Mongabay.co.id

Peringatan Hari HAM Internasional di Makassar Soroti Reklamasi dan Kinerja Buruk HAM Pemerintah

 

Hari masih sangat pagi ketika empat perahu nelayan melaju pelan namun pasti menuju kawasan pembangunan Makassar New Port (MNP) yang berada di pesisir utara Makassar, tepatnya di Kecamatan Tallo, Makassar.

Tiba di lokasi, perahu-perahu itu berjejer, membentangkan spanduk kuning sepanjang 40 meter, sebanyak 14 orang di perahu-perahu itu, yang mengenakan jaket pelampung, helm dan masker, bahu membahu membentangkan spanduk berwarna kuning bertulis “Hentikan Reklamasi Makassar New Port dan Revisi RZWP3K Sulsel”.

Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulawesi Selatan sebagai salah satu pimpinan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde menjelaskan bahwa aksi ini dilakukan sebagai bentuk memperingati hari HAM internasional 2021 dan sikap penolakan pada reklamasi laut untuk pembangunan MNP yang saat ini masih terus berlangsung.

Pembangunan MNP menyisakan masalah ketika penambangan pasir laut yang dilakukan oleh Queen of the Netherlands milik Royal Boskalis dianggap menyengsarakan nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng dan sejumlah pulau lainnya di Makassar.

“Aksi ini adalah pesan langsung kepada presiden, menteri BUMN dan direktur utama PT Pelindo agar mengakhiri dan menghentikan kegiatan perluasan MNP yang kami anggap memiliki dampak yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat dan perempuan pesisir kota Makassar terkhusus di pulau-pulau kecil seperti di pulau Kodingareng,” kata Amin, Jumat (10/12/2021).

Dikatakan Amin bahwa proyek MNP merenggut sumber mata pencaharian masyarakat pulau Kodingareng terkhusus nelayan tradisional dan perempuan yang selama ini memanfaatkan atau menggantungkan hidup dari laut.

“Kehidupan mereka semakin sulit dan berpotensi membuat anak-anak putus sekolah karena tak adanya pendapatan dari para nelayan.”

baca : Tambang Pasir Laut Proyek MNP Telah Dihentikan, Dampaknya Masih Dirasakan Nelayan

 

Sebanyak 14 aktivis tergabung dalam Koalisi Save Spermonde melakukan aksi pembentangan spanduk sepanjang 40 meter di sekitar kawasan MNP. Foto: Koalisi Save Spermonde

 

Amin kemudian meminta presiden untuk segera menghentikan rencana perluasan MNP dan menghentikan seluruh aktivitas tambang pasir laut di Sulawesi Selatan.

“Kami juga meminta pihak-pihak terkait yang terlibat dalam aktivitas penambangan pasir laut di tahun 2020 untuk segera bertanggungjawab atas penderitaan dan pemiskinan masyarakat, serta kerusakan yang terjadi di wilayah tangkap nelayan, terkhusus untuk PT Royal Boskalis, PT Pelindo, PT Pembangunan Perumahan dan perusahaan pemilik konsesi seperti PT Banteng Laut Indonesia dan PT Alefu Karya Makmur,” katanya.

Amin mewakili Koalisi Save Spermonde juga mendesak Gubernur dan DPRD Sulawesi Selatan untuk merevisi Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Sulsel yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat pesisir.

“Kami meminta gubernur agar tegas pada perusahaan agar bertanggung jawab secara penuh atas kerugian, pemiskinan serta kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut.”

Kerusakan wilayah tangkap nelayan dimulai saat salah satu kapal perusahaan dredging terbesar di dunia asal Belanda, Queen of the Netherlands, milik Royal Boskalis melakukan aktivitas penambangan pasir laut sejak 12 Februari hingga 25 Oktober 2020. Penambangan pasir laut ini diperuntukkan untuk reklamasi MNP.

Dilansir dari website Pelindo, MNP adalah salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikerjakan secara bertahap. Tahap I A dibangun pada 2015 hingga 2018. Total investasi sebesar Rp1,51 triliun. Tahap I, proses pembangunannya dibagi lagi per Paket, yaitu Paket A, B, C dan D. Total lahan pengembangan Makassar New Port (MNP) adalah 1.428 hektare, dengan nilai investasi sebesar Rp89,57 triliun.

Setelah soft launching MNP Tahap I A, dilanjutkan pekerjaan Paket I B yang menghabiskan anggaran sebesar Rp1,66 triliun dan ditarget rampung pada 2020 mendatang. Dilanjutkan Paket I C dengan anggaran sebesar Rp2,69 triliun. Paket I C akan rampung pada 2022 nanti. Sementara Paket I D dengan total investasi sebesar Rp6,14 triliun, dibangun sejak 2015 hingga 2022.

