Mongabay.co.id

Kala Indonesia ‘Banjir’ Bencana Dampak Iklim

 

 

 

 

Banjir pasang air laut (rob) melanda sejumlah kelurahan di Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa (7/12/21). Sekitar 14.929 keluarga terdampak. Sebelum itu, medio November lalu, masih di Sumut, tanah longsor di Kabupaten Deli Serdang, menyebabkan satu orang dari Desa Rumah Kinangkung, Kecamatan Sibolangit, meninggal dunia.

Di Nusa Tenggara Barat, sejak 6 November lalu banjir melanda dua kecamatan di Lombok Barat. Sebagian sudah berangsur surut pada Selasa (7/12/21). Bencana ini menelan korban jiwa, empat orang meninggal dunia.

Sejak November lalu, bencana bertubi dari banjir, longsor, puting beliung melanda berbagai daerah di Indonesia dari Kalimantan, Jawa, Sumatera, Sulawesi, sampai Nusa Tenggara. Di Sintang, Kalimantan Barat, misal, banjir merendam kota itu selama berminggu-minggu.

Pada tahun ini, beberapa wilayah Indonesia diterjang bencana hidrometeorologi basah. Curah hujan dipengaruhi fenomena La-Nina makin dirasakan dengan peningkatan kejadian, seperti banjir dan banjir bandang.

Data BNPB, sepanjang 2021 sampai awal Desember ini, bencana mencapai 2.775 kejadian, dengan empat tertinggi yakni, banjir 1.159 kali, disusul cuaca ekstrem 695 kali, dan tanah longsor 563 kali serta kebakaran hutan dan lahan 265 kali.

Melihat kondisi ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau BPBD untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan.

 

Banjir di Lombok, NTB pafa 6 November lalu. Foto: BNPB

 

Menurut pantauan BMKG, wilayah Indonesia masih akan mengalami dampak dari fenomena La-Nina hingga Februari 2022. Fenomena ini dapat meningkatkan curah hujan hingga 70%, apabila tidak disikapi tepat dapat menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, bandang, dan tanah longsor dan lain-lain.

BNPB meminta, pemerintah daerah menyiapkan langkah-langkah kesiapsiagaan menghadapi potensi dampak La-Nina guna mengurangi kerugian. Masyarakat pun, diminta meningkatkan kewaspadaan apabila terjadi hujan dengan durasi lama, terutama mereka yang tinggal di daerah aliran sungai dan tebing maupun lereng.

“Mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat selalu waspada dan siap terhadap potensi bahaya hidrometeorologi, seperti banjir, bandang, tanah longsor maupun angin kencang,” kata Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam rilis kepada media, belum lama ini.

Catatan BNPB  pekan pertama November 2021, setidaknya ada 32 banjir dengan korban meninggal sembilan orang, dan dua hilang.

BNPB meminta, BPBD provinsi meningkatkan koordinasi dengan dinas terkait dan aparatur kabupaten dan kota.

“Upaya ini dibarengi monitoring berkala untuk mendapatkan informasi peringatan dini cuaca dan potensi ancaman bencana melalui beberapa laman yang dikelola BMKG, Lapan, BNPB atau pun Badan Geologi.”

Prasinta Dewi, Deputi Bidang Pencegahan BNPB meminta, BPBD meningkatkan sosialisasi, edukasi dan mitigasi terkait upaya pencegahan dengan media elektronik  atau media sosial.

“Melakukan koordinasi dengan lembaga atau organisasi terkait (RAPI, Orari, Senkom, Forum PRB daerah) dalam penyebarluasan informasi peringatan dini banjir dan gerakan tanah secara berkala kepada masyarakat, khusus di wilayah berisiko tinggi.”

Soal penanganan warga terdampak, BNPB meminta BPBD menyiapkan dan sosialisasi tempat evakuasi aman dengan mempertimbangkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19.

Penanganan warga maupun bencana perlu mengidentifikasi kebutuhan dan ketersediaan sumber daya. Dapat juga, peninjauan rencanan kontinjensi yang disusun pemerintah daerah.

“Apabila diperlukan, pemerintah daerah dapat menetapkan status darurat bencana dan membentuk pos komando penanganan darurat bencana serta mengaktivasi rencana kontinjensi menjadi rencana operasi,” kata Prasinta.

Identifikasi BNPB berdasarkan inaRISK mencatat, wilayah Indonesia rawan potensi banjir dengan kategori sedang hingga tinggi. Populasi yang berpotensi terpapar bahaya ini mencapai 100,81 juta jiwa, tersebar di seluruh Indonesia.

Begitu juga potensi bahaya tanah longsor yang teridentifikasi pada 33 provinsi dengan potensi populasi terpapar mencapai 14 juta jiwa.

 

 

Krisis iklim

Pemanasan global mendorong perubahan iklim hingga bisa menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin topan dan lain-lain.

Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan,   perubahan iklim ini langsung atau tak langsung dampak aktivitas manusia.

