Mongabay.co.id

Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]

 

 

 

 

Yoksan Jurumudi, nelayan di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini, baru pulang melaut. Dia duduk di kursi plastik di ruang tamu rumahnya. Wajah terlihat lesu. Hasil tangkapan Yoksan seharian penuh tidak bisa dibagi-bagi kepada keluarga dekat, apalagi untuk jual. Ikan di baskom plastik hanya cukup untuk makan semalam. Keesokan hari, harus cari lagi.

Kini, ikan mulai sulit dia jumpai di laut dekat pemukiman dan daerah-daerah tempat biasa nelayan kecil memancing. Kondisi sekarang, air laut keruh berwarna merah kecokelatan. Dia harus memancing lebih jauh dari biasanya, pakai perahu ketinting atau longboat bersama nelayan lain.

Musababnya, ada operasi tambang nikel sejumlah pertambangan nikel di bukit belakang pemukiman Desa Kawasi. Air laut tercemar.

“Lumpur di depan kampung [air laut] sekitar lima cm dalamnya,” kata Yoksan, akhir September lalu. “Saya kan sering buang jangkar, kalau turunkan tongka-tongka [tongkat kayu], dapat tahu ada lumpur dan tidak.”

Lumpur di laut ini bersumber dari sedimentasi limbah ore nikel (nikel mentah) anak usaha Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa. Operasi kedua perusahaan tambang nikel ini diduga mengalir ke sungai dan keluar mengotori perairan Obi.

Sungai Toduku, di belakang pemukiman, masuk konsesi perusahaan sudah penuh lumpur, bahkan meluap ke sana sini. Kondisi makin parah termasuk sedimentasi kala perusahaan bangun pabrik smelter tiga tahun belakangan.

Beberapa aliran air sungai besar dan kecil sering sekali mengalirkan ore nikel ke laut kala musim hujan. Di pemukiman, bersebelahan dengan rumah-rumah warga, ada juga sungai buatan yang dibikin perusahaan. Katanya, untuk antisipasi banjir.

“Jadi memang untuk mencari ikan di seputaran laut Kawasi sudah sulit,” kata Yoksan.

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

Nelayan kecil mencari ikan dengan air laut yang sudah berubah warga dan di dekat kapal-kapal perusahaan. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Senada dikatakan Gerson, juga nelayan Kawasi. Tiga hari tiga malam melaut, dia hanya bawa pulang beberapa ikan. Gerson merasa terjadi perubahan signifikan sejak perusahaan datang ke tanah Kawasi pada 2007. Gerson dan Yoksan harus menguras tenaga dan waktu berhari-hari untuk dapat hasil cukup.

Biasa, Gerson bilang hanya perlu waktu sehari dua hari sudah bisa bawa pulang tuna dan cakalang (Katsuwonus pelamis) lebih 10 kg. Keuntungan juga lebih banyak hingga bisa dijual ke warga dan desa-desa lain.

“Sekarang untuk dapat 10 kg, tiga hari tidak cukup. Kalaupun dapat, sudah paksa sekali. Kalau dulu, sebelum perusahaan ada, tidak perlu jao-jao. Sekarang, biar jao tidak ada [ikan]. Lumpur yang bikin ikan-ikan semua lari dari pesisir ini.”

Gerson cerita, warga Kawasi biasa memancing di daerah-daerah Haul Sagu, Kane-Kane, Talaga sampai Lapar Bae. Ia terletak di sisi kanan kampung terapit beberapa pulau kecil. Ini daerah tangkapan nelayan, tempat terumbu karang dan hidup ikan.

Sayangnya, daerah-daerah ini terkena industri nikel. Sebelah kiri bersebelahan dengan konsesi Harita Group, ada PT Algifari Wildan Sejahtera dan PT Wanatiara Persada. Pada bagian laut, ada Pulau Malamala, juga telah ditambang PT Rimba Kurnia Alam.

Perusahaan-perusahaan ini mengeruk bukit-bukit di hulu daerah itu dan turut cemari perairan biasa nelayan memancing.

Jauh sebelum perusahaan hadir, daerah ini adalah tempat favorit para nelayan memancing. Gerson bilang, tempat-tempat itu cukup bagus, tetua mereka senang karena jarang ada arus dan gelombang.

Torang pe orangtua-tua disini biasa mangael [memancing] di situ, sekarang so susah sekali.”

Di tepian pesisir Lapar Bae sampai Talaga, nelayan juga biasa bikin bevak untuk persinggahan bila cuaca laut memburuk. Kadang sampai beberapa hari. Tempat teduh. Pesisir rimbun.

Bagi warga Kawasi, tempat-tempat ini adalah warisan turun temurun nelayan termasuk orang tua-tua terdahulu, kala melaut dan mencari kebutuhan hidup.

Sayangnya, hutan sudah terbuka dan lahan-lahan di hulu jadi konsesi hingga berdampak ke hilir: laut dan seisinya.