Pembangunan Makassar New Port Tahap II akan dimulai pada 2022 hingga 2025, dengan modal yang ditanam sebesar Rp10,01 triliun. Pembangunan Tahap III atau tahap terakhir, akan dilakukan pada 2022 hingga 2025. Investasi yang bakal digelontorkan sebesar Rp66,56 triliun. Hingga 2025, Makassar New Port akan memiliki dermaga sepanjang 9.923 meter. Kapasitas lapangan penumpukan akan mampu menampung 17,5 juta TEU’s per tahun.

Adapun panjang dermaga Tahap I A yakni 320 meter dengan kapasitas terpasang 500.000 TEUs. Di Tahap I B juga dibangun dermaga yang memiliki panjang 330 meter dengan kapasitas terpasang 1 juta TEU’s. Untuk Tahap I C, dermaga yang dibangun memiliki panjang 350 meter, dengan kapasitas terpasang 1 juta TEU’s . Tahap I D, panjang dermaganya yaitu 1,043 meter.

baca juga : Begini Nasib Perempuan Pulau Kodingareng Setelah Penambangan Pasir Laut Berakhir

 

MNP adalah salah proyek strategis nasional menggontorkan anggaran Rp89,57 triliun yang pembangunannya ditargetkan rampung 2022 mendatang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

HAM Bukan Prioritas

Momentum peringatan hari HAM internasional tahun ini juga digunakan oleh sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Aksi Hari HAM, untuk menyampaikan keluh kesah terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang dinilai abai terhadap penegakan HAM.

Ady Anugrah Pratama, Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, mewakili koalisi menyatakan pemerintahan yang ada saat ini adalah pemerintah terburuk pasca reformasi, terutama dalam agenda pemajuan demokrasi dan HAM.

“Nyaris tak ada tindakan serius untuk pemenuhan HAM. Tumpukan kasus pelanggaran HAM masa lalu menunggu diselesaikan, ditambah dengan deretan kasus pelanggaran hukum dan HAM yang terus terjadi. Kita seperti dijebak dan tertipu dengan retorika politik, dimana keduanya berjanji akan menyelesaikan hutang masa lalu atas kasus pelanggaran HAM yang tak pernah diselesaikan, pemajuan demokrasi dan HAM di masa depan,” katanya.

Beberapa kasus pelanggaran HAM seperti perampasan lahan petani dan masyarakat adat dengan pembangunan infrastruktur terus terjadi, petani dan masyarakat adat terus dijadikan korban.

“Kasus teranyar masyarakat adat Marafenfen Kepulauan Aru Maluku terusir dari tanah ulayat mereka oleh TNI AL sebagai alat negara.”

Hal lainnya adalah masih maraknya upaya kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat sipil .

“Ada banyak petani, masyarakat adat, aktivis NGO, jurnalis, mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya yang menjadi korban kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi ketika mereka berjuang mempertahankan hak mereka. Banyak di antara mereka juga dikriminalisasi karena mengkritik pemerintah dengan menggunakan pasal karet UU ITE,” tambahnya.

Koalisi juga menyoroti deforestasi dan bencana ekologi yang terjadi saat ini sebagai buah dari kebijakan pemerintah, dimana kerusakan lingkungan dan penghancuran kawasan hutan terus terjadi, terutama di Papua yang menjadi wilayah dengan luas kawasan hutan yang masih tersisa.

“Kawasan hutan ini diganti dengan perkebunan skala besar yang dikelola oleh para oligarki yang bekerja sama dengan pemerintah di tingkat daerah sampai pusat. Dampak nyata dari kerusakan lingkungan dan deforestasi adalah bencana alam yang harus dihadapi masyarakat.”

baca juga : Kasus Lahan Hakim Menangkan TNI-AL, Masyarakat Adat Marafenfen akan Banding

 

Aksi Masyarakat Adat Marafenfen di Kepulauan Aru, menanti sidang gugatan di Pengadilan Negeri Dobo. Foto: AMAN

 

Hal lain yang menjadi sorotan adalah menyempitnya kebebasan akademik, lemahnya perlindungan terhadap perempuan, minoritas seksual dan kelompok rentan lainnya, serta adanya upaya impunitas terkait kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

“Deretan kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah utang yang harus dibayarkan. Para pelakunya masih berkeliaran, bahkan menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah. Menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah kewajiban pemerintah dan mendesak untuk segera diselesaikan.”

Menurutnya, HAM telah disebut dengan jelas dalam konstitusi yaitu UUD 1945, lalu dituangkan dalam UU HAM, ratifikasi kovenan hak sipil, politik serta kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya. Sayangnya, HAM dinilai seperti macan kertas yang tak dibunyikan oleh pemerintah dan ditepikan demi ambisi pembangunan dan pertumbuhan. Padahal, pemajuan demokrasi dan pemenuhan HAM menyaratkan kemauan yang kuat dari pemerintah.

“Mengesampingkan HAM sama halnya dengan mengesampingkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Di peringatan hari HAM internasional ini, kita tidak sekedar memperingati, tapi menagih tanggung jawab dan kita tak akan berhenti,” ujarnya.

 

Exit mobile version