Pemanasan global, katanya, bersumber antara lain dari hutan gundul dan hancur, penggunaan pupuk kimia menyumbang nitrat atau gas rumah kaca. Juga, cerobong cerobong asap yang menggunakan bahan bakar fosil. Asap ini, katanya, memberikan kontribusi signifikan terhadap laju penambahan gas CO2 di udara. Begitu juga, katanya, transportasi bahan bakar fosil.

“Beberapa hal ini sangat penting untuk mitigasi, mencegah efek rumah kaca, ” katanya, dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Data BNPB, 99% bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. Antara lain muncul lewat hujan ekstrem hingga menyebabkan banjir dan puting beliung serta tanah longsor. Atau sebaliknya, kekeringan hingga terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Bencana meteorologi muncul dari kondisi cuaca atau iklim, dengan berbagai parameter, antara lain  peningkatan curah hujan ekstrem, bahkan juga penurunan curah hujan ekstrem juga suhu ekstrem, cuaca ekstrem. Semua serba ekstrem. Ini berakibat pada kekeringan, banjir atau genangan, badai topan tornado, puting beliung, El-Nino, La-Nina, kebakaran hutan, longsor  ataupun gelombang dingin.

“Inilah fakta, dapat dilihat data-data sudah membuktikan dan dampak ini tidak hanya bersifat lokal bahkan regional dan global. Sebaliknya, juga pengaruh global bisa berdampak pada kondisi lokal ataupun regional, ” kata Dwikorita.

Satu dampak dari perubahan iklim akibat anomali suhu muka air laut di Samudra Pasifik, katanya, terhadap kondisi suhu muka air laut di perairan Indonesia.

“Teman-teman BMKG sedang memantau, memonitor bagaimana potensi atau peluang La-Nina di akhir tahun 2021.”

Dwikorita mengatakan, temperatur di udara dari analisis udara yang terperangkap, diketahui sejak 40.000 tahun lalu sampai sekarang, perubahan CO2 di udara tidak pernah melebihi 280 ppm. BMKG juga menganalisis, fluktuasi perubahan CO2 riil dari hasil monitoring, fluktuasi perubahan fluktuasi CO2 di udara, sama dengan fluktuasi perubahan suhu udara di atmosfer.

Untuk gas rumah kaca, katanya, fluktuasi sejak lebih 400 tahun lalu, relatif masih datar dekati nol, tak ada loncatan, tetapi sekarang ada lonjakan sangat tajam. Konsentrasi efek rumah kaca atau CO2 lebih 360 cm, sebelumnya maksimum 350 cm dan rata-rata 200-an cm.

Untuk trend hujan ekstrem di Indonesia mengalami peningkatan, sebelumnya pada 1981, sekitar 31 tahun lalu masih 10 kali dalam setahun, saat ini sudah hampir 60 kali dalam setahun.

“Ini benar-benar data yang jadi fakta hingga harus dapat segera mitigasi.”

 

 

Berdasarkan kajian mereka, tren hujan ekstrem menunjukkan peningkatan sangat tajam baik di Kalimantan, Sumatera sampai Papua. hujan ekstrem makin meningkat dari semula hanya empat kali dalam setahun, kini bisa mencapai hampir 10 kali dalam setahun..

Kalau lihat grafik BMKG, anomali suhu rata-rata bulanan, pada September 2020, sudah terlihat orange mendekati merah bahkan nyaris merah. Artinya, anomali sudah nyaris 1,5 derajat celcius. Grafik itu antara 0,6 hingga 1,1 derajat.. Ini dibandingkan dengan rata-rata 1981-2010.

Arifin Rudianto, Deputi Kemaritiman dan Sumberdaya Alam Bappenas mengatakan, lima tahun terakhir ini adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1805. Kemudian, tingkat kenaikan permukaan laut juga baru-baru ini nyaris tiga kali lipat bila dibandingkan dengan 1900-1970-an. Berdasarkan hasil laporan INCC terungkap, seluruh wilayah di bumi, tengah mengalami dampak perubahan iklim.

“Artinya apa, bumi sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, ” katanya..

Menurut dia, semua pihak harus bisa melakukan sesuatu secara bersama-sama dan cepat dalam menekan pemanasan global agar suhu 3,5 derajat Celcius pada 2100.

Perubahan pola curah hujan dan ekstrem variability yang lebih tinggi, juga diprediksi ada kejadian lebih ekstrem lagi. Ekstrem kering dan basah akan lebih sering berpeluang terjadi. Hal-hal itu, katanya, tentu berimplikasi pada iklim, antara lain peningkatan tinggi gelombang, kerentanan pesisir, potensi kekeringan dan potensi kejadian luar biasa akibat perubahan iklim serta potensi penurunan ketersediaan air dan produksi padi.

Bappenas menyusun enam buku kebijakan pembangunan pertahanan iklim yang sudah rilis oleh   Kepala Bappenas pada 1 April 2021.Dokumen ini antara lain terdiri dari ringkasan lokasi rentan dan rawan, aksi ketahanan iklim, kelembagaan siapa melakukan apa, pendanaan ketahanan iklim, terakhir, mengenai pemantauan inflasi serta pelaporan ketahanan iklim.

 

*****

Foto utama:

Exit mobile version