Mongabay.co.id

Hutan Mangrove Petengoran, Sarana Edukasi Lingkungan di Lampung

 

 

Kawasan ekowisata Hutan Mangrove Petengoran, Desa Gebang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, selalu ramai dikunjungi ketika akhir pekan. Letaknya tidak jauh, hanya sekitar 23 kilometer dari Kota Bandar Lampung.

Pengunjung dapat menikmati pemandangan menawan sembari duduk di gazebo. Atau, berjalan keliling, melintasi jalur kayu yang telah disediakan.

Ekowisata ini dikelola kelompok Pelestari Mangrove Petengoran dan Badan Usaha Milik Desa [BUMDes] Makmur Jaya. Sang ketua, Toni Yunizar, menjelaskan ekowisata seluas 113 hektar tersebut sudah dilegalkan berdasarkan Peraturan Desa No. 1 Tahun 2016.

“Hasil pemetaan awal 118 hektar. Tetapi, di tahun 2014 ada pemekaran desa, hasilnya sekitar 5 hekar berada di luar kawasan Desa Gebang,” kata Toni, Minggu [03/10/2021].

Toni mengatakan, ekowisata mangrove ini awalnya tidak direncanakan. Jalur tracking yang dibuat, tadinya digunakan sebagai akses pelestarian mangrove, agar mudah menjangkau titik-titik tertentu.

“Dulu kalau ke sini, harus lumpur-lumpuran. Sekarang sudah bisa berpakaian rapi. Saat diunggah di media sosial, ternyata banyak yang tertarik,” terang lelaki yang juga Direktur BUMDes Makmur Jaya.

Baca: Krakatau yang Selalu Menarik untuk Diteliti

 

Ekowisata Hutan Mangrove Petengoran yang berjarak 30 menit dari Bandar Lampung, banyak disambangi pengunjung pada akhir pekan. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Toni terbuka bagi pengunjung yang mau bertanya mangrove. Mereka yang datang, diharapkan tidak hanya menikmati keindahan alam, tetapi ikut memahami fungsi mangrove bagi kehidupan.

“Pariwisata itu efek, terpenting kita menjaga mangrove agar menjadi sarana edukasi.”

Awalnya, pelestarian mangrove dilakukan karena adanya penyakit malaria di Desa Gebang. Bahkan, Kecamatan Padang Cermin dikategorikan sebagai zona merah, tahun 2011. Hal itu dipicu karena banyak tambak terlantar yang menjadi tempat berkembang nyamuk.

“Mangrove dirusak, sementara tambaknya tidak langsung digunakan. Sehingga, terjadilah genangan-genangan air.”

Ketika melestarikan mangrove, kendala tetap menerpa. Sebab, masih banyak masyarakat yang merusak. Untuk itu, perlu dilakukan pemanfaatan agar masyarakat ikut menjaga.

“Tidak bisa berharap agar masyarakat sadar sendiri. Kita bisa hentikan kalau mereka dapat manfaat dari sisi yang lain,” jelasnya.

Selain berguna bagi lingkungan, kawasan ekowisata mangrove ini juga menyerap pekerja. Ada 38 karyawan. Tugasnya beragam, dari membantu mengelola pojok kuliner hingga menunggu lahan parkir.

“Semua karyawan kami ambil dari desa,” katanya.

Toni dan kelompoknya sempat membuat aneka produk olahan dari mangrove. Namun, tidak dilanjutkan karena kendala pemasaran. “Pernah dibuat kopi, dodol, dan sirup, tapi masih sulit karena tidak boleh pakai pengawet.”

“Saya harap, tempat ini bisa memberikan yang terbaik, terutama kesejahteraan warga.”

Baca: Hazman dan Kepeduliannya Mendirikan Taman Hutan Mikro

 

Hutan Mangrove Petengoran menawarkan pemandangan yang asri dan nyaman untuk bersantai. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Nurjana, Koordinator Pojok Kuliner, menyatakan ekowisata ini memiliki nilai dari segi ekonomi. Selain kuliner, dijual pula hasil pembibitan mangrove.

Alhamdulillah, pendapatan bertambah. Tadinya saya sibuk di sawah, sekarang kegiatan banyak di sini,” katanya.

Semoga, ekowisata makin ramai dan pengunjung sadar pentingnya pelestarian. “Warga makin solid, mangrove terjaga hingga anak-cucu.”

