- Pemerintah lewat proyek strategis nasionalnya akan bangun Bendungan Bolango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Warga terdampak awalnya menolak karena mereka khawatir kehilangan ruang hidup dan pencarian.
- Belakangan, setelah lahan warga—yang sebelumnya tak bersertifikat—peroleh sertifikat gratis pemerintah, mereka mulai terima pelepasan lahan. Ada dua opsi: ganti rugi atau dibangunkan pemukiman di tempat rekolasi.
- Sebagian besar warga pilih ganti rugi. Uang ganti rugi belum mereka terima. Kebingungan baru muncul, mau pindah ke mana setelah bendungan jadi dan dapat uang ganti rugi? Pemerintah bilang, kalau terima ganti rugi, lokasi atau lahan baru, urusan warga.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, metode pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang kepada warga terdampak Bendungan Bolango Ulu bisa merugikan secara sosial dan budaya masyarakat.
Alia Mahmud, pernah lantang menolak pembangunan Bendungan Bolango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, yang akan menenggelamkan desanya. Pada 2017, perempuan 58 tahun ini protes karena khawatir ruang hidup sekaligus mata pencaharian hilang.
“Pasti rumah dan kebun saya tenggelam dengan bendungan ini. Masyarakat biasa pasti akan mengalami dampak sangat besar,” kata Alia kepada Mongabay. November lalu.
Perempuan ini merupakan warga Desa Mongiilo, Kecamatan Bulango Ulu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Desa Alia masuk dalam area genangan air Bendungan Bolango Ulu.
Dia bingung, harus pindah kemana kalau ada bendungan ini. Selain itu, ketidakjelasan ganti rugi lahan jadi hal yang membuat dia enggan bendungan ini. Pemerintah seperti seenaknya membangun tanpa permisi kepada masyarakat.
“Saat itu, sosialisasi pembangunan tidak jelas, itu menjadi penyebab utama masyarakat menolak bendungan,” katanya.
Agustus 2017, Balai Wilayah Sungai [BWS] Sulawesi II akan sosialisasi pembangunan bendungan di Kantor Camat Bulango Ulu. Warga langsung unjuk rasa menolak. Sosialisasi batal.
Unjuk rasa meminta sosialisasi BWS Sulawesi II harus melibatkan DPRD Bone Bolango.
“Saat itu, banyak sekali warga menolak. Kita tidak tahu, manfaat bendungan ini apa, kita tidak mau desa kita akan ditenggelamkan. Jadi warga melakukan penolakan saat itu,” kata Alia.
Iwan Aswat, warga Desa Owata, Kecamatan Bulango Ulu, Bone Bolango, juga menolak. Desanya masuk dalam area genangan air Bendungan Bulango Ulu. Dia khawatir, perkebunan yang menghidupi keluarga hilang.
“Sejak perencanaan pembangunan bendungan ini, kami menolak tegas, bahkan pernah ada aksi warga sampai di Kantor Gubernur Gorontalo,” katanya.
Yang Iwan maksud itu, aksi pada 18 Desember 2018. Saat itu, puluhan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bulango Ulu dan Bulango Utara unjuk rasa di Kantor Gubernur Gorontalo. Bahkan, aksi sempat diwarnai kericuhan, saat massa berupaya masuk ke Kantor Gubernur, dihalangi sejumlah petugas keamanan.
Iwan bilang, penolakan bukan menolak program pembangunan pemerintah Indonesia. Hanya meminta pemerintah memikirkan terlebih dahulu nasib dan masa depan rakyat kala pembangunan bendungan berlangsung.
“Kita bingung setelah ini kita mau ke mana saat bendungan sudah jadi? Rumah dan kebun pasti tenggelam. Habis semua yang ada di desa ini,” katanya.
Petani di area terdampak bendungan, pasti kesulitan mencari pekerjaan. Petani, katanya, tidak bisa hidup tanpa ada lahan pertanian.
“Kebiasaan warga bertani menjadi faktor warga enggan pindah dan meninggalkan tempat tinggalnya.”
