Mongabay.co.id

Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan [1]

 

 

 

 

Novita Indri, datang dari Kendari, Sulawesi Tenggara, ke Jakarta, lima tahun lalu. Dia memilih studi Teknik Lingkungan di salah satu kampus swasta di ibukota. Meskipun begitu, tak serta merta membuat dia paham masalah lingkungan terbesar dunia saat ini, yakni, krisis iklim. Mengikuti saran senior kampus untuk mencari kegiatan lain di luar studi, pada 2017 Novi menjajal sebuah komunitas anak muda, Climate Rangers.

Komunitas ini diinisiasi lembaga internasional yang fokus pada isu iklim dan transisi energi, 350.org, juga punya basis di Jakarta.

Anak-anak muda berkumpul, bikin kegiatan untuk edukasi persoalan krisis iklim, dengan dampak di depan mata.

Setahun mengikuti Climate Rangers, Novi menyadari satu hal penting: ada kesenjangan antara Jakarta dan daerah, termasuk Kendari. Mulai dari kesenjangan informasi, pembangunan, akses dan kegiatan yang mendorong anak muda ambil aksi mengatasi krisis iklim.

“Sempat beberapa kali pulang ke Kendari. Saya merasa, kota ini harus dibangun,” katanya.

Sampai lulus kuliah tahun lalu, Novi urung pulang ke Kendari. Dia merasa masih belum cukup ilmu dan pengalaman.

Bersama sejumlah anak muda ibukota lain Novi ikut menggagas Climate Strike Jakarta. Ini gerakan, yang juga disebut “Jeda untuk Iklim”, sebuah gerakan mengajak lebih banyak orang bersuara soal dampak krisis iklim.

Gerakan ini awal mulai diinisiasi Greta Thunberg pada 2018. Remaja asal Swedia yang bikin aksi mogok sekolah di depan gedung parlemen ini, meminta pengambil kebijakan serius mengatasi krisis iklim.

“Aksi ini juga untuk memberikan pressure kepada pemerintah Indonesia untuk lebih serius,” katanya.

Siapa sangka dalam Climate Strike di Jakarta pada 2019, sekitar 1.500 orang sebagian besar anak-anak muda ikut serta.

“Pemahaman soal ini sudah ada di Jakarta, namun waktu itu belum ada wadahnya.”

Di Jakarta, cukup gampang menggambarkan efek buruk krisis iklim: polusi udara, banjir, cuaca ekstrem dan kenaikan muka air laut di pesisir utara Jakarta. Di Kendari, bagi Novi sebetulnya juga mudah melihat dampak krisis iklim. Petani mulai tak bisa mengandalkan musim, baik hujan maupun kemarau untuk menentukan musim tanam.

“Tapi di Kendari, masih jadi tantangan dan hambatan untuk mencoba mengaitkan fenomena ini dengan isu lingkungan,” katanya.

Dia menemukan masih ada anak muda yang menganggap isu ini masih ‘jauh’, rumit dan tak berdampak langsung bagi kehidupan mereka sehari-hari. Selama mereka masih bisa menyalakan kipas angin dan AC di cuaca panas dan punya pekerjaan cukup untuk memenuhi kebutuhan, masalah lingkungan tak familiar bagi anak muda di daerah terlebih mereka yang tak berkecimpung dengan isu ini. Ini tantangan.

 

Anda ingin berpartisipasi menghentikan pembiayaan batubara? Bisa ditandatangani petisi di link ini.

PLTU Suralaya I atau dikenal PLTU I Banten dibangun sejak 1985. Kini, sudah ada delapan PLTU Suralaya dan pemerintah hendak menambah dua PLTU baru, unit IX dan X. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Novi, perubahan harus didorong bersama perubahan sistem, industri dan pemerintah. Mereka harus benar-benar berubah demi keberlangsungan dan kualitas lingkungan yang mengedepankan masyarakat bukan ekonomi semata.