Muhammad Allabus Royan, seorang pengunjung, mengaku mengetahui ekowisata ini dari media sosial. Dia dan teman-temannya sengaja datang untuk refreshing di akhir pekan.

“Penasaran juga, karena jadi sorotan. Semoga, tempatnya selalu terkelola baik dan mendongkrak pariwisata lingkungan Lampung,” ujarnya, baru-baru ini.

Baca: Ramah Lingkungan, Anggraeni Percaya Diri Kembangkan Ecoprint di Lampung

 

Petugas kebersihan mengambil sampah untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Ekosistem mangrove bagi lingkungan

Nama “Petengoran” diambil dari jenis tanaman mangrove yaitu tengar [Cerriops zippeliana], tetapi masyarakat sekitar lebih sering menyebutnya tengor. Jenis- jenis mangrove yang ada seperti bakau kecil [Rhizophora stylosa], bakau minyak [Rhizophora opiculata], bakau kurap [Rhizophora mucronata], api-api [Avicennia sp], dan tentu saja tengar.

Dr. Rahmat Safe’i, Dosen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, menjelaskan bahwa ekosistem mangrove merupakan tumbuhan yang berada di zona pasang surut dan sepanjang garis pantai. Untuk itu, setiap zonasi perlu dibedakan jenis yang ditanam.

“Vegetasi tiap zonasi berbeda, tergantung habitat hidupnya,” terangnya, Selasa [12/10/2021].

Daerah yang paling dekat laut, lanjut dia, biasanya ditumbuhi Avicennia sp. Selanjutnya Rhizophora sp, lalu Bulgeria sp. Zona terakhir ditanami Nypa atau tanaman palem lain.

“Hutan mangrove di Lampung sepertinya sulit menemukan yang zonasinya sesuai,” kata Doktor bidang kesehatan hutan.

Rahmat banyak meneliti kesehatan hutan di Provinsi Lampung. Menurut risetnya, ada korelasi positif antara tingkat kesejahteraan, kesehatan, gizi masyarakat, dan pendidikan terhadap kesehatan hutan mangrove. Jika masyarakat sejahtera dan gizinya baik, kesehatan hutan mangrove akan bagus.

“Masyarakat merasa, mangrove bagian dari hidup mereka.”

Hutan mangrove memiliki banyak manfaat, antara lain fungsi perlindungan, ekologis, serta sosial dan ekonomi.

“Fungsi ekonomi menghasilkan produk bagi masyarakat. Hutan mangrove sebagai mitigasi bencana bisa meredam ombak yang tinggi, bahkan ombak empat meter bisa berkurang hingga satu meter.”

Baca: Cinta Mati Herawati pada Kupu-kupu di Taman Gita Persada

 

Toni Yunizar Direktur BUMDes Makmur Jaya, Desa Gebang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, menunjukan jenis-jenis mangrove melalui papan informasi. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Rahmat membenarkan, langkah awal masyarakat Desa Gebang melestarikan mangrove didorong karena wilayah itu endemis malaria. Wabah bisa meningkat dengan terdegradasinya hutan mangrove. Akibatnya, populasi Anopheles sp [nyamuk malaria] tidak terkendali.

“Bila kualitas dan kapasitas mangrove buruk akan menimbulkan masalah kesehatan. Karena fungsi ekologisnya, sebagai tempat bersarang burung, berbagai biota laut, dan habitat nyamuk. Kalau mangrove dirusak, ada kemungkinan nyamuk ke permukiman masyarakat.”

Untuk itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam pelestarian mangrove. Dalam pengelolaannya, dapat digunakan sistem silvofasery atau menggabungkan antara budidya perikanan dan penghijauan.

“Dapat juga disinergikan antara tambak dengan mangrove agar menjawab dua sisi kepentingan, pelestarian dan pemanfaatan.”

Baca: Inilah Kambing Saburai, Kekayaan Genetik Asli Lampung

 

Toni Yunizar menunjukkan bibit mangrove hasil semai kelompokknya. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Edarwan, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung, menyatakan perlunya pemanfaatan mangrove yang mendatangkan penghasilan bagi warga sekitar. Namun, tanpa melupakan kelestarian.

“Saya melihat ekowisata sebagai pendekatan ekonomi untuk perlindungan lingkungan. Social benefit itu harus ada. Jadi, kita ambil jalan tengah,” tuturnya, pada 24 Agustus 2021 lalu.

 

* Chairul Rahman ArifMahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Tertarik menulis isu lingkungan.

 

 

Exit mobile version