Pandangan Murah menerawang jauh seperti kembali ke masa lalu saat dirinya masih remaja. Tak ada keraguan, apalagi ketakutan yang tergambar dari sorot mata pria 71 tahun itu. Hanya kebahagiaan dan kebanggaan yang terlihat dari pancaran mata pria yang menghabiskan seluruh hidupnya di Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah itu.
Meski usia sudah menggerogoti tubuh kekarnya, Murah masih berusaha memperlihatkan jejak keperkasaan dirinya saat berada di atas laut di peraian Teluk Bogam. Dengan mengenakan kemeja batik hem berwarna putih dengan corak biru dan violet, pria yang menyebut dirinya sebagai generasi ketiga dalam silsilah keluarganya, kemudian bercerita kepada media yang menemuinya di Teluk Bogam, pekan lalu.
Sambil sesekali membetulkan peci berwarna putih yang menutup kepalanya, Murah bercerita tentang kebiasaan di desanya yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kebiasaan tersebut, tidak lain adalah berburu mamalia laut Dugong (Dugong dugon), salah satu biota laut yang banyak ditemui di perairan Teluk Bogam. Tak main-main, dia menyebut kebiasaan itu menjadi hobi bagi warga di desanya.
“Kami itu dari dulu sudah biasa menangkap duyung. Kemudian, kami bawa ke desa dan dimasak. Setelah itu dimakan secara bersama dengan warga desa,” katanya menyebut sebutan Dugong dengan kata Duyung.
baca : Indonesia Terus Berupaya Lestarikan Dugong dan Padang Lamun dari Kepunahan, Bagaimana Caranya?
Dengan keriput yang menghiasi wajah dan seluruh tubuh, Murah menceritakan tentang kebiasaan tersebut sebagai kebanggaan bagi warga desa. Dulu, saat dirinya masih remaja, Dugong bisa dengan mudah ditemukan di pesisir Teluk Bogam dan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Mamalia laut tersebut mendatangi kawasan pesisir di sana, karena di dasar perairan tersebut terdapat tanaman lamun yang menjadi makanan favorit Dugong.
Di saat Dugong masih tersedia sangat banyak, Murah mengatakan, warga di desanya tak banyak yang tertarik untuk menangkapnya. Bukan karena tidak suka, melainkan karena untuk menangkap Dugong membutuhkan keahlian khusus disertai bakat alam. Dengan dua syarat yang dibutuhkan tersebut, saat itu tak banyak warga desa yang berani menjadi pemburu Dugong.
“Padahal, dari dulu juga warga desa itu mayoritas adalah menjadi nelayan. Mereka biasa melaut untuk mencari ikan di perairan dangkal ataupun dalam. Tapi, untuk menangkap Dugong mereka tak berani,” tuturnya.
Memanfaatkan momen tersebut, Murah kemudian memberanikan diri untuk menjadi pemburu Dugong. Kebetulan, sang Ayah lebih dulu menggeluti profesi tersebut sejak masih muda. Dengan demikian, dia menjadi generasi ketiga yang menasbihkan diri sebagai pemburu Dugong. Selain Ayah dan dirinya, sang kakek buyut juga tercatat di desanya sebagai pemburu Dugong.
“Saya hanya belajar otodidak saja dengan melihat Ayah berburu. Keahlian turun temurun ini, menjadi warisan yang tak bisa dibeli dengan apapun,” ucapnya.
baca : Ada Apa dengan Dugong?
Walau sudah sejak remaja ikut berburu Dugong, tetapi Murah bercerita, dirinya baru memulai profesi resminya tersebut pada 1965 atau 53 tahun lalu. Sepanjang menjadi pemburu Dugong, dia mengingat tidak banyak yang berhasil ditangkap. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1965, seingatnya hanya sekitar 10 ekor saja yang pernah ditangkapnya sendiri. Tetapi, dia buru-buru menambahkan bahwa jumlahnya bisa saja lebih.
Pemburuan yang berakhir pada 1995 itu, menurut Murah, terjadi karena saat itu dirinya mulai mengetahui kalau Dugong adalah mamalia laut yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, menjelang pensiun dari profesinya sebagai pemburu Dugong, dia menyebut kalau mamalia laut itu sudah mulai sedikit ada di Teluk Bogam.
