Mongabay.co.id

Minim ke Energi Terbarukan, Ngucur ke Batubara, Bagaimana Mendorong Transisi? [2]

Seorang staf membersihkan rerumputan di bawah solar panel PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Secara global banyak lembaga keuangan salurkan dana ke  energi terbarukan. Sekitar 91% pendanaan mitigasi iklim global, untuk PLTS dan PLTB (tenaga angin). Ini diikuti dengan kenaikan investasi untuk infrastruktur dan transmisi hijau.

Di Indonesia, kebutuhan investasi energi terbarukan mencapai US$195 triliun per tahun untuk memenuhi target bauran energi 2050. Saat ini, baru US$2,4 miliar per tahun.

“Yang cukup aneh, investasi solar PV sedikit sekali. Ambisi solar PV kita besar dari segi pembangunan, tapi pendanaan dan investasi paling kecil, hanya 1,4%, dan transmisi hampir tak ada,” kata Tiza Mafira, Associate Director CPI Indonesia.

Kenapa bank nasional masih mendanai batubara? Pertama, kata Tiza, peraturan Otoritas Jasa Keuangan soal pembiayaan hijau tak tegas menyatakan melarang membiayai proyek batubara maupun PLTU.

Peraturan OJK tentang pendanaan hijau menyatakan, bank tidak boleh memberikan kredit untuk proyek yang merusak lingkungan dan ekosistem. Ada kebijakan insentif dan disinsentif untuk menunjukkan performa perusahaan dalam menerapkan prinsip hijau dalam operasional sehari-hari misal dengan kemajuan penghematan konsumsi listrik, energi ramah lingkungan dan dukungan pihak luar guna pelestarian lingkungan.

Kedua, perbankan masih melihat batubara dan PLTU sebagai kebutuhan untuk menggerakkan ekonomi. Andrinof Chaniago, mantan Menteri Bappenas, mengatakan, secara ekonomi, batubara dinilai lebih murah dan jadi pilihan paling realistis saat ini karena sudah ada infrastruktur pendukung. Kalau bank hendak mendanai energi terbarukan, saat ini masih perlu investasi awal yang besar, dan waktu realisasi proyek lebih lama dibanding PLTU.

“Untuk membangun bendungan, konstruksi pembangkit untuk pembangkit hidro, misal, potensi besar tapi tidak bisa direalisasikan dengan cepat. Jika pemerintah investasi sendiri untuk ini, habis anggaran,” katanya.

Contoh lain, kata Andrinof, pembangunan geothermal juga berisiko besar dan rentan penolakan warga. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), katanya, lebih realistis.

Meskipun begitu, Komisaris Bank Mandiri ini bilang, perbankan nasional tak akan ogah-ogahan mendanai energi terbarukan asalkan menguntungkan dan tak ada risiko bagi perbankan.

“Kalau berisiko, itu kan uang masyarakat. Kalau mandek, macet, bisa mengganggu sistem perbankan.”

Kalau begitu kapan Indonesia akan bisa lebih ambisius meningkatkan energi terbarukan?

Presiden Joko Widodo sebetulnya sudah memahami dua masalah besar dalam transisi energi: kelebihan kapasitas listrik dan bauran energi terbarukan minim. Jokowi akur, transisi energi tak bisa ditunda. Kelebihan kapasitas usul dia, kalau perlu mobil dan kompor gas ganti dengan listrik agar listrik terserap dan impor minyak turun.

Saat ini, PLN menyeimbangkan kembali kelebihan kapasitas listrik di Jawa, Bali. Sumatera dan Kalimantan, sembari menambah kapasitas energi terbarukan. Ada pula rencana pemerintah menutup PLTU lama.

 

Baca juga: Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

Asap yang mengepul dari corong PLTU itu menebarkan beragam zat berbahaya di udara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Penutupan PLTU ini, kata Tiza, penting, selain alasan emisi dan lingkungan, harga batubara juga fluktuatif mengikuti harga pasar, rentan, sedang PLN harus terus membayar subsidi. Sisi lain, harga energi terbarukan tak bergantung pada kartel, konsisten turun.

“Energi terbarukan lebih demokratis,” kata Tiza.

Dengan harga murah, masyarakat bisa jadi produsen listrik, misal dengan memasang PLTS atap. Sedang batubara dikuasai segelintir perusahaan multi nasional.

Namun, kata Tiza, meski harga solar panel, dan turbin angin global turun, tak berarti di dalam negeri harga ikut bersaing.

Indonesia, katanya, masih kurang dukungan finansial dan kebijakan untuk energi terbarukan.

