Mongabay.co.id

Pancing Ulur : Upaya Nelayan Natuna Menjaga Laut

 

Siang itu cuaca cukup cerah, ombak di laut Natuna tidak kencang. Doni dan Rahman sudah siap menurunkan benang nilon yang dililit di lingkaran kayu. Bentuknya digulung seperti benang layang-layang.

Ketika kapten kapal menemukan titik koordinat potensi ikan, kapal melaju dengan pelan, sambil dihempas ombak yang kian membesar. “Turunkan,” kata Rahmad Wijaya memberikan perintah kepada dua orang anak buah kapal (ABK) dari tempat kemudi kapal. Dengan sigap Doni dan Rahman menurunkan benang perlahan yang sudah dipasang umpan potongan ikan tongkol dan pemberat timah.

Umpan tidak berada di ujung benang seperti pancing biasa, tetapi berada disepanjang benang. Jaraknya sekitar satu meter antara umpan yang satu dengan yang lain. “Ini namanya pancing ulur,” kata Rahmad tekong kapal yang sudah melaut sejak kecil di Natuna.

Beberapa saat Rahmad memberhentikan kapalnya, dua kawannya itu terus mengulurkan benang. Lokasi titik memancing ini kata Rahmad, tidak dipilih sembarangan, tetapi berdasarkan petunjuk radar dan koordinat titik tertentu yang sudah disimpan sejak lama. “Dari radar kami melihat kondisi karang, yang menandakan adanya kelompok ikan di dasar laut,” kata pria 35 tahun itu.

Pancing ulur memang digunakan untuk menangkap ikan demersal atau ikan dasar. Natuna memiliki beragam jenis ikan demersal seperti kerapu, manyung, kurisi, cumi-cumi, kurisi bali, hingga kakap merah.

Rahmad mengatakan, pancing ulur ini menggunakan mata pancing yang cukup besar. Bagi nelayan Natuna sejak dulunya alat ini dikhususkan menangkap ikan dewasa atau berukuran besar. “Kami tahu soal menjaga isi laut ini, kalau semua (ukuran ikan) kami tangkap anak cucuk kami bagaimana,” kata Rahmad kepada Mongabay Indonesia awal November 2021 lalu. Rahmad menggunakan mata pancing berukuran enam, khusus ikan berukuran besar.

Pancing ulur dijadikan alat utama nelayan Natuna menangkap ikan karena sudah turun temurun. Nelayan Natuna diberi pemahaman untuk tetap menjaga ekosistem bawah laut dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Selang beberapa lama Doni dan Rahman menarik pancing ulurnya. Kali ini pancingan mereka tidak membuahkan hasil. “Beginilah, kadang dapat ikan, kadang tidak. Sudah susah sekarang,” kata Rahmat kembali menambah kecepatan kapalnya untuk mencari titik memancing lainnya.

baca : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

 

Alat tangkap pancing ulur yang digunakan nelayan Natuna. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Begitu juga yang disampaikan Samsul nelayan Natuna lainnya. Ia menyebutkan, menggunakan pancing ulur untuk melaut sudah sejak lama. Pancing ulur, katanya, sangat ramah lingkungan, nelayan tidak bisa mengambil ikan dalam jumlah yang banyak.

Samsul biasanya, menurunkan lima mata pancing ulur, jika semua mata dimakan ikan membuat tarikan harus kuat. “Kadang ada yang 7 mata diturunkan, tetapi saya kuatnya 5 mata aja, kalau sudah dimakan ikan berat sekali ketika ditarik naik ke atas kapal,” katanya kepada Mongabay Indonesia. Samsul mengatakan, satu alat pancing ulur dibutuhkan biaya Rp 400 ribu.

 

Ancaman Pukat Harimau Kapal Asing 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Natuna, pancing ulur cukup banyak digunakan nelayan Natuna, tercatat 3.300 nelayan menggunakan alat tangkap tradisional itu. Selain pancing ulur, nelayan Natuna juga menggunakan alat tangkap ramah lingkungan lainnya, seperti pancing tonda, rawai, bubu ikan hingga bubu kepiting.

Di tengah upaya nelayan menjaga ekosistem laut dengan alat tangkap sederhana, laut Natuna terus digempur kapal pencuri ikan nelayan asing. Nelayan asing menggunakan alat tangkap yang sangat merusak yaitu pukat harimau atau pair trawl. Alat ini tidak hanya merusak tetapi juga menangkap seluruh ukuran ikan yang ada didalam laut Natuna. Alat ini juga dilarang digunakan di perairan laut Indonesia.

Data terbaru analisis Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dilihat dari  Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System  (AIS) ditemukan setidaknya 13 kapal Vietnam yang diduga melakukan illegal fishing di Laut Natuna Utara selama Oktober dan November 2021.

Setelah dilakukan overlay, kapal Vietnam tersebut terdeteksi beraktivitas di wilayah ZEE Indonesia yang berada di bawah garis batas Landas Kontinen Indonesia, dimana tidak ada tumpang tindih klaim dengan Vietnam mutlak di perairan Indonesia.

Analisis yang diterbitkan 3 Desember 2021 lalu juga menyebutkan, kapal Vietnam menggunakan pukat harimau atau pair trawl sebagai alat tangkap. Hal itu terlihat dari citra satelit, belasan kapal pencuri tersebut melaut dengan pola berpasangan dan bergerak lurus dengan kecepatan tetap.