Baca juga: Cerita Warga Terdampak Proyek Jalan Lingkar Gorontalo [1]
Penolakan warga saat itu, ditanggapi Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Menurut dia, sikap warga tak semata-mata tak menginginkan Bendungan Bulango Ulu. Hanya, ada masalah komunikasi yang tidak jalan dengan BWS Sulawesi II selaku pelaksana teknis.
Saat itu, Rusli meminta BWS harus maksimal membangun koordinasi dari tingkat provinsi, kabupaten, camat, kepala desa dan masyarakat. Dia bilang, koordinasi lemah menyebabkan upaya sosialisasi dan pemberian pemahaman kepada masyarakat terdampak menjadi rendah.
Bendungan Bolango Ulu merupakan proyek strategis nasional [PSN] 2018. Mega proyek senilai Rp2,2 triliun ini akan dibangun setinggi 65,9 meter dan luas genangan 690 hektar berlokasi di tiga desa di Kabupaten Bone Bolango. Tiga desa itu, yaitu, Desa Tuloa, Owata dan Mongiilo.
Dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] yang diperoleh Mongabay, pembangunan bendungan ini, terdapat tiga tahap. Yakni, tahap pra konstruksi, konstruksi dan tahap operasional.
Tahap konstruksi mulai 2019-2022, proses pengisian awal bendungan pada 2022.
Proses pengisian itu, dilakukan jika proses pembebasan lahan dengan masyarakat telah selesai. Proses pengisian itu, selama satu tahun, dan bendungan akan mulai beroperasi pada 2023. Karena ada penolakan warga, tahap konstruksi baru mulai awal 2021.
Dalam tahap konstruksi, masyarakat yang terkena dampak di Desa Tuloa Kecamatan Bulango Utara ada 711 jiwa dari 212 keluarga. Di Kecamatan Bulango Ulu, tepatnya Desa Owata ada 311 keluarga, dan Desa Mongiilo 224 keluarga terdampak.
Saat proses penyusunan amdal pada 2017, rona awal menunjukkan ada 75,7% tidak setuju dengan pembangunan Bendungan Bolango Ulu, dan 23,3% setuju.
Baca juga: Warga Waswas, Tanah Ulayat Terkena Proyek Tol Padang-Pekanbaru
Ketidakpercayaan dengan janji pemerintah, ada ketakutan atau kekhawatiran terkait tidak ada ganti rugi tanah, bangunan, dan tanah warisan leluhur menjadi alasan masyarakat menolak pembangunan bendungan ini.
Pemindahan tak jelas mulai pemakaman, mata pencaharian dan fasilitas sekolah serta fasilitas umum juga jadi alasan penolakan warga.
Bagi warga yang setuju, meminta harus ada penggantian bangunan rumah dengan skema ganti untung yang harus sesuai dengan kesepakatan. Mereka juga meminta sediakan terlebih dahulu rumah sebelum pembangunan bendungan.
Ali Antukai, Kepala Desa Owata kewalahan saat masyarakat menolak pembangunan bendungan ini. Dia bilang, yang jadi panitia dalam proses pembebasan lahan, jadi sasaran empuk masyarakat saat itu.
“Saya takut bicara dengan masyarakat, jadi saya perintahkan sekretaris desa untuk menanyakan apa sebenarnya kemauan dari masyarakat saat itu,” katanya, awal November lalu
Dia bilang, kelengkapan kepemilikan tanah masyarakat juga jadi alasan penolakan. Saat itu, katanya, banyak tanah masyarakat tak memiliki sertifikat hingga khawatir tidak ada ganti rugi.
“Sebagai pemerintah desa, kita juga tidak mau masyarakat tidak mendapatkan ganti rugi atas pembangunan bendungan ini. Kita berupaya menyampaikan keluhan masyarakat ke pemerintah kabupaten dan provinsi,” kata Ali.