Perairan ini juga dilalui kapal-kapal dan tongkang penyuplai batubara ke kawasan industri. Dampaknya, perusahaan sering melarang nelayan memancing disana.

“Sekarang ikan sudah susah lagi di situ. Torang harus lari [pergi] memancing lebih jauh,” ujar Gerson.

 

Baca juga: Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]

Pulau Obi, menanggung beban dengan hutan dan lahan terkeruk oleh tambang nikel beserta pabrik pengolahan. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Keadaan yang memburuk ini juga dirasakan nelayan macam Umar Dahada dan warga di Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan. Mereka juga kesulitan memancing ikan di perairan dekat pemukiman dan daerah-daerah tangkapan yang kini masuk konsesi.

Umar mengatakan, limbah dari proses pengerukan nikel mengalir ke perairan pesisir dan laut Kawasi turut mencemari laut hingga di perairan bagian selatan Pulau Obi. Imbasnya, daerah tangkapan warga makin jauh.

“Sebelum ada perusahaan, katong mangael dekat-dekat. Sekarang so tarada. Katong ini so 50 tahun lebih, duluan tinggal di Soligi dari Seram. Jadi, katong tau keadaan ikan di laut,” katanya.

Di Daerah Akelamo, sungai besar yang juga jadi batas antar Desa Kawasi dan Soligi sering mengalirkan limbah yang kemudian jadi sedimen. Bagian hulu telah dibongkar, katanya, hingga muara sungai di perairan tempat biasa nelayan memancing, jarang ada ikan.

“Kalau musim hujan begini, (air laut) meraaah. Merah,” kata Umar.

Katong tidak bisa mangael disitu.”

Umar termasuk warga yang ikut kedua orangtuanya transmigrasi ke Pulau Obi pada 1970-an dari Pulau Seram, Maluku. Usia kala itu baru menginjak 10 tahun.

Sejak 50 tahun lalu, dia mulai terbiasa ikut ayahnya melaut dan sekarang jadi nelayan selain kebun cengkih.

Saya melihat deretan perahu para nelayan di Soligi berjejer rapi di hampir sepanjang bibir pantai. Ratusan perahu ini, saat usai melaut langsung parkir pada tempat yang dirancang menggantung pada kayu dengan terikat tali.

Katong disini hampir semua warga punya perahu.”

Mongabay berusaha mengkonfirmasi berbagai persoalan ke perusahaan, dari menghubungi lewat telepon sampai datang ke kantor perusahaan di Ternate, Maluku Utara, tetapi tak juga mendapat respon. Anie Rahmi, Corporate Cummunication Manager Harita Nickel, tak merespon saat saya menghubungi kesekian kali via WhatsApps dengan melampirkan draf pertanyaan.

 

***

Harita Group, salah satu pemain dalam industri nikel di Indonesia dengan wilayah operasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Mereka punya tambang di hulu maupun kawasan industri di hilir dengan pabrik pengolahan sampai pembangkit batubara sebagai sumber energi ada di Obi.

Pabrik smelter ini sudah resmi memasok bahan baku baterai untuk kendaraan listrik dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL).

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebutkan, dengan teknologi ini, bijih nikel diolah jadi material setengah jadi dalam bentuk hidroksida atau sulfida. Kemudian, dimurnikan jadi nikel sulfat, merupakan bahan baku baterai. Teknologi ini terbilang padat modal dan pengerjaan makan waktu.

Pabrik ini dioperasikan PT Halmahera Persada Lygend, dengan kapasitas produksi mixed hydroxide precipitate (MHP) 365 ton per tahun berbiaya US$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun. Pabrik HPAL ini termasuk patungan dari Zhenjiang Lygend Investment Co., Ltd, melalui anak usahanya, Ningbo Lygend Mining Co. dan Harita Group melalui TBP yang kuasai mayoritas saham.

Pada 23 Juni lalu, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi hadir resmikan langsung. Dia didampingi Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Investasi/Kepala Penanaman Modal Bahlil Jahadalia, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dan Gubernur Maluku Utara.

Saat itu, Luhut mengatakan menjadi “saksi sejarah” berdirinya pabrik HPAL di Indonesia. “Indonesia bisa membuktikan diri mampu. Ini akan menjadi hilirisasi ke depan dan mendukung industri kendaran listrik,” katanya.

Bagi nelayan macam Yoksan dan warga Kawasi di Pulau Obi yang terbiasa melaut, dengan kehadiran industri itu, mereka harus menerima kenyataan pahit, air berubah keruh dan tangkap ikan pun susah. (Bersambung)

 

 

Air laut yang berubah warna karena limpahan ore nikel. Foto: Rabul Sawal. Mongabay Indonesia

 

*Liputan Rabul Sawal ini merupakan hasil kolaborasi Mongabay Indonesia dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat [AEER].

******

Foto utama: Air laut di perairan Obi yang berubah jadi merah kecokllatan. Nelayan kecil pun sulit dapat ikan dalam kondisi air tercampur dengan ore nikel itu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version