Mongabay.co.id

Pembangunan Bendungan Bulango Ulu Mulai Jalan, Sebagian Lahan Masih Sengketa

 

 

 

 

Jagung, kelapa, durian sampai enau antara lain tanaman pertanian warga di Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Enau jadi sumber utama penghasilan warga sebagai bahan baku produksi gula aren. Berbagai macam tanaman produksi ini bakal tinggal kenangan kala waktu penenggelaman kawasan untuk Bendungan Bulango Ulu dimulai.

Bendungan Bulango Ulu, merupakan proyek strategis nasional (PSN), sudah mulai pembangunan. Jalan-jalan menuju lokasi sudah mulai dibuka. Ada sejumlah bukit dan gunung sudah terbongkar dengan alat berat hingga gundul.

Kini, pembangunan sudah masuk tahap konstruksi.

Mega proyek senilai Rp2,2 triliun ini akan dibangun dengan tinggi 65,9 meter dan luas genangan 690 hektar berlokasi di tiga desa di Bone Bolango, Gorontalo. Tiga desa itu yakni, Desa Tuloa, Owata dan Mongiilo.

Di balik pembangunan bendungan itu, masih ada sejumlah lahan masih bersengketa. Klaim kepemilikan lahan antar warga terjadi hingga ke meja pengadilan. Dampaknya, warga yang masih bersengketa lahan, terkendala dalam proses ganti rugi lahan yang tengah berlangsung.

“Kami belum menerima ganti rugi dan belum mengurus persyaratan, karena ada yang menggugat lahan kami. Padahal, kami memiliki sertifikat,” kata

Aten Ismail, kepada Mongabay, November lalu.

Gugatan itu berdasarkan surat kuasa khusus yang dibuat Kantor Hukum MR. Taliki dan Partners, kepada Ketua Pengadilan Negeri Gorontalo pada 16 Oktober 2020.

Aten Ismail, anak dari Dedu Ismail, salah satu tergugat mengaku kaget ada orang yang mengklaim tanah orangtuanya.

Dedu Ismail, adalah Warga Desa Tuloa, Kecamatan Bulango Utara, Bone Bolango. Rumahnya berada tepat di pusat pembangunan Bendungan Bulango Ulu.

Dedu merupakan satu dari 82 orang ahli waris yang digugat oleh tujuh penggugat. Bahkan, Pemerintah Kecamatan Bulango Ulu, Kecamatan Bulango Utara, Pemerintah Desa Owata, Pemerintah Desa Tuloa, dan Badan Pertanahan Nasional Bone Bolango pun turut digugat.

 

Baca juga: “Kami Tinggal di Mana Kalau Ada Bendungan Bulango Ulu?”

Ulu Aswat, warga terdampak proyek Bendungan Ulu di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Aten bilang karena ada orang yang menggugat, sampai hari ini orangtuanya belum menerima ganti rugi atas laha mereka. Meski lahan orangtuanya, sudah tergusur dan dibongkar alat berat.

“Pembangunan sudah mulai di lokasi, tapi lahan orangtua saya belum dibayar,” kata Aten.

Meski ada pembangunan, katanya, orangtuanya belum pindah. Dia bilang, kalau sudah ada ganti rugi dan kepastian hukum dari pengadilan, baru orangtuanya siap pindah rumah.

“Pemerintah desa bilang, nanti sudah ada putusan dari pengadilan, ganti rugi dibayar. Itupun jika orangtua saya menang, jika kalah, orangtua saya tidak dapat apa-apa,” katanya.

Saman, warga Desa Mongiilo, Bulango Ulu, juga mengalami hal sama. Tanahnya digugat orang tak dikenal. Dia bilang, ketika ada pembangunan bendungan ini, baru ada orang menggugat lahan.

“Kalau sebelum ada pembangunan ini, tidak ada yang menggugat, nanti ada pembangunan ini baru ada yang menggugat. Padahal kita punya sertifikat,” katanya.