Untuk mencari solusi itu, katanya, pada 2018, masyarakat dia masukkan dalam pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang merupakan program Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). PTSL merupakan program subsidi negara, biaya ditanggung pemerintah hingga gratis.
Saat masyarakat masuk dalam PTSL, sudah banyak mulai pembangunan bendungan ini. Syaratnya, pembayaran harus dengan metode ganti untung, bukan ganti rugi.
Alia Mahmud dan Iwan Aswat bilang, saat ini mereka sudah menerima pembangunan. Mereka tidak ingin menghalangi pembangunan nasional, apalagi Bendungan Bulango Ulu masuk proyek strategis nasional [PSN].
“Sekarang kita kurang menunggu ganti rugi saja. Kita inginkan ganti rugi yang diberikan itu sesuai,” kata Alia.
Bingung mau tinggal di mana
Akhirnya, warga mulai menerima pembangunan Bendungan Bolango Ulu. PTSL mendapatkan sertifikat gratis jadi pembuka hati warga legowo menjual tempat yang sehari dulu mereka huni.
Berdasarkan dokumen amdal, rumah terdampak pembangunan bendungan di Desa Owata ada 175 rumah, dan rumah masuk genangan air 157 rumah. Jumlah rumah di Desa Mongiilo ada 335, terkena genangan 280 rumah. Rumah terdampak di Desa Tuloa, Kecamatan Bulango Utara, tidak tercatat dalam amdal.
Sebelum proses ganti rugi dalam tahap pembebasan lahan, ada kesepakatan antara warga dan BWS Sulawesi II. Hal ini tercatat dalam dokumen amdal pembangunan Bendungan Bulango Ulu.
Kesepakatan itu, rumah milik warga harus diganti dengan rumah atau ganti dengan harga lebih menguntungkan dengan mengikuti harga pasaran serta mempertimbangkan nilai ekonomis lahan. Rumah harus lebih dulu disediakan pemerintah dan dibangun di kawasan yang menjadi tempat relokasi.
Selain itu, harus ada proses pembiayaan pemindahan kubur secara adat dan keagamaan juga harus ada.Tanaman enau yang jadi sumber utama penghasilan warga sebagai bahan baku produksi gula aren juga wajib mendapatkan perhatian dengan memperhitungkan nilai ekonomis.
Pemberian ganti rugi itu juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Juga Peraturan Presiden Nomor 148/2015 tentang Perubahan Keempat atas Perubahan Peraturan Presiden Nomor 71/2012.
Adapun kesimpulan dari kesepakatan itu, ada dua opsi. Pertama, kalau warga memilih proses ganti rugi dalam bentuk uang, BWS Sulawesi II tidak menyediakan tempat relokasi. Kalau warga terdampak memilih ganti rugi dengan bangunan dan lahan, maka pelaksana teknis akan menyediakan itu.
Warga terdampak memilih ganti rugi dengan uang. Hal itu yang menjadi masalah saat ini. Warga bingung akan tinggal dimana setelah Bendungan Bulango Ulu beroperasi. Ganti rugi pun belum mereka terima.
“Kami belum tahu akan tinggal di mana, setelah bendungan ini sudah jadi,” kata Sahruni Dukalang, kepada Mongabay, November lalu. Dia warga terdampak di Desa Owata, Kecamatan Bulango Ulu, Bone Bolango.
Sahruni bilang, desanya akan menjadi tempat genangan air, memiliki kenangan banyak. Dia bersedih, ketika semua kenangan itu akan tenggelam.
“Ketika bendungan ini jadi, saya tidak tahu mau ke mana. Anak-anak saya juga belum sempat berpikir untuk ke mana, kita masih bingung. Saat ini, kita hanya menunggu dulu ganti rugi.”
Usman Harun , warga Desa Mongiilo juga belum tahu akan pindah ke mana setelah bendungan jadi. Setelah ganti rugi mereka terima, baru akan pikir tinggal dimana.
