Mongabay.co.id

Hasil Sawit Sedikit, Banyak Rusak di Daerah

 

 

 

 

Jalanan dalam Koto Taluk, Ibu Kota Kuantan Singingi, Riau, mulus dan rata. Sedikit ke pinggiran, akan merasakan jalan rusak. Ada yang berlobang bahkan amblas. Rute Taluk-Desa Cengar jalan cor hanya sepanjang satu kilometer.

Lalu lintas ramai. Truk pengangkut tandan buah segar (TBS) dan kayu industri lalu-lalang. Mobil yang kami naiki sempat stagnan di kecepatan 40 kilometer saking padat kendaraan milik berbagai perusahaan itu. Kanan kiri jalan kebun sawit seakan tak pernah putus.

Suhardiman Amby, Wakil Bupati Kuantan Singingi, mengeluhkan kondisi jalan itu. Dia bilang, ada sekitar 5.000 kilometer jalan rusak di seluruh kabupaten. “Butuh dana sampai ratusan miliar untuk memperbaikinya,” katanya ditemui Agustus lalu.

Seharusnya, kata Suhardiman, ada kontribusi sektor swasta seperti perusahaan perkebunan sawit sebagai pengguna jalan. Dalam catatan pemerintah kabupaten, lebih separuh luas Kuantan Singingi tertutup sawit, mencapai 298.200 hektar—hampir lima kali luas daratan Jakarta. Kebun-kebun itu saban hari memasok TBS untuk 28 pabrik sawit yang tersebar di berbagai titik di kabupaten itu.

Meski begitu, pemasukan daerah dari sektor tanaman bernama latin Elaesis guineensis ini tergolong kecil. Suhardiman bilang, ini karena data sawit tidak tercatat benar. “Kalau begini terus, kami tidak dapat apa-apa.”

Dalam kurun waktu 2016-2020, realisasi pendapatan daerah selalu melenceng dari target. Pada 2020, misal, Kuantan Singingi mengantongi Rp59,3 miliar dari target Rp91,3 miliar. Realisasi pendapatan terendah pada 2016, saat kabupaten itu hanya dapat Rp54,5 miliar dari target Rp100,2 miliar.

Dari ratusan hektar kebun sawit di Kuantan Singingi, hanya 90.000 hektar tercatat. “Sisanya ilegal.”

Malam itu pun Suhardiman mengirimkan draf naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Limbago Adat Nogori, Tanah Ulayat, dan Pajak Pancung Alasnya di Kabupaten Kuantan Singingi. Dokumen itu disusun sejak April 2021 dan target kelar terbahas bersama DPRD Kuantan Singingi akhir tahun ini.

Naskah akademik yang kami dapatkan menjelaskan, alasan raperda ini: perundang-undangan yang ada dianggap tidak akomodatif terhadap pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Kuantan Singingi.

Dokumen itu akan mengatur pengukuhan lembaga adat dan perangkat di 10 luhak (wilayah suku) dan pembagian tanah ulayat. Nantinya, semua bentuk pemanfaatan tanah ulayat oleh perorangan dan badan usaha akan kena pajak pancung alas, atau pungutan adat yang berlaku di sejumlah wilayah Sumatera.

 

Seri sawit di kawasan hutan: Gelap Pajak di Kebun Sawit

Jalan di kebun sawit yang longsor di Bintan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Aturan alas pancung ini menyasar dua industri penguasa lahan Kuantan Singingi: perkebunan dan kehutanan. “Potensi pendapatan Rp270 miliar per tahun jika regulasi ini terealisasi,” kata Suhardiman.

Pria 52 tahun kelahiran Pulau Panjang Hilir, Inuman, Kuantan Singingi, ini mengangguk ketika ditanya apakah raperda hanya bentuk keputusasaan daerah yang tak kebagian banyak manfaat atas penguasaan lahan oleh bisnis sawit dan kayu akasia.

Tahun ini, anggaran daerah hasil pemekaran Kuantan Singingi hanya Rp 1,2 triliun. Duit Rp908 miliar teralokasi hanya untuk ongkos operasional pemerintahan. Dus, tersisa Rp101 miliar untuk program daerah. Jumlah yang belum tentu cukup untuk membangun jalan-jalan yang rusak tadi.

 

***

Sebelum menjadi wakil bupati, Suhardiman pernah memimpin Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan DPRD Riau. Temuan saat itu mengungkap, terdapat 1,4 juta hektar sawit ilegal di provinsi itu. Dari sini, pemerintah provinsi kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp107 triliun per tahun.