Sebetulnya, teknologi bisa mengatasi dampak perubahan iklim salah satu karena pembakaran energi fosil, dengan transisi ke energi terbarukan.

“Disinilah “Jeda untuk Iklim” merangkul suara individu untuk menyerukan ke pemerintah, hey ini masyarakat sudah berubah, berani ga pemerintah bikin kebijakan yang pro lingkungan?”

Mulai akhir tahun ini, dan rencana ke depan, “Jeda untuk Iklim” coba masuk di tiga isu: pendanaan, gender dan agama.

Bicara pendanaan, katanya, saat ini banyak negara memberikan pernyataan tidak akan memberikan modal bagi PLTU batubara di luar negeri. Komitmen itu akan menjadi landasan. Perusahaan bisa mengeruk batubara dan membangun PLTU dari pinjaman, suntikan dana itu bisa dari lembaga keuangan termasuk bank.

“Harapannya masyarakat lebih mudah memahami. Selama ini duit yang aku simpan di salah satu bank, otomatis bank akan memutar uang dan bunga dibagi ke masing-masing nasabah. Uang nasabah dikemanakan? Salah satunya untuk industri ekstraktif yang merusak: PLTU, sawit atau batubara.”

Kalau mendukung PLTU batubara di Banten, misal, secara tak langsung nasabah punya bagian terhadap kerusakan lingkungan.

“Bukan berarti kita minta nasabah menarik duitnya, tapi mendorong komitmen bank. Dengan harapan, bank berubah, uang dialihkan tak mendanai batubara.”

Kalau bank sudah berkomitmen, katanya, industri akan kalang kabut. Harapannya, industri batubara bisa berbenah dan berubah. “Ya, kalau perlu menutup bisnis batubara, lebih baik,” katanya, seraya blang, target kampanye mereka bank-bank nasional dan BUMN.

“Jeda untuk Iklim” juga akan banyak bicara soal isu perempuan dan agama dalam transisi energi. Isu perempuan, katanya, karena perempuan yang mendapat beban ganda saat dampak krisis iklim terjadi. Misal, saat banjir atau gagal panen, perempuan yang punya tanggung jawab menyediakan makanan di rumah.

Dari sisi agama, gerakan ini mencoba mengajak pemuka agama melalui mimbar-mimbar khutbah untuk memberi edukasi soal peran manusia dalam menyelamatkan bumi.

“Anak muda saat ini sudah cukup aktif. Dibantu informasi konten seperti melalui TikTok, dan lain-lain. Harapannya, pelibatan mereka tak hanya saat aksi tapi benar-benar melibatkan mereka sebagai orang yang akan menyampaikan dan menjadi bagian dari solusi masalah,” kata Novi.

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

Aksi lain Climate Rangers dan Komunitas Fossil Free Kampus Indonesia di Gedung BNI Jakarta, akhir November lalu. Foto: 350.Org

 

***

“BNI stop danai krisis iklim” “Tepati komitmen, stop danai batu bara perusak masa depan.”

Begitu bunyi spanduk aksi mahasiswa dari Komunitas Fossil Free Kampus Indonesia dan Climate Rangers Jakarta ini di Gedung Graha Bank Nasional Indonesia (BNI) di Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, akhir November lalu.

Aksi diam beberapa anak muda ini menyusul laporan Urgewald, lembaga riset berbasis di Jerman, yang menyebut BNI dan lima bank lain di Indonesia, masih memberikan pinjaman ke proyek energi batubara.

“Sebagai bagian yang sentral dalam kehidupan publik, termasuk kita mahasiswa di UI, BNI harusnya mempertimbangkan dampak aktivitas bisnisnya terhadap kehidupan dan masa depan kita,” kata Naifah Uzlah, Koordinator dari Fossil Free Universitas Indonesia.

Meskipun BNI sudah punya komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca seperti tertuang dalam Sustainability Report BNI 2020, katanya, tak cukup.

