- Perempuan nelayan punya peran yang penting dalam rumah tangga nelayan dan industri perikanan. Bahkan kontribusi ekonominya lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga.
- Kebijakan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sebenarnya positif.
- Namun, definisi nelayan cenderung diartikan sebagai yang menangkap ikan, tidak mengakomodir peran perempuan nelayan dan berpengaruh pada perekonomian keluarga nelayan
- Masih banyak kendala yang dihadapi para nelayan perempuan. Siti Maulina Nuryani Karnaen dan Siti Aminah dalam penelitiannya menyarankan, perlu adanya kesadaran untuk pembagian tugas secara lebih adil dan harmonis.
Perempuan nelayan memegang peranan penting dalam rantai produksi perikanan. Andil mereka sangat besar, dari sejak praproduksi, produksi, sampai dengan pasca produksi. Tugasnya kompleks dan sekaligus berperan untuk memastikan pemenuhan protein bangsa.
Tanpa perempuan nelayan, rumah tangga dan industri perikanan tidak akan bisa berdiri dengan tegak hingga mengirimkan protein ke atas meja makan di rumah warga Negara Indonesia. Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga.
Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sebenarnya sangat positif karena dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil. Tetapi, implementasi kebijakan tersebut seringkali justru menyengsarakan nelayan kecil terutama perempuan nelayan.
baca : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?

Sayangnya, diskursus tentang perempuan nelayan masih sangat minim dan tidak diperhitungkan. Sebab, definisi nelayan cenderung diartikan sebagai yang menangkap ikan. Sedangkan, perempuan berperan sebagian besar bertugas sebagai pembersih ikan untuk dikonsumsi di rumah atau menjualnya di pasar-pasar. Mereka kadang tidak menerima upah di dalam bisnis rumah tangga.
Bila pun mereka menangkap ikan di laut mereka dianggap hanya menemani suami. Definisi nelayan inilah yang membuat perempuan tidak diperhitungkan di sektor perikanan. Kontribusi perempuan nelayan dianggap tidak ada dan ini berdampak buruk terhadap perempuan nelayan karena tidak bisa mendapatkan akses kredit, teknologi pengolahan, fasilitas gudang pendinginan dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah. (Kabar Bahari edisi 18 November-Desember, 2015).
baca juga : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?

Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah di Jakarta pada September 2017 mengatakan, hingga saat ini, pengakuan perempuan nelayan sebagai subyek hukum dalam kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas kenelayanan di Indonesia masih belum juga ada.
“Perempuan nelayan menemukan permasalahan substansi yang hingga hari ini berdampak besar kepada kami, yaitu terkait pengakuan perempuan nelayan sebagai subjek hukum,” ujar dia.
Belum adanya pengakuan, menurut Masnuah, menjadi permasalahan yang harus dipecahkan secara bersama. Mengingat, perempuan nelayan adalah pahlawan protein karena ikut menentukan bagaimana pasokan ikan bisa sampai ke masyarakat.
perlu dibaca : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

Peran Ganda Perempuan Nelayan
Keberadaan perempuan nelayan di Indonesia sangat penting, bukan hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam konteks keberlanjutan lingkungan hidup dan kohesi sosial. Tidak hanya itu, banyak diantara perempuan nelayan juga mampu berkontribusi pada upaya penyelamatan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Merujuk pada hasil penelitian Yulisti dan Nasution (2009) tentang Produktivitas istri dalam Penguatan Ekonomi Rumah Tangga Nelayan, menjelaskan, sebetulnya perempuan mempunyai peran ganda, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pencari nafkah, dilakukan dalam kehidupan sehari-hari yang tercermin dalam curahan waktu kerja perempuan.
Curahan waktu kerja perempuan secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu curahan waktu kerja untuk kegiatan ekonomi (mencari nafkah) dan kegiatan non ekonomi, yaitu kegiatan dasar, kegiatan social, dan kegiatan rumah tangga. Jumlah dan curahan waktu perempuan dalam kegiatan rumah tangga pada umumnya lebih tinggi dari curahan kerja laki-laki.
baca juga : Masnuah, Pejuang Perempuan Nelayan dari Demak

Hal tersebut disebabkan perempuan merupakan penanggung jawab pekerjaan domestik (pengaturan rumah tangga) yang membutuhkan waktu lebih banyak. Pekerjaan tersebut dilakukan setelah sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan mencari nafkah.
Peran ganda ini yang menyebabkan mobilitas tenaga perempuan terbatas. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya masyarakat yang tinggal di daerah perikanan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Baik itu laki-laki ataupun perempuan dalam rumah tangga mempunyai andil yang besar dalam mencari pendapatan.
Kegiatan perikanan dibagi menjadi perikanan tangkap, pengolahan hasil perikanan, dan pembudidaya perikanan. Perikanan tangkap merupakan kegiatan oleh laki-laki. Pengolahan hasil perikanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perempuan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada dalam bentuk lain sebagai sumber pendapatan. Sementara, pembudidaya perikanan merupakan kegiatan membiakkan ikan yang dilakukan oleh laki-laki.
baca juga : Perempuan Nelayan Manado, Mencari Solusi di Tengah Pandemi (Bagian 1)

Tantangan yang Dihadapi
Masih banyak kendala yang dihadapi para nelayan perempuan, Siti Maulina Nuryani Karnaen dan Siti Aminah tentang Peran Gender Dalam Rumah Tangga Perikanan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, dalam penelitiannya menyarankan, perlu adanya kesadaran untuk pembagian tugas secara lebih adil dan harmonis.
Hal itu dilakukan agar tidak adanya salah satu pihak yang mengalami beban kerja berlebih, dalam hal ini istri/perempuan. Masyarakat perlu peningkatan dalam pemahaman tentang gender agar tidak adanya ketimpangan dari salah satu pihak, baik perempuan ataupun laki-laki.
Masih terjadi ketimpangan dalam aspek reproduksif dan sosial kemasyarakatan, dimana hanya perempuan yang lebih aktif dalam melakukan aktivitas. Perlu adanya arahan agar muncul adanya kesadaran bahwa meskipun laki-laki bekerja melaut/di tambak, tidak seta merta menghilangkan peran dalam aspek produktif.

Pengambilan keputusan yang terjadi dalam rumah tangga perikanan untuk aspek reproduktif, cenderung hanya dominan oleh istri atau perempuan saja. Hal tersebut berkaitan dengan stereotip yang terjadi di Desa Tanjung Pasir. Perempuan dianggap hanya berkewajiban dalam urusan rumah tangga.
Disamping itu, beberapa rumah tangga juga memberatkan perempuan dengan adanya beban kerja berlebih dengan pencarian nafkah. Oleh sebab itu, perlu adanya pengambilan yang setara dan adil antara perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga supaya tidak terjadi ketimpangan.
