Mongabay.co.id

Berusaha Jaga Kelestarian Kali Progo, Warga Jomboran Terjerat Hukum

 

 

 

 

 

Sapoy mencoba mengingat-ingat kapan surat pemanggilan dari polisi itu dia terima.

“Sekitar 8 atau 9 Oktober,” katanya.

Surat bertanggal 7 Oktober 2021 itu diantarkan petugas pos ke rumahnya, di Jomboran, Sendangagung, Minggir, Sleman di Yogyakarta. Surat itu berkop Kepolisian RI, DI Yogyakarta, Resor Sleman. Surat ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sleman, dan ditembuskan ke beberapa orang, antara lain kepada dirinya dan Iswanto, rekan di Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP).

Pada 7 Januari lalu, Polres Sleman menerima laporan dari Pramudya Afgani, pengusaha yang diketahui memiliki izin usaha pertambangan pasir dan batu di Desa Sendangmulyo dan Sendang Agung. Polres Sleman pun menindak lanjuti. Sejumlah warga dipanggil dimintai keterangan termasuk Sapoy.

Belakangan kasus naik ke tahap penyidikan. Mulai penyidikan untuk kasus tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan seperti tertera dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sapoy bersama warga yang tergabung dalam PMKP selama ini gigih mempertahankan kelestarian alam sungai yang jadi sumber air Yogyakarta dan Jawa Tengah itu.   Mereka khawatir sungai rusak.

“Sejak Februari-Maret ada 18 warga dipanggil oleh Polres Sleman. Pasal yang dituduhkan adalah tindak kekerasan terhadap orang dan barang, serta menghalang-halangi aktivitas penambangan,” kata Sapoy yang punya nama asli Engfat Jonson Panorama 25 Oktober lalu.

Dia kecewa dengan sangkaan itu karena semua pasal tak sesuai dengan fakta lapangan. Di Kantor Walhi Yogyakarta, Sapoy menerangkan tindak kekerasan terhadap orang dan barang itu tidak ada.

“Soal menghalang-halangi, kami aksi unjuk rasa di lokasi tanah kami sendiri. Kenapa pasal-pasal ini masih bisa mereka gunakan tanpa didukung bukti-bukti?” katanya heran, dalam jumpa dengan awak media Oktober lalu.

Sesuai keterangan dalam surat panggilan kepolisian, ada dugaan tindak pidana bersama-sama di muka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang atau penghasutan atau pemaksaan. Kejadiannya Senin 28 Desember 2020 pukul 11.00. Kala itu, sejumlah warga protes dan membentangkan spanduk karena aktivitas penambangan dianggap menggangu, mengancam kelestarian sungai dan rumah mereka.

“Kenapa kami menolak, karena sejak awal dari proses perizinan sudah tidak transparan. Tidak ada sosialisasi terhadap warga, cacat administrasi atau maladministrasi, ada dugaan pemalsuan dokumen sosialisasi.”

Perusahaan menyatakan ada sosialisasi, katanya, padahal dilakukan di dusun lain. “Mencatut beberapa warga kami. Artinya, mereka sudah pemalsuan data warga kami dari Jomboran. Itu sudah kita laporkan ke Polda, sampai sekarang tidak tahu proses sampai di mana.”

Sapoy bilang, sudah pernah menanyakan dan menyampaikan keberatan soal penambangan ini mulai dari kelurahan hingga pemerintah provinsi. Termasuk ke kepolisian, instansi atau badan yang terkait perizinan pertambangan. Sayangnya, hingga kini belum ada kejelasan bahkan mereka kerap dipojokkan.

 

Alat berat menaikkan batu. Foto: dokumen PMKP

 

Dua tambang

Iswanto, Ketua PMKP, mengatakan, saat ini ada dua perusahaan menambang di Jomboran yakni, PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) dan Pramudya Afgani.

“Tempat kami mau ditambang dari atas dan bawah. Yang dari atas CMK, bawah Pramudya Afgani. Dari dua PT itu banyak kejanggalan. Kami warga Jomboran cuma mempertanyakan kenapa bisa menambang di wilayah kami, katanya mereka sudah mengantongi izin.”

