Mongabay.co.id

Riset Sebut Program Sawit Plasma Banyak Bermasalah, KPPU: Petani Bisa Lapor

Pekerja tengah panen sawit perusahaan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Program kebun sawit plasma niatnya untuk menjaga ketimpangan lahan antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Yang digadang-gadang, program ini bertujuan untuk pemerataan ekonomi petani. Bagaimana kenyataan lapangan? Riset The Institute Ecosoc Rights berjudul ‘Kebun Sawit Plasma: Realitas dan Tantangan’ memperlihatkan, banyak petani sawit plasma terlilit masalah, bahkan program ini jadi modus perusahaan sawit merampas lahan masyarakat lokal.

Sri Palupi, peneliti The Institute Ecosoc Rights, mengatakan, penelitian dilakukan di Kalimantan Barat, Bengkulu, Riau dan Sulawesi Tengah.

Penelitian menemukan, tidak ada perlindungan untuk petani sawit plasma ketika hak mereka tidak dipenuhi perusahaan. “Kebanyakan petani tidak tau mau mengadu kemana,” katanya dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Saat maslaah terjadi, Pemerintah Indonesia terlihat lepas tangan pada kasus sawit plasma padahal program ini pemerintah yang menciptakan. “Padahal, petani kecil menopang industri perkebunan sawit, seperti penyediaan tenaga kerja, penyediaan bahan baku, serta penyediaan lahan.”

Dia menilai, sawit plasma merugikan masyarakat dengan beberapa indiskasi. Pertama, sawit plasma menjadi modus pengambil alihan lahan masyarakat di sekitar perkebunan sawit inti atau perusahaan sawit. “Misal, untuk mendapatkan satu hektar plasma, masyarakat harus serahkan 10 hektar,” kata Sri.

Kedua, terjadi perubahan pengelolaan lahan kebun sawit dari masyarakat menjadi perusahaan. Seringkali, katanya, terjadi manipulatif pada proses, apalagi risiko pendanaan ditangung masyarakat.

 

Baca juga: Buruh Sawit Koperasi Makmur di Kampar Menanti Kejelasan Upah

Petani plasma di Riau, kini alami masalah. Utang petani plasma lebih seratus miliar rupiah dan petani kebingungan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sri mengatakan, sawit plasma dengan ‘kemitraan abal-abal’. Di beberapa tempat, ada kemitraan tetapi tidak ada wujud lahan sawitnya. Akhirnya, petani plasma kemitraan menjual lahan yang mereka dapat karena tak produktif.

Dari hasil riset itu, Ecosoc Rights menyimpulkan program kemitraan atau sawit plasma makin merugikan masyarakat. “Hingga kemitraan plasma kian tidak layak disebut sebagai kemitraan, karena condong manipulatif dan tidak memenuhi prasyarat kesetaraan, keterbukaan, keadilan dan tidak saling mengungungkan,” katanya.

Selain itu, banyak kemitraan sawit plasma tidak dilaksanakan secara bebas untuk petani. Contoh, posisi tawar masyarakat dalam menyusun perjanjian kemitraan sangat lemah, bahkan ada perjanjian tidak secara tertulis.

“Pemerintah turut mendukung praktik ketidakadilan kemitraan itu, apalagi gagasan ini berasal dari pemerintah.”.

Sri merekomendasikan, pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan sawit karena sudah kelebihan produksi, mengancam ketahanan pangan dan memperburuk ketimpangan penguasaan lahan. “Juga minta perbaiki tata kelola sawit termasuk perjanjian, perpajakan, kewajiban perusahaan terhadap buruh, masyarakat setempat dan petani sawit mandiri,” kata Sri.

Dia menekankan, perlu audit terkait kebijakan perusahaan untuk membangun kebun masyarakat sebesar 20% dari total konsesi. “Setop menjadikan kemitraan plasma sebagai modus perampasan lahan.”

Ecosoc Rights juga meminta, pemerintah menyelesaikan konflik kemitraan plasma dan penuhi hak-hak masyarakat yang sudah jadi korban praktik kemitraan abal-abal. “Program sawit plasma kemitraan harus dievaluasi secara konsep.”

Herdradjat Natawidjaja, Bidang Kemitraan dan Pembinaan Petani Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan, statistik memperlihatkan progam kemitraan– awalnya disebut perkebunan intin rakyat (PIR)—sukses mengubah komposisi luas lahan sawit rakyat dari hanya 6.175 hektar pada 1980 jadi 5.95.502 hektar di 2019.

Berdasarkan hukum, katanya, perusahaan perkebunan yang mendapat izin pelepasan lahan wajib memfasilitasi kebun masyarakat 20% dari luas lahan itu.

