Mongabay.co.id

Tangse yang Sering Diterjang Banjir Bandang

 

 

Tangse yang dulu, jauh berbeda dengan sekarang.

Tangse merupakan nama kecamatan di Kabupaten Pidie. Letaknya sekitar 190 kilometer dari Kota Banda Aceh, Ibu Kota Provinsi Aceh. Tangse dikenal sebagai daerah penghasil beras dengan kualitas terbaik. Tangse juga disebut sebagai wilayah penghasil kopi robusta berkelas.

Namun kini, Tangse juga dikenal sebagai daerah rawan bencana alam, terutama banjir bandang dan tanah longsor.

Banjir bandang yang melanda tiga desa pada Jumat, 29 Oktober 2021 lalu, menyebabkan lebih 120 rumah masyarakat rusak. Air bercampur lumpur yang turun tiba-tiba bersama potongan kayu, juga merusak fasilitas umum seperti rumah ibadah dan sekolah.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh, Ilyas mengatakan, hujan deras yang melanda Kabupaten Pidie itu, menyebabkan Sungai Krueng Peunalom meluap bersama lumpur dan potongan kayu. “Akibatnya, Desa Peunalom 1, Peunalom 2, Layan, dan Pulo Mesjid terendam,” ujarnya, awal November 2021.

Pada 25 Maret 2021, Desa Beungga dan Malo juga diterjang banjir bandang. Sebelumnya, pada 26 April 2019, tiga desa di Kecamatan Tangse yang berjarak dua jam dari Sigli, Ibu Kota Kabupaten Pidie, dilanda banjir bandang. Akibatnya, 36 rumah masyarakat terendam lumpur. Tercatat, bencana alam telah terjadi di wilayah ini sejak 2011, 2012, 2015, dan 2017.

Masyarakat Peunalom 1, Zubir, pada pertengahan November 2021 mengatakan, banjir bandang seakan sudah menjadi langganan bagi beberapa desa di Tangse.

“Kami sudah lelah. Kami berharap pemerintah menyelesaikan masalah ini hingga tuntas,” ujar lelaki yang keseharian berprofesi sebagai pedagang itu.

Baca: Tangse yang Kini Akrab Bencana

 

Banjir bandang yang terjadi di Tangse pada 2011 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hentikan semua kegiatan merusak hutan

Bupati Kabupaten Pidie, Roni Ahmad, saat berkunjung ke lokasi banjir, Minggu [7/11/2021] mengatakan, banjir terjadi akibat illegal logging yang merusak hutan.

“Ini dapat dilihat dari banyaknya kayu gelondongan sisa pembalakan yang terbawa saat banjir,” ujarnya.

Roni mengatakan, hutan adalah warisan nenek moyang yang harus dijaga kelestariannya. “Saya minta lembaga terkait untuk melakukan tindakkan tegas terhadap segala kegiatan yang merusak hutan.”

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh menilai, banjir bandang dan tanah longsor yang sering melanda Tangse, berawal dari rusaknya hutan di daerah tersebut. Hingga saat ini, kegiatan ilegal kehutanan, seperti perambahan untuk areal perkebunan dan pembalakan liar adalah masalah utama.

Selain itu, di tempat lain yang berdekatan Kecamatan Tangse, seperti di Kecamatan Geumpang, ada pertambangan emas ilegal.

“Pertambangan emas ilegal yang dilakukan dengan menggali sumur dan mengeruk sungai dengan alat berat, semakin masif terjadi di Kabupaten Pidie. Jika tidak dihentikan, bencana alam akan semakin sering terjadi,” ungkap Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Muhammad Nasir.

Dia memaparkan, harus ada upaya serius menghentikan kegiatan ilegal tersebut. “Pemerintah juga sedang merencanakan pembangunan jalan tembus Geumpang dengan Pameu, Kabupaten Aceh Tengah. Ini tentunya membuat tutupan hutan berkurang karena para perambah pembalak liar mendapatkan akses jalan,” ujarnya.