Saat itu, katanya, ada pemberitahuan kalau mereka akan menambang pasir dan batu di Padukuhan Jomboran, Nanggulan, dan Sawo di Kelurahan Sendangagung.

“Jadi, di tempat kami hanya pemberitahuan. Intinya, pada Senin mereka akan turun ke bawah penambangan. Lho kok bisa tidak ada sosialisasi.”

Merasa ada kejanggalan, warga pun berinisiatif mencari informasi terkait proses izin penambangan. Mereka mendapatkan bukti ada dokumen yang dimanipulasi.

“Ada beberapa warga kami yang dipalsukan tanda tangan. Tidak datang musyawarah tapi ada tanda tangan. Kasus itu pun sudah kami laporkan ke Polda Yogyakarta, pada 11 Januari 2021, sampai saat ini belum ada tindak lanjut.”

Salah satu perusahaan penambang, katanya, beralibi sosialisasi sudah dilakukan di Dukuh Prapak Kulon, di Kelurahan Sendangmulyo dan dihadiri Lurah Sendangmulyo dan Sendangagung.

“Itu katanya sudah ada sosialisasi di Prapak Kulon yang dihadiri lurah R Heru Prasetyo Wibowo. Bukti tanda tangan juga ada. Kenapa Pak Lurah Sendangagung itu tanda tangan saat ada rapat di Padukuhan Prapak Kulon. Padahal, waktu pertemuan itu lurah dari Sendangmulyo sendiri juga hadir tapi tidak tanda tangan.”

Iswanto tidak habis pikir, mengapa baik pemerintah desa maupun penegak hukum tidak berpihak kepada mereka.

“Sebagai warga masyarakat disuruh mengawasi dan menjaga lingkungan. Kenapa melaporkan ada pengrusakan justru kami dikriminalisasi? Itu salah satu keheranan kami dan teman-teman PMKP.”

Mereka hingga kini gigih berjuang mempertahankan lingkungan jangan sampai rusak hanya gara-gara kepentingan perusahaan.

Konflik pertambangan antara warga dengan penambang di Sungai Progo sudah terjadi sejak 2017. Masyarakat menolak pertambangan karena khawatir dampak buruk terhadap lingkungan. Penolakan berasal dari warga Dukuh Jomboran, Wiyu, dan Pundak Wetan.

Jono, warga Jomboran, menceritakan, sebelum ada penambangan wilayah mereka tenteram dan damai. Sejak alat-alat berat masuk ketenangan warga terusik.

“Penambang kadang-kadang melanggar janji. Penambangan jam lima harus berhenti, tapi kadang sampai jam tujuh, sampai malam. Padahal, dekat sana ada mushola, saat maghrib kok tidak berhenti dulu. Menghargai lingkungan dan sekitarnya.,” katanya seraya bilang, penambangan selain bising juga menganggu anak kecil, dan orang tua yang sakit.

 

Sumur mulai kering. Foto: dokumen PMKP

 

Alat berat juga menggerus tebing di kanan kiri sungai. Dampaknya, beberapa sumur warga mengalami penurunan debit air bahkan ada yang kering. Pemilik sumur beberapa kali harus memperdalam sumur mereka demi bisa mendapatkan air bersih.

”Sampai tiga kali kita mendalamkan sumur, sekarang asat (kering) lagi. Ada buktinya itu. Masih sekitar 2,5 bis beton itu nggandul. Yang seharusnya warga tidak beli air bersih untuk minum sekarang beli air untuk minum.”

Jono khawatir penggerusan tebing berdampak pada rumah-rumah warga di atasnya. Dia pun menanyakan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi longsor.

“Tanah dikeruk kedalaman lima meter, nanti longsor lebih lima meter kanan kiri. Kalau ini tidak dihentikan akan melebar ke permukiman. Saat banjir akan sangat terasa.”

Rumah Jono dekat bantaran sungai dan merasakan kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan memasak. Uang kompensasi yang dijanjikan pun tak kunjung turun.

“Kita ini butuh sarapan, tidak butuh harapan. Orang sehari-hari butuh makan, butuh minum, tapi mau minum saja air harus membeli.”

