Mongabay.co.id

Dugong Mati Terdampar di Polewali Mandar, Perlunya Dorongan Penelitian

 

Muhammad Yusri membaca pesan WhatsApp dari kawannya di Desa Tonyamang, timur Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat pada 17 November 2021. Seekor dugong mati, terlihat mengapung tak jauh dari Pulau Dea-Dea, 15 menit dari Tonyamang.

Yusri sibuk dan minta kawannya di Tonyamang mencari bantuan buat menepikan dugong itu ke pulau. “Supaya tidak kehilangan jejak,” minta Yusri. Kawannya mengirimi Yusri foto dugong itu. Tubuhnya sudah membengkak.

Yusri lalu mengabari Polisi Air dan Udara Kepolisian Resort Polman dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Polman, serta Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar.

Beberapa tahun terakhir, Yusri semacam tempat aduan, jika warga menemukan satwa laut terdampar.

Yusri, adalah pendiri Rumah Penyu Mampie, satu-satunya inisiasi penyelamatan penyu di Polman, yang getol sejak 13 tahun terakhir, bermarkas di tanjung Mampie, Kecamatan Wonomulyo, satu jam dari pusat kota Polman. Dari sekian nominasi penerima Kalpataru 2021, Yusri adalah satu peraih penghargaan bergengsi itu, sebagai pelopor lingkungan.

Medio September 2021, Rumah Penyu Mampie disulap menjadi ‘rumah sakit’ darurat khusus merawat seekor bayi dugong (Dugong dugon) betina, yang dievakuasi dari pesisir Pambussuang, Polman.

Dugong itu kemudian diberi nama Yusi.

baca : Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka

 

Yusi, seekor anakan dugong betina yang dievakuasi dari pesisir Pambussuang, Polman, dirawat di Rumah Penyu Mampie pada medio September 2021. Foto : Yusri Mampie

 

Yusi diperkirakan berusia 3 bulan. Sekilas menyerupai bantal guling dengan panjang satu meter. Ia diduga telah terpisah dari Ibunya. Pada bagian perut dan punggungnya ditemukan luka, diduga akibat serangan predator.

Gabungan dokter hewan dari pemerintah dan WWF Indonesia, berusaha agar Yusi bisa pulih dan kembali ke laut, tumbuh besar sebagai makhluk mengagumkan. Tim memberi Yusi susu khusus pertiga jam dan terus memompa air laut ke sebuah kolam persegi panjang tempat Yusi bertahan hidup.

Setelah sepekan dirawat, Yusi mati. Dari hasil bedah, dokter menduga, pencernaan Yusi bermasalah.

Di usianya, Yusi belum boleh makan. Sistem pencernaannya belum sanggup mencerna roti dan makanan keras lainnya, yang diberikan warga saat Yusi terdampar. Yusi butuh air susu dari ibunya.

Di Polman, dugong kerap kali ditemukan terdampar hampir saban tahun dan semua tak seperti Yusi, yang bernasib sedikit mujur. Yusi adalah kasus kedua di tahun 2021, dan dugong yang baru saja ditemukan mengapung di Binuang, adalah kasus ketiga.

baca juga : Bangkai Dugong Diambil untuk Obat Tradisional, Ini Penjelasan PSPL Sorong

 

Yusi, seekor anakan dugong betina yang sempat dirawat di Rumah Penyu Mampie padamedio September 2021, akhirnya mati. Foto : Yusri Mampie

 

Setelah urusan Yusi kelar, siang hari, Yusri bersama petugas Polairud Polman dan PSDKP Polman, ke pelabuhan penyeberangan Tonyamang. Dia menyewa satu kapal kecil dan segera melesat ke titik perkiraan ditemukannya dugong itu.

Lima belas menit berlabuh, Yusri dan lima orang lainnya tiba. Dengan kapal, mereka mengelilingi Pulau Dea-Dea, mencari letak dugong itu.