 

***

Di Glasgow, saat COP 26, Indonesia umumkan akan mempensiunkan 5,5 gigawatt PLTU batubara. Kalau menilik dalam RUPTL 2021-2030, masih memberi ruang bagi 13,8 gigawatt PLTU yang disebut KESDM dan PLN bukan PLTU baru, namun ‘PLTU lama’ yang sudah tanda tangan kontrak.

“Sebesar 5,5 gigawatt kalau disandingkan dengan 13,8 gigawatt tentu lebih besar yang masih akan dibangun. Saat kebutuhan investasi energi terbarukan dan pensiun PLTU belum terpenuhi, tapi pendanaan mendukung batubara jalan terus,” kata Tiza.

Catatan CPI, subsidi fosil fuel sempat turun pada 2015, namun tak sampai nol. Tahun 2020, bahkan naik lagi. Pembiayaan Ekonomi Nasional (PEN) hanya memberi porsi 0,9% untuk subsidi hijau.

“Transisi energi butuh kebijakan yang konsisten,” kata Tiza.

Selain mengurangi suplai batubara dan menambah porsi energi terbarukan, pemerintah mestinya tak memberikan izin baru dan tak berikan subsidi untuk konsesi tambang berupa royalti nol persen bagi perusahaan tambang yang melakukan nilai tambah, sesuai UU Minerba terbaru.

Selain tak memberi izin baru untuk PLTU, pensiun dini dan tak lagi memberi subsidi bagi PLTU, pemerintah perlu memahalkan harga listrik dari PLTU melalui carbon cap dan tax.

Masalahnya, ketika carbon tax berlaku, PLTU dengan skema take or pay akan membebankan pajak karbon kepada pemerintah. Kondisi ini tentu menambah beban subsidi pemerintah untuk energi batubara.

Untuk itu, kata Tiza, pemerintah perlu mengkaji ulang kontrak take or pay untuk PLTU yang menyebabkan kelebihan kapasitas dan menjadi beban keuangan PLN.

Tiza usul, pemerintah mengalihkan subsidi listrik jadi subsidi langsung bagi masyarakat yang membutuhkan.

Menanggapi ini, Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan KESDM, mengatakan, keadilan antar generasi menjadi konsideran bagi pemerintah. “Bagi saya pribadi malah jadi konsideran paling atas agar generasi ke depan bisa hidup lebih baik dari sekarang,” katanya.

Untuk itu, kata Rida, pemerintah melakukan langkah bertahap untuk menutup PLTU lama, tak lagi memberi izin PLTU baru, memberi porsi lebih banyak pada energi terbarukan, 51%, dalam RUPTL terbaru dan mencoba negosiasi kembali kontrak dan skema take or pay PLTU.

Pemerintah, kata Rida, masih meneruskan PLTU yang belum dibangun namun sudah tanda tangan kontrak karena tak bisa memutus kontrak secara sepihak. Pengalaman, memutus kontrak sepihak lalu pemerintah dituntut melalui pengadilan arbitrase internasional, kalah dan harus membayar denda.

“Jadi, sebagai negara yang masih butuh investasi kita harus menghargai kontrak yang sudah ditandatangani,” katanya.

Karena itulah masih ada 13,8 gigawatt PLTU yang akan mulai beroperasi beberapa tahun ke depan hingga 2027. Ini pula yang menjadi dasar pemerintah menyusun target net zero emission pada 2060.

Dia bilang, target ini dinamis, bisa lebih cepat dengan transisi energi dan penutupan PLTU batubara yang masih beroperasi.

Pemerinta Indonesia, katanya, perlu US$3,5 quadrillion untuk pensiunkan 5,5, gigawatt PLTU. Indonesia, kata Rida, tak akan ‘mengemis’ dana ini ke luar negeri namun kalau ada dana, pemerintah sudah siap dengan peta jalan net zero emission 2060 ini.

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

Batubara yang diangkut dengan tongkang melalui jalur air. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Peran internasional

Adalah program Energy Transition Mechanisme (ETM) atau mekanisme transisi energi antara pemerintah Indonesia dan Asian Development Bank (ADB) yang rilis saat COP 26 di Glasgow, lalu. Mekanisme ini merupakan bentuk pembiayaan campuran yang dirancang untuk mempercepat penghentian PLTU batubara dan pada saat bersamaan membuka investasi untuk energi berkelanjutan.

Chitra Priambodo, Senior Energy Specialist ADB mengatakan, saat ini ADB mulai mengembangkan ETM di beberapa pilot countries : Indonesia, Filipina dan Vietnam.

Pre-feasibility study sudah dilakukan,” katanya.

