Mongabay.co.id

Tujuh Perangkat Pengelolaan Ruang Laut Diluncurkan

 

Pengelolaan ruang laut kini memiliki tujuh perangkat baru dengan fungsinya masing-masing. Apakah mampu berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan?

Tujuh perangkat tersebut adalah MPA Vision 2030 untuk kawasan konservasi (Marine Protected Area/MPA), Sidako untuk sistem database konservasi, Strakom untuk strategi komunikasi, Evika sebagai perangkat evaluasi terbaru untuk efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, E-Panji sebagai perangkat evaluasi efektivitas pengelolaan jenis ikan, Shark ID sebagai modul identifikasi karkas, Wedgefish dan Giant Guitarfish, dan Neraca sumber daya laut dan kawasan konservasi.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen PRL KKP) meluncurkan sejumlah perangkat pengelolaan untuk konservasi laut yang efektif ini, Jumat (03/12/2021). Peluncuran ini merupakan bagian dari kegiatan Lokakarya Nasional Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (Loknas KKHL) bertema “Konservasi Efektif untuk Ruang Laut Lestari”. Perangkat ini dibuat dari kerjasama banyak pihak termasuk CSO lembaga konservasi di Indonesia.

Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP mengatakan peluncuran ini bagian dari Pekan Pengelolaan Ruang Laut, sebagai bentuk hasil atau output program selama 2021.

Een Erawan Putra, Direktur Eksekutif Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara menyakan akan berkontribusi dalam dokumentasi dan sudah menandatangani kerjasama dengan pemerintah.

Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Pamuji Lestari berharap pada neraca sumberdaya laut karena jadi hal baru tentang instrumen lingkungan untuk pengelolaan ruang laut. Ia mengajak proaktif memanfaatkan laut dengan investasi berkelanjutan dan menghasilkan pendapatan negara bukan pajak. Ia juga mendorong dibuatnya dokumen wisata premium berbasis konservasi.

baca : Pengelolaan Ruang Laut Bergantung pada Neraca Sumber daya Laut

 

Sebagian dari perangkat yang diluncurkan. Foto : screenshoot talkshow

 

Rili Djohani, Direktur Eksekutif CTC melalui siaran pers menambahkan perangkat pengelolaan baru ini akan memastikan Pemerintah Indonesia memenuhi targetnya untuk memiliki 10 persen (32,5 juta hektare) perairan Indonesia sebagai kawasan konservasi pada 2030 untuk dikelola secara efektif. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan MPA Vision 2030 yakni terwujudnya 32,5 juta hektare Kawasan Konservasi yang efektif melindungi keanekaragaman hayati laut dan sumber daya ikan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, masyarakat pesisir dan pulau- pulau kecil di Indonesia.

Untuk mencapai hal ini, rencana tersebut telah dibagi ke dalam tujuh ‘Area Kerja’ (AoW) utama. Bersama WWF-Indonesia, CTC memfasilitasi penyusunan dokumen MPA Vision 2030 dan secara khusus fokus pada strategi terkait perencanaan terpadu, sumber daya manusia dan peningkatan kompetensi personel kawasan konservasi, dan platform komunikasi dan penjangkauan.

Penggunaan EVIKA fokus pada target konservasi (spesies dan tujuan) dan input, proses, output, serta hasil daripada hanya menilai kawasan konservasi, apabila dibandingkan dengan alat evaluasi yang ada sebelumnya (E-KKP3K). Hasil Evika akan mengidentifikasi status kawasan konservasi dan kebutuhan yang perlu ditindaklanjuti sebagai rencana aksi untuk kemajuan pengelolaan kawasan konservasi di masa depan. Sejak awal 2021, CTC berperan memastikan mekanisme Evika diterapkan dengan baik, serta mendukung pemerintah dalam menilai 61 kawasan konservasi di tingkat nasional dengan menggunakan perangkat baru tersebut.

 

Neraca sumberdaya laut TWA Gili Matra

Firdaus mempresentasikan neraca sumberdaya laut yang sudah dipublikasikan melalui buku panduan. Proyek percontohan adalah Kawasan konservasi Taman Wisata Perairan Gili Matra, karena termasuk kawasan konservasi nasional, terletak di Leser Sunda yang merupakan bentang prioritas. Prosesnya dimulai dari pengumpulan data dan analisis, penilaian luasan dan kondisi ekosistem, dan penilaian ekonomi ekosistem.

