- Koalisi Save Spermonde mengadakan diskusi dan pemutaran film berjudul ‘Panrakki Pa’boyang-poyangang: Rusaknya Wilayah Tangkap Nelayan Kodingareng’.
- Film berdurasi 20 menit ini bercerita tentang dampak penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang, Makassar, terhadap kehidupan nelayan di Pulau Kodingareng.
- Tambang pasir laut Makassar melanggar dua azas hukum dan demokrasi, yaitu transparansi dan partisipatif.
- Meski Indonesia telah mengadopsi prinsip sustainable development namun masih sering tidak dijalankan dengan baik.
Tambang pasir laut di perairan Makassar, Sulawesi Selatan, meski telah dihentikan namun dampaknya masih dirasakan masyarakat di Pulau Kodingareng. Tidak hanya berdampak secara ekonomi dan ekologi, masyarakat juga masih merasa trauma dengan berbagai intimidasi yang mereka rasakan dari aparat kepolisian dan preman.
Hal ini terungkap dalam acara diskusi dan pemutaran film berjudul ‘Panrakki Pa’boyang-poyangang: Rusaknya Wilayah Tangkap Nelayan Kodingareng’ yang diselenggarakan oleh Koalisi Save Spermonde di Red Corner Cafe, Makassar, Senin (8/11/2021).
Film berdurasi 20 menit ini adalah produksi Koalisi Save Spermonde yang dimotori oleh WALHI Sulsel dengan dukungan Greenpeace, bercerita tentang dampak penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang, Makassar, terhadap kehidupan nelayan di Pulau Kodingareng.
Fatimah, salah seorang istri nelayan, bercerita bagaimana perempuan yang paling merasakan dampak aktivitas penambangan itu karena merekalah yang mengatur logistik keluarga. Tak ada ongkos yang cukup untuk biaya keseharian, makan, biaya sekolah, dll., sehingga kadang harus berutang.
“Bagaimana suami kami bisa dapat hasil tangkapan kalau Boskalis menambang di daerah suami kami menangkap ikan. Tak ada hasil. Kami pinjam di toko sembako untuk makan sehari-hari. Penambangan itu merampas hak kami. Ketika turun aksi perahu kami dirusak padahal perahunya belum lunas. Untuk bayar sekolah anak juga susah. Kami harap tak ada lagi penambangan di masa yang akan datang. Tak ada kehidupan yang baik sejak adanya penambangan itu,” katanya dengan suara terbata-bata.
Taher, salah seorang nelayan, juga mengeluhkan hal yang sama. Ia mengakui sejak adanya aktivitas tambang pasir itu ia harus melaut hingga jauh, butuh bahan bakar dua kali dibanding sebelumnya. Meski aktivitas penambangan berhenti kondisi laut belum juga pulih.
“Kadang hasil yang diperoleh tak sebanding dengan pengeluaran, karena tidak dapat ikan sama sekali,” katanya.
baca : Nasib Nelayan Kala Perusahaan Tambang Keruk Pasir di Perairan Sangkarrang
Menurut Edy Kurniawan, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, meski hanya berdurasi 20 menit, film tersebut mewakili seluruh peristiwa-peristiwa mulai dilakukannya penambangan sampai pada dampak sosial ekonomi masyarakat.
Menurutnya, ada tiga poin penting terkait penambangan itu sebagai hal mengerikan. Pertama, ada dua azas hukum dan demokrasi yang dilanggar oleh aktivitas penambangan itu, yaitu transparansi dan partisipatif.
“Dua azas ini adalah tiang penyangga kita berdemokrasi. Dua azas ini dilanggar. Awal mula kasus ini sebenarnya tidak rumit, tidak mesti seperti ini jika saja dari awal Gubernur dan Boskalis mau terbuka atau mau melibatkan masyarakat. Kan masalah utama masalah ini adalah masyarakat mau melaut tiba-tiba melintas kapal besar untuk tambang. Mereka kaget kenapa tiba-tiba ada kapal besar menambang di wilayah tangkap mereka. Sehingga mereka bertanya-tanya kenapa mereka tidak dilibatkan,” katanya.
Menurut Edy, masyarakat patut mempertanyakan keterlibatan mereka merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.3/2010 tentang Uji Materi UU No.27/2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang secara jelas mengakui adanya hak-hak nelayan tradisional.
“Jadi wilayah kelola masyarakat tradisional itu diakui oleh UU hingga putusan MK, sehingga jelas legal standing-nya atau dasar hukum masyarakat dilibatkan dalam rencana awal penambangan itu,” katanya.
