Mongabay.co.id

Cerita Perempuan Penjemur Ikan di Pesisir Pegagan

 

Sejumlah perempuan pesisir di Dusun Soro’, Desa Pegagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, terlihat duduk berkelompok di area penjemuran ikan. Sebagian selonjoran, sebagian ngobrol satu sama lain, sebagian bersandar di bambu penyangga tempat jemur ikan, Selasa (23/11/2021) lalu.

Mata saya menyisir puluhan bedek (alas anyaman bambu) ukuran 1,5×1 meter berisi ikan teri asin yang dijemur. Sebagian ikan sudah mengering sempurna, sebagian masih lembek. Ada dua macam ikan teri yang dijemur. Ikan teri nasi (kèndui potè atau kèdui nase’ dalam bahasa Madura) ada di sisi selatan. Sedang ikan teri jengki (kèndui parot) ada di sisi utara.

“Kami lagi istirahat menuggu menjemur ikan teri. Sebentar lagi mau dimasukkan ke gudang,” kata Maftuha, salah satu buruh penjemur ikan teri asin merespon sapaan Mongabay Indonesia.

Dia sudah lima tahun bekerja sebagai buruh penjemur ikan teri asin untuk mencari uang tambahan. Bersama rekan buruh penjemur ikan teri lainnya, bisa bekerja enam hari dalam seminggu kala musim kemarau. Saat musim penghujan bekerja kondisional.

Mereka bekerja dua kali dalam sehari yaitu pagi sampai siang. Istirahat siang pulang ke rumah untuk sholat, makan selama 1,5 jam dan kembali bekerja sampai pukul 4 sore.

“Kami bisa istirahat di tempat yang sudah disediakan. Tapi banyak yang pulang, kan rumah dekat. Bekal bawa sendiri. Sesekali dikasih sama juragan,” katanya.

baca : Potret Perempuan Nelayan di Pesisir Jumiang Pamekasan

 

Maftuha (kanan bermasker) dan Maryati (kiri berkerudung kuning), perempuan nelayan penjemur ikan teri asin di Pegagaan, Pamekasan, Madura, Jatim mengecek tingkat kekeringan ikan yang dijemur. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Upah yang diterima tergantung musim. Pada musim kemarau, bisa Rp.500.000–Rp.600.000 dalam seminggu. Sedang kala musim penghujan, bisa Rp.300.000-400.000.

“Kalau musim kemarau, kami bisa kerja 5-6 hari kerja. Sedang kalau musim hujan, , hujan tidak bisa ditebak. Jadi kadang kami kerja 3-4 kerja. Bagi kami, upah itu lumayan. Alhamdulillah,” bebernya.

Maftuha bekerja diajak tetangganya. Kebetulan, usaha ikan teri asin itu milik salah satu tetangganya. Nama gudang usaha ikan teri itu UD Barokah.

Upah dari pekerjaan itu dia gunakan untuk uang sekolah anak-anaknya. Sesekali disisihkan untuk ditabung melalui tabungan anaknya di sekolah. Sedang kebutuhan rumah tangga lainnya, menggunakan uang hasil kerja suaminya. “Kalau semua kebutuhan bergantung ke suami, kasihan juga. Kan jadi tukang bangunan gak tentu juga. Kadang ada panggilan kerja kadang sepi,” ungkapnya.

Maryati, buruh penjemur ikan teri lain juga menceritakan, sejak kerja jemur ikan bisa menabung untuk bisa digunakan dalam kebutuhan mendesak.

“Kesehatan dan umur suami juga kebutuhan mendesak tidak ada yang tahu. Saya ingin berpenghasilan dari pekerjaan apapun yang penting halal. Bersyukur bisa kerja jemur ikan ini,” tuturnya.

Dia membeberkan, tidak ada pelatihan khusus dalam pekerjaan menjemur ikan. Hanya melihat mereka yang lebih dulu bekerja. Seperti memastikan ikan sudah siap angkat atau belum dan dimasukan ke gudang.

baca juga : Hari Nelayan: Nasib Perempuan Nelayan yang masih Kelam

 

Ikan teri jengki yang sedang dijemur dan pekerja nampak mengangkut ikan teri yang sudah kering ke gudang penampungan. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Ezra Dwi, aktivis Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) merespon aktivitas Maftuha dan rekan penjemur ikan teri lainnya. “Mengacu pada definisi perempuan nelayan, bukan hanya mereka yang langsung menangkap ikan di laut atau perempuan pembudidaya ikan, membuat garam dan lain sebagainya. Penjemur ikan di Pegagan ini juga termasuk perempuan nelayan. Karena aktivitas yang mereka lakukan itu masih mengurusi seputar hasil dari melaut,” jelasnya.