Neraca Aset Sumberdaya Laut di TWA Gili Matra ini meiputi pulau Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno yang masuk wilayah NTB.

Estimasi nilai ekonomi sumberdaya dilakukan dengan identifikasi jasa lingkungan yang disediakan, kemudian valuasi nilai ekonomi dari masing-masing jasa lingkungan.

baca juga : Menata Ruang Laut, Menyeimbangkan Ekonomi dan Ekologi

Arsip pengambilan data terumbu karang di TWA Gili Matra. Foto : screenshoot talkshow

 

Neraca pertama adalah luasan ekosistem. Ia menunjukkan perubahan warna di ketiga pulau. Dari aset ekosistem ini ada tiga ekosistem yang dinilai yakni terumbu karang, lamun, dan mangrove. Nilai stok awal (opening stock) terumbu karang sekitar 183,34 hektare, lamun 56.50 hektare, dan mangrove 13.53 hektare.

Jika dibandingkan data awal yakni pada 2015 ke 2020, terjadi penurunan terumbu karang sekitar 2 ha, ia menyebut kemungkinan karena pemutihan. Mangrove juga berkurang 5 ha, namun padang lamun bertambah 23 ha. “Tapi dari tutupan baku mutu lamun kurang bagus. Baku mutu tutupan mangrove bagus, tapi extent-nya (kondisi ekosistem) berkurang,” jelasnya.

Dari perhitungan ini, ia mencatat perlu cek sebaran spasial atau persisnya perubahan yang terjadi. Terkait kualitas perairan, disebutkan sebaran BOD dari analisis citra satelit, tertinggi di Gili Meno, artinya nutrien banyak. Hal ini perlu diperdalam lagi.

Sejarah pengelolaan Gili Matra ini dimulai pada 1993 jadi Taman Wisata Alam Laut melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan, 2001 jadi Kawasan Pelestarian Alam Perairan, 2009 terjadi pemindahan pengelola ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada 2014 memiliki renana pengelolaan ruang laut da zonasi.

Nilai ekonomi ekosistem itu kemudian dimaterialkan menjadi Rp36,59 miliar per tahun untuk terumbu karang, lamun Rp6,59 miliar, dan mangrove Rp3,11 miliar. Dari nilai tersebut, dirinci lagi nilai mana yang berkontribusi. Untuk terumbu karang, nilai terbesar ada di pariwisata (cultural) jauh lebih besar yakni Rp32 miliar dibanding pengaturan (regulating), dan penyediaan (provisoning).

Sedangkan di lamun nilai tertinggi dari supporting-nya yakni siklus nutriennya senilai hampir Rp5 miliar. “Untuk mangrove terbesar juga supporting-nya, nilai keberadaan ekosistem lebih tinggi dibanding mengekstraknya,” jelas Firdaus.

Secara umum terjadi peningkatan nilai ekonomi 41% namun perlu dicermati fungsi ekosistem mana yang meningkat dan distribusi spasial dari nilai ekosistem dengan zonasi kawasannya.

perlu dibaca : Ini Tantangan Menyeimbangkan Fungsi Ekonomi dan Ekologi di Laut Nusantara

 

Seorang wisatawan sedang melakukan kegiatan snorkeling di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat. Foto : Anton Muhajir

 

Tindak lanjut perhitungan berikutnya adalah neraca untuk menilai aliran menuju ekonomi dan aliran menuju lingkungan.

Peluncuran neraca ini mengundang sejumlah pihak untuk merespon. Hafid dari Badan Informasi Geospasial (BIG) mengatakan untuk membuat kesimpulan nilai dan perubahan ekosistem tak cukup data 1-2 tahun tapi harus time series. “Untuk mengetahui perkembangan dan pemodelan jika tak ada aksi, jadi bukan sebatas asumsi,” katanya.

Ia mengingatkan pentingnya data spasial, ini adalah data dengan informasi keruangan, koordinat, dan letak geografisnya. Untuk mengetahui kika ada pengurangan dan penambahan, persisnya di mana? Saat ingin ditindaklanjuti akan sulit karena tidak tahu persisnya.