Perlawanan masyarakat melalui demonstrasi dan penghadangan kapal dinilai Edy sebagai bentuk kekecewaan masyarakat tidak didengar suara dan pendapatnya terkait penambangan pasir itu.
“Berawal dari arogansi pemberi izin, pelaku tambang, pemilik konsesi sehingga seperti inilah hasilnya. Itu karena dua azas itu tidak ditegakkan. Tidak terbuka sejak awal, apalagi melibatkan masyarakat.”
baca juga : Riset Koalisi Save Spermonde: Proyek MNP Rusak Ekosistem Laut dan Sengsarakan Nelayan
Poin kedua, menurut Edy, adalah adanya penerobosan prinsip atau etika lingkungan. Pemerintah daerah melalui Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulsel menyatakan tidak ada pengrusakan lingkungan dalam penambangan tersebut merujuk pada hasil TSS (total suspended solid) dan baku mutu lingkungan.
“Ini kan pakai logika jongkok, karena parameter kualitas lingkungan selalu hanya dilihat dari baku mutu atau TSS. Bagaimana kalau secara faktual dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat. Artinya mereka tidak memasukkan variabel masyarakat dalam dampak-dampak itu. Sementara dalam analisis ekologi, mata rantai yang paling ujung itu kan ke manusianya. Kerusakan lingkungan berdampak pada manusia, sehingga saya katakan ini logika jongkok karena pandangan DLH itu hanya semata melihat gelombang dan kekeruhan air, tidak melihat dampaknya secara ekologi sosial.”
Menurutnya, tanpa adanya uji laboratorium berupa TSS dan baku mutu air, secara faktual kegiatan tambang ini sudah berdampak terhadap ekonomi sosial masyarakat.
“Kalau kita tidak ingin simpulkan ini kejahatan lingkungan paling tidak ini sudah masuk dalam tindakan melawan hukum, karena ada kegiatan tambang yang tidak melibatkan masyarakat, sementara di UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup sudah dinyatakan bahwa rencana awal tambang itu dari AMDAL hingga pelaksanaan dan pengawasan harus melibatkan masyarakat namun faktanya tidak demikian. Itu perbuatan melawan hukumnya.”
Poin ketiga yang dilanggar adalah norma hukum peraturan perundang-undangan. PT Boskalis dan pemilik konsesi ini selalu menyatakan bahwa mereka memiliki konsesi berdasar pada Perda RZWP3K, sementara koalisi sudah melakukan advokasi dalam penentuan zonasi dimana seharusnya diakui hak-hak tradisional masyarakat meskipun faktanya berbeda, sehingga berdampak pada aturan turunan lainnya.
“Misalnya kalau kita baca di AMDAL itu ternyata terdapat penyimpangan, beda lokasi di dokumen AMDAL dengan lokasi tambang, sehingga kami duga ada kongkalikong dalam penyusunan AMDAL. Kita tak boleh bermain-main dalam kegiatan tambang karena dampaknya sampai lintas generasi bukan hanya generasi sekarang. Harapan kita itu pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan tapi faktanya justru dampaknya yang berkelanjutan.”
perlu dibaca : Hentikan Kasus Dugaan Monopoli Tambang Pasir Laut, Aktivis Nilai KPPU Makassar Tidak Profesional
Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, penambangan pasir laut itu adalah bagian dari pembangunan Makassar New Port (MNP) oleh PT Pelindo, sehingga seharusnya Pelindo bisa terlibat dan membuka diri dalam penyelesaiannya.
Dalam kenyataannya, Amin melihat selama ini tak ada upaya Pelindo dalam membangun komunikasi dengan masyarakat Pulau Kodingareng.
“Kenapa tidak ada inisiatif mengunjungi masyarakat dan berdialog langsung dengan masyarakat nelayan dan perempuan yang terdampak. Apakah Pelindo tak punya sistem perlindungan lingkungan? Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan dan kemiskinan yang terjadi di Pulau Kodingareng, apakah perusahaan pemilik konsesi, Boskalis atau Pelindo dan apakah Pelindo harus lepas tangan?”
Menurut Amin, dalam setahun terakhir koalisi dan warga melakukan kampanye dan penolakan, berupaya mengingatkan bagaimana proyek ini melukai masyarakat namun Pelindo tak pernah mau bertanggung jawab memulihkan masyarakat kecil.
“Kami juga mendorong adanya revisi RZWP3K sebagai biang kerok adanya tumpang tindih ruang tangkap dan tambang. Kami tidak menganggap sepele ada kemiskinan yang terjadi akibat penambangan untuk MNP ini,” tambahnya.
