Mongabay.co.id

Klaim Keberhasilan di Catahu Pemerintah 2021 untuk Sektor Perikanan Budidaya

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya (DJPB) membuat catatan akhir tahun (Catahu) dengan optimisme dan klaim keberhasilan di sejumah sektor. Di sisi lain, masih banyak persoalan di sektor budi daya yang belum teratasi.

KKP dalam siaran persnya menyebutkan kinerja subsektor perikanan budi daya sepanjang tahun 2021 memberikan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat dan para pembudidaya. Di antaranya nilai tukar pembudidaya ikan pada triwulan III 2021 sebesar 103,08, meningkat dibandingkan capaian triwulan III tahun 2020 sebesar 100,34. Kemudian pendapatan pembudidaya ikan pada triwulan III 2021 sebesar Rp4.367.018 meningkat dibandingkan capaian triwulan III 2020 sebesar Rp3.544.245.

Dari sisi produksi, jumlah produksi perikanan budi daya pada triwulan III 2021 sebesar 12,25 juta ton, meningkat dibandingkan capaian triwulan III 2020 yang sebesar 11,53 juta ton. Produksi ikan hias pada triwulan III 2021 sebesar 1,02 miliar ekor, meningkat dibandingkan capaian triwulan III 2020 sebesar 0,78 miliar ekor. Capaian nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan budi daya sampai dengan November 2021 mencapai Rp27,80 miliar melampaui dari target yang ditetapkan sebesar Rp19,91 miliar.

KKP menyatakan capaian kinerja yang positif tersebut didukung oleh realisasi program peningkatan produksi perikanan budi daya tahun 2021. Melalui pengelolaan perbenihan yang telah dilakukan per November 2021 di antaranya penyediaan benih bermutu sebanyak 172 juta ekor, penyediaan calon induk unggul 170,6 ribu ekor, penyediaan bibit rumput laut sebanyak 92,7 ribu kg, penyediaan keramba jaring apung (KJA) budidaya laut sebanyak 150 unit, dan rehabilitasi Unit Pembenihan Rakyat (UPR/HSRT) sebanyak 3 unit dan kebun bibit rumput laut sebanyak 30 unit.

Pengelolaan produksi dan usaha budi daya di antaranya penyediaan minapadi 100 unit, penyediaan sarana dan prasarana ikan hias sebanyak 63 unit, penyediaan sarana dan prasarana produksi sebanyak 609 paket dan budi daya ikan sistem bioflok sebanyak 192 unit.

Selain itu pengelolaan kawasan dan kesehatan ikan diakui telah dilakukan per November 2021 di antaranya Pengelolaan Irigasi perikanan partisipatif (PITAP) sebanyak 55 unit dan bantuan excavator sebanyak 29 unit. Sementara pengelolaan pakan dan obat ikan juga di antaranya penyediaan pakan alami 5 unit, penyediaan pakan ikan mandiri 703,5 ribu kg serta mesin, dan bahan baku pakan sebanyak 40 unit.

baca : Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

KKP juga menyebut dampak dari pengembangan program perikanan budi daya pada kegiatan padat karya telah melibatkan tenaga kerja sebanyak 3.124 orang dengan upah yang terbayarkan sebanyak Rp13,82 miliar. Di antaranya untuk program kegiatan KJA budi daya laut sebanyak 150 unit dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 300 orang, dan kegiatan minapadi sebanyak 100 unit dengan menyerap tenaga kerja 667 orang. Berikutnya kegiatan PITAP sebanyak 55 unit dengan menyerap tenaga kerja 1.400 orang, kegiatan kluster tambak udang (MSF) sebanyak 1 unit dengan tenaga kerja terlibat sebanyak 58 orang dan kluster tambak udang sebanyak 8 unit dengan tenaga kerja yang terlibat sebanyak 699 orang.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Tb Haeru Rahayu dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2021 dan Proyeksi Kinerja Subsektor Perikanan Budidaya di 2022 yang berlangsung secara hybrid, Selasa (7/12/2021). Tebe berharap perikanan budidaya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya khususnya, dengan tetap menjaga kelestarian alam, keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati.

Untuk tahun 2022, ada dua program KKP di awal tahun untuk menggenjot produktivitas sektor perikanan budi daya di Indonesia. Peningkatan produksi salah satunya bertujuan untuk memenuhi target ekspor, khususnya komoditas perikanan budidaya.

Dua program terobosan tersebut adalah pengembangan perikanan budi daya berbasis pada ekspor dengan komoditas unggulan di pasar global. Serta pembangunan kampung perikanan budi daya berbasis kearifan lokal.

