Mongabay.co.id

Kopi Arabika Papua dan Ancaman Nyata Perubahan Iklim

 

 

Kopi Papua memang belum setenar kopi Toraja dari Sulawesi Selatan atau kopi Gayo dari Aceh. Namun, ciri khas dan rasanya yang unik memiliki tempat tersendiri bagi para pencinta kopi, terutama jenis arabika typica yang ditanam oleh petani tradisional di lahan semi hutan. Terutama di lereng-lereng bukit di Pegunungan Tengah Papua, mulai dari Pegunungan Bintang, Yahukimo, Lembah Baliem, Intan Jaya, hingga Dogiyai.

Kopi ini ditanam pada ketinggian 1.600 hingga 2000 mdpl, dengan suhu berkisar 15-21 derajat Celcius.

“Kopi arabika Papua ditanam secara organik, hanya mengandalkan kebaikan alam. Mulai dari panen hingga pasca-panen, dilakukan manual hanya dengan tangan,” kata Hari Suroto, peneliti senior dari Balai Arkeologi Papua, dan juga Dosen Antropologi Universitas Cendrawasih, kepada Mongabay, Minggu [12/12/2021].

Hari Suroto tengah berupaya mengembangkan kopi Papua dan memperkenalkannya pada dunia melalui usaha yang diberi nama “Kopi Hari Bersama”. Kopi ini hadir, bermula saat membantu memasarkan komoditas kopi arabika Papua dari pedalaman, dari mahasiswa asal Distrik Okbibab, Kabupaten Pegunungan Bintang. Mereka membayar SPP dan memenuhi biaya hidup di Kota Jayapura dengan mengandalkan kopi.

Seperti diketahui, kondisi geografis Papua yang sulit juga mempersulit pemasaran kopi. Akses menuju Distrik Okbibab hanya dapat dilakukan dengan pesawat terbang kecil, belum ada jalan darat. Selain itu, tidak ada tower telepon seluler, yang ada hanya pemancar Radio SSB. Untuk berkomunikasi dengan keluarga di Jayapura, warga menggunakan WhatSapp melalui jaringan satelit yang berbayar per jam.

Baca: Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

 

Kopi arabika Papua. Foto: Dok. Amadea Jocelyn

 

Untuk voucher internet satelit di Okbibab seharga 100 ribu Rupiah dipakai selama 3 hari. Sedangkan Radio SSB hanya milik kantor distrik atau petugas maskapai Pesawat Perintis AMA. Dari Distrik Okbibab ke Oksibil, Ibu Kota Kabupaten Pegunungan Bintang, hanya dengan jalan setapak atau jalan tikus yang bisa ditempuh jalan kaki 1 hingga 1,5 hari. Sementara tiket pesawat ke Distrik Okbibab dari Bandara Sentani dengan Pesawat Perintis AMA, harganya 2 juta-an Rupiah per orang.

“Biasanya, dari Distrik Okbibab, biji kopi dikirim menggunakan pesawat kecil jenis twin otter. Itu pun penerbangan pesawat tidak terjadwal, hanya tergantung carteran dari Sentani Jayapura, barulah petani menitipkan kopinya. Harga carteran pesawat sekali terbang itu 24 juta Rupiah,” kata Hari.

Pengiriman kopi sangat tergantung pada cuaca dan kondisi keamanan. Jika cuaca berkabut, pesawat kecil tidak berani terbang ke distrik penghasil kopi, dan jika terjadi gangguan keamanan, maka pesawat pengangkut kopi tidak bisa mendarat. Selain akses yang sulit, permasalahan lainnya adalah, tanaman kopi arabika Papua merupakan tanaman tua yang perlu peremajaan. Sementara para petani kopi arabika Papua pada umumnya adalah generasi tua.

Menurut dia, kopi Papua dari pedalaman ini selain dipasarkan di Sentani dan Kota Jayapura, juga diminati oleh konsumen Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dari para pekerja warga negara asing di Sentani, sering mengirimkan kopi ini pada keluarga di negara asalnya. Selain itu, kopi ini sering dijadikan oleh-oleh warga negara asing yang pulang kampung ke negaranya.

Baca: Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

Kopi arabika Papua dikampanyekan melalui ilustrasi, salah satunya untuk menyampaikan isu perubahan iklim. Ilustrasi: Dok. Hari Suroto

 

Terancam perubahan iklim

Selain masalah pemasaran atau biaya transportasi, ternyata menurut Hari Suroto, pemanasan global menjadi ancaman serius bagi tanaman kopi arabika Papua. Perubahan iklim berdampak pada temperatur di Papua, hal ini dikhawatirkan berpengaruh pada tanaman kopi arabika juga.

“Seperti diketahui, kopi arabika sangat sensitif dan rentan terhadap penyakit. Pembukaan hutan untuk lahan permukiman, pertambangan, pertanian, dan pembangunan infrastuktur telah mengakibatkan kenaikan suhu di Papua. Kenaikan suhu di tengah-tengah perubahan iklim dikhawatirkan akan memicu lebih banyak hama dan penyakit yang menyerang tanaman kopi arabika,” ujar Hari.