Menurut Dedi S. Adhuri, peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sudah lama pembangunan ala modernisasi kita mendapat kritik baik dalam level teori maupun praktik karena menimbulkan kerusakan lingkungan dan ketergantungan pada pihak luar serta marginalisasi masyarakat.
“Sudah sejak 1980-an kita sudah mengadopsi sustainable development. Pada intinya adalah usaha-usaha pembangunan yang menyeimbangkan antara keuntungan ekonomi dan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.”
Sayangnya, meski Indonesia telah mengadopsi prinsip sustainable development namun masih sering tidak dijalankan dengan baik.
“Kenapa ketika ini telah diadopsi ternyata tidak pernah nyangkut? Itu karena basisnya atau ideologinya sudah beda. Pemerintah sudah bersikukuh bahwa pembangunan itu meningkatkan kualitas teknologi dan investasi dan growth tanpa mempertimbangkan secara matang distribusi dari peningkatan ekonomi itu,” jelasnya.
baca juga : OTT Gubernur Sulsel, Walhi Minta KPK Dalami Kasus Tambang Pasir Laut dan Proyek MNP
Selanjutnya, Dedi melihat jargon pembangunan berbasis partisipatoris hanya instrumen formalitas saja dimana masyarakat yang diundang diwakili 1-2 orang mewakili nelayan padahal masyarakat nelayan memiliki keberagaman.
“Nelayan juga beragam dengan alat tangkap yang berbeda beda. Kalau kita hanya tanya satu nelayan saja maka tidak akan mewakili nelayan-nelayan lainnya,” pungkasnya.
Sudah Mematuhi Aturan
Sebelumnya pada Juli 2020, Sulkaf S. Latief, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, menjelaskan bahwa laut adalah kawasan di mana banyak kepentingan di dalamnya, bukan hanya untuk nelayan. Ada perhubungan, pertambangan, pariwisata, pertahanan, sehingga sejak adanya UU pesisir, segala kepentingan di laut itu harus diatur.
“Maka muncullah yang namanya Rencana Zonasi (RZ). Di Sulsel RZ ini sudah diperdakan sejak 8 Mei 2019. Di dalam zonasi di Sulsel ditentukan tiga lokasi peruntukan penambangan pasir,” katanya.
Terkait penambangan pasir yang dilakukan Boskalis, Sulkaf menilai tersebut adalah legal selama dilakukan di dalam kawasan zona tambang yang diprasyaratkan oleh Perda RZWP3K. Dari sekian alokasi tambang yang diajukan Dinas ESDM, khusus di blok Spermonde terdapat kawasan tambang pasir seluas 9000 hektar.
“Memang dalam RZ ini dinyatakan bahwa zona ini untuk penambangan bukan penangkapan. Jumlah konsesi ini terhitung sedikit dibanding luas tambang yang diajukan oleh ESDM hampir 100 ribu hektar,” katanya.
Menurutnya, sebagai kawasan tambang pasir, wilayah konsesi ini meski berada di perairan Sangkarrang namun secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Takalar. Dalam Perda juga diprasyaratkan jarak antara kawasan tambang dan daratan di atas 8 mil.
“Kalau ada menambang di luar konsesi, tunjukkan dan laporkan agar kita bisa melakukan penindakan hukum, ini kan ada syarat-syaratnya. Di kawasan ini siapapun bisa menambang asal memenuhi izin dan banyak izin yang harus dipenuhi untuk itu,” katanya.
perlu dibaca : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan
Terkait protes warga Pulau Kodingareng, dampak yang dirasakan warga sebenarnya tak terperkirakan karena selama ini daerah yang dianggap terdampak hanyalah 7 desa yang ada di Kabupaten Takalar, sebagaimana tertuang dalam dokumen Amdal.
Terdampaknya nelayan Sangkarrang ini hanyalah dampak sampingan karena berada di dalam rute perjalanan kapal dari wilayah tambang ke tempat reklamasi, yaitu MNP.
“Setelah diskusi diketahui bahwa mereka merasa terdampak karena kapal ini kalau habis mengeruk akan menuju MNP dan itu pasti melewati dekat pulau-pulau di Sangkarrang, karena memang jalur kapal. Karena padat jalurnya, kadang kapal ini sandar di sekitar pulau untuk menunggu jalur sepi. Ini yang dianggap menambang di luar kawasan. Kita sudah bersepakat akan ketemu dengan berbagai stakeholders, termasuk Boskali, perusahaan, Pelindo dan nelayan sendiri membicarakan dampak-dampak yang terjadi,” jelasnya.