Balai Wilayah Sungai [BWS] Sulawesi II pada 19 April 2021, sudah lakukan pembayaran perdana kepada sejumlah warga yang berhak di Desa Desa Tuloa, Bulango Utara. Warga lain, masih mengurus berkas dan masih bersengketa lahan.

Ali Antukai, Kepala Desa Owata benarkan ada sengketa lahan beberapa warga. Dia bilang, hal itu jadi faktor penghambat pembebasan lahan dan proses ganti rugi.

“Jadi, yang tidak bermasalah dalam sengketa itu, sementara mengurus dan melengkapi berkas, untuk yang masih bersengketa harus melalui proses pengadilan,” katanya, kepada Mongabay, November lalu.

Dia akan membantu warga kalau ada yang mendapatkan kendala dalam proses ganti rugi. Pemerintah Desa Owata, katanya, juga salah satu yang digugat.

“Saat ini, masih proses persidangan, kita tetap menghargai pengadilan. Jika sudah ada kepastian hukum, lahan-lahan yang bermasalah, pasti akan dibayar.”

 

Kontruksi Bendungan Ulu mulai jalan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Yakop Mahmud, kuasa hukum warga tergugat mengatakan, sengketa lahan di beberapa desa terdampak pembangunan bendungan, masih proses persidangan. Dia bilang, perlu waktu lama untuk menyelesaikan masalah ini.

“Akibat masalah ini, banyak warga yang menderita karena terkendala proses pembebasan ganti rugi. Warga digantungkan dengan masalah ini,” katanya.

Persoalan sengketa lahan ini, katanya, ada empat perkara. Dia bersama rekannya hanya menangani satu perkara dari tujuh orang yang menggugat ke 82 ahli waris itu. Empat perkara itu, katanya, menggugat dengan obyek lahan sama.

“Ada empat perkara dengan menggugat obyek yang sama. Ada yang menggugat 82 warga, ada juga menggugat enam warga, ada yang menggugat 13 warga. Satu perkara itu saya belum tahu berapa orang yang digugat,” katanya.

Yakop bilang, dengan gugatan obyek sama itu, ada warga sampai tiga kali digugat. Luas lahan warga yang digugat sebesar 1.000 hektar. Semua penggugat mengklaim tanah itu milik keluarga mereka sejak dahulu.

“Ini baru empat perkara, belum lagi masih ada beberapa orang ingin mencoba menggugat lahan warga. Saya sangat prihatin.”

Ronal Taliki, kuasa hukum tujuh orang penggugat tidak memberikan keterangan terkait masalah ini saat Mongabay ingin mengkonfirmasi. Pesan WhatsApp juga tidak dibalas.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, sengketa lahan dalam proses pembebasan lahan PSN kerap terjadi. Badan Pertanahan Negara, katanya, harus turun tangan dalam menyelesaikan sengketa ini.

BPN, katanya, harus membuka catatan dan riwayat kepemilikan lahan. Bisa jadi, kata Dewi, orang yang menggugat merupakan pemilik tanah itu. Dengan membuka catatan, katanya, juga bisa diketahui siapa yang mau mencari keuntungan dari pembebasan lahan ini.

Meski begitu, kata Dewi, sengketa terjadi karena sistem pendaftaran tanah tak maksimal. Menurut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) seharusnya tanah-tanah di tingkat desa harus dicatat sejak 1960-an oleh BPN. Sayangnya, hal itu tak dilakukan.

“Banyak kelemahan sistem pendaftaran tanah kita, akibatnya banyak sengketa lahan. Apalagi, berkaitan dengan proyek strategis nasional,” katanya.

 

Jalan akses untuk bendungan pun sudah proses dengan melalui bukit dan gunung. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Jamaluddin, Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Bone Bolango, tak mengomentari banyak soal sengketa lahan di lokasi pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Dia hanya bilang, sengketa itu diserahkan ke pengadilan. Mereka hanya bertugas memverifikasi berkas.

