Mongabay.co.id

Suka Duka dari Kampung Nelayan Tuna Fair Trade Ternate

 

Sebuah kampung nelayan bertahan di tengah Kota Ternate, Maluku Utara. Kapal-kapal nelayan kecil bersandar di sebuah kanal sempit yang dikelilingi bangunan pertokoan, rumah, jembatan, dan jalan raya kota.

Jalan kapal hanya lorong kecil di bawah jembatan. Nelayan harus menunggu air sedikit surut agar bisa keluar ke arah laut lepas. Saat matahari senja bergulir ke kaki langit, Gunung Gamalama terlihat lebih jelas menjadi latar belakang salah satu kampung nelayan tuna perintis ini.

Selama beberapa tahun ini, dua kelompok nelayan di kawasan ini bahkan sudah mendapatkan sertifikasi sebagai kelompok penangkap tuna fair trade. Sebuah pengakuan jika mereka bisa menerapkan prinsip-prinsip perdagangan berkeadilan seperti tanggungjawab sosial dan lingkungan.

Kelompok nelayan fair trade Sigaro Malaha kini beranggotakan 32 orang. Makna Sigaro Malaha adalah ajakan baik. Sebagian besar nelayan sudah dua minggu tidak melaut mencari tuna. Paceklik. Sangat sulit menangkap tuna, juga ada peringatan cuaca buruk dampak La Nina.

Salman Adam, nelayan muda 38 tahun, anggota Segaro Malaha ini terpilih jadi Ketua Komite Nelayan Ternate-Tobelo. Komite nelayan fair trade ini bertugas menilai proposal penggunaan dana premium yang didapatkan nelayan fair trade, di luar hasil penjualan ikan tuna.

Ia melaut terakhir 2 minggu, lalu, saat bersua pada 23 November 2021 lalu. Salman mengaku sudah rugi sekitar melaut sekitar Rp10 juta karena tidak berhasil menangkap tuna. Biaya melaut memang besar dengan perhitungan bahan bakar minyak 100 liter sebesar Rp1 juta, paling jauh 50 mil, untuk perjalanan sekitar 18 jam. Sisa BBM pas balik pulang biasanya belasan liter. Biaya lainnya adalah makan dan perlengkapan keselamatan.

Salah satu prinsip yang dikampanyekan di kelompok nelayan fair trade adalah keselamatan diri sendiri saat melaut. Karena itu anggota kelompok dibekali kotak P3K, life jacket, dan diikutkan pelatihan keselamatan dasar.

Salman berprinsip fokus menangkap tuna, ia hanya cari pelagis kecil hanya untuk makan. Pelagis kecil juga tidak menutup modal melaut. “Saya melaut dengan sustainable,” katanya bangga.

baca : Dilema Nelayan Jambula : Tangkapan Ikan Tuna Makin Kecil dan Menjauh

 

Panorama kampung nelayan di tengah kota Ternate dengan latar belakang Gunung Gamalama. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam kondisi paceklik tuna, ia merasa risau dengan maraknya rumpon dan aktivitas kapal besar menjaring semua jenis ikan. “Masa depan perikanan tuna akan rusak. Selain masalah sampah laut, masih banyak mencari ikan dengan purse sein yang tidak berkelanjutan, dan rumpon sangat banyak tidak diatur,” tutur Salman.

Perairan Maluku adalah salah satu jalur migrasi tuna. Tapi makin banyak rumpon yang bekerja sama dengan kapal pukat cincin atau purse sein. Tuna bisa menghilang. Seingatnya pada 2014-2017 saat Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan alat tangkap cantrang dan saat itu hasil tangkapan nelayan kecil lebih baik.

Saat ini biaya melaut makin besar karena makin jauh. Kedalaman pancing pun terus bertambah jadi sekitar 70-an depa atau 100 meter lebih, karena ikan berenang makin dalam. Pelagis kecil yang jadi buruan tuna makin sedikit karena dijaring.

Di sisi lain, Salman melihat ada harapan karena setelah jadi kelompok fair trade, nelayan makin menyadari tanggung jawabnya menjaga laut dan memilih alat tangkap serta jenis tangkapan.

Salah satu bonusnya adalah dana premium. Kelompoknya, Segaro Malaho, pernah mencairkan dana premium sekitar Rp 80-an juta. Digunakan untuk pengadaan tempat sampah, pembelian GPS untuk nelayan, tabungan beasiswa anak, pembuatan rumpon, dan lainnya.