Dia bilang, setelah ada tambang, ambil air jauh . Warga dengan rumah paling bawah ada yang mengambil air sejak pukul 3.00 sudah ambil air.

Jono bilang, penolakan atas penambangan mendapat intimidasi dan ancaman tetapi dia tidak takut.

“Mari kita bersama-sama berjuang demi kebenaran. Demi melestarikan alam. Jangan sampai alam kita dirusak oknum yang tidak bertanggungjawab. Negara ini negara hukum, yang seharusnya dilindungi, dilestarikan, ini malah dirusak.”

Parinem, warga Jomboran yang sempat dimintai keterangan oleh polisi juga memberi kesaksian. Dampak yang dirasakan ibu-ibu dan kaum perempuan dampak penambangan adalah kesulitan air bersih. Sudah kebiasaan di sana, ibu-ibu mencari air bersih untuk keperluan memasak.

“Sebelumnya, air tidak kurang, bahkan sampai lebih. Sekarang, air sumur berkurang. Ngambil di atas, di sumur milik tetangga. Rumah saya kan dekat Kali Progo.”

Sumur milik tetangga itu dimanfaatkan tujuh rumah. Untuk keperluan mandi, Parinem mandi di Sungai Progo. Agar kebagian air, dia harus mengambil di pagi buta di sumur tetangga itu.

 

Pasal anti-SLAPP

Budi Hermawan dari LBH Yogyakarta berpendapat pengenaan pasal dalam UU Minerba pada kasus Jomboran sebagai bentuk pembungkaman bagi pejuang lingkungan dan mencederai demokrasi.

“Dengan pasal ini, lagi-lagi demokrasi, pejuang lingkungan dibungkam polisi. Kita tahu Pasal 162 tidak sekali ini diterapkan terhadap pejuang lingkungan. Ini kembali terjadi pada pejuang lingkungan di Sungai Progo,” katanya.

Dia menyayangkan, proses penyelidikan ke penyidikan dari kasus yang dilaporkan pengusaha Pramudya Afgani ini. Menurut dia, polisi dianggap tidak memperhatikan pasal-pasal anti strategic lawsuit against public participation (Anti SLAPP). Ini konsep hukum yang memberikan hak dan akses berpartisipasi bagi masyarakat serta memberikan mereka perlindungan dari tuntutan dan gugatan hukum.

“Dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di Pasal 66 disebutkan, setiap orang yang memperjuangkan lingkungan dengan itikad baik untuk lingkungan baik dan sehat tidak bisa dituntut pidana maupun perdata.”

Dengan surat yang ditembuskan kepada Iswanto dan Sapoy ini menandakan pasal-pasal ini tidak pernah dipakai polisi sebagai dasar rujukan. Atas nama demokrasi, katanya, pasal itu tidak pernah digunakan untuk melindungi pejuang-pejuang lingkungan.

Himawan Kurniadi, Kepala Divisi Advokasi Kawasan Walhi Yogyakarta, juga berpendapat, polisi seharusnya memakai UU Anti-SLAPP untuk pejuang lingkungan. Ternyata, justru memakai UU minerba yang baru.

“Ini jadi preseden buruk. Catatan kami ini korban pertama dari keangkuhan UU minerba itu. Mungkin akan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM karena bagian dari usaha kriminalisasi, ancaman bagi pejuang HAM, termasuk pejuang lingkungan.”

Dia juga minta ketegasan Gubernur Yogyakarta menyikapi penambangan pasir dan batu di Jomboran.

Menjelang pertengahan September lalu Sri Sultan HB X memberi titah ‘gunung bali gunung’, yang kurang lebih berarti gunung harus kembali ke gunung.

Dia sampaikan itu usai meninjau dampak kerusakan penambangan pasir di sekitar Merapi. Saat itu, gubernur juga menerima keluh kesah warga yang kesulitan mendapatkan air bersih dampak penambangan.

 

 

 

******

Foto utama:  Truk bertonase besar untuk angkut batu dan pasir. Foto: dokumen PMKP

 

Exit mobile version