Menurut dia, solusi agar kopi arabika tidak hilang dari Papua adalah menjaga suhu tetap dingin di pegunungan dengan cara terus menjaga keberadaan hutan tropis dan penghijauan kembali lahan yang kosong. Selain itu, kopi arabika perlu ditanam dengan tanaman pelindung untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang sampai di kanopi daun. Sebab katanya, kopi arabika tidak dapat tumbuh dengan baik pada areal yang terbuka.

Selain berfungsi untuk penghijauan tanaman pelindung, juga dapat mengurangi penguapan, mencegah erosi, mengurangi potensi serangan hama dan penyakit tanaman, serta sebagai sumber bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah. Saat ini, dampak nyata pemanasan global terlihat dari mencairnya gletser di Puncak Jaya, Papua, jangan sampai hal ini terjadi juga pada kopi arabika Papua.

“Di masa lalu, diperkirakan pada puncak-puncak tertinggi pegunungan tengah Papua terdapat gletser, namun akibat pemanasan global, gletser saat ini hanya dijumpai di Puncak Jaya saja,” sebut Hari.

Dijelaskannya lagi, “Kopi Hari Bersama” menjadi media kampanye penyelamatan kopi arabika Papua dari ancaman perubahan iklim dunia. Kampanye ini dalam bentuk gambar-gambar ilustrasi, para ilustratornya adalah milenial Papua yang merupakan mahasiswa desain komunikasi visual dari kampus-kampus di Indonesia.

Selain itu, dia mengharapkan generasi muda Papua kembali dan membangun kampung dengan budidaya kopi arabika. Generasi muda ini adalah alumni-alumni kampus ternama dari Jerman, Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, maupun kampus-kampus ternama di Indonesia.

“Melalui jaringan mereka, kopi arabika Papua akan semakin dikenal di dunia, dan petani milenial berkontribusi memajukan kopi arabika,” ungkap Hari.

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Kopi arabika Papua yang saat ini masih mengalami hambatan pemasaran. Ilustrasi: Dok. Hari Suroto

 

Sebuah penelitian berjudul “Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia” yang diterbitkan dalam Jurnal Litbang Pertanian, [Desember, 2017] menyebutkan, perubahan iklim menurunkan produksi dan kualitas kopi serta meningkatkan serangan hama dan penyakit tanaman. Kondisi ini diperparah oleh ketidaksiapan petani kopi menghadapi dampak perubahan iklim dan terbatasnya akses terhadap informasi perkembangan iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani, dan pengelolaan risiko.

“Petani kopi tidak terorganisasi dengan baik seperti petani padi yang telah memiliki kelompok tani. Selain itu, pelatihan teknologi budidaya yang adaptif bagi petani kopi dalam menghadapi perubahan iklim sangat terbatas,” ujar para peneliti.

Penelitian tersebut menjelaskan, berbagai teknologi budidaya kopi yang adaptif perubahan iklim sudah dikembangkan namun tingkat adopsinya oleh petani sangat lambat. Oleh karena itu, upaya percepatan adopsi teknologi perlu segera dilakukan karena diperlukan dalam adaptasi perubahan iklim.

Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan sistem usaha tani kopi yang toleran perubahan iklim. Para ahli dan pengambil kebijakan harus berpacu dengan waktu, untuk mengakselerasi adopsi inovasi teknologi oleh petani karena dampak perubahan iklim telah dirasakan dan akan terus berlangsung.

Baca juga: Penelitian: Pencemaran Logam Berat Berkurang dengan Ampas Kopi

 

Mahasiswa Papua membayar SPP dengan kopi arabika. Foto: Dok. Hari Suroto

 

Sementara itu, mengacu analisis yang dilakukan Yayasan IDH [Inisiatif Dagang Hijau] bersama Conservation InternationalGlobal Coffee PlatformHRNS Coffee Climate Initiative dan Specialty Coffee Association tahun 2019, dampak perubahan iklim terhadap sektor kopi mulai kelihatan tanda-tandanya. Terutama di 15 negara yang mewakili 90% produksi kopi global di Amerika, Afrika, dan Asia; termasuk Indonesia. Salah satu dampaknya, sekitar 50 persen kecocokan lahan yang dapat ditanami kopi akan berkurang, serta 60 persen spesies kopi liar berisiko mengalami kepunahan.

“Dengan demikian, kopi arabika hanya dapat dinikmati dalam jangka waktu 10 tahun ke depan saja, karena adanya perubahan rasa. Diperkirakan, 30 tahun mendatang, kopi akan menjadi komoditas langka,” jelas laporan tersebut.

Tak hanya kehilangan lahan. Ancaman lain berupa meningkatnya kebutuhan air, proses pembungaan dan perkembangan biji kopi yang terganggu, adanya hama dan penyakit tanaman, serta rentannya petani kecil hingga petani perempuan penggarap kopi. Jika tidak segera ditangani, dapat mengancam kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat yang bergantung pada tanaman ini.

 

 

Exit mobile version