Mongabay.co.id

Negara Harus Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua

 

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai komitmen Pemerintah Indonesia terhadap realisasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan perlindungan konstitusi atas hak non-diskriminasi perempuan asli Papua masih jauh dari harapan.

Dalam dokumen Joint-Submission kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Sidang ke-80, yang dilakukan bersama Lembaga Advokasi Peduli Perempuan (eL-AdPPer) Merauke, Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi perempuan adat untuk kemajuan mereka.

“Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak-hak masyarakat adat dan gagal melindungi hak-hak perempuan. Selain itu, kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengakui hak teritorial kolektif dan pengambilan keputusan masyarakat adat juga menghambat kemampuan perempuan adat untuk menikmati hak-hak yang dilindungi di bawah CEDAW,“ ungkap Amelia Puhili, staf Divisi Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, kepada media, Kamis (25/11/2021).

Menyambut perayaan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2021, Yayasan Pusaka sendiri telah melakukan rangkaian diskusi dan dialog bersama perempuan adat di Sorong Selatan terkait isu HAM dan lingkungan.

Menurut Amalia, forum tersebut menjadi tempat pertukaran pengalaman, pengetahuan dan pendapat di antara perempuan adat dalam melihat sejauh mana proses pemenuhan dan penegakkan HAM telah dilakukan, keadilan lingkungan dan iklim, komitmen negara terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta rekomendasi yang harus dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan ke depannya.

“Dalam forum ini perempuan adat menjelaskan bagaimana berbagai proyek investasi di atas tanah adatnya menyebabkan perubahan lingkungan dan konflik sosial, serta mempengaruhi penghidupan harian masing-masing.”

Matelda Baho, perempuan adat dari suku Maybrat di Kabupaten Maybrat, Papua Barat menggambarkan bagaimana identitas budaya marga Baho terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa sawit.

“Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon gnemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah merusaknya,” ungkap Matelda.

Pohon ganemo (Gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan dan bahan baku noken, sekaligus di saat yang bersamaan merupakan pohon sakral bagi Marga Baho.

Pada momen perayaan 16 HAKTP 2021, perempuan adat yang juga sebagai Perempuan Pembela HAM Lingkungan (WHRD) mendesak kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi perempuan adat, serta meminta seluruh pemangku kepentingan terkait untuk menjaga lingkungan dan hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan adat dalam setiap pengambilan keputusan.

Yayasan Pusaka mengambil momentum 16 HAKTP untuk menyampaikan kembali harapan para Perempuan Adat tersebut untuk segera diwujudkan oleh negara. Selama 16 hari ke depan, media sosial Yayasan Pusaka akan diwarnai oleh pesan-pesan para perempuan adat pembela HAM dan lingkungan.

Yayasan Pusaka dan perempuan adat dalam hal ini meminta pemerintah untuk segera mempercepat pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat untuk memberikan kepastian hak atas tanah adat dan hak atas dengan panduan free, prior and informed consent (FPIC) ke dalam undang-undang nasional.

baca : Penjaga Iklim, Lindungi Masyarakat Adat Papua

 

Para perempuan menjual sayuran dan buah-buahan di Pasar di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Foto : shutterstock

 

Seruan lainnya, agar pemerintah menghentikan perluasan konsesi kelapa sawit, penebangan dan pertambangan di atas tanah masyarakat adat yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, karena hal ini berpotensi mencemari ruang hidup dan merusak kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Selain itu, pemerintah harus bekerja dengan komunitas masyarakat adat, khususnya perempuan adat untuk mengatasi dampak berbahaya dari agribisnis dan memprioritaskan dukungan bagi mata pencaharian tradisional di atas perluasan ekstraksi sumber daya alam.

“Kami harap pemerintah harus secara proaktif terlibat dengan perempuan adat dan komunitasnya untuk memastikan mereka diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saat merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakatnya,” kata Amelia.

Terakhir, mereka meminta pemerintah menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan cara yang sesuai secara budaya melalui lembaga perwakilan mereka.

perlu dibaca : Potret Perempuan dari Tak Punya Hak Lahan sampai Kondisi Miris di Kebun Sawit

 

Para perempuan dengan pakaian adatnya dalam sebuah acara adat di di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Foto : shutterstock

 

Perempuan Adat dalam Konflik SDA Papua

Sebuah penelitian yang dilakukan Yayasan Pusaka yang berjudul ‘Mama Ke Hutan’ menggambarkan bagaimana posisi perempuan adat dalam kecamuk kontestasi sumber daya alam di Papua, dimana mereka mengalami eksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adat, tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya, dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya.