Baca: Melihat Tambang Emas Ilegal di Aceh Melalui Google Earth

 

Banjir bandang yang menerjang Tangse pada 2011. Daerah ini dulunya disebut sebagai wilayah makmur di Aceh, namun kini akrab bencana. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kearifan yang  hilang

Muhammad Sahlan [Universitas Syiah Kuala], Siti Ikramatoun [Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh], dan Khairul Amin [guru sosiologi Madrasah Aliyah Negeri 1 Sigli, Kabupaten Pidie] dalam makalah mereka yang dipublikasikan oleh TALENTA Publisher Biro Penelitian, Universitas Sumatera Utara, mengulas tentang budaya yang mulai hilang di masyarakat Tangse. Khususnya, tentang hidup berdampingan dengan sungai.

Mereka menjelaskan, hujan yang turun dalam intensitas tinggi, dan licinnya tanah gunung, sebenarnya sudah cukup bagi masyarakat sekitar Tangse untuk mengetahui bahwa akan ada banjir besar yang terjadi. Pengalaman masa lalu mengajarkan mereka tentang fenomena alam itu.

Pengetahuan dan pengalaman tentang bencana, merupakan kejadian biasa yang mereka sikapi biasa juga.

“Bahkan, dulu masyarakat Tangse, untuk menghadapi bencana banjir, hanya mempersiapkan bekal pakaian dan keperluan lainnya dalam satu tempat, kemudian mereka pindahkan ke rumah saudara yang dianggap aman dan tidak tersentuh bencana,” sebut Muhammad Sahlana, dkk dalam penelitian berjudul Dialektika Masyarakat dan Bencana di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie.

Sebelum banjir bandang pada Maret 2011, yang kemudian berlanjut tahun berikutnya, masyarakat Tangse telah memiliki pengalaman tentang bencana. Ini dikarenakan, banjir bandang pernah terjadi, seperti tahun 1971. Namun, banjir hanya terjadi 5 tahun sekali, 10 tahun sekali, atau 20 tahun sekali.

“Kehidupan masyarakat yang dekat alam dan lingkungan, membuat banjir bandang yang datang tidak berubah menjadi bencana atau musibah berarti. Saat itu, masyarakat Tangse begitu bersahabat dengan aliran sungai. Selain sebagai sumber pengairan dan irigasi, masyarakat juga menjadikan aliran sungai untuk mengolah hasil panen secara tradisional,” sebut mereka.

 

Tangse saat ini sering menghadapi bencana. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam tulisan untuk TALENTA Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts [2] tahun 2019 itu disebutkan, keberadaan kincir-kincir untuk menumbuk padi, dapat menghambat arus air yang ada. Sekaligus, membuat masyarakat menjaga aliran sungai tetap bersih, bebas sampah.

Ketika banjir, laju air dihambat kincir yang ada di sepanjang aliran sungai. Ini yang kemudian menjadi alasan mengapa banjir bandang tidak berubah menjadi bencana.

Seiring perkembangan zaman, kincir-kincir mulai diganti dan tergantikan teknologi moderen. Dengan sendirinya, aktivitas di sungai mulai berkurang. Cara pandang masyarakat melihat hutan sebagai ruang yang menjaga kehidupan dengan segala sumber daya nabati juga berubah. Menjadi ruang-ruang penyedia modal bagi produksi untuk terus dieksploitasi.

“Dulu, sebagian besar kebutuhan tidak perlu dibeli, semua tersedia. Ditanam sendiri atau masyarakat tidak konsumtif. Sekarang, kebutuhan meningkat, semua harus dibeli. Bila hanya berharap dari hasil pertanian tidak akan cukup. Tapi kalau dari kayu, hari ini menebang, besok sudah dapat uang,” sebut Muhammad Sahlan, mengutip pernyataan masyarakat Tangse.

Kini, sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada kayu di hutan. Meski sebagian besar hutan Tangse merupakan kawasan lindung, tetapi kehancurannya tidak terelakkan. Masyarakat sudah telanjur mendapatkan uang dari menjual kayu, sehingga cukup sulit kembali ke lahan pertanian. Jika kembali, pertanian bukan lagi yang utama.

“Kayu dapat diperoleh dengan mudah dan cepat, dianggap lebih menjanjikan. Sementara pertanian, membutuhkan waktu lebih lama, apalagi perkebunan yang aksesnya membutuhkan perjuangan,” ungkap laporan tersebut.

 

 

Exit mobile version