Mongabay.co.id

Mana Perlindungan Negara bagi Para Pembela Lingkungan Hidup?

 

 

 

 

“Saya Sapoy, mewakili PMKP. Sudah lama kami memperjuangkan ini, tapi pertambangan tetap berjalan, kriminalisasi tetap berjalan. Saya juga bingung, mau bagaimana lagi,” kata Sapoy, mengawali pembicaraan.

Sapoy adalah satu dari dua orang yang dalam penyelidikan polisi atas laporan Pramudya Afgani, pengusaha yang punya izin usaha pertambangan pasir dan batu di Desa Sendangmulyo dan Sendangagung, Kecamatan Minggir, Sleman.

Sapoy bersama Iswanto disidik untuk kasus tindak pidana merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan.

“Kali Progo adalah sumber mata air terbesar di Jogja. Seharusnya sumber air ini dilindungi, dilestarikan,” katanya dalam diskusi dari baru-baru ini.

Air merupakan keperluan paling mendasar manusia. Dia khawatir kala Kali Progo mulai rusak. “Itu yang kami khawatirkan. Dampaknya sudah terjadi di wilayah kami. Ada beberapa warga yang sumur mulai kering karena penambangan ini.”

Bersama kelompoknya, Paguyuban Masyarakat Kali Progo, (PMKP) Sapoy sudah mengadukan kasus penambangan yang menilai perizinan cacat administrasi ke pemerintahan desa sampai provinsi. Mereka juga menyampaikan ancaman operasi tambang bagi kelestarian air dan lingkungan mereka.

“Kondisi geografis di tempat kami itu perengan. Kalau longsor bagaimana, ini salah satu yang juga kami khawatirkan. Kami bertemu dinas-dinas. Tapi malah kami diintimidasi. Akhinya kami demo di pinggir Kali Progo, di wilayah tanah kampung kami sendiri.”

“Kami hanya membentangkan spanduk, entah kenapa tiba-tiba kami dipanggil dengan pertama, pasal tindakan kekerasan terhadap orang dan barang. Kedua, menghalang-halangi aktivitas penambangan.”

Saat dihubungi Mongabay, Sapoy menerangkan sejak ada penambangan ketentraman warga terganggu. Bukan hanya bising karena beroperasi alat-alat berat, juga rasa khawatir ancaman bahaya longsor.

“Rumah saya sendiri berada di perengan, jaraknya kurang lebih 20 meter dari sungai. Jelas sangat khawatir kalau terjadi bencana.”

 

Baca juga: Jaga Hutan Terjerat Hukum, Berbagai Kalangan Desak Bebaskan Pemuda Adat Sabuai

Suasana Desa Wadas. Warga protes dan tak terima kala lahan yang menjadi lahan pertanian dan perkebunan mereka akan jadi wilayah tambang material pembuatan bendungan.  Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat yang berjuang atau melawan saat lingkungan hidup mereka yang terancam, malah terancam jerat hukum, bukan mendapatkan perlindungan negara. Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sepanjang 2020, ada delapan kasus kriminalisasi tambang yang menimpa 69 orang. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, tahun lalu setidaknya terjadi 134 kasus kriminalisasi terkait konflik pertanahan.

Himawan Adi dari Walhi Jogja mengatakan, sejak Januari 2021 ada 18 orang warga Jomboran yang dipanggil kepolisian karena dianggap menghalang-halangi penambangan.

“Warga merasa terancam aktivitas penambangan di sana. Banyak sumur warga mulai kekeringan. Panmsimas yang mereka manfaatkan juga terancam, tanah milik Sapoy sedikit lagi juga kena. Ketika mereka mengekspresikan diri, justru kriminalisasi yang dihadapi.”

Julian Dwi Prasetya, dari YLBHI Yogyakarta mengatakan, krisis air tak hanya dihadapi warga Jomboran. Sejumlah warga yang memanfaatkan air di aliran Sungai Krasak di Magelang dan Boyolali juga mengalami nasib yang sama karena pertambangan pasir dan batu besar-besaran.

“Negara ingin mengejar pertumbuhan ekonomi, sementara masyarakat ingin menjaga lingkungan karena sifatnya yang terbatas.”

Dia mempertanyakan, Pasal 66 Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, seakan tak berfungsi. Pasal itu menyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata.

Sebaliknya, negara mudah menggunakan pasal-pasal kriminalisasi. Pengadilan bahkan juga tidak menggunakan Pasal 66 UU PPLH ini, meski majelis hakim sudah tersertifikasi lingkungan seperti dalam kasus Wadas.

