Mongabay.co.id

Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Permintaan produk boga bahari (seafood) yang berkelanjutan dan ramah lingkungan terus meningkat dari waktu ke waktu di seluruh dunia. Bahkan, sebagian besar warga dunia saat ini memilih untuk mengonsumsi produk yang berkelanjutan ketimbang yang tidak dilakukan dengan prinsip tersebut.

Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) mencatat, dari hasil survei minat pasar terhadap produk Tuna yang telah tersertifikasi, sebanyak 71 persen konsumen dunia ingin mengonsumsi boga bahari dari suatu merek yang mengklaim sudah menerapkan prinsip berkelanjutan.

Menurut Ketua AP2HI Janti Djuari, merek yang banyak diinginkan warga dunia tersebut, harus sudah mengadopsi prinsip perikanan berkelanjutan dan juga ramah lingkungan. Dan, merek tersebut harus sudah melewati proses verifikasi oleh pihak independen.

Selain memilih pada merek produk boga bahari yang sudah terverifikasi, sebanyak 65 persen konsumen dunia juga meyakini bahwa untuk bisa melindungi lautan dunia, maka mereka harus mengonsumsi ikan dan produk boga bahari lain yang berasal dari produk perikanan berkelanjutan.

Dari kedua hasil survei tersebut, survei yang ketiga menjadi penegas bahwa perikanan berkelanjutan sudah menjadi banyak pilihan warga dunia. Hal itu, karena sebanyak 56 persen konsumen dunia akan memilih untuk membayar dengan harga lebih mahal untuk setiap makanan laut yang sudah tersertifikasi.

“Dan berasal dari perikanan berkelanjutan,” jelas dia dalam sebuah kegiatan webinar yang berlangsung pada Selasa (16/11/2021).

baca : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Penjual ikan melakukan transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Dampak yang ditimbulkan dari wabah virus COVID-19 ini yaitu harga ikan turun drastis. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Namun demikian, untuk bisa menghadirkan produk perikanan yang berkelanjutan dan tersertifikasi, itu bukan perkara yang mudah. Selain memerlukan proses waktu yang tidak sebentar, juga dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Lebih dari itu, untuk bisa menghadirkan produk berkelanjutan yang sudah tersertifikasi, diperlukan pemahaman yang baik dari produsen, baik di tingkat nelayan hingga pelaku usaha. Proses tersebut memerlukan tahapan yang tidak sebentar, karena harus ada sosialisasi kepada mereka.

AP2HI mencatat, di antara negara-negara di dunia yang sudah menerapkan prinsip berkelanjutan dan sertifikasi produk, Jerman menjadi negara terdepan yang sudah melaksanakan kegiatan tersebut secara cepat. Di belakang mereka, ada Belanda dan Kerajaan Inggris.

Meski ketiga negara tersebut mengugguli negara lain di dunia, namun kegiatan perikanan berkelanjutan secara umum masih berjalan kurang cepat. Terbukti, hingga 2019 baru sebanyak 37,038 persen saja negara di dunia yang sudah melaksanakan perikanan berkelanjutan.

Menurut Janti Djuari, selain untuk menjaga keberlanjutan sumber daya di alam, sertifikasi juga bisa meningkatkan dan sekaligus membuka akses ke pasar dunia bagi produk perikanan yang berasal dari Indonesia. Salah satunya, karena sertifikasi bisa meningkatkan daya saing produk perikanan.

Agar bisa menerapkan prinsip berkelanjutan dalam perikanan Tuna, salah satu yang harus diperhatikan adalah penggunaan alat penangkapan ikan (API). Salah satu yang bisa dipilih, adalah alat tangkap huhate (pole and line) dan pancing ulur (handline).

Dalam penilaian Janti Djuari, penggunaan API tersebut bisa memenuhi prinsip berkelanjutan, karena alat tersebut sangat selektif saat menjalankan tugasnya untuk menangkap ikan. Kemudian, setiap satu mata pancing itu berlaku untuk satu tangkapan ikan.

“Minim tangkapan sampingan yang tidak disengaja atau by catch dan juga ramah lingkungan,” tegasnya.

baca juga : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?

 

Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Selain penggunaan alat tangkap, sertifikasi juga menjadi kunci untuk menghadirkan produk perikanan yang berkelanjutan. Salah satunya, adalah marine stewardship council (MSC) yang sudah berjalan beberapa tahun ini di Indonesia.

Direktur Program MSC Indonesia Hirmen Syofyanto pada kesempatan yang sama menjelaskan, perlunya melakukan sertifikasi untuk produk perikanan yang akan dijual secara komersial, salah satunya dilatarbelakangi fakta bahwa sebanyak 34,2 persen stok perikanan yang sudah ditangkap di dunia, diperkirakan tidak berkelanjutan secara biologis.

Di saat yang sama, aktivitas penangkapan ikan dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren peningkatan. Selama kurun waktu dari 1990 hingga 2018, aktivitas penangkapan ikan terus meningkat hingga mencapai 14 persen.

Dengan tantangan seperti itu, maka tidak heran kalau perikanan dunia terus menghadapi ancaman dari waktu ke waktu. Bahkan, jika tidak dilakukan antisipasi dengan tepat, maka ancaman tersebut bisa berubah menjadi ancaman kepunahan sumber daya ikan.

 

Tantangan

Melalui sertifikasi, maka segala tantangan yang ada akan bisa dilewati satu per satu. Salah satunya, dengan melakukan verifikasi perikanan berkelanjutan sebelum menetapkan sertifikat MSC kepada mereka yang sedang mengajukan.