Pemasangan jaring sampah ditolak warga sekitar kampung nelayan ini karena takut bau busuk dari tumpukan sampah. Hamparan sampah di permukaan laut, termasuk di kanal lokasi parkir puluhan kepal nelayan ini menyergap mata ketika berkunjung. Aneka botol minuman dan kemasan makanan terdampar, dan bahkan jadi satu dengan sedimentasi. Sementara air laut terlihat jernih, memantulkan bayangan kapal-kapal parkir.

Selama jadi komite untuk mengawasi penggunaan dana premium, ia belum melihat penyalahgunaan. Karena alokasi dana premium ini didorong untuk mendukung sarana navigasi, pelestarian lingkungan dan kegiatan sosial.

baca : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Kesibukan menaikkan logistik seperti es dan BBM di kampung nelayan di tengah Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dana premium merupakan uang yang diterima oleh Komite Nelayan Fair Trade setiap daerah berdasarkan jumlah ikan yang berhasil diekspor, yang kemudian dibagikan kepada setiap kelompok di daerahnya. Ikan yang dijual melalui rantai pasok fair trade dapat menghasilkan sejumlah USD 0,2 (sekitar Rp3.000) per kilogram dari total yang diekspor. Penggunaan dana ini dialokasikan untuk keperluan lingkungan (30%) dan non-lingkungan (70%) termasuk biaya operasional tiap kelompok.

Namun, untuk bisa menerima dana premium para nelayan harus melakukan banyak hal baru yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan, misalnya pencatatan perjalanan memancing, serangkaian rapat kelompok, berorganisasi, dan lain sebagainya. Proses inilah yang didampingi Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI).

Agustina Nilam Ratnawati, Fisheries Community Organization Manager MDPI yang bertanggung jawab atas implementasi program Fair Trade USA di Maluku dan Maluku Utara menyampaikan bahwa selama 8 tahun pendampingan, sejumlah pembelajaran turut dirasakan oleh seluruh pihak. “Pemenuhan standar untuk sertifikasi fair trade ini tidak mudah, awalnya nelayan berpartisipasi dalam sertifikasi ini dengan motivasi mendapatkan Dana Premium,” ujarnya.

Selain itu, dalam mempertahankan sertifikasi fair trade ada juga faktor yang bisa mengancam seperti dinamika pasar, penjualan, harga, dan regulasi yang tidak sepenuhnya menguntungkan nelayan kecil. Hal-hal tersebut bisa menjadi faktor hilangnya kepercayaan dan semangat nelayan untuk tetap mempertahankan sertifikasi. Apa lagi bila kondisi alam tidak mendukung dan terkadang memaksa nelayan yang sudah berproses akhirnya mengalami kemunduran karena adanya tuntutan ekonomi.

Periode sertifikasi 6 tahun dirasa belum cukup untuk memaksimalkan kelompok. Kurun waktu tersebut lebih banyak dilalui sebagai proses seleksi nelayan yang benar-benar serius mengikuti sertifikasi ini. Baru ada beberapa orang yang benar-benar dapat menyanggupi dan mempertahankan kelompok agar dapat terus berjalan.

Karena nelayan sangat tergantung pada laut, ada berbagai faktor yang harus dipertimbangkan agar menjamin bisa dapat ikan. Penangkapan harus teratur dan ramah lingkungan, tidak mengganggu satwa yang dilindungi seperti lumba-lumba, penyu, dan hiu, juga tidak membuang sampah di laut, dan mematuhi prinsip perikanan berkelanjutan lainnya.

perlu dibaca : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?

 

Pengukuran ikan tuna yang ditangkap nelayan. Foto : MDPI

 

Peraturan Baru Mengatur Jalur dan Alat Penangkapan Ikan

Terkait kendala-kendala melaut, Nilam mengingatkan agar aturan ditegakkan dan diawasi implementasinya. Aturan baru adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang
 Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Rumpon adalah Alat Bantu Penangkapan Ikan yang menjadi satu kesatuan dengan kapal penangkap ikan, menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat, berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul, yang dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan.

Dalam aturan ini disebutkan, penangkapan ikan dilarang dilakukan pada wilayah sebagai tempat berpijah dan daerah 
asuhan; 
jalur pelayaran; 
zona inti kawasan konservasi perairan; jalur migrasi biota laut; dan 
daerah penangkapan ikan lainnya yang ditetapkan 
oleh Menteri.

