, rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 masih memperlihatkan bauran listrik energi terbarukan masih kecil yaitu hanya 24,8% pada 2030. Artinya, sepanjang 2025-2030, kenaikan bauran energi terbarukan hanya 1,8%. Angka ini jauh lebih kecil dari target kenaikan bauran dari 2021 ke 2025 sebesar 8%.

“Seharusnya, bauran energi terbarukan pada 2030 bisa lebih tinggi mengingat harga energi terbarukan tahun itu diprediksi lebih kompetitif ketimbang energi fosil,” kata Pamela Simamora, Koordinator Riset IESR.

Untuk itu, perlu ada upaya menurunkan kapasitas pembangkit energi fosil hingga membuka ruang lebih besar bagi pembangkit energi terbarukan masuk dalam sistem ketenagalistrikan.

Dengan kata lain, penurunan kapasitas pembangkit termal harus diikuti pengembangan energi terbarukan. Dengan kebutuhan ini, energi terbarukan pada 2022-2025, idealnya 25-30 gigawatt dan terakselerasi jadi 45– 50gigawatt dari 2025-2030, seiring rencana pensiun dini PLTU.

Andriyah Feby Misnah, Direktur Bioenergi Dirjen EBTKE mengatakan, KESDM saat ini juga sedang pemutakhiran potensi energi terbarukan melalui Puslitbang Teknologi Ketenagalistrikan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE) KESDM.

Total kapasitas energi terbarukan pada 2060 diubah jadi 635 gigawatt, saat ini baru terserap 10 gigawatt.

Hariyanto, Kepala P3TKEBTKE, menilai kajian poteni energi terbarukan IESR hampir sejalan dengan pemutakhiran KESDM kecuali untuk pemanfaat energi angin dan surya.

Potensi energi samudera saat ini mencapai 17,9 gigawatt, panas bumi 23,9 gigawatt, bioenergy 177,6 gigawatt, bayu 154,9 gigawatt (on shore dan off shore), hidro 94,6 gigawatt dan surya 189-3294,4 gigawatt.

“Jika IESR hanya menghitung PLTB off shore, kita juga memasukkan on shore.

Untuk bioenergi, data dihitung dari lahan kritis di seluruh Indonesia dengan total 54,6 juta hektar dan akan menghasilkan 145 gigawatt listrik.

Untuk hidro yang sebelumya 75 gigawatt, terbaru dengan metode curah hujan didapat angka 94 gigawatt.

“Ini sudah dikonfirmasi dengan data bendungan dan potensi bendungan yang akan dibangun hingga 2024.”

Untuk surya berbeda dengan kajian IESR. KESDM punya lima skenario yang menimbulkan optimisme kalau energi surya cukup memadai mencapai target NZE 2060. Angkanya, tak sebanyak IESR.

Djoko Siswanto, Sekjend Dewan Energi Nasional (DEN) meminta kajian-kajian ini didorong agar dimanfaatkan pemerintah daerah dalam menyusun rencana umum energi daerah (RUED).

Catatam DEN, dari 34 provinsi sudah ada 22 yang punya Perda RUED yang mencantumkan berbagi energi, baik fosil dan non fosil.

 

******

Foto utama: Panel surya yang dibangun di pulau kecil sekitar Kota Batam, dan dikelola komunal. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version