Mongabay.co.id

Menguji Keseriusan Indonesia Lepas Energi Batubara Beralih ke Terbarukan

Oday juga menanam bambu untuk kelestarian sumber air di kebun obatnya. Foto: Dok. Oday Kodariyah

 

 

 

 

Pada pertemuan iklim (Conference of the Party/COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, Indonesia ikut menandatangani Global Coal to Clean Power Transition atau transisi batubara global menuju energi bersih.

Ada empat poin dalam kesepakatan ini. Pertama, mempercepat pengembangan energi bersih dan energi efisiensi. Kedua, mempercepat perkembangan teknologi dan kebijakan untuk mencapai transisi lepas dari pembangkit listrik yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fires power plan).

Ketiga, menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Keempat, menguatkan upaya domestik dan internasional untuk menyediakan kebijakan finansial, teknis, dan dukungan sosial untuk transisi yang adil dan inklusif.

Namun Indonesia melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif memutuskan untuk tak terikat pada poin ketiga. Meskipun Menteri ESDM juga menyatakan, pemerintah mengkaji peluang mempensiunkan dini PLTU batubara dengan kapasitas total 9,3 gigawatt sebelum 2030 yang bisa dengan dukungan pendanaan mencapai US$48 miliar.

Menyadari kebutuhan dana besar untuk penghentian PLTU batubara bertahap, Indonesia bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) meluncurkan program Energy Transition Mechanism (ETM). Lewat program ini diharapkan dapat mengumpulkan sekitar US$2,5-US$3,5 miliar untuk menghentikan 2-3 pembangkit listrik tenaga batubara per negara.

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan, inisiatif ini dapat menjadi jalan keluar bagi Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batubara di 2040 sesuai rekomendasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan transisi ambisius ke energi terbarukan.

 

Kala hujan turun, batubara dalam tongkang untuk PLTU yang terbuka seperti ini berpotensi mencemari laut sekitar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

PLTU batubara dengan kapasitas saat ini 31,9 GW, katanya, telah berkontribusi sangat besar terhadap krisis iklim dan dampak kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan rakyat.

Belum lagi tambahan 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL 2021-2030, 90% akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas.

“Apakah inisiatif ini betul-betul bisa menjadi game changer untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan? Ini sangat tergantung kepada implementasinya, the devil is in the details,” kata Tata.

Untuk itu, ADB dan Pemerintah Indonesia, katanya, harus memastikan penutupan lebih awal PLTU batubara diikuti transisi yang sesungguhnya ke energi bersih dan terbarukan, seperti energi matahari.

Inisiatif ini tidak boleh membawa rakyat Indonesia kepada solusi semu, seperti energi gas, yang malah bakal menunda transisi.

Lantas, kedua pihak juga perlu menghilangkan berbagai hambatan dan menciptakan insentif bagi pengembangan energi bersih dan terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia. Dengan demikian, penambahan kapasitas dari energi terbarukan bisa berjalan seiring dengan penutupan PLTU batubara untuk memastikan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Transisi ke energi terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar,” kata Tata.

Selain itu, perlu juga menerapkan tata kelola yang baik melalui transparansi dan pelibatan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi mekanisme itu.

Memastikan bahwa mekanisme ini tidak menjadi bail out dan pencarian rente ekonomi baru bagi pengusaha PLTU batubara baru.”

Penentuan harga PLTU batubara dalam mekanisme ini, katanya, harus transparan hingga mencegah kelebihan harga yang mengabaikan PLTU batubara terancam jadi aset mangkrak dalam 10-15 tahun ke depan. Belum lagi, saat ini berada dalam kondisi kelebihan kapasitas.

Terpenting juga, katanya, memasukkan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan dari operasi PLTU batubara. Mekanisme ini, harus menyediakan pembiayaan memadai dan berkeadilan untuk pemulihan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi warga terdampak.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, pasca-Glasgow pemerintah dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengakselerasi penyusunan peta jalan dan strategi transisi energi di Indonesia secara komprehensif.

“Ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir kalau kita tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan,” katanya.

Dia menekankan, keputusan menghentikan bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang tak terhindarkan, tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim juga keekonomian teknologi.

“Terutama dengan ada inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission menjadi makin layak.”

Mengacu pada kajian IESR mengenai Dekarbonisasi Energi Sistem Indonesia, setidaknya butuh investasi energi terbarukan dan energi bersih lain US$20-25 miliar per tahun hingga 2030. Jumlah ini, katanya, akan meningkat setelah itu untuk pembiayaan phase out batubara dan pengembangan energi terbarukan untuk bebas emisi pada 2050.