Setiap Kapal Penangkap Ikan memiliki paling banyak tiga unit rumpon menetap, untuk yang beroperasi di WPPNRI di perairan laut; 
paling banyak 15 unit rumpon menetap, untuk yang beroperasi di laut lepas; dan 
unit Rumpon hanyut sesuai ketentuan RFMO, 
untuk yang beroperasi di laut lepas.

Kapal Penangkap Ikan yang dimiliki nelayan kecil yang tergabung dalam kelompok usaha bersama atau koperasi memiliki paling banyak lima unit Rumpon untuk paling sedikit 10 unit kapal penangkap 
ikan. 
Penempatan Rumpon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) di laut lepas dilakukan dengan ketentuan paling sedikit: jarak antar rumpon paling sedikit 10 mil laut; 
ditempatkan sesuai dengan daerah penangkapan ikan; 
tidak ditempatkan di kawasan konservasi perairan; 
tidak ditempatkan pada alur migrasi biota laut; 
tidak ditempatkan pada alur pelayaran; dan 
sesuai ketentuan RFMO.

baca juga : Lumbung Ikan Nasional Manjakan Industri Skala Besar?

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Lahirnya kelompok baru

MDPI merupakan mitra pelaksana perikanan pertama di dunia yang memperoleh sertifikasi fair trade.

Dalam rantai pasok nelayan fair trade di kelompok Sigaro Malaha ini ada juga suplier yang membeli hasil tangkapan. Salah satunya Anasrin. Ia memasok kebutuhan BBM, es balok, dan sarana lain bagi anggota kelompok.

Namun di kelompok fair trade lain, ada yang sudah membentuk koperasi fair trade, yang menjadi ruang kolektif membeli hasil tangkapan dan memasok kebutuhan nelayan. Halnya suplier.

Anas mengingat, dulu nelayan belum bersatu, sekarang terorganisir. Dengan mengikuti praktik fair trade, menurutnya nelayan beruntung karena mendapat dana premium. Ia berharap pemeritah mengontrol pembuatan rumpon dan kapal jaring purse sein.

Makin terorganisirnya nelayan membuat lahirnya kelompok baru fair trade. Salah satunya adalah Kelompok Malino di Ternate. Ketuanya Fahrudin Daud, mengatakan pihaknya sedang mengelola keanggotaan dan syarat seperti AD ART kelompok, pembukuan dana premium, dan pengisian logbook.

Salah satu perubahan penting yang dirasakannya sebagai nelayan fair trade adalah tumbuhnya kesadaran menjaga ekosistem laut. “Dulu hiu dan penyu disikat, sekarang pengetahuan baru banyak,” sebutnya. Misalnya ia belajar cara lepaskan mata pancing yang kena satwa dilindungi dengan bambu misalnya penyu, lumba-lumba, dan hiu. “Kalau melanggar bisa dikeluarkan. Saya berharap tak hanya kita jadi nelayan, juga anak cucu kita nanti,” harap Fahrudin.

Kelompoknya melarang pemotongan daging tuna di tengah laut. Karena itu nelayan fair trade di Ternate menjual tuna utuh atau gelondongan. Jika membuat potongan daging tuna atau loin, menurutnya akan mengundang paus orca dan hiu karena menebar bau amis dari limbah.

 

Kesibukan mama penjual ikan cakalang di pasar Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perikanan tuna di area pemancingannya juga makin menurun. Ia membandingkan dulu sekitar 2009-2017 dalam 10 menit sudah bisa dapat tuna. Kini, makin banyak kapal purse sein, tuna perlahan hilang.

Lahirnya kelompok baru juga memunculkan suplier baru. Nah di Kelompok Malino ada Ruslan Basri yang akrab dipanggil Alan, 41 tahun. Sebelumnya ia pengusaha jasa angkutan lintas pulau. Kini ia melihat peluang mendapatkan penghasilan di rantai pasok tuna karena makin banyak nelayan tertarik dana premium.

Sejak jadi suplier Agustus 2020, tuna yang dibelinya sekitar 50-60 ton yang kemudian dijual ke perusahaan pengolah loin di Ternate. Ia menjamin juga kebutuhan harian nelayan sampai pinjaman. Karena itu saat paceklik ini ia mengaku pusing. “Masa depan perikanan tuna masih ada di Maluku Utara, tinggal pengelolaan,” katanya.

 

Exit mobile version