Pulau Dea-Dea, adalah pulau yang indah, lagi asri. Laut membelahnya menjadi dua daratan: Dea-Dea Besar, seluas 6 hektare dan anaknya hanya 1 hektare. Kedua pulau ini terbentuk dari bebatuan karang nan cadas, ribuan mangrove menjulang dari celah-celah bebatuan membentuk hutan yang memukau.

Pulau Dea-Dea tidak dihuni manusia, tetapi rumah bagi koloni biawak dan kucing buangan yang terus beranak pinak.

Di sudut Dea-Dea kecil, dugong itu dikekang ke batang manggrove—agar tidak hanyut, dengan posisi terlentang. Kedua siripnya terangkat seperti sedang merengkuh sesuatu dan warna kulit mulai memerah. Saat Yusri mendekat, para biawak berhamburan dari tubuh si dugong.

“Sudah berbau,” kata Yusri.

Dari ukuran, dugong itu sudah dewasa. Panjang tubuhnya, 276 centimeter dengan lingkar badan 160 centimeter. Bobotnya, berat bukan main, Yusri dan lainnya butuh energi lebih saat membolak-balik dugong betina itu.

Sebagai gambaran, tubuh dugong dewasa bisa mencapai 300 centimeter dengan bobot maksimal 450 kilogram.

baca juga : Seekor Dugong Terjaring di Flores Timur dan Hendak Dikonsumsi. Kok Bisa?

 

Seekor dugong terdampar dan mati di Pulau Dea-Dea, Polman, Sulbar. Foto : Yusri Mampie

 

Pada ketiak kanan dan kiri menyembul satu puting, tempat anaknya menetek. Badannya masih utuh. Tak ada luka mencurigakan di seluruh tubuhnya, selain bekas cabikan biawak pada bagian perut hingga anus dan vagina.

“Kalau dia mati bukan dalam keadaan sakit,” kata Yusri. “Dia terperangkap jaring nelayan. Mungkin, saat dia terperangkap, kelamaan, jadi dia sulit ambil nafas.”

Dalam banyak hal, dugaan Yusri masuk akal. Dugong adalah mamalia yang mengandalkan oksigen untuk hidup. Dia bernapas dengan sepasang paru-paru.

Tak seperti paus, dugong hanya mampu menyelam 3-12 menit. Ketika terjerat jaring dalam waktu lama, dugong akan berakhir mati dan dalam banyak kasus, terdampar.

Yusri ingin mengubur bangkai dugong itu, tetapi itu mustahil dilakukan di Dea-Dea. Membawanya ke daratan juga keliru. Perahu yang Yusri pakai terlalu kecil dan kemungkinan akan tenggelam jika dugong itu ikut bersama mereka. Jadi, Yusri menarik dugong itu ke tepi Dea-Dea kecil dan menambah tali pengekang.

Beberapa pekan nantinya, Yusri akan kembali untuk mengubur si dugong di tempat lain. Saat badannya menyusut dan cukup ringan untuk dievakuasi.

baca juga : Warga Seram Potong-potong Dugong Mati Terdampar, untuk Konsumsi?

 

Seekor dugong ditemukan di Pulau Dea-Dea, Polman, Sulbar, menjadi kasus kedua di tahun ini. Foto : Yusri Mampie

 

Dugong di Sulawesi Barat

Dalam kerajaan binatang, dugong sebagai perwujudan sapi di laut, atau lebih dikenal sebagai duyung. Sebagai hewan herbivora tulen, dugong menghabiskan separuh harinya untuk ‘merumput’ di padang lamun. Ia setidaknya, harus memakan lamun hingga 40 kilogram.

Dugong juga menyisihkan waktu khusus menjelajah, istirahat, bersosialisasi, dan bermain. Sebagian waktu diisi dengan aktivitas permukaan untuk bernapas, menggaruk, kentut, buang air besar.