Makin cepat phase out PLTU batubara, katanya, bisa menghindarkan risiko kerugian finansial dari aset terdampar sektor PLTU batubara yang mencapai US$26 miliar setelah 2040.

 

Pulau Timor, yang akan dibangun pembangkit listrik tenaga biomassa. Foto: dokumen Jaya Wahono

 

Potensi biomassa

Dalam pidato di GLF Climate, Glasgow, Ruandha Agung Sugardiman, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, juga menyampaikan, Indonesia mendukung pengembangan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). PLTMBm, katanya, selain sejalan dengan target national determined contributions (NDC) juga dalam pengurangan kemiskinan karena menciptakan lapangan kerja.

“Pengembangan PLTBm berbasis masyarakat ini selain dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal juga membantu pemerintah dalam menciptakan nilai ekonomi dari program restorasi lahan-lahan kritis dan marginal di daerah-daerah 3T (tertinggal, terpencil dan terluar),” katanya.

Di Pulau Timor, lanjut Ruandha, PLTBm dikembangkan menggunakan tanaman gamal (glicirida sepium) yang ditanam masyarakat biasa untuk pagar hidup, memperkuat teras dan sebagai tanaman pakan ternak.

Gamal, katanya, tidak pernah menjadi invasif atau bermasalah seperti beberapa spesies cepat tumbuh lain. Hanya gamal belum memiliki nilai ekonomi di luar penggunaan saat ini.

Dengan menjadikan gamal untuk biomassa kayu pembangkit listrik, dan tambahan pakan ternak yang melimpah kalau diperlukan manfaat ini sangat menarik bagi masyarakat setempat dan menciptakan ekonomi pedesaan baru.

Tak hanya gamal, bambu juga potensial, sebagai bahan baku biomassa sekaligus mendorong penyerapan karbon dalam tanah. Bambu sudah digunakan untuk pembangkit listrik biomassa berbasis masyarakat di Pulau Mentawai, Sumatera Barat.

Di Pulau Timor, bambu ditemukan di dekat aliran sungai, di dekat desa, di pinggir jalan dan di ladang terbuka. Bambu juga cocok sebagai sumber energi di mana ia dapat tumbuh karena diterima secara sosial di Timor, memiliki jejak ekologi yang kecil dan dapat ditanam di lahan marginal.

Ia juga didukung kerangka hukum sebagai komoditas perkebunan berbasis masyarakat karena termasuk sebagai hasil hutan non kayu yang memiliki tingkat pertumbuhan yang baik.

Tanaman yang termasuk anggota keluarga rumput ini melakukan regenerasi cepat setelah panen dan jarang membutuhkan penanaman kembali. Bahkan mencapai hingga 17 ton karbon per tahun per hektar sesuai kondisi pertumbuhan.

Di Mentawai, keterlibatan masyarakat pada bambu sebagai tanaman untuk bahan baku biomassa.

Sekarang, di sana bambu telah ditanam di lahan masyarakat dan menyediakan bahan baku melimpah untuk pembangkit listrik biomassa.

“Pembangkit listrik biomassa memastikan masyarakat setempat mendapatkan manfaat ekonomi langsung. Selanjutnya, penciptaan kegiatan ekonomi baru diperkuat dengan menjaga dan memulihkan lanskap di tingkat lokal sekaligus mengurangi GRK (gas rumah kaca) di tingkat regional,” kata Ruandha.

Jaya Wahono, Wakil Kepala Komite Tetap Ketenagalistrikan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) juga hadir dalam forum GLF di Glasgow menyampaikan, PLTBm Timor ini mempunyai karakteristik unik dengan mengedepankan partisipasi masyarakat lokal sebagai produsen biomassa dengan standar tata lingkungan yang ketat.

PLTBm Timor ini akan dikerjakan PT Charta Putra Indonesia (Clean Power Indonesia/CPI). CPI telah menandatangani kesepahaman dengan perusahaan energi terintegrasi PT TBS Energi Utama Tbk (TBS) untuk mewujudkan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, sebagai pulau energi terbarukan dengan membangun PLTBm tersebar berbasis masyarakat.

CPI, kata Jaya, akan berinovasi dalam pembangunan PLTBm berbasis masyarakat di Indonesia termasuk secara hybrid dengan tenaga surya, baterai serta pembangkit listrik tenaga sampah skala kecil.

Model ini akan dikembangkan dalam konteks kelistrikan pulau. Kelak ini akan memberikan model pembangkit listrik dalam ekosistem mikro/minigrid sebagai pengganti PLTD bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

 

Panel surya di Pulau Mecan, Kepri, yang dikelola secara komunal. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama: Bambu, bisa sebagai tanaman konservasi sekaligus bahan baku energi biomassa. Foto: Oday

Exit mobile version