Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Katak Jenis Baru dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

Sampel Katak-pucat pantaiselatan ditemukan tahun 2017 dalam kegiatan Citizen Science. Foto: LIPI

 

 

Hutan Indonesia yang luas memiliki keanakeragaman hayati yang patut diteliti.

Amir Hamidy, Peneliti Herpetologi dari Pusat Riset Biologi-Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati [OR IPH]- Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] menjelaskan, salah satu satwa yang harus menjadi pusat perhatian adalah amfibi, terutama katak.

“Hutan tropis merupakan surga bagi amfibi. Saat ini, jumlah katak kita sudah tercatat 400 jenis dan masih banyak yang belum teridentifikasi,” tutur Amir kepada Mongabay Indonesia, Selasa [21/12/2021].

Dia menjelaskan, riset untuk mengidentifikasi jenis katak harus dilakukan cepat, karena berkejaran dengan ancaman deforestasi dan kebakaran hutan. “Selain tentunya, adanya alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambahan, hingga permukiman.”

Amir mengatakan, tahun 2021, peneliti herpetology berhasil mengidentifikasi 5 jenis katak baru di sejumlah pulau Indonesia. Spesies ini adalah Litoria lubisi, katak-pucat pantaiselatan [Chirixalus pantaiselatan], Katak Kecil Bermulut Sempit [Microhyla sriwijaya], katak-tanduk sumatera-selatan [Megophrys selatanensis], dan katak-tanduk aceh [Megophrys acehensis].

Baca: Katak dan Kodok, Apa Bedanya?

 

Katak-pucat pantaiselatan, jenis baru yang ditemukan di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Foto: BRIN

 

Litoria lubisi

Katak Litoria lubisi ditemukan peneliti di area PT. Freeport Indonesia [PTFI]. Penemuan tersebut  dipublikasikan di jurnal internasional Zootaxa 4903 [1]: 117 – 126.

Spesies ini sejenis katak pohon hijau besar, anggota keluarga Litoria infratrenata.

Penelitian terhadap Litoria lubisi telah dilakukan sejak 2006, oleh seorang penulis dan peneliti, yakni Stephen Richards dari South Australian Museum dan peneliti independen Burhan Tjaturadi.

Keduanya melakukan riset keanekaragaman hayati di hutan rawa sagu di selatan Timika, Papua, dan berhasil mengumpulkan satu spesimen dari spesies tambahan yang menunjukkan atribut morfologi dari grup Litoria infratrenata.

Penelitian ini dilanjutkan oleh tim LIPI, yaitu Mumpuni, Hellen Kurniati, dan Evy Arida.

Usai riset 15 tahun, akhirnya tim mengonfirmasikan bahwa spesies ini merupakan jenis baru yang belum pernah dicatat dalam silsilah taksonomi.

Ciri-ciri Litoria lubisi adalah memiliki fisik cukup besar, panjang dapat mencapai 70 mm. Katak ini terlihat kuat serta memiliki warna lebih mencolok dibandingkan katak hijau lain. Hidup di dataran rendah, memiliki mulut lebar dengan masing-masing kerangka gigi terdiri 10 gigi kecil dengan garis rahang yang tidak begitu tegas pada permukaan kulit.

Memiliki tiga selaput memanjang di antara keempat jarinya, dengan bentuk kaki memanjang yang memperkokoh genggaman dan cengkraman.

Bagian tubuhnya meliputi beberapa warna, terdiri kuning di bagian bawah badan dan ujung jari kaki, warna biru pucat di sepanjang lipatan kulit, serta warna cokelat kemerahan pada beberapa garis di bagian perut dan selaput kaki.

Baca: Katak-Pucat Pantaiselatan, Jenis Baru dari Hutan Pulau Jawa

 

Secara morfologi, katak-pucat pantaiselatan hampir sama dengan Chirixalus nongkhorensis dari Chonburi, Thailand. Foto: BRIN

 

Katak-pucat pantaiselatan

Katak jenis baru ini dari marga Chirixalus Boulenger. Ditemukan di hutan dataran rendah wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, tahun 2007 lalu. Hasil penelitian spesies baru ini telah diterbitkan dalam Raffles Bulletin of Zoology, pada 5 Juli 2021.

Amir Hamidy menjelaskan katak tersebut merupakan kelompok katak Rhacophorid kecil dengan panjang tubuh jantan sekitar 25,3-28,9 mm. Secara morfologi, katak-pucat pantaiselatan [Chirixalus pantaiselatan] ini paling mirip dengan Chirixalus nongkhorensis dari Chonburi, Thailand.

Namun, dari pola warna punggung serta secara genetik, paling dekat dengan Chirixalus trilaksonoi yang juga berasal dari Jawa Barat.

Sampel katak-pucat pantaiselatan dijumpai saat kegiatan Citizen Science “Gerakan Observasi Amfibi Reptil Kita [Go ARK]”. Gerakan tersebut diinisiasi oleh Penggalang Herpetologi Indonesia [PHI].

Tim Go ARK terdiri mahasiswa dan komunitas penelitian yang melakukan pengamatan, serta melaporkan amfibi dan reptil di sepanjang Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sulawesi.

Selama observasi di hutan dataran rendah bagian selatan Jawa Barat, empat penulis sekaligus peserta Go ARK terlibat, yaitu Umar Fhadli Kennedi, Mohammad Ali Ridha, Dzikri Ibnul Qayyim, dan Rizky Rafsanzani.

Status konservasi Chirixalus pantaiselatan kemungkinan terancam kritis. Sebab, menurut Lembaga Konservasi Dunia [IUCN] kriteria Daftar Merah Spesies Terancam Punah tingkat kemunculannya kurang dari 100 km persegi. Berikutnya, luas hunian kurang 10 km persegi dan hanya ditemukan di satu lokasi, yang kualitas habitatnya menurun.

