Mongabay.co.id

Banjir Lombok dan Kerusakan Lingkungan, Waspada Cuaca Ekstrem

Kompleks Perumahan Gunungsari Asri terendam banjir hingga dua meter. Selain luapan dari air sungai, air dan lumpur berasal dari bukit yang sedang dikeruk. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hujan mengguyur Lombok, 5 Desember lalu tak membuat Agus Salim khawatir. Pekan sebelumnya, hujan juga turun lebat. Sungai yang melintas di dekat perumahannya, Gunung Sari Asri, tak pernah meluap sampai halaman rumah. Minggu sore hingga malam Agus mengikuti pertemuan dengan kawan-kawannya, merencanakan kegiatan sosial.

Minggu sore itu dia sempat membawa satu kantong plastik buku bacaan yang hendak disumbangkan. Di rumahnya, di Desa Gunung Sari, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, NTB, masih banyak buku lain. Malam itu Agus tidak pulang ke rumah karena hujan terus mengguyur. Dia pulang ke rumah orang tuanya di Ampenan, Kota Mataram.

Menjelang subuh di perumahan Gunung Sari Asri, tetangga Agus, Ricko dan istrinya yang tengah hamil besar, masih nyenyak tidur. Hujan pada malam hari hingga subuh hari itu membuat malas untuk keluar rumah. Pekerja kreatif ini juga tak menaruh was-was walaupun perumahan mereka di pinggir sungai dan posisi lebih rendah dari jalan. Pekan-pekan sebelumnya juga tidak pernah ada banjir.

Ricko terbangun mendengar suara keras, seperti suara gempa, suara luapan air sungai menghantam tembok dan pintu. Ranting kayu membentur batang bambu. Ricko terbangun. Air sudah masuk ke rumah. Hitungan menit air makin tinggi. Dia membangunkan istrinya, berlari menyelamatkan diri.

“Semua barang tidak ada yang sempat kami selamatkan,’’ kata Ricko saat ditemui di rumahnya, keesokan hari.

Di halaman rumah Ricko masih bertumpuk berbagai perabot yang hanyut. Di jalan gang kompleks perumahan itu penuh lumpur sebagian sudah mengeras. Ricko belum sempat membersihkan rumah.

Agus Salim mulai membersihkan rumah dari lumpur. Semua buku koleksi dan hendak disumbangkan basah dan tertutup lumpur.

“Ketinggian air di sini sampai dua meter,’’ kata Agus menunjuk tembok rumahnya. Bekas lumpur menempel di tembok menjadi pembatas ketinggian air.

“Sama sekali tidak ada yang tersisa, semua warga di sini belum sempat menyelamatkan barang. Air cepat naik,’’ katanya.

Ada dua sumber air yang menggenangi kompleks perumahan ini. Air sungai yang meluap dan air yang turun dari bukit. Air sungai membawa potongan kayu dan ranting, air dari bukit membawa lumpur. Di atas perumahan ini sedang ada pengerukan. Akan ada pembangunan sarana baru. Air dan material lumpur dari bukit itulah yang menyulitkan warga menyelamatkan barang-barangnya.

“Seperti terjebak,’’ kata Agus.

Foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan rumah terendam, hampir mencapai atap itu adalah kompleks perumahan Gunung Sari Asri. Hingga Kamis belum ada bantuan yang datang ke perumahan itu. Tidak semua orang tahu lokasi itu. Apalagi kompleks itu bukan perumahan padat. Perumahan ini juga tergolong baru, baru dihuni belasan keluarga.

 

Tim gabungan sedang mengevakuasi warga yang terjebak di atap rumah di Perumahan Bhayangkara Residence. Foto: Tagana NTB/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya hujan lebat

Kala itu, tak hanya perumahan Agus yang banjir, daerah lain di Lombok juga termasuk di BTN Ranjok dan Perumahan Bhayangkara Residence di Kecamatan Gunungsari.

Di Kecamatan Gunungsari terdapat 2.849 keluarga terdampak, Kecamatan Batulayar 1.250 keluarga, Kecamatan Lingsar 81 keluarga, dan Kecamatan Sekotong 1.222 keluarga. Bencana ini menyebabkan kerusakan 448 rumah, lima orang meninggal dunia dan belasan luka.

Kusnadi, Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) NTB menganalisis dari citra satelit dua lokasi perumahan, yaitu BTN Ranjok dan perumahan Bhayangkara Residence di Desa Mambalan, Kecamatan Gunungsari.

Berdasarkan citra satelit, kedua perumahan ini baru dibangun pada pertengahan 2018. Sebelum dibangun perumahan, daerah ini merupakan bantaran sungai dan daerah persawahan.

Setelah 2018, daerah ini jadi perumahan, mulai dari bantaran Sungai Meninting sampai ke utara yang sekarang masuk wilayah Bhayangkara Residence.

Kalau melihat model Sungai Meninting di bagian selatan perumahan ini membentuk pola kelokan tajam. Dengan model seperti ini sangat rentan meluap luruh membawa banjir.