Prinsipnya, Hirmen Syofyanto menyebutkan kalau sertifikat MSC bisa menghubungkan keberlanjutan perikanan dari laut yang biru hingga ke atas piring di rumah masing-masing konsumen. Dengan mengelola perikanan dengan baik, maka kebutuhan pangan di masa mendatang akan bisa terjamin.

Dalam menerbitkan sertifikat MSC, pemohon harus bisa melewati verifikasi yang mencakup standar perikanan dan standar pengawasan. Standar perikanan yaitu untuk memastikan keberlanjutan stok, dampak ekosistem yang minimum, dan pengelolaan yang efektif.

“Sedangkan standar pengawasan adalah untuk memastikan dan menelusuri produk bersertifikat ke sumber perikanan yang berkelanjutan,” terang dia.

menarik dibaca : Traceability Fisheries : Makan di Jimbaran, Ikannya Mungkin dari Perairan NTT

 

Sekelompok ikan tuna sirip kuning (yellow fine tuna). Foto : fisheries.noaa.gov

 

Sedangkan Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP KKP) Machmud menambahkan, perikanan berkelanjutan tidak hanya cukup pada praktik yang dijalankan oleh nelayan saja yang menjadi ujung tombak untuk menangkap ikan.

Lebih dari itu, perikanan berkelanjutan juga kini sudah menjadi gaya hidup yang diterapkan oleh masyarakat umum yang menjadi konsumen produk perikanan. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha turut serta untuk menerapkan praktik perikanan berkelanjutan dalam usaha yang mereka jalankan.

Menurut Machmud, praktik perikanan berkelanjutan yang ramah lingkungan adalah kegiatan positif yang menjadi bagian dari penerapan prinsip ekonomi biru yang tengah dijalankan Indonesia. Termasuk, kebijakan penangkapan ikan terukur yang akan diterapkan mulai 2022 mendatang.

Kebijakan tersebut menjadi bagian dari terobosan KKP dalam upaya penerapan ekonomi biru dan diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan di seluruh Indonesia. Terobosan lainnya adalah pengembangan perikanan budi daya berbasis riset untuk peningkatan ekspor.

“Dan pembangunan kampung-kampung perikanan budi daya berbasis kearifan lokal,” sebutnya.

baca juga : Ini Buah Manis Penerapan Prinsip Berkelanjutan pada Perikanan Tuna

 

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain membuat program terobosan, KKP juga berupaya agar bisa menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dan ketahanan ekosistem laut dengan baik. Upaya tersebut, diantaranya dilakukan melalui skema sertifikasi perikanan yang bisa menunjang perwujudan praktik bisnis perikanan yang bertanggung jawab.

Machmud menerangkan, penerapan sertifikasi produk perikanan juga akan berdampak pada pengembangan pasar yang berkelanjutan, di mana saat ini sedang menjadi isu utama di dunia. Di antara yang jadi perhatian, adalah ketertelusuran (traceability) produk dari laut hingga ke tangan konsumen.

“Ketertelusuran produk yang tertelusuri dari laut hingga ke tangan konsumen, adalah juga kunci dari label perikanan berkelanjutan,” lanjutnya.

Machmud memaparkan, berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menjaga laut tetap berkelanjutan, adalah karena Indonesia memiliki laut yang bisa dikelola hingga seluas 5,8 juta kilometer persegi. Di dalamnya ada potensi dan keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar.

Seluruh potensi tersebut bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran masyarakat, utamanya untuk menjadi sumber pangan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan protein masyarakat. Karenanya, keberadaan laut harus terus mendapatkan pengawasan semua pihak, agar bisa tetap lestari.

“Laut kita mencakup lebih dari 70 persen permukaan bumi, berperan besar dalam perubahan iklim dan menyediakan oksigen bagi makhluk hidup di seluruh dunia. Kita sangat bergantung dengan apa yang ada di dalam lautan termasuk sebagai sumber pangan di bumi,” pungkas dia.

Saat ini, angka konsumsi ikan (AKI) nasional juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2019, AKI mencapai 54,50 kg/kapita dan 2020 meningkat menjadi 56,39 kg/kapita setara ikan utuh segar.

baca juga : Pengelolaan Stok Tuna Berkelanjutan Berbuah Sertifikat MSC

 

Karyawan di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, memperlihatkan potongan ikan tuna yang sudah diberi label fair trade dari hasil tangkapan nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Salah satu perusahaan yang berhasil mendapatkan sertifikat MSC, adalah PT Harta Samudera yang memiliki unit pengolahan ikan (UPI) di Provinsi Maluku, tepatnya di pulau Buru, Banda, Morotai, dan Ambon. Saat ini, sedikitnya ada 1.000 nelayan yang terlibat menjadi mitra tradisional.

Factory Manager PT Harta Samudera Sarah Hutapea menerangkan, manfaat dari sertifikat perikanan berkelanjutan, bukan hanya untuk kelestarian sumber daya dan ekosistem laut saja. Dengan sertifikat, ada manfaat ekonomi yang dirasakan secara langsung.

Manfaat tersebut di antaranya permintaan ekspor meningkat, harga lebih baik, sekaligus kesadaran mitranya dalam menjaga laut bagi generasi mendatang. Pada proses tersebut ada hak-hak dan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan mulai dari nelayan hingga pekerja pabrik yang terpenuhi.

Sehingga tak hanya tercapai perikanan yang bekelanjutan, usaha juga bisa berlanjut lebih baik lagi. Selain itu, ada juga dampak positif lainnya bagi lingkungan, bagi nelayan, pekerja pabrik, dan semua yang terhubung dengan usaha ini.

“Data perikanan juga menjadi lebih akurat, seperti lokasi penangkapan, jumlah hasil tangkapan, penggunaan BBM (bahan bakar minyak), es, dan yang lainnya,” pungkasnya.

 

Exit mobile version