Mongabay.co.id

Eceng Gondok Ternyata Bisa Disulap Jadi Bioetanol dan Biogas

Pemandangan Danau Limboto di pagi hari. Eceng gondok telah menyelimuti Danau Limboto hingga 70 persen. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Anda tahu Eceng Gondok?

Benar. Tumbuhan bernama latin Eichornia crassipes ini merupakan salah satu jenis tumbuhan air yang mengapung. Tumbuhan ini juga memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi, sehingga jenis tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang mengganggu lingkungan perairan.

Di Gorontalo, Sulawesi, tumbuhan ini sangat banyak berada di Danau Limboto, danau terbesar di Gorontalo. Bahkan, pada tahun 2017, tumbuhan tersebut pernah menutupi 70 persen luasan danau yang sekitar 3.334,11 hektar. Kondisi itu yang membuat Danau Limboto masuk dalam 15 kawasan danau kritis nasional.

Namun, tahukah anda, eceng gondok ternyata bisa dibuat menjadi bahan bakar nabati (BBN) atau Biofuel. Biofuel adalah bahan bakar dari biomassa atau materi yang berasal dari tumbuhan dan hewan, namun lebih cenderung dari tumbuhan.

Yuzda Salimi, Dosen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Gorontalo [UNG] pernah membuktikan itu pada tahun 2018. Ia bersama timnya pernah melakukan penelitian biomassa untuk mencari sumber energi alternatif. Dan Eceng gondok yang dipilih, karena jumlahnya sangat berlimpah di Danau Limboto.

baca : Limboto, Danau yang Perlahan Jadi Daratan

 

Panorama Danau Limboto, Gorontalo yang sebagian besar perairannya tertutupi eceng gondok. Foto : Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

 

Yusda menjelaskan gulma air ini sangat cepat persebarannya. Dalam sehari bisa tumbuh 3 persen. Sehingga pemerintah akan kesulitan untuk menanggulanginya dengan cara dimatikan atau dimusnahkan. Mengubah eceng gondok menjadi produk yang bisa bermanfaat menjadi solusi satu-satunya. Misalnya, pembuatan bioetanol.

Bioetanol sendiri adalah produk turunan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, jagung, singkong, ubi, buah-buahan, hingga limbah sayuran. Bioetanol yang merupakan jenis produk biofuel ini juga sebagai bahan bakar utama yang digunakan sebagai pengganti bensin untuk kendaraan.

Yuzda menjelaskan eceng gondok mengandung 3,8 persen karbohidrat, 64,51 persen selulosa, dan lignin sebesar 7,69 persen. Komposisi kandungan kimia ini menjadi syarat tumbuhan itu dapat diolah menjadi bioetanol. Namun, butuh proses fermentasi yang baik untuk menghasilkannya.

Dalam penelitian Yuzda, ada tiga tahapan pengolahan yaitu pengambilan sampel, praperlakuan, dan fermentasi. Tujuannya untuk mengambil senyawa-senyawa dalam eceng gondok yang berpotensi menjadi etanol.

“Saya mengambil sampel eceng gondok dari Danau Limboto, kemudian dihaluskan. Setelah itu, dilakukan praperlakuan dengan metode hidrolisis, hingga tahapan fermentasi,” Kata Yuzda kepada Mongabay, 14 Desember lalu.

Fermentasi eceng gondok butuh waktu dan perlakuan khusus, dimana bakteri yang ada di eceng gondok harus dikembangbiakkan dalam media kultur yang aseptik. Bakteri itu mampu mengubah gula menjadi etanol. Proses itu, yang bisa mengidentifikasi apakah eceng gondok mengandung etanol atau tidak.

Hasil penelitiannya menunjukan, eceng gondok bisa diubah menjadi bahan bakar nabati atau biofuel dengan jenis bioetanol. Sehingga bisa jadi solusi mengatasi pencemaran eceng gondok di Danau Limboto sebagai energi alternatif pengganti energi fosil.

baca juga : Eceng Gondok Danau Tempe, dari Biogas hingga Kerajinan Tangan

 

Yuzda Salimi, Dosen Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo [UNG] menunjukan hasil penelitiannya berupa bioetanol dari pengolahan eceng gondok. Foto: Jurusan Kimia FMIPA UNG

 

Dibuat Biogas

Tak hanya bioethanol, Yuzda juga pernah melakukan penelitian eceng gondok dijadikan sebagai biogas. Biogas juga termasuk biofuel dengan produk gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik yang mendegradasi bahan-bahan organik. Pengolahan eceng gondok jadi biogas juga bisa menyelesaikan masalah di Danau Limboto.

Eceng gondok, katanya, mengandung 95% air dengan struktur jaringan berongga sehingga berpotensi menghasilkan gas bila difermentasikan, namun dengan syarat ditambahkan kotoran sapi yang berfungsi sebagai prekursor dan sumber mikroba penghancur eceng gondok.

“Keuntungan biogas ini adalah alat yang yang relatif sederhana sehingga biaya lebih murah. Produksi biogas didesain dengan reaktor biogas sederhana dan menggunakan bahan dari eceng gondok dan campuran kotoran sapi,” ujarnya

Hasil penelitiannya, api yang dihasilkan dari biogas eceng gondok berwarna biru dengan kalor yang dihasilkan tidak terlalu besar pada suhu ruangan 28 ̊C. Hal itu menunjukan bahwa api yang dihasilkan dari biogas tersebut telah matang dan baik untuk digunakan oleh masyarakat. Ia bilang, pemanfaatan eceng gondok sebagai biogas bisa menjadi rujukan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).