Dia pun sebutkan keunggulan kemitraan, seperti kebun dikelola profesional, kualitas tanaman lebih baik, produksi baik, pendapatan meningkat. Serta terbuka peluang baru bagi petani dan kerabatnya bekerja sebagai petani.

Berbagai ‘keungulan’ patah dengan realitas di lapangan seperti riset Ecosoc Rights, yang memperlihatkan, banyak kebun sawit plasma tidak mencapai tujuan awal. Program ini malah banyak jadi modus perusahaan sawit merampas lahan masyarakat lokal.

 

Baca juga: Hasil Sawit Redup, Petani Arso Hidup Terlilit Utang Bank [2]

Kebun sawit plasma sudah tidak terawat lagi di Desa Pangeya Idaman, Kecamatan Wonosari, Boalemo, Gorontalo.Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Petani bisa lapor KPPU

Petani plasma yang tak mendapatkan hak dari perusahaan inti perkebunan sawit bisa melapor kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Lukman Sungkar, Direktur Pengawasan Kemitraan KPPU mengatakan, mereka siap menerima laporan dari petani plasma.

Dia bilang, ketika terjadi upaya pelanggaran oleh perusahaan dengan cara tidak memberikan hak masyarakat lokal 20% dari luas lahan yang dilepaskan, berarti itu ada upaya untuk memiliki. “Itu bisa disebut pelanggaran kemitraan dalam unsur menguasai dan memiliki.”

KPPU, katanya, bisa menindak lanjuti laporan petani yang merasa dirugikan dalam program kemitraan sawit plasma. KPPU, katanya, akan langsung melakukan investigasi untuk mencari minimal dua alat bukti.

“Jadi kalau memang ditemukan pelanggaran di perusahaan, kita akan berikan rekomendasi dan surat peringatan satu, kemudian dua jika tidak diperbaiki,” kata Lukman.

Bahkan, katanya, bisa kena peringatan ketiga dengan pemeriksaan lanjutan kemudian masuk ke sidang terbuka untuk umum. “Kalau memang terbukti di persidangan perusahaan bisa kena denda maksimal Rp10 miliar. Kami juga bisa memberikan rekomendasi mencabut izin.”

Lukman juga menunjukkan, selama ini pola plasma atau kemitraan sektor sawit belum sepenuhnya terlaksana benar meskipun ada aturan untuk itu. “Karena ini tidak ada kementerian atau lembaga terkait yang mengawasi.”

Lukman berharap, ada kerjasama antara masyarakat, LSM, aktivis, pemerhati untuk melaporkan ketika terjadi pelanggaran perjanjian kemitraan sawit plasma. “Pelapor kita rahasiakan.”

Dia juga melihat, ada indikasi upaya terencana dalam program kemitraan sawit plasma, misal, bupati memberikan izin tetapi lahan 20% yang jatah masyarakat lokal diperjualbelikan.

Untuk itu, katanya, harus ada pengawasan seperti dari Kementerian Pertanian dan kementerian atau lembaga lain.

“Dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan, implementasi pengelolaan perkebunan sawit belum sepenuhnya sesuai Undang-undang 39/2014 tentang Perkebunan terutama terkait kewajiban membangun kebun masyarakat 20%,” kata Lukman.

Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasalan Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian mengatakan, sebenarnya dalam UU Cipta Kerja pemberi izin wajib mengevaluasi dan mengaudit perusahaan yang mereka beri izin. “Kami, pemerintah sudah melakukan upaya, walaupun banyak kenyataan masih terjadi kasus-kasus plasma sawit,” katanya.

Ke depan, katanya, pemerintah lebih menguatkan pengawasan kemitraan plasma sawit. “Ini adalah PR (pekerjaan rumah) bersama.”

Sesuai aturan, katanya, perusahaan harus memenuhi 20% kewajiban memberikan lahan plasma kepada masyarakat. Saat ini, UU Cipta Kerja juga sudah mengubah perizinan dan non perizinan berbasis risiko. “Pengawasan juga sudah ada dalam aturan Cipta Kerja yaitu ada pada pos audit,” katanya.

Sri Palupi meminta, KPPU melakukan sosialisasi terkait cara melaporkan kalau petani sawit plasma ada masalah. “Masyarakat butuh bantuan itu. Kita berharap KPPU jemput bola dan menfasilitasi hal itu sampai ke daerah-dearah.”

Sri punya pengalaman menangani kasus sawit plasma di Sulawesi Selatan, petani harus ke Jakarta untuk melaporkan masalah itu.

 

******

Foto utama:  Program sawit plasma banyak menimbulkan masalah bagi petani di lapangan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version