Anita Wahid menyatakan, melihat kasus-kasus semacam itu makin khawatr dengan kondisi demokrasi Indonesia.

“Kita tahu 23 tahun lalu reformasi sudah mengamanatkan apa untuk Indonesia. Kita tahu demokrasi yang diinginkan adalah memastikan semua warga negara dilindungi, semua kepentingan didengarkan dan memiliki keterwakilan. Kita melihat sekian belas tahun terakhir itu tidak terjadi. Bahkan terus menerus tergerus,” kata putri Presiden RI keempat ini.

“Sekarang kita melihat bagaimana pranata yang mungkin dipergunakan untuk melakukan pemunduran demokrasi sudah ada, dan itu banyak dilakukan.”

Contoh lain, UU Minerba menempatkan kelompok masyarakat adat, pelindung alam, justru dalam kondisi sangat rentan. Selain itu, makin mudah bagi para koruptor untuk mendapatkan izin pertambangan, pabrik, ataupun kegiatan korporasi, karena revisi UU KPK sudah membuat KPK menjadi lemah.

Trisno Raharjo, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah mengatakan, UU Minerba seharusnya sinkron dengan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Cipta Kerja. Dampak ketidak sinkronan itu, katanya, muncullah konflik seperti di Jomboran dan tempat lain.

“UU Minerba dan UU lain yang berkaitan dengan Kehutanan, Perkebunan, harus memperhatikan apa yang disebutkan dalam UU Lingkungan Hidup. UU Lingkungan harus menjaga semua, tidak bisa diabaikan.”

“Bagaimana tambang batubara menghasilkan kolam-kolam yang berakhir dengan cerita memilukan. Yang disalahkan kok orang yang tenggelam, bukan perusahaan yang harusnya mereklamasi.”

Dianto Bachriadi, peneliti di Agrarian Resources Centre (ARC) lebih tajam lagi menyoroti makin banyak persoalan konflik agraria, dan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hak, dan aktivis yang melakukan pembelaan.

Dia bilang, salah satu akar konflik pertanahan sejak Orde Baru adalah kemudahan pemberian izin bagi sejumlah konsesi, baik perkebunan maupun pertambangan dalam skala besar. Izin biasa terbit di atas tanah yang diklaim milik negara.

“Kenapa saya katakan diklaim, karena di banyak tempat di atas tanah yang diterbitkan izin konsesi itu sesungguhnya sudah hidup, digunakan, dikuasai, dimiliki oleh sejumlah komunitas. Salah satunya, komunitas masyarakat adat yang sudah menguasai teritori adat dalam waktu sangat lama. Konsekuensinya, masyarakat yang tinggal di situ harus tersingkir. Lalu terjadilah kekerasan-kekerasan, pelanggaran HAM.”

Asfinawati, Ketua YLBHI mempertanyakan, proyek strategis nasional. “Apakah nasional itu berarti untuk swasta nasional, pemerintahan secara nasional, atau rakyat secara nasional?

“Kalau itu pemerintah, apakah jika kaya berarti rakyat akan sejahtera? Kalau untuk rakyat, mengapa digusur, dikriminalisasi. Kemungkinan, untuk swasta nasional atau perusahaan lain baik dalam negeri maupun luar negeri yang berskala nasional.”

Asfinawati melihat, pergeseran kewenangan perizinan pertambangan dari daerah ke pusat makin menyulitkan rakyat terdampak tambang untuk protes. Meskipun begitu, katanya, kondisi ini bisa jadi peluang membangun gerakan makin terkonsolidasi karena penentu kebijakan di pusat.

 

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

Aksi protes organisasi masyarakat sipil terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja. Foto: KPA

 

Makin terjal

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) juga lakukan penelitian soal situasi pembela HAM atas lingkungan periode Januari-April 2021. Filarian Burhan, Peneliti Elsam mengatakan, dalam laporan itu menunjukkan, tidak ada upaya perbaikan situasi.

Setidaknya, rentang empat bulan pertama 2021. Filarian melihat, hal itu bukan hanya muncul kasus dan korban, juga kasus tetap sama seperti di caturwulan sebelumnya pada 2020, yakni, 10 kasus.