Salah seorang nelayan Natuna Dedi mengatakan, kapal asing semakin berani masuk ke perairan Natuna setelah Menteri Susi Pudjiastuti tidak menjabat. Nelayan Vietnam menggunakan pukat harimau atau pair trawl yang sangat berbahaya untuk ekosistem bawah laut Natuna. “Kalau zaman bu Susi kapal asing ada, tetapi jauh dari perairan Indonesia,” katanya.

baca juga : Nelayan Asing Makin Berani di Laut Natuna, Tak Hanya Tangkap Ikan juga Pasang Rumpon

 

Seorang nelayan menggunakan alat pancing ulur. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Nelayan yang biasa melaut di 100 mil ke atas dari bibir pantai ini, merasakan hasil tangkapannya terus berkurang beberapa tahun belakangan. Hal itu membuat Dedi, harus melaut lebih lama dari biasanya. “Dulu kita melaut tujuh hari, sekarang harus 14 hari,” kata pria 40 tahun itu kepada Mongabay Indonesia, awal November 2021.

Dedi melanjutkan, nelayan Natuna harus mengalah ketika berpapasan dengan kapal asing Vietnam yang menggunakan pair trawl di laut Natuna. Kalau tidak menghindar, nelayan khawatir kapal mereka akan disapu oleh jaring prail trawl yang membentang di laut Natuna.

Apalagi tambah Dedi, ketika malam hari saat nelayan Natuna istirahat di tengah laut ancaman disapu oleh kapal asing sangat mungkin terjadi. Nelayan Natuna terpaksa harus berjaga secara bergantian pada malam hari. “Ketika ada pair trawl kita langsung menghindar,” katanya.

Dedi menyebutkan, tidak tertutup kemungkinan ketika nelayan tradisional pancing ulur tidak mendapat ikan lagi di tengah laut mereka beralih ke alat tangkap yang merusak, seperti potasium, bom dan lainnya. “Ya kalau kapal asing tidak bisa diatasi, cantrang yang merusak tidak bisa diatasi pemerintah, kami bisa saja menggunakan alat tangkap yang merusak juga, gimana lagi,” kata Dedi.

Kapal pencuri ikan Vietnam tidak hanya menangkap ikan jenis demersal atau ikan yang berada di dasar laut. Tetapi nelayan Natuna menemukan kapal asing tersebut juga menangkap ikan permukaan seperti ikan tongkol.

Samsul mengatakan, ikan tongkol bagi nelayan Natuna sangat penting karena dijadikan umpan ketika melaut. “Sekarang Vietnam habiskan tongkol itu, satupun tidak sisa untuk kita, padahal tongkol lebih bagus dijadikan umpan, tahannya lebih lama daripada cumi-cumi,” katanya.

baca juga : Panen Matahari di Atas Kapal Nelayan Natuna

 

Dua orang nelayan Natuna saat memancing di laut Natuna. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, menggunakan alat tangkap pancing ulur sudah menjadi tradisi nelayan Natuna. Nelayan memahami alat tangkap tersebut ramah lingkungan.

Bahkan kata Hendri, nelayan sebenarnya mampu mengganti alat tangkap yang lebih bisa menangkap ikan dalam jumlah besar. Tetapi nelayan tidak mau karena diyakini tidak ramah lingkungan. “Mereka (nelayan) sebenarnya mampu, tetapi mereka tidak suka,” kata Hendri.

Menurut Hendri, fenomena bertahannya nelayan tradisional menggunakan alat pancing ulur, kontradiktif dengan yang dilakukan kapal asing pencuri ikan malahan menggunakan pukat harimau di tengah laut. “Ini bentuk kurang perhatian pemerintah terhadap nelayan Indonesia,” kata Hendri.

Seharusnya, kata Hendri, pemerintah bisa memberdayakan nelayan lokal Natuna seperti meningkatkan kapasitas kapal dan alat tangkap agar bisa melaut di laut lepas Natuna. Selain meningkatkan jumlah tangkapan, laut perbatasan yang sering dicuri kapal asing akan dijaga dengan baik oleh nelayan lokal.

Salah satunya, kata Hendri, Aliansi Nelayan Natuna (ANN) pernah mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan berupa pursein mini untuk nelayan. Pursein mini salah satu alat yang dibutuhkan masyarakat Natuna untuk menangkap ikan tongkol. “Nelayan tidak sanggup kalau membeli pusein mini itu karena harganya miliaran, kami berharap pemerintah memberikan bantuan alat tangkap tersebut, agar laut Natuna memang dimanfaatkan masyarakat lokal bukan kapal asing,” katanya.

Saat ini pancing ulur nelayan tidak hanya terancam oleh pukat harimau kapal asing pencuri ikan. Tetapi, juga dari aturan pemerintah yang melegalkan alat tangkap terbaru yaitu pukat tarik berkantong.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, setiap wilayah perikanan memiliki rencana pengelola perikanan melalui aturan pemerintah. Di dalam rencana tersebut sudah ditentukan jenis alat tangkap yang digunakan. “Ada sekitar 7 alat tangkap yang terdapat dalam itu, termasuk pancing ulur,” kata Abdul.

Namun belakangan ini, lanjut Abdul, pemerintah menambah satu alat tangkap lagi yaitu pukat jaring berkantong, menurut Abdul hanya perubahan nama dari pukat harimau. “Sama saja, itu tetap merusak, makanya aliansi nelayan menolak,” katanya.

Abdul menyayangkan, pemerintah mengabaikan suara penolakan nelayan tradisional tersebut. “Sebetulnya kami sudah menyampaikan juga kepada kementerian agar revisi aturan itu,” katanya.

 

Exit mobile version