Ketika musim kawin, dugong mencari tempat lain dan saat melahirkan hingga mengasuh, ibu dugong memilih perairan dangkal, menjauhkan anaknya dari jangkauan hiu, si predator ulung lautan.

Dalam taraf hewan laut, dugong sedikit jahil. Penyu seringkali jadi bulan-bulanan dugong. Ditabrak atau ‘diuyel-uyel’. Di beberapa lokasi, dugong bahkan sangat terbuka terhadap manusia, seperti di Alor, Nusa Tenggara Timur, meskipun dalam beberapa kasus, dugong memilih menghindar.

Hidup dugong lebih banyak dia habiskan di perairan dangkal, tempat manusia juga banyak beraktivitas. Memancing. Menebar pukat. Jadi lintasan kapal. Seolah-olah, di laut tak ada lagi batas tegas kawasan liar, layaknya hutan.

Sudah terlalu sering, dugong terjerat di jaring nelayan bycatch atau terkena tebasan baling-baling kapal. Selain itu, dugong juga jadi incaran perburuan.

perlu dibaca : Miris…Dugong Mati Terdampar di Polman, Malah Dijual untuk Konsumsi

 

Kondisi dugong yang terdampar di Pulau Dea-Dea, Polman, Sulbar. Foto : Yusri Mampie

 

Pada beberapa kasus, cuaca ekstrim dan siklon membuat dugong secara massal terdampar, seperti kejadian di Australia. Polutan laut juga menjadi ancaman serius terhadap kehidupan dugong. Ia bisa terserang penyakit atau menjadi inang parasit.

“Ancamannya sendiri sangat luas,” kata Raden Roro Sekar Mira, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat dihubungi Rabu (24/11/2021).

“Jadi apapun yang bisa menyebabkan manusia mati di perairan atau membahayakan manusia di perairan, itu juga menjadi ancaman bagi duyung.”

Data Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam, mengatakan, populasi dugong menurun secara global, dengan status rentan (VU). Kerabat dugong lainnya, sapi laut steller telah punah. Populasi sapi laut steller terakhir dijumpai di Pulau Bering, saat sebuah ekspedisi Russia digelar, pada tahun 1741.

Dugong hingga kini masih diburu, dijadikan konsumsi atau —buat beberapa komunitas pesisir— menjadi obat tradisional dan jimat. Perburuan dugong telah dimulai oleh leluhur manusia, ribuan tahun lalu. Penggalian yang dilakukan di Selat Torres, Australia mengungkap bahwa perburuan dugong di wilayah itu telah berlangsung setidaknya 4.000 tahun —dan mungkin— hingga 7.000 tahun.

menarik dibaca : Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Saat evakuasi, dilakukan pengukuran terhadap dugong. Foto : Yusri Mampie

 

Dugong tersebar hampir sepanjang pesisir Asia Tenggara hingga utara benua Australia. Di Sulawesi Barat, nelayan kerap kali menjumpai dugong dan terkadang terjerang jaring nelayan di sekitar Teluk Mandar, salah satu perairan dengan padang lamun cukup luas. Di Sulawesi Barat, dugong masih diperdagangkan dan dikonsumsi oleh sebagian kecil warga.

Pada tahun 2018, polisi menjebloskan dua warga yang kedapatan memperdagangkan dugong di sebuah pulau di Polman, dekat Pulau Dea-Dea, tempat dugong terakhir ditemukan terdampar.

Di bawah hukum Indonesia, memperdagangkan dan memburu dugong termasuk tindakan pidana. Di Indonesia, perlindungan dugong diatur melalui sejumlah regulasi, dari UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hingga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.106/MENLHK/Setjen/KUM 1/12/2018.

Secara internasional, dugong masuk dalam apendiks I CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Artinya, dugong dilarang untuk diperdagangkan.