Dalam 10 kasus itu meledak di 10 daerah di Indonesia, caturwulan pertama 2021. Di utara Sumatera dua kasus bergejolak, lantas masing-masing satu peristiwa di Bangka Belitung, Riau, Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Elsam melihat, menelisik 10 peristiwa dan menemukan 15 tindakan pelanggaran. Paling dominan adalah penangkapan, ada lima kasus. Disusul serangan fisik tiga kasus, penahanan tiga kasus, meperkarakan hukum (2), peradilan tidak adil (3), dan masing-masing satu kasus untuk pengrusakan dan perampasan tanah.

Dari kemelut ini, korban tidak mengada-ada, ada 70 orang. Warga jadi korban 22 kasus, aktivis (12) dan (2) petani, 34 sisanya kategori lain-lain.

“Ini data cukup ironis,” Filarian.

Siapa pelakunya? Dalam caturwulan pertama 2021, Elsam menemukan 10 aktor negara. Polisi, satu institusi yang jadi aktor paling dominan pelanggaran sekaligus ancaman bagi pembela HAM atas lingkungan, mengungguli jaksa ada tiga, dan satu hakim.

Kemudian, aktor non-negara, ada tujuh dan aktor perusahaan mendominasi ada lima, satu aktor preman dan satu kategori lain.

Pada 2020, Komnas HAM, mendapati tren pemberangusan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya makin merisaukan.

“[Ini] juga menjadi catatan tersendiri terkait penegakan HAM pada periode 2020 tahun lalu,” kata Hariansyah dari Komnas HAM.

Beberapa kasus di internet, katanya, terkait kriminalisasi terhadap aktivis maupun masyarakat sipil yang berani mengemukakan pendapat di akun sosial media. Situs resmi media juga tak pelak menjadi sasaran kejahatan siber, berupa peretasan. Lebih jauh, juga mengancam dan mengintimidasi jurnalis, bahkan menyebar informasi pribadinya ke internet (doxing).

“Saya kira, ini modus—bentuk serangan—yang cukup masif sekarang ini dan terus berulang,” katanya.

 

Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Kinipan, baru dibebaskan dari tahanan polisi. Foto: AMAN

 

Mengapa situasi perlindungan pembela HAM atas lingkungan dinilai makin terjal?  Dalam laporan Elsam berpendapat, setidaknya ada dua hal. Pertama, tipologi kasus masih sama dengan yang sudah-sudah. Maksudnya, kasus yang muncul melibatkan aktor dengan latar belakang ekonomi politik yang tidak berubah sejak dulu.

“[Itu] menunjukkan, apa yang terjadi di periode ini, tidak ubah seperti kisah lama yang diulang dengan menumbalkan para pembela HAM atas lingkungan baru sebagai korban,” kata Filarian.

Berarti, katanya, negara tak belajar atau tidak mengevaluasi kebijakan perlindungan dan segala aspek tata kelola yang berkaitan dengan pembela HAM di sektor lingkungan.

Kedua, gerakan ganda. “Ini muncul di tahun sebelumnya dalam laporan Elsam. Faktor ini menyulut gerakan yang melawan keras upaya perampasan ruang hidup dan pengrusakan lingkungan.

Tahun lalu, gerakan massa meledak di beberapa kota besar di Indonesia. Aktivis lintas gerakan turun ke jalan, protes rancangan UU Cipta Kerja.

Menariknya, yang melatarbelakangi muncul dua faktor itu, masih sama, seperti tahun sebelumnya yakni proyek strategis nasional (PSN) dan perampasan lahan.

Satu contoh kasus di Desa Wadas, Purworejo, berkaitan dengan PSN. “Yang kita tahu, pemerintah melalui polisi dan TNI itu memaksakan penambangan batuan andesit, di desa ini. Melancarkan pembangunan untuk kelancaran Bendungan Bener, salah satu proyek strategis nasional,” kata Filarian.

 

Angin segar?

Di tengah riam ancaman yang terus menggerus kerja-kerja pembela HAM atas lingkungan, satu dekade terakhir, inisiatif membendung itu pun bermunculan.

Filarian menyebut, inisiatif ini sebagai “peluang mencari celah” penguatan perlindungan terhadap pembela HAM atas lingkungan.

Komnas HAM menerbitkan Peraturan Komnas HAM 5/2004 tentang prosedur perlindungan terhadap pembela HAM. Terbaru, adalah Standar Norma Peraturan (SNP) Pembela HAM.

Filarian menilai, inisiatif terbaru ini sudah baik. Dalam draf, memuat pengakuan, potensi serangan pembela HAM sulit diprediksi dan ditangani melalui penegakan hukum. Juga ada pengakuan pembela HAM di Indonesia tidak dibatasi batas negara.