Data luasan dalam bentuk spasial akan terkonfirmasi posisi di mana persisnya. “Perlu pengamatan yang konsisten, selama 5 tahun apa perubahannya. Perlu kolaborasi semua yang teribat,” tambahnya.

Ia juga mengaitkan dengan kebijakan Satu Data Indonesia, namun masalahnya data sulit didapatkan, menentukan standar yang dipakai, kualitas data, dan pemutakhirannya. Menurutnya diperlukan data akurat, mutakhir, dan terpadu. Jika kerja dengan masing-masing data, hasilnya beda. Karena itu perlu wali data, siapa yang bertanggungjawab mewakili data. Selain wacana satu data, Indonesia juga mewacanakan satu peta.

Perwakilan Badan Pusat Statistik (BPS) Etjih Tasriah juga membagi cara BPS menghitung neraca luasan ekosistem (ecosystem extent). Masukannya pada hasil neraca Gili Matra ini, luasan ekosistem belum mencerminkan perairan Gili Matra, karena perlu mencantumkan semua tipe ekosistem. Berikutnya, perubahan matriks ekosistem harus terlihat titik spasialnya, dan menambah klasifikasi ekosistem lain agar total luasan mencerminkan kondisinya.

 

KMP Permata Lestari II kandas di Gili Kapal, Lombok Timur, NTB. Pada tahun 2019 juga pernah terjadi kapal kandas yang merusak terumbu karang di sekitar perairan Gili Kondo. Foto : Pokmaswas Petarando/BPSPL Denpasar

 

Prof Dr Akhmad Fauzi, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengapresiasi karena melakukan riset langsung ke lapangan. Faktor krusial dalam pengelolaan ruang laut adalah neraca sumberdaya. “Ngambil terus dari alam seperti ambil ATM tapi tak pernah nabung, itu perannya akuntabilitas,” katanya.

Ia berharap perlu dipaparkan implikasi neraca ini ketika diserahkan ke pemerintah daerah agar tidak sekadar angka. Akhmad menyarankan protokol benefit transfer dalam konversi ekosistem, karena range nilai terumbu karang sangat lebar. Ia juga menyontohkan prinsip rain capture dalam menumbuhkan kesadaran pentingnya nilai ekosistem. Misalnya satwa Panda hanya punya China, tapi negara lain bisa menyewa misal 1 juta USD, itu yang disebutnya rain capture. “Sangat berharga. Misal nilai terumbu karang yang tinggi dikonversi, terdistribusi ke masyarakat. Punya banyak kok masyarakat tidak merasakan?” urainya.

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Imam Fauzi berharap neraca ini berguna untuk evaluasi pengelolaan Gili Matra. “Berikutnya apa? Jika terjadi kerusakan ekosistem seperti kapal kandas, ini sering terjadi tapi solusinya kurang jelas misal menentukan nilai kerugian untuk ganti rugi oleh pelaku. Selalu didebatkan, lalu disepakati nilai minimal. Kerugian secara ekonomi berapa?” tanyanya.

Akhmad Fauzi menjawab dengan menekankan pentingnya natural resource damage assesment dipajang di kantor pemerintah. “Jadi saat investor datang, oh sekian nilai material bisa hilang. Neraca jadi basis data saat klaim ganti kerugian,” tambahnya. Ia mengaku sudah menyampaikan hal ini ke hakim saat menangani kasus soal ganti rugi.

Berkaca dari pengalamannya studi di Kanada, ada satu kasus menarik saat suku asli di sana ingin memburu paus lagi. Dari perhitungan ekosistem, disampaikan jika perlu 70 tahun menggantikan satu ekor paus. Suku di Kanada ini dipersilakan memburu paus lagi jika memburu dengan cara tradisional saat leluhurnya dulu. Karena sekarang sudah pakai GPS dan teknologi canggih yang bisa menandai kehadiran paus dengan mudah.

 

Ilustrasi. Seorang penyelam sedang menyelam di perairan Pulau Kapoposang yang masuk areal TWP Kapoposang. Foto : BKKPN Kupang

 

Exit mobile version