“Hak milik tanah yang umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki, menyebabkan perempuan adat kerap disingkirkan dari arena pengambilan keputusan terkait sumber daya alam, dan pada kondisi tertentu, mereka harus berhadapan dengan mara bahaya berupa stigmatisasi, labelisasi, tekanan dan kekerasan saat memperjuangkan dan menyuarakan haknya,” jelas Amelia.

Menurut Amelia, situasi ini juga dilandasi oleh meluasnya komodifikasi tanah bagi proyek-proyek swasta dan negeri skala besar, seperti perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, kawasan ekonomi khusus hingga mega proyek food estate dari periode ke periode.

“Dalam menjalankan kehendak investasinya tersebut, pemerintah dan para pemilik modal tidak merasa perlu mendengarkan suara perempuan adat, apalagi mempertimbangkannya secara serius. Padahal siapa yang sesungguhnya dirugikan di kemudian hari dari aktivitas investasi tersebut?”

Meskipun menghadapi tantangan kultural dan sosial yang besar dalam memperjuangkan haknya, perempuan adat terus menjadi garda terdepan perjuangan hak atas tanah, ruang hidup dan sumber penghidupan.

Dari temuan penelitian Yayasan Pusaka, motif terbesar perempuan adat yang menjadi argumentasi dari sikap resistensinya terhadap investasi berbasis tanah tersebut adalah kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai dan udara merupakan bagian penting dan tak terpisahkan bagi kehidupan mereka.

baca juga : Hutan Ruang Hidup, Dorong Pengakuan Hak Perempuan Atas Tanah di Papua

 

Sekelompok anak Papua berdandan sebelum melakukan tarian di dekat hutan di Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Papua. Foto : shutterstock

 

Dalam hal ini hutan adalah pasar tempat di mana mereka memenuhi sandang, papan, pangan dan gizi keluarga. Adalah pasar tempat mencari semua kebutuhan rumah tangga dan utamanya sumber pangan, adalah apotek hidup, obat tradisional, dan perpustakaan. Sebagai tempat mereka menyimpan pengetahuan tentang kehidupan, sejarah dan alam semesta yang suatu hari nanti akan diwariskan kepada keturunannya masing-masing.

“Mengganti keragaman fungsi hutan tersebut untuk satu komoditas yang asing dan tak terjangkau adalah kerugian yang tiada banding,” pungkas Amelia.

Sebelumnya, Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan dalam diskusi rilis laporan Yayasan Pusaka Belantara berjudul ‘Mama ke Hutan’, Perempuan Papua dalam Kecamuk Kontestasi Sumber Daya Alam,” pada 12 April 2021 menyatakan, penelitian ini menunjukkan kepemimpinan perempuan dan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam. Laporan ini, katanya, bisa menjadi bahan kritik terutama kepada perusahaan dan negara yang fokus pada keuntungan ekonomi dan melupakan keberlanjutan alam.

“Dalam konteks perusahaan, penting memastikan konsep bisnis dan HAM betul-betul berperspektif gender dan HAM. Ini kritik kita pada perusahaan-perusahaan.”

Pendeta Magda Kafiar dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua menyatakan, yang ada dalam laporan ini adalah fenomena umum di Tanah Papua. “Bagaimana agar suara perempuan terdengar dan mempunyai akses yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya alam, perlu diperjelas hingga dapat menjadi catatan arah advokasi lanjutannya.”

baca juga : Cerita Para Perempuan Penjaga Hutan

 

Kebakaran di hutan Papua, yang sudah berubah jadi konsesi sawit. Foto : video Investigasi Greenpeace dan beberapa organisasi lain.

 

Sebelumnya, Yustina Ogoney, tokoh perempuan adat Papua, juga Kepala Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, cerita soal bagaimana upaya perempuan melindungi wilayah adat mereka.

Yustina berasal dari Suku Moskona. Ini suku terbesar di Teluk Bintuni. Ada 17 marga di daerah ini. Suku Moskona mendiami sembilan distrik. Marga Ogoney Distrik Merdey, marga asal Yustina, saat ini berhasil memetakan wilayah adat, mengusulkan sebagai hutan adat dan sudah mendapat SK Pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni.

“Hutan di sepanjang wilayah Moskona dari utara, selatan, timur, barat itu sudah diambil oleh HPH (perusahaan dapat izin tebang buat ambil kayu-red) semua. Posisi Merdey berada di tengah. Itu menjadi ancaman untuk kami,” katanya dalam diskusi pada akhir Juli 2020 yang diselenggarakan BRWA, Fokker LSM Papua, Econusa Foundation dan WRI Indonesia.

baca juga : Upaya Perempuan Adat Papua Jaga Hak Wilayah Mereka

 

Yustina Ogoney, tokoh perempuan adat Papua, juga Kepala Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, cerita soal bagaimana upaya perempuan melindungi wilayah adat mereka. Foto : Yustina Ogoney

 

 

Exit mobile version