Hasil temuan ini pula yang mendasari keyakinan Suhardiman, bahwa, seretnya kontribusi sawit berakar pada kepatuhan pajak pengusaha sawit yang rendah. Terutama, korporasi penguasa lahan sekaligus produsen minyak mentah sawit (CPO) dan minyak kernel sawit (PKO). Dia menduga, perusahaan-perusahaan itu tak melaporkan dengan benar luas lahan produksi mereka.

Hasil analisis tim kolaborasi Betahita, Tempo, Mongabay Indonesia, Auriga Nusantara, dan peneliti independen mengungkap, ada potensi pendapatan pajak hilang dari kebun-kebun yang tidak tercatat ini, yang masuk ke dalam luas 16,6 juta hektar di 26 provinsi di seluruh Indonesia.

Dari 16,6 juta hektar, tim menghitung potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) perkebunan sawit mencapai Rp3,98-Rp4,78 triliun. Angka ini lebih tiga kali lipat realisasi rata-rata penerimaan PBB dalam lima tahun terakhir yang hanya Rp1,15 triliun. Jadi, ada kehilangan potensi penerimaan PBB perkebunan sawit Rp2,83-Rp3,63 triliun per tahun.

Untuk PPN, potensi kehilangan dari perkebunan sawit mencapai Rp1,48-Rp2,43 triliun per tahun. Potensi kehilangan penerimaan dari PPh Badan perkebunan sawit Rp18,4-Rp23,5 triliun per tahun.

 

Seri sawit di kawasan hutan: Jejak Sawit Gelap di Pasar Global

 

Namun, mayoritas pendapatan sektor pajak perkebunan sawit tidak langsung masuk ke kocek daerah. Gubernur Riau Syamsuar mengatakan, daerah hanya kecipratan PBB. Pemerintah daerah juga hanya dapat memungut pajak ekspor pada 1 juta hektar dari total 3,4 juta hektar kebun sawit.

“Ini karena berdasarkan hak guna usaha di Riau hanya 1 juta. Artinya, hanya yang membayar PBB dapat kita pungut pajak ekspornya. Yang lain belum terinventarisasi.”

Syamsuar menilai, kontribusi sawit rendah pada fiskal daerah berbanding terbalik dengan ongkos eksternalitas yang terjadi. Kerusakan lingkungan dan kerusakan jalan terjadi di daerah penghasil sawit.

“Maka kami merasa perlu memperjuangkan. Itu wajar saja karena kami hanya dapat PBB yang tidak seberapa jumlahnya.”

Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, telah lama mengeluhkan hal serupa. Baru-baru ini melalui akun Facebook-nya, kepala daerah salah satu provinsi penghasil sawit terluas di Indonesia ini menyalahkan perkebunan sawit dan pertambangan sebagai dalang banjir di empat kabupaten di Kalimantan Barat: Sintang, Malawi, Sanggau, dan Sekadau.

Bencana itu merendam sekitar 35.000 rumah, khusus di Sintang terdampak paling parah.

Sintang terendam banjir selama satu bulan sejak pertengahan Oktober. Menurut otoritas daerah, bencana itu yang terbesar dan terlama dalam 58 tahun. Puncaknya pada 11 November, dengan ketinggian tiga meter. Ada 123.936 warga terdampak di 12 kecamatan. Dua orang meninggal dunia, puluhan ribu rumah terendam dan 17.496 keluarga mengungsi.

Berbagai organisasi lingkungan hidup menyebut, alih fungsi hutan masif dan berlebihan sebagai pemicu banjir.

Nikodemus Ale, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar mengatakan, rencana tata ruang Kalimantan Barat memiliki kawasan produksi 6,4 juta hektar dari wilayah 14,7 juta hektar. Sisanya, merupakan kawasan non-produksi.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang, izin usaha perkebunan (IUP) perusahaan sawit mencapai 542.254 hektar. Seluas 195.989 hektar ditanami sawit dengan tujuh pabrik yang aktif beroperasi.

Kartiyus, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sintang, mengeluh pendapatan hanya ketika perusahaan sawit mengurus HGU, yakni, pungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Ini pun tidak semua perusahaan melakukan.

Sepanjang 2019-2021, ada tujuh perusahaan membayar BPHTB Rp 56,2 miliar. Di Sintang, ada 46 perusahaan perkebunan sawit masih aktif.

Walau demikian, Kartiyus tidak menyangkal bahwa sawit juga berkontribusi pada ekonomi masyarakat, khusus petani sawit.