Jenis energi di Indonesia saat ini memang masih didominasi energi fosil. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2020 menyebutkan energi dari batubara (38%), gas alam (19,2%), dan minyak bumi mencapai 31,6%. Sementara untuk Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 11,2%.

Ia bilang, dengan penelitian itu, bisa menjadi dasar Pemerintah Pusat Indonesia dan Pemprov Gorontalo untuk mengembangkan EBT yang berasal dari BBN. Ia bilang, potensi jenis tumbuhan dan hewan (feedstock) BBN yang sangat banyak di Indonesia termasuk Gorontalo, bisa menjadi acuan pemerintah untuk meninggalkan energi fosil.

perlu dibaca : Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?

 

Eceng gondok yang menutupi perairan Danau Limboto, Gorontalo. Foto : Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

 

Akankah dikembangkan?

Budiyanto Sidiki, Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah [Bappeda] Provinsi Gorontalo mengatakan pengembangan BBN dari eceng gondok belum pernah dilakukan di Gorontalo. Ia bilang, pengembangan energi terbaru dari BBN yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat menjadi salah satu penyebab.

Budiyanto menjelaskan pihaknya pernah mendorong masyarakat untuk mengembangkan salah feedstock BBN dari tanaman jarak, namun itu kandas ditengah jalan akibat tidak ada dukungan kebijakan. Ia bilang, pemasaran dari produk yang tak jelas juga menjadi masalah utama. Padahal Gorontalo memiliki banyak potensi feedstock BBN.

“Kami hanya berharap ada investor yang berminat untuk mengembangkan eceng gondok untuk jadi bioetanol atau biogas,” kata Budiyanto, kepada Mongabay pada 12 Desember lalu

Sedangkan Rasyid Syamsabaya, Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan, Dinas Penanaman Modal ESDM dan Transmigrasi Provinsi Gorontalo juga mengatakan yang sama. Pihaknya belum memiliki perencanaan pengembangan BBN dari eceng gondok untuk dibuat bioetanol atau biogas. Ia bilang, pihaknya hanya memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit listrik Tenaga Air (PLTA) saja.

Katanya, pengembangangan BBN dari eceng gondok memiliki proses yang panjang, jika dibandingkan energi yang dikelolanya saat ini. Ia bilang, tidak adanya anggaran untuk pengembangan juga menjadi salah satu kendala. Apalagi, ada refocusing anggaran akibat pandemi Covid-19 yang turut menguras APBN dan APBD.

“Dukungan penganggaran untuk mengembangkan feedstock BBN. Anggaran yang ada hanya untuk memelihara energi yang sudah ada,” katanya, pada 17 Desember lalu

menarik dibaca : Sekam Padi, Bahan Bakar Pengering Gabah yang Mudah Dicari

 

Pemandangan Danau Limboto di pagi hari, saat ini. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Herbert Wibert Victor Hasudungan, Sub-Koordinator Pengawasan Bahan Bakar Nabati, Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM mengatakan untuk BBN dari bioetanol sudah ada perencanaan pengembangan khusus yang akan dilakukan hingga tahun 2025. Pentahapan mandatoring untuk BBN dari bioetanol sudah dilakukan sejak 2015.

“Pentahapan mandatoring untuk BBN dari bioetanol pada tahun 2015 sebanyak 2 persen, tahun 2016 sebanyak 5 persen, 2020 ada 10 persen. Tapi kita sudah merencanakan 2025 mencapai 20 persen,” katanya dalam webinar daring yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan, pada November lalu.

Ia mengaku untuk perkembangan bioetanol memang tidak sama dengan biodiesel. Harga yang lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil menjadi salah satu penyebab lambatnya pengembangan bioetanol. Selain itu, kandungan air yang kerap terlalu banyak dan dapat mempengaruhi kinerja mesin, menjadikan bioetanol kurang diminati.

Meski begitu, katanya, saat ini pihaknya sedang berupaya untuk mengembangkan kembali bioethanol agar bisa bersaing dengan energi fosil bersama dengan beberapa perusahaan. Ia bilang, ada perencanaan bioethanol akan dicampurkan dengan pertalite dengan persentase 5-10 persen.

 

Bermanfaat untuk Masyarakat

Joyo Wahono, Direktur PT. Clean Power Indonesia mengatakan pengembangan BBN lokal sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, feedstock BBN di Indonesia sangat banyak, dan berpotensi untuk dikembangkan. Ia bilang, feedstock BBN juga dapat memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat lokal.

Dengan adanya pengembangan feedstock BBN lokal, akan memberikan penghematan terhadap negara, dan peningkatan pendapatan daerah pemerintah provinsi dan kabupaten melalui penunjukan BUMD setempat. Hal itu dapat mendukung pencapaian target pemerintah pusat dalam pentahapan mandatoring untuk BBN.

Tak hanya itu, pengembangan BBN lokal bakal menciptakan lapangan kerja baru secara masif dengan kontrak jangka panjang, termasuk partisipasi pekerja perempuan. Pertumbuhan ekonomi serta pendapatan masyarakat juga akan meningkat melalui kebutuhan biomassa pembangkit yang besar.

Hal itu juga akan menciptakan kesempatan bagi pengusaha mengembangkan produk sampingan dan pengelolaan biomassa, serta mengurangi potensi penguasaan lahan oleh pihak tertentu yang tidak berdampak besar bagi ekonomi masyarakat setempat.

“Ini juga akan menjadi referensi pengembangan desa, kawasan transmigran, dan kawasan prioritas lainnya,” pungkasnya.

***

Artikel ini merupakan hasil fellowship  Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan tentang Bahan Bakar Nabati

 

Exit mobile version