Merefleksikan program terobosan tersebut, lanjut Tebe, pihaknya fokus pada komoditas berorientasi ekspor yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, yaitu udang, lobster, kepiting dan rumput laut. Target produksi udang yakni 2 juta ton pada tahun 2024. Strategi KKP berupa revitalisasi tambak udang tradisional menjadi tambak semi intensif melalui peranan teknologi dengan target seluas 45 ribu hektare (ha). Melalui strategi ini, produktivitas tambak dari 0,6 ton/ha/tahun diharapkan meningkat menjadi 30 ton/ha/tahun.

baca juga : Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi dari Perikanan Budi daya

 

Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Strategi lainnya melalui modelling tambak udang seluas 1.000 ha yang merupakan percontohan kawasan tambak udang modern terintegrasi yang menerapkan good aquaculture practices dari hulu hingga hilir. Melalui modelling tambak ini diharapkan produktivitas dari 0,6 ton/ha/tahun diharapkan bisa menjadi 80 ton/ha/tahun.

“Peningkatan produksi komoditas berorientasi ekspor jadi harga mati. Guna pemulihan ekonomi nasional selama pandemi yang masih membayangi kita semua. Salah satu komoditas yang akan kita kejar terus produksinya adalah udang karena memang udang masih jadi primadona ekspor,” tegas Tebe.

Program terobosan berikutnya adalah pembangunan kampung perikanan budidaya tawar, payau, dan laut berbasis kearifan lokal. Dengan tujuan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan pembudidaya ikan dan menjaga komoditas yang bernilai ekonomis tinggi dari kepunahan.

Lokasi kampung perikanan budidaya berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 64 Tahun 2021 tentang Kampung Perikanan Budi daya, antara lain berada di Kabupaten Pasaman untuk komoditas ikan mas, Kabupaten OKU Timur untuk patin, Kabupaten Pati untuk komoditas nila salin, Kabupaten Gresik untuk ikan bandeng, Kabupaten Lombok Timur untuk lobster, dan Kabupaten Kupang untuk kampung budi daya kerapu. Keenamnya sudah ditetapkan, dan akan ada 130 lokasi lainnya yang akan dibangun pada 2022.

Kampung perikanan budi daya menurutnya menjadi salah satu andalan untuk bisa menjadi ketahanan pangan nasional. Selain itu, program terobosan KKP terkait subsektor perikanan budi daya diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, melalui pembentukan korporasi, maupun lahirnya entrepreneur baru, meningkatkan penerimaan negara melalui devisa ekspor, pajak, PNBP, maupun sumber penerimaan subtitusi impor serta meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan. Harapannya program yang akan kita jalankan mampu memberikan manfaat yang besar baik untuk masyarakat khususnya pembudidaya.

baca juga : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Catatan atas Catahu

Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Selasa (07/12/2021) memberi sejumlah catatan dari Catahu tersebut.

Menurutnya dua program yang akan dirancang itu bukan sesuatu yang luar biasa, karena tidak mustahil meningkatkan perikanan budi daya di Indonesia sepanjang berkomitmen tinggi dan tiap unit pemerintahan berpartisipasi aktif, dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Program kampung perikanan budi daya juga menurutnya hal wajar karena tiap kawasan memiliki komoditas sendiri. Kenaikan produktivitas ini keniscayaan untuk meningkatkan hasil bagi masyarakat pembudidaya.

Program yang sudah terlaksana dan sedang direncanakan harus dikawal dan dievaluasi. “Ke depan perlu dikawal, dan evaluasi atas program yang disampaikan. Berapa anggaran dan capaiannya, akan ketahuan,” kata Halim. Budidaya menurutnya lebih mudah penanganannya karena berbeda jauh dari perikanan tangkap. Misalnya jauh lebih baik kepastian usahanya karena di darat, kapanpun pemilik lahan bisa melihat budi daya. Termasuk budi daya di laut bisa diperiksa per hari. Beda dengan perikanan tangkap.

Ia berharap pemerintah menyampaikan dampak Pandemi Covid-19 setahun terakhir pada masyarakat budi daya, apakah ada korelasi menurunnya produktivitas dan nilai tukar, baru menyampaikan terobosan. Menurunnya hasil di sektor perikanan tangkap menurutnya bisa berdampak pada peningkatan usaha perikanan budidaya.