Selanjutnya, uji kelayakan akan mendesain bentuk transaksi seperti apa yang bakal menjadi pilot project dan pembangkit yang mana. Model pensiun dini, katanya, kemungkinan bisa memperpendek usia PLTU menjadi 12 tahun sembari tetap memberi alokasi sebagian dana untuk pengembangan energi terbarukan.

Sebelum ini, kata Chitra, ADB memang menggelontorkan uang untuk proyek transmisi dan distribusi pada pembangkitan. Meski secara tak langsung dana ini mengalir ke mayoritas pembangkit energi fosil, namun dukungan pinjaman dan technical assessment di sektor ini juga berdampak pada penurunan emisi gas rumah kaca karena mengurangi potensi energi yang hilang dalam jaringan listrik.

Namun studi Perkumpulan Prakarsa, lembaga kajian kebijakan yang juga menjadi bagian dari Koalisi Responsi Bank, menyebutkan, lembaga keuangan internasional termasuk ADB dan World Bank, meski sudah mendukung sektor energi berkelanjutan namun belum mendorong Indonesia mencapai target energi terbarukan.

Dari 18 proyek ADB di Indonesia pada 2017-2020 yang menjadi kajian lembaga ini, nilai kategori proyek yang termasuk kategori ‘selaras dengan pengurangan emisi gas rumah kaca’ menurun dibanding proyek pada 2015.

Pada 2015, nilai proyek yang ‘selaras’ mencapai US$401,17 juta. Pada 2020 turun menjadi US$306,5 juta, meski sempat naik US$737,75 juta pada 2018.

Meski demikian, kalau pada 2015 masih ada pinjaman untuk energi fosil, pada 2016, mulai ada pinjaman untuk energi terbarukan seperti geothermal dan angin meski jumlah stagnan, US$400 juta.

“BUMN menjadi pihak paling besar menerima pinjaman,” kata Cut Nurul Aidha, Research and Knowledge Manager Perkumpulan Prakarsa.

PLN menerima pinjaman US$300-600 juta setiap tahun. Secara ekonomi, pinjaman-pinjaman ini diklaim mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia timur. Tahun 2020, persentase rumah tangga yang tersambung listrik meningkat lebih dari 96% dan bauran energi meningkat 10%.

Kondisi ini, berdampak pada peningkatan kehadiran sekolah dan kualitas kesehatan masyarakat.

Di Sumatera, pinjaman ini juga diklaim meningkatkan akses bagi sejuta pelanggan baru, termasuk kategori yang proyek tidak menggangu kehidupan masyarakat adat. Salah satunya, PLTP Muara Laboh 1,3 gigawatt yang dibangun pada 2019.

Begitu juga dengan pinjaman dari World Bank, misal untuk pembangkit listrik PT Medco Raych Power di Riau yang menggunakan teknologi environment, health, safety and security (EHSS) yang mengurangi dampak negatif dari proyek.

“Untuk dekarbonisasi ekonomi Indonesia kita perlu meminta international finance institution agar mengurangi program yang tidak inline dengan transisi energi dan meningkatkan keterlibatan masyarakat sipil,” kata Ah Maftuchan, Ketua Perkumpulan Prakarsa.

Peran IFI ini, kata Maftuch, sangat besar karena pemerintah dan DPR masih menyusun Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU-EBT). Tahun 2022, juga akan jadi tahun penting dalam mendorong mandatori insentif fiskal ke daerah terkait energi.

“Karena 2024 akan ada pemilu dan 2023, biasa akan penuh dengan kontestasi electoral,” katanya.

Tata Mustasya, pengkampanye iklim dan energi Greenpeace Asia Tenggara, mengingatkan, Indonesia sedang berpacu dengan waktu. Tantangannya, Indonesia harus bisa melakukan transisi energi tepat waktu.

“Dampak krisis iklim terus datang. Tak hanya merusak lingkungan tapi juga livelyhood.”

Strategi kunci, katanya, kepemimpinan pemerintah. Harus ada kebijakan pendorong dari pemerintah (government driven policy) dalam mengakselerasi energi terbarukan yang ramah lingkungan dengan beragam insentif dan inovasi pembiayaan termasuk optimalisasi peran BUMN. Diikuti juga inovasi daerah melalui promosi solar atap.

“Tak kalah penting membersihkan konflik kepentingan batubara dalam pengambilan kebijakan energi,” katanya. (Selesai)

 

Anda ingin berpartisipasi menghentikan pembiayaan batu bara? Bisa ditandatangani petisi di link ini.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

*******

Foto utama: Solar panel PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version