Ezra menambahkan, perempuan yang melakukan pekerjaan buruh pengering ikan itu bisa mereka penduduk asli pesisir atau pendatang. Mereka melakukan itu setelah pekerjaan domestiknya dirasa selesai dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan. Baik suaminya melaut atau berprofesi lain.

Pengetahuan yang mereka miliki di dalam mengolah ikan atau menjemur ikan ini, jelas Ezra, biasanya didapatkan dari turun-temurun. Sehingga mereka tidak hanya menjual dalam kondisi segar saja.

“Dari ilmu yang mereka dapatkan turun temurun itu, membuat perempuan buruh ini justru termarjinalkan. Karena keahlian mereka dianggap tidak sepadan dengan tenaga ahli yang sudah mendapatkan pelatihan seperti di pabrik yang lebih besar. Sehingga upah mereka lebih rendah dari tenaga ahli di pabrik besar karena mereka dianggap tidak memiliki keahlian khusus,” katanya.

Padahal, tidak semua orang bisa melakukan pengeringan ikan secara baik dan maksimal seperti yang perempuan nelayan lokal lakukan. Ezra menyayangkan pemerintah yang tidak memperhatikan kondisi perempuan nelayan tersebut. Terkadang mereka dipekerjakan secara sepihak oleh para pengusaha. Bahkan nyaris tidak ada jaminan ketika mereka tidak bisa melakukan aktivitas penjemuran ketika cuaca ekstrem.

“Bisa dibilang, mereka kadang bekerja secara sepihak dan upah yang mereka dapat pun juga minim. Tidak mendapatkan kemudahan akses pengetahuan. Mereka juga tidak ada tempat mengeluh untuk sekadar menceritakan yang menjadi beban dari pekerjaan yang mereka lakukan. Jika ada fenomena seperti ini, mereka itu bisa jadi dimiskinkan atau dibodohkan di ruang lingkup mereka sendiri. Tapi semoga tidak dengan Maftuha dan perempuan nelayan di Pamekasan ini,” jelasnya.

baca juga : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?

 

Seorang pekerja memperlihatkan ikan teri asin yang sudah kering. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, para penjemur ikan seharusnya mendapat perhatian dan pengakuan sertah hak yang layak dari pemerintah karena bekerja dengan tenaga dan waktu yang sama dengan pekerja pabrik atau perusahaan besar.

Dia bilang, perempuan penjemur ikan itu bisa semakin tersisihkan karena dianggap pantas untuk melakukan pekerjaan seperti itu. “Hal ini bisa dianggap suatu ketimpangan. Dan para laki-laki menganggap dirinya hanya bertugas melaut saja atau melakukan pekerjaan buruh lainnya,” ujarnya.

PPNI mencatat lebih dari 48% peran perempuan termasuk perempuan pesisir berkontribusi dalam mata rantai perikanan. Baik dari mempersiapkan perlengkapan dan bekal, mengolah, sampai menjual ikan hasil tangkapan.

“Nyatanya, peran perempuan pesisir dan kehidupannya tidak sesuai. Semisal kita bicara dari pengolahan ikan teri. Berapa harga ikan teri basah? Berapa harga ikan teri kering? Mahalkan? Tetapi kehidupan perempuan pengolah ikan teri ini justru kadang berbanding terbalik dari apa yang mereka hasilkan. Mereka tidak diakui, tidak mendapat upah dan fasilitas yang memadai, tidak mendapat akses kesetaraan gender, bahkan tersisihkan,” katanya.

Dia bilang, andai tidak ada perempuan nelayan, siapa yang akan menjaga alam di sekitar atau di sekeliling pesisir. Dia contohkan, melahirkan generasi yang bisa melanjutkan aktivitas kenelayanan di tempat mereka tinggal. Pemerintah harus sadar, perempuan nelayan berupaya menjaga asupan tambahan gizi generasi selanjutnya dengan ikan yang diolah dan pangan lain, mereka juga berpikir agar alamnya tetap baik dan tetap bisa dinikmati generasi ke generasi.

Mongabay Indonesia telah mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pamekasan pada Rabu (8/12/2021) untuk mengkonfirmasi perihal aktivitas perempuan nelayan di Pegagan ini. Tapi pihak terkait tidak ada di kantor. Menurut keterangan salah satu pegawai DKP setempat, Kepala Dinas dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap sedang melakukan kegiatan di lapangan. Sampai berita ini ditulis, konfirmasi via pesan WhatsApp kepada Kepala Bidang Perikanan Tangkap hanya dibaca tanpa ditanggapi lebih lanjut.

 

Exit mobile version