“Saat itu, saya berburu Dugong juga sebagai hobi saja. Jadi tidak setiap hari berburu. Biasanya saya mencari ikan saja dalam keseharian. Tetapi, meski saya jarang berburu Dugong, tak banyak warga di desa yang mengikuti jejak saya ini,” jelasnya.
baca : Miris.. Duyung Terdampar Di Pantai Ini Malah Dipotong-potong dan Dijual
Perburuan Pamungkas
Lain Murah lain pula Syahrial. Kepala Desa Teluk Bogam itu bercerita tentang pengalamannya menjadi pemburu Dugong. Meski berbeda generasi dengan Murah, namun dia memastikan bahwa kebiasaan tersebut memiliki kesamaan dan bahkan tidak banyak berubah dibandingkan dengan generasi di atasnya. Namun, dia mengaku hobi berburu Dugong tidak lama dilakoni mengingat perburuan tersebut dinilai ilegal.
Di teras belakang rumahnya yang menghadap langsung ke pantai Teluk Bogam, Syahrial bercerita bahwa aksi berburu Dugong yang paling diingatnya adalah menjelang pergantian tahun 2016 ke 2017. Perburuan paling berkesan tersebut, tak hanya menyimpan rasa bahagia, namun juga rasa takut. Saat itu, selama sembilan malam dia bersama beberapa nelayan melakukan perburuan Dugong di perairan Teluk Bogam, khususnya kawasan Gosong Beras Basah yang menjadi habitat lamun yang subur.
“Saat itu, setelah sembilan malam, kita pulang ke rumah dengan membawa tiga ekor Duyung. Itu adalah tangkapang paling banyak selama saya menjadi pemburu,” ungkapnya.
Dia mengingat, saat tiba di rumah, perasaannya diselimuti kebahagiaan yang tidak terhingga karena bisa menangkap hewan laut yang sangat disukai warga Teluk Bogam. Saat itu dia berpikir, warga pasti senang karena bisa kembali memakan daging yang sangat lezat dan tak bisa ditandingi oleh daging merah atau daging dari biota laut lain. Daging tersebut juga sangat langka, karena tidak diperjualbelikan dan penangkapannya pun sangat susah.
“Tetapi, saat perasaan senang itu sedang menyelimuti saya, tiba-tiba saya didatangi oleh pemerintah dan kepolisian. Mereka kemudian menjelaskan tentang status Duyung yang saya tangkap adalah dilindungi oleh Negara. Saat itu saya diancam bisa masuk penjara,” jelasnya.
baca : Dugong Ditemukan Mati dan Dipotong-potong di Sungai Sempur Rupat Riau
Setelah mendapat penjelasan itu, Syahrial mengaku langsung merasa takut dan tak ingin mengulangi perbuatannya. Dia berjanji akan ikut menjaga mamalia laut yang populasinya semakin turun itu. Di Teluk Bogam, Dugong saat ini semakin sulit dijumpai dan itu diakui juga oleh Syahrial. Penurunan itu, bisa terjadi karena berbagai faktor.
Selain faktor penangkapan, Syahrial menyebut, populasi Dugong di Teluk Bogam semakin terancam, karena faktor jalur pelayaran perahu nelayan yang biasa berlalu lalang dari dan menuju Teluk Bogam. Tak lupa, dia menyebut, ancaman lain juga karena faktor alat tangkap yang biasa digunakan nelayan seperti jaring dan pukat harimau (trawl).
“Kalau jaring, biasanya disebar di air dan kemudian ditinggalkan semalaman. Saat diangkat, terkadang ada Duyung yang terjerat dan biasanya sudah mati karena tak bisa bernafas. Sementara, kalau trawl, itu mengancam karena akan merusak lamun yang ada di dasar air. Lamun adalah makanan Duyung,” jelasnya.
Sekretaris Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Laut Indah Hairussalam yang dijumpai di Teluk Bogam, mengatakan bahwa kebiasaan warga sejak lama memang menangkap dan mengonsumsinya secara bersama. Tetapi, dia menjamin kebiasaan tersebut sudah berhenti saat ini dan semua warga berjanji untuk menjaga mamalia laut Dugong.
Walau sudah ada komitmen warga, Hairussalam tidak menampik masih ada ancaman terhadap Dugong dari warga desa dan warga luar desa. Ancaman itu, terutama karena berasal dari perilaku warga dalam melakukan penangkapan ikan di perairan sekitar Teluk Bogam. Selain alat penangkapan ikan (API) seperti trawl, ancaman juga berasal dari perilaku warga dalam membuang sisa oli kapal ke perairan langsung.