Untuk itu ada sejumlah hal yang perlu diantisipasi karena memerlukan lahan luas dan pengelolaan limbah agar tak merusak ekosistem. Setiap wilayah perikanan tangkap kini menghadapi tren penurunan hasil, termasuk di tingkat global. Ia mengutip catatan badan pangan internasional FAO bahwa rata-rata hasil tangkapan saat ini sedikit menurun dari sekitar 100 juta ton menjadi 89-90 juta ton. “Akan semakin terjadi, jika tidak ada upaya serius banyak negara antisipasi dengan pemulihan stok ikan. Misal penataan armada tangkap, pengawasan beberapa komoditas. Lazim di tingkat global, apalagi di Indonesia pengelolaan perikanan tangkapnya masih acak adut,” lanjutnya.

perlu dibaca : Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Terlebih bagi nelayan kecil yang memiliki keterbatasan armada dan alat tangkap. Jarak penangkapan ikan makin jauh. Hal ini menurut Halim bisa diatasi jika pemerintah menjalankan program dengan merapikan administrasi, misalnya rencana pengelolaan perikanan di tiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Ia mengatakan rencana pengelolaan WPP ini dibuat terakhir 2016, dan belum ada update terbaru. Masyarakat akan memilih alternatif yang paling mungkin, misal jadi pembudidaya. Hal ini berpotensi besar di sepanjang daerah yang berhadapan Laut Jawa karena penurunan sektor tangkap.

Ancaman jika perikanan budi daya meluas ada potensi perusakan lahan mangrove, karena umumnya lahan budidaya paling produktif di area mangrove. Bak simalakama, peningkatan produktivitas juga perlu lahan, dan berisiko besar pada hilangnya mangrove, benteng alami pesisir. Jika kawasan mangrove makin rusak, berpotensi pada ancaman kelaparan karena mangrove adalah area ikan dan satwa laut lain memijah.

Persoalan pengelolaan limbah pada perikanan budi daya juga menurutnya belum banyak terpecahkan. Misalnya fenomena kematian massal ikan tiap tahun di Danau Batur, Bali dan Danau Singkarak di Sumatera Utara. Makin banyak keramba apung membuat lapisan limbah bertambah dari sedimentasi pakan dengan kandungan kimia sintetik. Kadar amonia meningkat dan mengurangi kadar oksigen sehingga ikan-ikan mati. Solusinya adalah mendorong Dinas Kelautan dan Perikanan setempat berkolaborasi dengan usaha perikanan budi daya, kampus, dan lainnya untuk cari solusi. “Masalahnya, kajian banyak tapi tak mudah ujicobanya. Misalnya pengaturan jumlah keramba, pengelolaan limbah, dan pencegahan limbah domestik,” keluh Abdul.

 

Laporan Perikanan Global

Laporan FAO The State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) 2020  menulis nafsu makan dunia akan ikan dan produk ikan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Laporan ini menunjukkan peran perikanan dan akuakultur yang signifikan dan berkembang dalam menyediakan makanan, nutrisi, dan lapangan kerja.

Sektor perikanan dan akuakultur berkembang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan total produksi, perdagangan dan konsumsi mencapai rekor sepanjang masa pada tahun 2018. Namun sejak awal 1990-an, sebagian besar pertumbuhan produksi dari sektor ini secara keseluruhan berasal dari akuakultur, sementara produksi perikanan tangkap relatif stabil, dengan beberapa pertumbuhan yang pada dasarnya menyangkut penangkapan di darat.

Peningkatan produksi perikanan tangkap global dari tahun 1990 hingga 2018 sekitar 14% . Sedangkan peningkatan produksi akuakultur global dari tahun 1990 hingga 2018 sebanyak 527%. Kenaikan total konsumsi ikan pangan dari tahun 1990 hingga 2018 sebesar 122%.

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pengembangan akuakultur yang berkelanjutan dan pengelolaan perikanan yang efektif sangat penting untuk mempertahankan tren ini. Untuk perikanan, ada bukti yang berkembang bahwa ketika mereka dikelola dengan benar, stok secara konsisten di atas tingkat target atau dibangun kembali. Namun, keberhasilan yang dicapai di beberapa negara dan wilayah belum cukup untuk membalikkan tren global dari penangkapan ikan yang berlebihan.

Di tempat-tempat di mana pengelolaan perikanan tidak ada, atau tidak efektif, status stok ikan menjadi buruk dan memburuk. Meskipun 78,7% dari semua pendaratan perikanan laut berasal dari stok yang berkelanjutan secara biologis, kemajuan yang tidak merata dalam pengelolaan perikanan menyoroti kebutuhan mendesak untuk mereplikasi dan mengadaptasi kembali kebijakan yang berhasil. Masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan perikanan dan akuakultur di seluruh dunia berkelanjutan. Kegagalan untuk menerapkan langkah-langkah yang memadai mengancam kontribusi sektor ini terhadap ketahanan pangan dan mata pencaharian.

 

Exit mobile version