Dia sumringah saat bertutur tentang harga sawit sedang rancak. Hingga 30 Oktober 2021, harga TBS terus naik, menembus angka Rp2.800 per kilogram di Kalimantan Barat. CPO dibanderol Rp13.131,97 per kilogram pada periode sama.

Menurut Kartiyus, masih perlu ada optimalisasi penerimaan pendapatan daerah dari sektor sawit. Pemerintah Sintang pun berupaya mendorong perusahaan perkebunan sawit dapat berkontribusi lebih lagi. Salah satu caranya, dengan mengadakan CSO Award untuk mendorong perusahaan membuat lebih banyak program tanggung jawab sosial (CSR).

Dia bilang, pemerintah daerah berupaya mendorong mekanisme bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah penghasil pajak lebih optimal. Saat ini, pembagian belum optimal.

Kartiyus dengan kepala daerah lain juga pernah menggelar pertemuan bersama Kementerian Keuangan untuk menyampaikan agar ada skema bagi hasil lebih menguntungkan bagi pemerintah daerah.

Intan Elvira, peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, keluhan Sintang maupun Kuantan Singingi dirasakan banyak daerah penghasil sawit pajak lain. Menurut dia, ada sistem bagi hasil yang tak adil di sektor perkebunan sawit antara pemerintah pusat dan daerah.

 

Perkebunan sawit milik PT Bagas Indah Perkasa (BIP) yang berdampingan dengan konsesi HTI milik RAPP di blok Hulu Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau
Photo: © Yudi Nofiandi/Auriga

 

Pendapatan minim itu diperparah karena pemerintah daerah harus menanggung kerusakan infrastruktur dan penurunan kualitas lingkungan serta bencana seperti kebakaran hutan dan lahan.

Sedang manfaat ekonomi tidak optimal. Kondisi ini disebabkan kebijakan yang tidak berpihak pada peningkatan fiskal pemerintah daerah.

Di luar PBB, pajak dari sektor perkebunan sawit masuk ke kantong pemerintah pusat. Dana cukai sawit juga mengalir ke Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang dikelola di Jakarta dan untuk insentif perusahaan dan peremajaan sawit.

“Selain itu, ada faktor kebun ilegal dan mangkir membayar pajak. Pelaksanaan self-assessment selama ini juga kurang optimal. Jadi yang salah di sini tidak hanya perusahaan tapi kebijakan pemerintah juga punya andil,” kata Intan.

Yustinus Lambang Setyo Putro, Kepala Kompartemen Perpajakan Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) tidak sependapat kalau kontribusi perkebunan sawit kepada pemerintah daerah menjadi tanggung jawab perusahaan.

“Perkebunan kita ini menjadi obyek pemerintah pusat, jadi kalau pemda (menyebut kontribusi) PBB perkebunan ini gak ada sama sekali atau belum maksimal, (pernyataan) itu salah. Perkebunan dan bangunan lain sudah kami laporkan ke pemerintah pusat,” katanya saat ditemui di Jakarta Oktober lalu.

Jadi, baik PBB, PPh badan dan PPn semua akan dibayarkan ke pemerintah pusat dan pendapatan daerah itu tidak ada yang secara langsung terkait pajak. “Kalau mau minta bagi hasil, jangan minta ke perusahaan, mintalah ke pemerintah pusat. Permohonan pemerintah daerah dengan ada retribusi dari sawit itu malah kontraproduktif,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gapki.

Mariana Dyah Savitri, Kepala Subdirektorat Bagi Hasil Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menyatakan, pemerintah pusat sudah berlaku sesuai aturan dalam memberikan dana bagi hasil (DBH), termasuk DBH sektor perkebunan sawit. Meskipun demikian, dia meminta pemda tidak melihat secara parsial.

Apalagi, hanya menyoroti DBH perkebunan. “Karena DBH perkebunan hanya bagian kecil transfer pusat ke daerah.”

Dia merujuk pada dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Dana ini merupakan alokasi khusus dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari pemerintah pusat ke APBD milik pemerintah daerah untuk dikelola agar pemda memiliki kapasitas dalam menyediakan layanan publik.

Berdasarkan catatan DJPK, pemerintah sudah menggelontorkan dana cukup besar untuk TKDD. Pada 2021, alokasi TKDD mencapai Rp795,5 triliun.

TKDD ini merupakan satu bungkusan besar dana-dana lain yang salah satunya adalah DBH. Meskipun bukan hanya dari sektor sawit, tetapi DBH PBB perkebunan, kata Vitri paling tinggi.