“Masyarakat belum semua sadar, jadi masih ada yang belum paham. Kita akan terus sosialisasi tentang Dugong ini. Untuk nelayan yang pakai trawl, kita hanya akan melaporkannya ke aparat saja. Karena kita tidak ada kewenangan untuk menangkap,” ucapnya.
baca : Dugong Kembali Terjerat di Solor Barat. Bagaimana Akhirnya?
Untuk memberi semangat kepada warga supaya meninggalkan kebiasaan berburu dan mengonsumsi Dugong, Hairussalam menyebut kalau saat ini sudah ada inisiasi dari Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) untuk mencari penghasilan yang lebih menjanjikan. Inisiasi itu, mencakup pengembangan ekowisata dan ekonomi kerakyatan.
Untuk ekonomi kerakyatan, Site Manager Kotawaringin Barat WWF Indonesia Idham Farsha, menyebut pengembangan mencakup perikanan budidaya dan pertanian di lahan milik warga. Untuk spesifikasi produk, pengembangan mencakup usaha budidaya rumput laut dan tanaman obat bernama ujung atap (Baeckea frutescens). Terakhir, pengembangan juga dilakukan melalui produksi spirulina atau makanan nutrisi dengan kandungan sangat tinggi.
Diketahui, kehadiran DSCP di Kotawaringin Barat (Kobar) menjadi bagian dari proyek konservasi Dugong dan Lamun di Indonesia. Selain di Kobar, program juga dijalankan di Bintan (Kepulauan Riau), Toli-Toli (Sulawesi Tengah), dan Alor (Nusa Tenggara Timur). Program tersebut berjalan berkat inisiasi yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Selain KKP, DSCP juga melibatkan WWF-Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Keempat lembaga tersebut bekerja dalam kurun waktu dua tahun sejak program dilaksanakan pada 2016 hingga September 2018.
Fakta Dugong
Dugong adalah mamalia laut yang sudah dikenal di masyarakat Indonesia sejak lama. Hewan laut itu tubuhnya bisa mencapai antara 2,4 hingga 3 meter dengan rentang berat badan dari 230 hingga 908 kilogram. Sebagai mamalia laut yang bertubuh besar, Dugong termasuk lambat dalam reproduksinya. Untuk bisa mendapatkan satu anakan Dugong, waktu yang diperlukan bisa mencapai 14 bulan kehamilan dengan rentang waktu antar kelahiran rerata 2,5 hingga 5 tahun.
Menurut Ketua Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) Aditya Hikmat Nugraha, anakan Dugong akan disusui selama 14 bulan dan akan terus bersama induk betina hingga berusia 7 tahun. Setelah itu, anakan Dugong akan dilepas oleh induk untuk kawin. Selanjutnya, Dugong akan menjadi dewasa dan hidup mencapai rerata hingga 70 tahun.
Sebagai negeri kepulauan, Indonesia diuntungkan karena menjadi negeri habitat bagi Dugong. Dari barat di Aceh hingga timur di Papua, populasi Dugong dinyatakan ada. Ilmuwan spesialisasi laut, Mark Spalding pernah memaparkan bahwa populasi Dugong di Indonesia sebagian besar ada di Indonesia Timur, khususnya di perairan Arafura, Papua, perairan Nusa Tenggara (Lesser Sunda), Paparan Sunda, dan selat Makassar.
Keberadaan Dugong di alam sangatlah penting. Perannya sebagai pengendali ekosistem laut tidak bisa digantikan oleh biota laut lainnya. Sebagai pemakan lamun, Dugong biasa memakannya dengan cara mengaduk substrat yang ada di bawah pasir laut. Cara tersebut membantu siklus nutrien di alam dan menyuburkan tanah yang ada di bawah perairan.
Menyadari peran penting tersebut, Pemerintah Indonesia memasukkan Dugong sebagai satu dari 20 spesies prioritas yang dilindungi dan tercatat dalam Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Selain itu, Dugong juga masuk dalam UU No.31/2004 tentang Perikanan. Selain itu, Dugong juga ada dalam Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Di level internasional, Dugong juga sudah mendapat perlindungan setelah resmi masuk dalam daftar Global Red List of IUCN dengan status rentan (Vulnerable/VU). Kemudian, Dugong juga masuk dalam daftar The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dengan status Appendix I atau dilarang memperdagangan bagian tubuhnya dalam bentuk apapun.