“Kami hanya menunggu putusan pengadilan, hingga sampai hari ini orang-orang yang sengketa belum dibayar ganti rugi.”

Dia bilang, warga yang bersengketa itu memiliki sertifikat kepemilikan yang diurus sejak 2018. Dia kaget, ketika ada pembangunan bendungan baru banyak yang mengklaim hanya berdasarkan surat keterangan.

“Seharusnya, jika ada yang menggugat, digugat sejak kita mengurus sertifikat. Tapi, nanti ada pembangunan bendungan, banyak yang menggugat. Ini aneh,” katanya.

 

 

Ganti rugi menggiurkan?

Iwan Aswat, warga Desa Owata, Bulango Ulu, menduga uang ganti rugi cukup tinggi menjadi penyebab orang menggugat sejumlah lahan di lokasi terdampak Bendungan Bulango Ulu.

Pembayaran per meter lahan bervariasi, tergantung model lahan. Permeter, ada dihargai mulai Rp42.000, Rp60.000, Rp72.000, sampai Rp140.000. Harga itu tergantung lokasi lahan. Lahan di jalan utama, harga lebih tinggi dibandingkan yang berada jauh dari jalan utama.

 

Usman Harum, tengah proses kelapa untuk jadi kopra. Kelapa salah satu tanaman andalan warga. Bagaimana nasib mereka kala kebun jadi bendungan? Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Warga terdampak minimal memiliki lahan satu hektar, ada juga sampai tiga hektar. Kalau dihitung dengan harga Rp42.000 saja, satu hektar dapat Rp420 juta. Belum dihitung rumah milik pribadi dengan nilai ratusan juta rupiah.

Meski uang ganti rugi cukup tinggi, katanya, itu merupakan bentuk pembunuhan perlahan. Pasalnya, saat menerima ganti rugi, masyarakat bingung mau pindah ke mana. Mata pencaharian juga hilang karena pembangunan bendungan ini.

“Ini sebenarnya seperti pembunuhan pelan-pelan. Karena uang ini pasti akan habis, saat uang habis, kita mau cari uang lagi di mana? Kebun yang awalnya sumber pencaharian, sudah tidak ada lagi.”

Data Badan Pertanahan Negara Kabupaten Gorontalo per per 9 November 2020, berkas bidang tanah yang masuk mencapai 1.718. Jumlah itu berkas dari Desa Tuloa (126 bidang tanah), Desa Owata (999), dan Desa Mongiilo (593).

Dari bidang tanah itu, yang sudah terbayarkan baru 698, dari Desa Tuloa (66), dan Desa Owata (39). Sedang Desa Mongiilo belum ada bidang tanah yang dibayarkan.

Jamaluddin, Kepala BPN Bone Bolango mengatakan, proses pembebasan lahan masih terus berlangsung. Dia pastikan, sebelum Bendungan Bolango Ulu beroperasi, ganti rugi harus selesai.

“Kita melakukan proses verifikasi, tergantung berkas yang masuk. Kita berusaha sebelum bendungan ini jadi, semua sudah selesai.”

BWS Sulawesi II yang akan melakukan pembayaran itu. Balai Wilayah Sungai [BWS] Sulawesi II bungkam menanggapi masalah ini. Pertanyaan yang diberikan Mongabay secara tertulis, tak dijawab.

Halid Tangahu, Ketua DPRD Bone Bolango berharap, ada kepastian hukum dalam penanganan sengketa lahan di lokasi pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Dia tak ingin, masyarakat dirugikan.

“Meski kita tidak ada wewenang menyatakan siapa yang memiliki lahan yang sebenarnya, tapi kita tetap memihak kepada rakyat terdampak. Minimal mereka harus ada kepastian hukum,” katanya.

 

******

Foto utama: Proyek pembangunan Bendungan Bulango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, mulai kontruksi. Meskipun begitu, sengketa lahan belum selesai. Warga belum menerima ganti rugi karena klaim kepemilikan lahan masih proses di pengadilan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version