“Semangat internasionalisme ini bisa membawa implikasi jauh untuk menerobos batas-batasan solidaritas di mana ada selama ini kita bisa lihat hal ini bisa seringkali dihambat terkait soal imigrasi dan nasionalisme,” katanya.

Hal baik lain, katanya, penekanan pada perlindungan bagi pembela HAM kelompok perempuan, disabilitas, dan anak. Juga mengadopsi rumusan frontline defender, menyangkut sejauh mana asas anti kekerasan dan universalisme HAM bisa dipakai untuk kerangka pembela HAM.

 

Khaleb Yamarua dan Stefanus Ahwalam, dua warga Sabuai yang ditetapkan sebagai tersangka Kasus Sengketa Lahan Hutan Adat

 

SNP yang sedang berproses ini, katanya juga menegaskan luasnya kategori dan ruang lingkup kerja pembela HAM atas lingkungan, dengan menyebutn eksplisit jenis-jenis pekerja HAM, yang selama ini paling sulit terdeteksi dan terlindungi oleh mekanisme perlindungan negara.

“SNP ini akan menjadi rujukan bagi pemakai atau pemaknaan bagi lembaga dan polisi dan sebagainya, dalam pertama menafsirkan dan melihat kasus-kasus yang berkaitan dengan hubungan dengan pembela HAM.”

Meskipun begitu, Elsam kritik atas draf SNP ini. Salah satu soal, hanya menitikberatkan pada pembela HAM formal, yang bekerja di bawah naungan organisasi masyarakat sipil.

“Walaupun pada nomor berikutnya itu, juga dikatakan luas, tapi dalam poin ini juga terlihat kaku.”

Ketika formalitas dikedepankan, katanya, khawatir kelompok-kelompok seperti masyarakat adat, yang berjuang memperjuangkan alam dan lingkungan tidak mudah masuk dalam pemaknaan ini. “Hanya karena informalitasnya.”

Hariansyah mengakui kekurangan itu. Komnas HAM, telah uji publik di beberapa daerah di Indonesia. Pertanyaan yang kerap muncul dan mendasar soal kategori pembela HAM.

“Siapakah yang berwenang melakukan labelisasi atau sertifikasi terhadap pembela HAM?” Ini gambaran umum yang muncul di publik, di masyarakat, di kelompok-kelompok birokrasi di penegak hukum,” kata Hariansyah.

Sisi lain, Hariansyah merasa mengidentifikasi pembela HAM itu penting. Walaupun dalam SNP, untuk mengidentifikasi pembela HAM itu melalui kerja-kerja mereka dan kerja-kerja melalui proses damai.

“Nah, ini yang seringkali juga menjadi problematis di lapangan. Siapa yang berhak menterjemahkan bahwa mereka sudah melakukan dengan cara damai? Ketika proses hukum itu dilakuka,n misalkan,” kata Hariansyah.

Inisiatif baik ini tak berhenti sampai di situ. Ada juga, upaya mendorong peraturan mengenai Anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation). Ini semacam strategi untuk menghalau upaya pemerkaraan hukum terhadap warga negara yang memakai hak politik mereka, untuk berperan dalam pembangunan. Di Indonesia, SLAPP kerap terjadi, melalui kriminalisasi.

“Sebenarnya, sudah ada di Pasal 66 UU Lingkungan Hidup tetapi pasal itu belum beroperasi efektif karena ada celah hukum, kelemahan substansi, maupun kelemahan prosedur,” kata Marsha Handayani dari .CEL.

Dari norma pasal itu, ada kelemahan dalam penjelasan, dengan membatasi subyek, korban dan atau pelapor. Padahal, kata Marsha, di batang tubuh menyebut tegas, bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.

“Namun, di penjelasan—lagi-lagi—dibatasi, perjuangan hak atas lingkungan hidup ini, yaitu yang menempuh cara hukum, padahal perjuangan lingkungan hidup tidak hanya ditempuh melalui cara hukum,” kata Marsha.

 

*****

Foto utama:  Protes warga atau aktivis lingkungan yang tak ingin wilayah hidup warga rusak karena operasi bisnis atau proyek skala besar, kadang berujung jerat hukum. Masyarakat yang sebenarnya sudah jadi korban atau orang yang terancam, malah tertimpa masalah lagi karena terkena jerat hukum. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version