Mongabay.co.id

Tak Hanya Sawit, Negeri Ini Kaya Bahan Bakar Nabati

tanaman nyamplung memiliki rendemen minyak tertinggi dibanding tanaman berpotensi campuran biosolar lainnya. Foto : Forda MOF

 

 

 

 

Ada bambu, nyamplung, jarak, kemiri sunan, singkong, gandum, tebu, jagung, ubi, buah-buahan, sampai limbah sayuran dan banyak lagi. Beragam tanaman dan limbahnya ini bisa jadi bahan bakar nabati. Di Indonesia, bahan bakar nabati masih dominan berbahan minyak sawit. Kekhawatiran muncul kala bergantung dari satu sumber, dari persoalan lingkungan hidup, ancaman alih fungsi hutan dan lahan sampai ‘perebutan’ pangan dan energi.

Mau mengenal berbagai sumber energi dan potensinya di Indonesia? Budi Leksono, peneliti ahli utama Balai Besar Penelitian Biotknologi dan Pemulihan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menunjukkan satu bahan bakar nabati potensial dari nyamplung. Tumbuhan ini berhasil jadi bahan bakar pengerak kendaraan motor dan lainnya.

Budi menunjukkan, Indonesia punya jutaan hektar lahan kritis. Nyamplung, antara lain, bisa memperbaiki kerusakan itu sekaligus jadi bahan bakar nabati di luar sawit.

Potensi BBN nyamplung sudah dia tulis dalam beberapa buku berdasarkan penelitian sejak 2008. Temuannya, nyamplung untuk biodiesel sangat berpotensi di seluruh Indonesia, termasuk di lahan kritis. Tanaman ini juga memiliki kelebihan antara lain, berbuah sepanjang tahun, produksi buah sangat tinggi 50-250 kilogram setiap tahun, rendemen minyak tinggi antara 30-74%, daya bakar tinggi, limbah bisa didaur ulang dan lain-lain.

“Dari semua pengalaman itu kita sudah menguasai pengolahan minyaknya, pemanfaatan limbah, teknik budidaya, tetapi kami belum menemukan benih unggul,” katanya dalam webinar daring yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan, baru-baru ini.

Melalui metode ekstrasi tumbuhan nyamplung bisa menjadi bahan bakar minyak dengan berbagai cara pengolahan seperti screw press expeller, soxhlet extractor, jet oil machine, vertical hot press. “Kita sudah melakukan berbagai tahap agar nyamplung bisa menghasilkan minyak yang berkualitas. Kami juga sudah test drive di kendaraan beberapa kali,” kata Budi.

Selain itu, katanya, nyamplung bisa ditanam dimana saja seperti lahan terdegradasi, bekas tambang, kebakaran dan penebang liar tidak terkendali.

 

Bambu, tanaman yang masih dipandang sebelah mata. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Hasil peta indikasi sebaran nyamplung ada di seluruh Indonesia karena tumbuhan mudah beradaptasi. “Kami sudah tanam di Bayuwangi (Jawa Timur), Pariaman (Sumatera Barat), Selayar (Sulawesi Selatan), Dompu Nusa (Tenggaran Barat), dan Yapen (Papua Barat).”

Nyampulung, katanya, menunjukkan keberagaman Indonesia, setiap daerah memiliki variasi ukuran buah dan biji. “Buah sangat banyak, di Jawa, nyampung berbuah sampai 20 ton per hektar per tahun, sedangkan sawit 24 ton hektar per tahun,” kata Budi.

Potensi rendemen minyak nyamplung lebih dari 50% dibandingkan tumbuhan lain seperti malapari, jarak pagar, saga hutan, kepuh, kesambi, dan kelor. “Begitu juga pembiakan generatif nyemplung sangat mudah dari biji, penaburan, penyungkupan, setelah itu dibiarkan tujuh bulan sudah jadi bibit.”

Begitu juga pembiakan vegetatif bisa dilakukan secara makro seperti cangkok, grafting, stek pucuk, dan mikro induksi, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi. “Tanaman ini bahkan bisa tumbuh di pantai dan tanah bebatuan, jadi sangat berpotensi jadi bahan bakar nabati di Indonesia,” katanya.

Hasil penelitian Budi, limbah hasil produksi minyak nyamplung bisa jadi asap cir, briket arang, pakan ternak, kompos, kosmetik, obat herbal dan sabun. “Demi menjaga konservasi kedepan kita sudah menanam di Jawa, Bali dan Jokja,” katanya.