Sumatera Utara, merupakan daerah yang mendapatkan DBH tertinggi pada 2021 dengan Rp47 miliar yang masuk ke APBD mereka. “Jadi, kalau dilihat, ada kontribusi juga yang diterima pemda dari sektor perkebunan ini.”

 

Sawit, daerah banyak terima dampak buruknya, pemasukan minim. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

***

Pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi telah lama menyadari ada ketimpangan pembagian pendapatan dari pajak sektor perkebunan sawit. Pada 2020, 22 gubernur provinsi sawit pun mendorong pemerintah pusat dan daerah mendukung agar dana bagi hasil mendapatkan porsi yang adil.

Upaya serupa pernah digagas empat gubernur Kalimantan (selain Kalimantan Utara). Gusti Hardiansyah, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura yang pernah menjadi penasihat saat Gubernur Kalimantan Barat Kornelis menjabat, mengatakan, kala itu sempat ada inisiatif bersama (pemerintah, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat) mendorong mekanisme pembagian hasil sawit (pajak) ke pemerintah pusat. Upaya itu terhenti karena salah satu gubernur mundur.

“Namun itu kan kembali ke pusat,” katanya saat ditemui di Pontianak, September lalu.

Gusti bilang, ada masalah dihadapi daerah penghasil sawit, seperti Kalimantan Barat. Dia contohkan, nilai tambah maupun pungutan ekspor CPO yang tidak masuk kas provinsi lantaran tidak mempunyai pelabuhan. Apalagi, pemerintah daerah juga hanya menerima PBB dari sektor sawit.

Gubernur Sutarmidji, katanya, kemudian melanjutkan inisiatif ini dengan membangun pelabuhan internasional Pelabuhan Terminal Kijing di Mempawah. Ini salah satu proyek strategis nasional.

Langkah ini, katanya Gusti, agar provinsi itu mendapatkan pungutan ekspor. Selama ini, sawit-sawit dan turunanya dari Kalimantan Barat itu berangkat ke Dumai, Riau sebelum ekspor.

“(Masalah) ini sudah terjawab. Jadi, nanti kalau kita mengirim CPO, otomatis devisa masuk ke sini. Jadi nggak ke mana-mana lagi. Lumayanlah perjuangan itu, sekarang sudah mulai terjawab.”

Awal September lalu, Gubernur Riau Syamsuar juga mengirim surat ke Komisi XI DPR di Senayan. Syamsuar mengusulkan, ada pasal mengenai pembagian dana bagi hasil sawit kepada daerah penghasil dari pemerintah pusat. Surat ini dikirim Syamsuar setelah ada pertemuan gubernur berbagai daerah penghasil sawit pada 2020.

Gus Irawan Pasaribu, anggota Komisi IX DPR RI telah menerima surat itu. “Tuntutan daerah penghasil sawit itu bukan terjadi sekarang saja, sudah sejak belasan tahun lalu hal ini disuarakan,” katanya.

Hal ini wajar, katanya, karena sawit pasti menghasilkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur. Terutama, karena truk CPO yang melintasi di jalan bisa memiliki bobot yang mencapai 20-30 ton. Sedang jalan tidak untuk menahan kendaraan dengan beban sebesar itu.

“Jalan desa, kecamatan dan kabupaten itu pasti rusak karena dilewati truk-truk CPO.”

Sisi lain, tidak ada alokasi dana khusus menyokong infrastruktur daerah dari segala macam pungutan di sektor sawit. Pungutan ekspor sawit ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) awalnya untuk mendukung infrastruktur daerah penghasil sawit. Praktiknya, nihil.

Dia menilai, penting DBH sawit ini bagi daerah. Harapannya, bisa terealiasasi dalam Rancangan Undang-undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD) yang masih dibahas DPR.

Kalau ada UU ini, akan ada turunan peraturan mengenai pengaturan sektor sumber daya alam lain, termasuk sawit. “Sangat tidak adil kalau tidak ada yang kembali ke daerah penghasil sawit seperti kekayaan alam lain.”

 

 

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

*Laporan seri kedua tim kolaborasi riset dan peliputan Betahita, Mongabay Indonesia, Tempo, dan Auriga Nusantara mengenai pajak dan pasar sawit ini terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa, Eyes on the Forest, Jikalahari, dan Greenpeace Indonesia.

*****

Foto utama: Sawit, pendapatan fiskal minim, kerusakan banyak. Foto: Tim Kolaborasi

 

Exit mobile version