“Menerapkan keuangan berkelanjutan is a good first step. Tapi sudah waktunya untuk scale up dengan cara investasi ke industri lebih hijau.”

Selain aksi diam, komunitas yang terdiri dari sejumlah kampus di Indonesia ini membuat petisi di Change.Org, meminta direktur BNI hentikan pendanaan untuk proyek batubara dan alihkan uang nasabah, termasuk mahasiswa, dari proyek yang merusak bumi.

Kekecewaan terhadap kebijakan pendanaan perbankan nasional juga diungkapkan Dwi Tamara dari Climate Rangers Jakarta.

“Energi fosil terbukti memperparah krisis iklim,” katanya.

Bagi Tamara, bencana alam yang kini terjadi menjadi peringatan bagi manusia berhenti gunakan energi fosil. Sayangnya, beberapa perbankan masih mendanai industri fosil, termasuk BNI.

Geliat anak muda menyuarakan isu perubahan iklim mulai ramai setidaknya sejak Greta Thunberg kampanye soal isu pemanasan global dan perubahan iklim. Thunberg jadi pendorong gerakan serupa oleh ribuan bahkan jutaan generasi muda lain di berbagai penjuru dunia. Gerakan ini menyebar termasuk ke Jakarta, dengan “Jeda untuk Iklim.”

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Sumatera Selatan, jadi provinsi percontohan pengembangan energi terbarukan. Daerah ini sudah mulai bangun pembangkit energi terbarukan, antara lain pembangkit biomassa dari sekam padi dan energi surya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Bagi Leon Avinda Putra, Ketua BEM UI, penting bagi anak muda menyuarakan isu ini karena ada kaitan antara kebijakan yang diambil saat ini dengan keadilan bagi generasi selanjutnya.

“Karena kami yang akan mengambil estafet kepemimpinan di masa depan. Jadi, generasi saat ini wajib melestarikan dan menggunakan jasa lingkungan serta sumber daya alam bagi kebermanfaatan generasi sekarang dan mendatang,” katanya.

Batubara, katanya, merupakan energi tak terbarukan perlu transisi segera ke energi ramah lingkungan dan berkelanjutan agar generasi mendatang tak terbebani penurunan kualitas hidup.

“Bagaimana generasi tahun 2050 akan merasakan dampak kenaikan suhu bumi, bagaimana generasi mendatang di pesisir pulau merasakan daerahnya tenggelam? Ini menciderai prinsip rasa keadilan antar generasi.”

Hal yang bisa dilakukan pemerintah sebagai pembuat kebijakan saat ini, kata Leon, dengan optimalisasi dukungan untuk investasi energi terbarukan secara sistemik.

Usul Leon ini bisa dipenuhi dengan mula-mula menghapus subsidi pada batubara, yang menurut kajian Climate Policy Initiatives, cukup tinggi. Sejak 2015, rata-rata 9% dari total APBN menjadi subsidi untuk batubara. Dibandingkan pembiayaan iklim yang ada pada climate budget tagging, rata-rata hanya 2%.

“Kita berharap energi terbarukan bisa kompetisi melawan batubara, diesel dan lain-lain, namun dari segi level of playing field-nya nggak sama,” kata Tiza Mafira, Associate Director CPI Indonesia.

Saat tren dunia beralih ke ekonomi hijau, terlihat dengan banyaknya pendanaan hijau dan setidaknya 100 lembaga keuangan punya komitmen tak lagi membiayai batubara. Di Indonesia, bank nasional masih memberi pinjaman untuk proyek energi kotor ini. (Bersambung)

 

 

******

Foto utama:  Aksi generasi muda di depan Gedung BNI di Jakarta. Mereka menyuarakan setop pembiayaan BNI ke sektor batubara dan alihkan ke energi terbarukan. Foto: 350.org

 

 

Exit mobile version