Himlal Baral, ilmuan senior juga peneliti perubahan iklim, energi dan rendah karbon CIFOR mengatakan, banyak tumbuhan bisa jadi bahan bakar nabati seperti nyamplung atau tamanu tree, bambu maupun pongamia. Beberapa tumbuhan itu tumbuh dengan mudah, multifungsi, berasal dari daerah (sumber lokal), bioenergi dan restorasi.

“Pongamia, misal, mempunyai banyak kegunaan seperti suplemen makanan, madu, bio solar, pupuk organik dan lain-lain,” katanya.

Dengan cara tepat, kata Himlal, bioenergi berbasis pohon, dapat jadi sarana efektif meningkatkan ketahanan pangan dan energi sekaligus mendukung tujuan iklim dan pembangunan.

“Ada berbagai pendekatan dan alat tersedia dari yang sederhana hingga yang kompleks, tanaman tepat di lanskap yang tepat, model bisnis tepat, menghormati hak-hak masyarakat,” katanya.

Dia mengatakan, diseminasi praktik terbaik dan mengidentifikasi potensi untuk meningkatkan atau memperbaiki model yang ada melalui kemitraan publik dan swasta.

Fadli Ahmad Naufal, dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sebenarnya Indonesia bisa punya  lahan untuk bahan bakar nabati selain sawit.

 

Sawit, masih jadi bahan baku andalan untuk  bahan bakar nabati di Indonesia.  Padahal sumber bahan bakar nabati yang lain pun banyak, mengapa hanya bergantung sawit? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dari perhitungan Madani, ada sekitar 2,27 juta hektar lahan kritis yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman bahan bakar nabati selain sawit.

Lahan itu tersebar di beberapa daerah antara lain, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur,  Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

Berdasarkan sebaran lahan itu, Madani melihat ada beberapa tanaman bisa dimanfaatkan di masing-masing daerah seperti jarak, tebu, aren, pinang, jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan kelapa dan lain-lain.

Fadli menunjukkan data Madani, luasan lahan yang bisa digunakan untuk keperluan biodiesel di lahan perkebunan sawit berizin. “Dari seluruh luasan lahan izin sawit setelah kita keluarkan beberapa aspek seperti ekologis, lahan konflik dan lain-lain didapatkan 1.162 juta hektar bisa untuk biodiesel, paling besar di Kalimantan,” katanya.

Meskipun begitu, dari total itu masih ada masalah lahan tumpang tindih. Minus lahan tumpang tindih sekitar 613.000 hektar. “Kebanyakan tumpang tindih dengan minerba,” katanya.

Jadi, katanya, potensi lahan bahan bakar nabati selain sawit tersedia tetapi tata kelola harus jadi perhatian bersama.

Jaya Wahono, pendiri dan CEO Clean Power Indonesia mengatakan, Indonesia negara kaya sumber daya alam, tetapi masih kekurangan akses dan energi.

“Kita bisa lihat dari udara masih banyak daerah gelap gulita, belum teraliri listrik, yang terang hanya Jawa,” katanya.

Indonesia, katanya, juga ketinggalan dengan negara berkembang lain, seperti Vietnam, dengan akses listrik merata untuk masyarakat. “Itu perlu kita pikirkan, masalahnya memang negara ini negara kepulauan.”

Dia tawarkan, salah satu solusi pemenuhan listrik lewat biomassa, termasuk yang berbasis masyarakat. Tanaman sumber biomassa lokal bisa ditanam di daerah-daerah terpencil, tertinggal dan terluar. Dia sudah membangun pembangkit biomassa bambu di Mentawai, Sumatera Barat, dan bisa terpakai selama 24 jam. Biomassa ini, kata Jaya, akan mempercepat capaian energi terbarukan.

Biomassa ini bisa dari tanaman bambu, gamal, kaliandra dan lain-lain. “Residu hutan, limbah pertanian, ini semua biomassa lokal,” katanya.

Bahkan, katanya, biomassa bisa dikembangkan di lahan marjinal seperti lereng terjal, lahan tidur. “Kita sudah kembangkan di daerah timur, bahkan daya yang dihasilkan melebihi genset.”

Ampas gasifikasi BBN, katanya, bisa bernilai jual untuk pupuk organik dan tak beracun.

Untuk skema bisnisnya, kata Jaya, bisa menggunakan investasi swasta dengan melibatkan masyarakat, seperti sebagai pemasok bahan atau tanaman, serta distribusi lewat PT PLN.

*****

Foto utama: Nyamplung memiliki rendemen minyak tertinggi dibanding tanaman berpotensi campuran biosolar lainnya. Foto : Forda MOF

Exit mobile version