Kusnadi bilang, jelas terlihat kemungkinan seluruh daerah ini memang dulu dataran banjir sungai hingga ketika Sungai Meninting memerlukan area lebih untuk menampung aliran sungai maka daerah-daerah ini tergenang. Apalagi, saat ini di bagian hulu Sungai Meninting sedang ada proyek Bendungan Meninting, kemungkinan terjadi pengalihan arah aliran air sungai hingga membuat daya tampung sungai tidak maksimal.

“Karena sudah terbangun perumahan mungkin ke depan bisa dibangun tanggul penghalang banjir hingga air Sungai Meninting tidak meluap lurus kearah barat dan membanjiri area terbangun itu,’’ katanya.

Pembangun yang tidak memerhatikan risiko bencana dan kerusakan di bagian hulu menambah parah dampak banjir. Puluhan rumah rusak berat. Jebol dihantam air dan lumpur, bahkan banyak rumah roboh tersapu batang pohon. Di Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari rumah rusak karena dihantam pohon hanyut. Melihat ukuran batang pohon itu, kemungkinan ditebang di bagian hutan.

Di Desa Batulayar, Kecamatan Batulayar, banjir dipicu luapan air sungai yang terhalang pohon hanyut. Tumpukan pohon tersangkut di jembatan membuat air tidak lancar mengalir. Air masuk ke permukiman. Saat bersamaan dari atas bukit air bercampur lumpur menerjang rumah warga. Puluhan rumah terendam lumpur. Di daerah-daerah yang terdampak banjir dan longsor ini berada di daerah perbukitan.

Permukiman di kelilingi Perbukitan Batulayar yang setiap tahun beralih menjadi kawasan villa mewah. Pembangunan di bagian hulu perlu lahan yang datar dan pembersihan lahan. Sisa pembersihan lahan itulah yang hanyut ketika hujan lebat.

Yuniar Pratiwi, Manajer Konservasi, Mitigasi, dan Perubahan Iklim Geopark Rinjani, bilang, bukan rahasia umum di kawasan hulu Gunungsari dan Batulayar, sudah gundul. Dari pinggir jalan masih tampak hijau dengan pepohon besar, ketika masuk ke dalam banyak lahan gundul.

Alih fungsi lahan perbukitan menjadi permukiman, villa, dan fasilitas lain menjadi pemicu. Lahan rusak, alih fungsi massif, katanya, tinggal menunggu hujan untuk menyebabkan banjir.

“Dari zaman dulu juga hujan, tapi kenapa baru sekarang terjadi banjir. Semua bisa melihat banyaknya tumpukan kayu yang hanyut dan material tanah yang longsor,’’ katanya.

Yuniar meminta pemerintah, pengembang perumahan, termasuk juga sektor pariwisata harus waspada. Dia bilang, harus ada mitigasi bencana untuk mencegah korban, mengurangi dampak kerusakan, dan mencegah bencana. Dia contohkan, daerah-daerah yang terendam banjir, perlu ada prasarana untuk mengurangi dampak.

Pembangunan tanggul bisa mengurangi luapan air sungai, tetapi lebih bagus kalau hulu sungai hijau kembali.

“Jalur-jalur evakuasi juga harus dibuat. Kemarin banyak yang terjebak karena tidak tahu kemana harus lari ketika terjadi bencana,’’ katanya.

 

Rumah warga rusak berat dan terendam lumpur di Kekait Daye, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Rumah yang rusak ini merupakan rumah tahan gempa yang baru selesai dibangun setahun sebelumnya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Waspada Cuaca Ekstrem

Bencana banjir tak hanya di Lombok, juga terjadi di daerah lain. Bukan hanya banjir, juga longsor maupun angin puting beliung dan lain-lain. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memprediksi, intensitas banjir rob dan gelombang tinggi meningkat hingga Februari 2022. Kondisi ini dipengaruhi musim hujan, La-Nina dan angin Monsun Asia. Masyarakat diimbau tetap waspada.

BMKG menyebutkan, puncak musim hujan diprediksi terjadi Januari-Februari 2022 tersebar di wilayah Indonesia. Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, ada pengaruh dari Monsun Asia yang mengakibatkan curah hujan makin meningkat, kondisi ekstrem meningkat, diperparah pola sirkulasi siklonik dan seruakan dingin yang aktif di Laut China Selatan. “Ini yang memberikan dampak signifikan pada peningkatan tinggi gelombang, dapat mencapai 4-6 meter di wilayah perairan Natuna,” katanya dalam konferensi pers virtual baru-baru ini.

Wilayah Indonesia bagian timur, seperti utara Papua maupun Papua Barat memiliki dampak signifikan dengan ada gelombang tinggi dan kecepatan angin di Samudera Pasifik Timur Filipina.

Cuaca ekstrem ini pun bersamaan dengan fase bulan baru yang berpotensi ada kenaikan ketinggian pasang air laut atau banjir rob di sejumlah wilayah.