Dua tahun sebelum itu, seekor dugong juga ditemukan terdampar di Mampie. Warga melarungkan dugong itu kembali ke laut. Kemudian di tahun 2019, seekor dugong kembali terdampar dan mati, di pesisir kota Mamuju, tak jauh dari Hotel Maleo.

“Habitatnya lah kalau di sini (Polman),” kata Yusri. “Bahkan di tahun ini, saya tidak tahu persis di mana, yang jelas di Majene, duyung itu merapat, main-main. Divideo oleh beberapa orang.”

“Makanya penting untuk dilakukan semacam pelatihan tentang penanganan mamalia laut di warga, karena seperti inilah, kita punya pengetahuan yang minim [untuk penanganan mamalia laut yang terdampar].”

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Seorang penyelam mengabadikan momen itu. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Perlu penelitian lebih di Sulawesi Barat

Penelitian terhadap dugong tidak melimpah seperti penelitian terhadap mamalia laut lainnya. Saya mencari penelitian dugong khusus yang dilakukan di Sulawesi Barat via Google, hasilnya nihil dan hanya diwarnai berita tentang kasus terdampar.

“Jangankan di Sulawesi Barat yah. Emang penelitian duyung ini masih sangat jarang dilakukan,” kata Sekar Mira.

Semua orang akan sepakat, dugong adalah hewan yang telah langka. Sementara pertanyaan tentang dugong masih banyak. Bagi Mira, penelitian terhadap dugong perlu didorong di Indonesia, tak hanya untuk mempelajarinya, tetapi juga untuk mendorong perlindungannya.

“Jangan sampai setelah dia punah kita tidak tahu manfaatnya, dan tidak dapat melestarikan spesies ini.”

Sebenarnya, kata Mira hasil-hasil penelitian terkait dugong mulai banyak didengar. Tetapi penelitian itu sangat bergantung dengan upaya para pihak terkait, bagaimana hasil penelitian tersebut bisa digunakan sebagai science base policy buat pemerintah Indonesia.

 

Perubahan iklim dan ancaman habitat lamun

Dalam satu dekade terakhir, perubahan iklim telah menarik perhatian dunia. Para aktivis menuntut para negara adi daya, berpikir untuk cari solusi perubahan iklim. Serangkaian perjanjian internasional menyertai isu ini, salah satu berupaya mengurangi penggunaan energi kotor batu bara. Salah satu biang dari perubahan iklim.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26, di Glasgow, baru-baru ini, gagal meminta negara-negara menghentikan penggunaan batu bara, dan terkesan tak membuahkan langkah konkrit untuk mengatasi perubahan iklim.

“Bagaimana pun perubahan iklim akan mempengaruhi habitat. Dan habitat sangat mempengaruhi eksistensi dari semua entitas di dalamnya, termasuk Duyung,” kata Mira.

“Jadi, kalau misalnya perubahan iklim men-drive cuaca ekstrem, misalnya panas yang terlalu ekstrem atau banyaknya siklon yang terjadi, yang merusak habitat lamun, akhirnya habitat lamun mempengaruhi keberadaan atau utamanya diet dari duyung sebagai umbrella spesies.”

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Pada 2017, Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meluncurkan status padang lamun Indonesia.

Luas lamun di Indonesia seluas 150.693,16 hektar, setara luas Kota London. 146.283,68 hektar di antaranya tersebar di kawasan timur Indonesia. Secara keseluruhan, 41,79% termasuk kondisi “kurang sehat”.

Di Sulawesi Barat, menurut Yusri, pemerintah belum menaruh perhatian soal ini. “Dinas terkait sendiri juga kurang perhatian sama satwa-satwa yang dilindungi,” kata Yusri.

“Pemerintah hari ini lebih fokus pada ikan yang budidaya, tangkapan, dan lain-lain. Dia tidak berpikir keseimbangan ekosistem laut. Padahal kalau ada salah satu yang kurang, bagaimana juga produksi budidaya bisa maksimal?”

 

Exit mobile version