Baca: Katak Kecil Bermulut Sempit, Jenis Baru yang Sensitif pada Perubahan Iklim

 

Katak kecil bermulut sempit ini merupakan jenis baru dari Sumatera. Foto: Farits Alhadi/BRIN

 

Katak kecil bermulut sempit

Katak ini berasal dari hutan Sumatera, tepatnya di Lampung dan Pulau Belitung. Namanya katak kecil bermulut sempit [Microhyla sriwijaya], dari Genus Microhyla.

Ciri khasnya adalah jantan dewasa berukuran kecil, dengan panjang moncong berkisar 12,3 hingga 15,8 mm. Moncong ini tumpul dan bulat, memiliki tanda punggung bewarna coklat kemerahan atau oranye, dengan tuberkel kulit yang menonjol.

Secara ilmiah, telah dipublikasikan pada Jurnal Zootaxa edisi 2 September 2021.

Katak ini masih masuk anggota Microhyla achatina dan saudara Microhyla orientalis. Namun, berdasarkan analisis morfologis, molekuler, dan akustik terdapat perbedaan, sehingga diidentifikasikan sebagai spesies baru.

Habitatnya terancam kegiatan antropogenik. Antropogenik adalah pencemar yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik, urban maupun industri. Intensitas pencemar antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya pencemar tersebut.

Sriwijaya dipilih untuk diabadikan sebagai nama jenis, mengacu pada nama kerajaan pemersatu pertama yang mendominasi sebagian besar Kepulauan Melayu pada abad ke-7 hingga ke-11.

Baca juga: Jenis Baru, Katak Mini dari Sumatera Bagian Selatan

 

Microhyla sriwijaya, nama jenis baru katak ini. Foto: Farits Alhadi/BRIN

 

Dua spesies baru

Dua katak jenis baru ini ditemukan di Sumatera, yaitu katak-tanduk sumatera-selatan [Megophrys selatanensis] dan katak-tanduk aceh [Megophrys acehensis].

Jenis Megophrys ini berhasil diidentifikasi berdasarkan evaluasi status taksonomi dengan menggunakan data molekuler dan morfologi.

Misbahul Munir, yang juga menjadi penulis pertama dalam penemuan ini menjelaskan, katak-tanduk yang sering dikenal dengan nama ilmiah marga Megophrys memiliki karakter unik. Ujung moncong dan kelopak matanya termodifikasi menjadi tonjolan lancip [menyerupai tanduk].

“Saat ini, 13 spesies Megophrys terdapat di Asia Tenggara, antara lain Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Filipina. Kalimantan memegang rekor tertinggi, enam spesies ditemukan di pulau ini,” terangnya dalam keterangan tertulis.

Misbahul yang juga penemu katak-pucat pantaiselatan dan kandidat doktor di Kyoto University, menjelaskan pentingnya partisipasi publik dan keterlibatan ilmiah profesional dalam pemantauan keanekaragaman hayati.

“Pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dapat memberikan data empiris tentang skala spasial yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Dia juga menjelaskan seringnya kekurangan informasi konservasi keanekaragaman hayati, misalnya tentang distribusi, populasi, dan habitat suatu spesies.

 

Katak-tanduk aceh [Megophrys acehensis]. Foto: E.N. Smith/BRIN

 

Sensitif pada perubahan iklim

Mengutip Unpad.ac.id spesies berdarah dingin seperti katak, sangat rentan dengan perubahan iklim. Dampak buruk dari perubahan iklim yang membuat cuaca panas dan kering, sangat berpengaruh besar terhadap perubahan fisiologis, reproduksi, dan perilaku katak.

Studi ini terlihat pada tiga spesies yang diteliti, yaitu katak ekor pantai [Ascaphus truei], katak kaki sekop [Spea intermontane], dan katak pohon pasifik [Pseudacris regilla].

Ketiga spesies tersebut termasuk yang masuk ordo Anura, merupakan hewan poikilotermik atau ektodermik yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap kondisi lingkungan.

Salah satu pengaruh nyata perubahan iklim yang terlihat adalah pada lemahnya kemampuan meloncat katak. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dehidrasi berat yang mengakibatkan gangguan dalam pertukaran ion dalam sel katak.

Gangguan kemampuan melompat, dapat juga terjadi disebabkan akibat darah katak yang mengental ketika dehidrasi, sehingga membuat jantung dan aliran darah mengalami gangguan.

Perubahan iklim yang terjadi, tidak hanya berdampak pada spesies katak, tetapi juga pada hewan poikilotermik lain yang mengandalkan kondisi lingkungan stabil untuk dapat mempertahankan kondisi fisiknya guna mendukung fungsi tubuh, atau dikenal sebagai homeostasis.

Beberapa hewan, memang mampu mengubah perilaku mereka saat lingkungan berubah. Namun, hanya sedikit yang dapat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

 

Katak-tanduk sumatera-selatan [Megophrys selatanensis]. Foto: E.N. Smith/BRIN

 

Sebagaimana yang pernah dijelaskan Amir Hamidy, katak tropis begitu sensitif terhadap perubahan iklim. Naiknya suhu 1 derajat Celcius saja, akan begitu berdampak.

“Ini dikarenakan, ketika katak menghadapi suhu cukup panas, dapat membahayakan perilaku reproduksi dan fisiologinya.”

Katak mengandalkan sumber eksternal untuk mengatur suhu tubuh.

“Ketika tidak dapat menjaga suhu tubuh, di bawah batas suhu maksimum, mereka bakal tidak bisa mengembangkan populasinya,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version