“Kesepakatannya begitu, jika kita memiliki ganti rugi dengan uang, tidak ada tempat relokasi. Saat ini kita yang bingung, akan tinggal dimana nanti,” kata pria 68 tahun itu.
Karim Lahmutu, Sekretaris Desa Mongiilo membenarkan hal ini. Tempat relokasi untuk masyarakat terdampak juga masih tanda tanya. Kalau masyarakat menerima ganti rugi dengan uang, tempat relokasi tidak disediakan BWS Sulawesi II.
“Kita hanya ikut keinginan warga, karena mereka yang memiliki lahan. Saat mereka memilih ganti rugi dengan uang, tempat relokasi tidak disediakan.”
Meskipun begitu, katanya, pemerintah daerah akan memilikirkan soal sekolah, kantor desa, kantor kecamatan, dan fasilitas umum lain. “Pasti akan ada tempat relokasi untuk fasilitas umum.”
Hamim Pou, Bupati Bone Bolango, membenarkan hal itu. Pembangunan rumah warga merupakan tanggung jawab mereka, karena memilih ganti rugi dalam bentuk uang.
Untuk fasilitas umum, menjadi tanggung jawab Pemerintah Bone Bolango. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR], katanya, akan membangun fasilitas umum di lokasi yang akan ditetapkan pemerintah kabupaten.
“KPUPR akan mengganti dan menyediakan anggaran serta pembangunan berbagai fasilitas umum pada 2022,” kata Hamim kepada Mongabay, November lalu.
Basir Noho, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bone Bolango mengatakan, sebenarnya sudah ada tempat relokasi disiapkan. Karena masyarakat menerima ganti rugi dalam bentuk uang, BWS II Sulawesi tidak menyediakan tempat relokasi.
“Sebagai pemerintah daerah, tetap kita akan memikirkan itu. Ada beberapa skema relokasi yang sudah kita sediakan, tapi itu masih dalam rencana. Anggaran untuk relokasi juga tidak ada,” katanya.
Halid Tangahu, Ketua DPRD Bone Bolango juga mengetahui relokasi warga yang tidak disediakan. Keluhan kepadanya juga belum ada, dan mereka belum memastikan tempat relokasi untuk warga terdampak.
“Sampai hari ini tidak ada warga yang bertanya soal itu. Saat ini juga masih proses ganti rugi.”
Mongabay mendatangi Kantor BWS Sulawesi II di Kelurahan Hepuhulawa, Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, untuk mengkonfirmasi masalah itu.
Dyan, Humas BWS hanya meminta pertanyaan-pertanyaan tertulis yang akan diberikan Kepala BWS Sulawesi II, dan Pejabat Pembuat Komitmen [PPK] Pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Sampai berita ini terbit, pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung dibalas.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, metode pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang kepada warga terdampak Bendungan Bolango Ulu bisa merugikan secara sosial dan budaya masyarakat.
Seharusnya, warga diarahkan memilih ganti rugi yang bisa memikirkan kehidupan sosial ke depan. Misal, warga bisa memilih sebagian pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang,dan tanah atau pemukiman kembali.
Metode itu, katanya, bisa mengatasi masalah sosial dan budaya bagi warga terdampak pembangunan bendungan. Pemerintah, katanya, harus memikirkan kehidupan warga setelah pembangunan bendungan.
Dalam proses pembayaran ganti rugi, katanya, menang diatur dalam PP Nomor 71/2012 dan PP Nomor 148/2015, serta UU Cipta Kerja.
Dalam aturan itu, pembayaran ganti rugi dapat dalam bentuk, uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, dan bentuk lain yang disetujui kedua pihak.
Masalahnya, kata Dewi, kalau warga ganti rugi dalam bentuk uang, tidak ada lagi peluang mendapatkan tanah pengganti atau pemukiman kembali. Kerugian inmateril dikesampingkan.
“Biasanya, pemerintah mengarahkan warga memilih metode ganti rugi dalam bentuk uang. Karena metode itu memudahkan pemerintah, tapi warga yang menderita kemudian,” kata Dewi.
******