Dwikorita mengatakan, fase bulan baru atau Perigee ini adalah kondisi di mana posisi bulan itu berada pada jarak terdekat dengan planet bumi hingga gravitasi bulan terhadap permukaan air di samudra di laut makin meningkat.

Peningkatan pasang air laut maksimum dapat berpotensi besar mengakibatkan banjir pesisir ini bisa meningkat sampai 22 Desember 2021.

Wilayah terdampak antara lain, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Barat. Juga, Sulawesi Utara, Gorontalo, Ternate, Halmahera, Papua Barat (bagian utara) dan Papua (Papua bagian utara).

“Perlu kita cermati dari tiga fase yang bersamaan, yakni, angin kencang di pesisir, diikuti gelombang tinggi, ditambah fase pasang maksimum jika ditambah curah hujan lebat akan makin menambah dampak tinggi genangan di perkampungan nelayan atau pesisir,” kata Eko Prasetyo, Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG.

Dia mengingatkan, masyarakat di pesisir perlu melakukan upaya adaptasi dan mitigasi konkrit agar tidak menimbulkan kerugian. Cuaca ekstrem ini, perlu diwaspadai karena mengganggu aktivitas masyarakat di pelabuhan dan pesisir, misal, bongkar muat di pelabuhan, pemukiman, tambak garam dan perikanan.

Guswanto, Deputi Meterorologi BMKG menyebutkan, perlu mewaspadai dampak gelombang tinggi pada kota-kota besar. Salah satu, banjir pesisir atau rob di Kota Manado, Sulawesi Utara yang menyebabkan air laut masuk pusat perbelanjaan yang terletak persis di pinggir pantai. Kondisi ini, dipengaruhi letak garis pantai yang seamless, yakni jarak antara kota besar dengan garis pantai dekat atau tidak ada batas.

“Seharusnya pada daerah-daerah itu memiliki pembatas antara perairan dengan daratan. Misal, gunakan beton maupun tanaman penahan abrasi,” katanya.

Beberapa kota dengan kondisi ini pun perlu mewaspadai, seperti Makasar, Manado, Semarang, Surabaya dan lain-lain.

 

 

Senada dikatakan Urip Haryoko, Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG. Dia mengemukakan, ada peningkatan risiko bencana alam akibat fenomena La Nina di wilayah Indonesia tahun ini.

Peningkatan curah hujan akibat fenomena La-Nina bisa menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor di wilayah Indonesia sebagaimana terjadi pada 2020.

Berdasarkan data dasar 2006-2016 terkait pantauan musim hujan, katanya, dalam 10 tahun ke depan curah hujan pada periode musim hujan tidak banyak mengalami perubahan, namun jumlah hari hujan lebat meningkat.

“Ini perlu diantisipasi karena hujan dengan intensitas lebat seringkali mengakibatkan banjir dan longsor dan potensi bencana hidrometeorologi meningkat,” katanya.

BMKG meminta masyarakat mengantisipasi musim hujan yang datang lebih cepat, potensi peningkatan curah hujan signifikan, dan meningkatnya peluang kejadian hujan ekstrem.

“Adanya perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem yang akhirnya meningkatnya potensi bencana.”

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.796 bencana dari 1 hingga 9 Desember 2021. “Lebih dari 80% kejadian bencana di Indonesia sepanjang Januari hingga Desember didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Total korban meninggal 642 jiwa dan korban terdampak lain lebih 8 juta jiwa,” kata Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi, Komunikasi Kebencanaan BNPB.

Dari total bencana di Indonesia, 35% (1.177 kejadian) karena banjir, disusul cuaca ekstrem (709), tanah longsor (568), kebakaran hutan dan lahan (265), gelombang pasang dan abrasi (34), gempa bumi (27), kekeringan (15), dan erupsi gunung api (1).

Daerah dengan sebaran bencana terbanyak lebih 50 kejadian, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Daerah-daerah itu, selama lima tahun terakhir memiliki riwayat dengan frekuensi bencana tertinggi di Indonesia.

Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), sejak awal Desember 2021 sampai saat ini tercatat terjadi 55 banjir dan 16 longsor. Banjir menyebabkan korban meninggal enam orang, hilang delapan, dan sembilan orang luka-luka serta berdampak pada 372.397 orang menderita dan mengungsi.

BNPB mencatat, ada 7.574 kali bencana banjir di Indonesia selama periode 2011-September 2020. Meski tren fluktuatif, tetapi bencana ini memiliki tingkat intensitas cukup sering selama 10 tahun terakhir.

Menurut WMO, rata-rata temperatur global pada 2020, tercatat sekitar 14,9 derajat Celsius atau 1,2 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan periode pra-industri tahun 1850-1900. Angka 1,2 derajat Celsius itu mendekati batas peningkatan suhu 1,5 derajat dari periode pra-industri yang ditetapkan negara-negara di dunia untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim.

 

 

******

Foto utama: Kompleks Perumahan Gunungsari Asri terendam banjir hingga dua meter. Selain luapan dari air sungai, air dan lumpur berasal dari bukit yang sedang dikeruk. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version