Mongabay.co.id

Rehabilitasi Hutan Diperlukan Pasca Letusan Gunung Semeru

 

Degradasi ekosistem hutan bisa terjadi akibat bencana alam, salah satunya adalah letusan gunung berapi. Hal ini seperti yang terjadi di Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 lalu.

Umumnya, dampak dari material padat seperti abu vulkanik, awan panas, abu panas dan lahar hujan yang diluncurkannya bisa menyebabkan ekosistem dan vegetasi hutan yang ada disekitarnya menjadi rusak, tergantung aliran lahar dan arah angin berhembus.

Peneliti Senior Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Tukirin Partomihardjo mengatakan, adapun pengaruh bagi tumbuhan yang terdampak itu bergantung pada kekuatan besar kecil letusan. Selain itu juga tipe dan jarak dari pusat letusan tersebut. Sehingga variasi dampak bagi tumbuhan juga berbeda-beda.

Mengacu pada peristiwa letusan besar Gunung Krakatau pada tahun 1883, pada radius puluhan kilometer kehidupan yang ada disekitarnya itu musnah, begitu juga dengan jenis-jenis tumbuhan yang ada.

Di tahun 2018 anak Krakatau juga mengalami letusan, meski peristiwanya lebih kecil dari sebelumnya. Namun, dampaknya tumbuhan juga bisa mati, karena umunya material gunung berapi itu sifatnya panas.

“Jika tumbuhan dan vegetasinya ini jaraknya sangat dekat dengan letusan ya bisa musnah semua, kalau yang agak jauh itu biasanya akan terkena bagian atasnya saja,” jelas pria yang diusia ke-68 sudah pensiun sebagai peneliti ini, Kamis (23/12/2021). Jika bagian pangkal-pangkal batang tidak terdampak diprediksikan masih bisa bertahan, sehingga setelah itu masih bisa tumbuh lagi.

baca : Menyelamatkan Sisa Kehancuran Terjangan Erupsi Gunung Semeru

 

Material padat seperti abu vulkanik menyebabkan ekosistem dan vegetasi hutan di kawasan Gunung Semeru rusak. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Mampu Terubus Kembali

Pada dasarnya semua jenis tumbuhan yang bisa menghasilkan tunas bisa tumbuh kembali apabila tidak semua bagian tumbuhannya itu mati terkena letusan erupsi gunung berapi, seperti yang terjadi di Krakatau. Umumnya tumbuh-tumbuhan yang ada disekitarnya itu masih mampu terubus kembali, misalnya jenis pohon butun (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia catappa), kemudian jenis-jenis pohon beringin (Ficus benjamina).

Sementara untuk bisa terubus kembali itu juga bergantung pada jenis tumbuhan atau pohonya, jika jenis pohon pionir yang mengisi elemen hutan sekunder dan umumnya termasuk suku Euphorbiaceae, seperti mahang damar (Macaranga triloba), Mara (Macaranga tanarius), Kareumbi (Omalanthus populneus) dan balik angin (Mallotus paniculatus), tumbuhnya bisa lebih cepat, sekitar 3-4 bulan. Apalagi jenis tanaman perdu.

“Kalau di pegunungan Semeru itu ada pohon cemara gunung (Casuarina equisetifolia) seperti di Gunung Krakatau, mestinya bisa tumbuh kembali,” kata Prof Tukirin yang telah 35 tahun meneliti Gunung Krakatau.

baca juga : Semeru Siaga, Warga Dilarang Beraktivitas di Daerah Berbahaya

 

Kondisi Gunung Semeru pasca Erupsi yang terjadi pada 4 Desember 2021. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dalam jangka pendek, material vulkanik yang dikeluarkan gunung berapi bisa merusak dan menghanguskan tumbuhan yang ada disekitarnya. Namun, dalam jangka waktu yang panjang keberadaan material vulkanik bisa menjadikan tumbuh-tumbuhan itu subur.

Hal ini juga bergantung pada material yang dikeluarkan. Jika berupa debu yang lembut kesuburannya itu akan jauh lebih cepat. Tetapi jika materialnya keras berupa pasir, pertumbuhan tanaman lebih lambat.

“Tentu ada dampak positif dan negatif dari peristiwa bencana, tergantung sudut pandang kita. Kalau kita menganggap bahwa itu merupakan peristiwa alam yang harus terjadi, dan kita sudah tahu ya kita harus melakukan mitigasi,” jelasnya.

Menurut Ketua Forum Pohon Langka Indonesia ini, untuk pemulihan ekosistem tumbuhan di kawasan gunung yang terdampak erupsi harus dilihat dari status kawasan tersebut. Jika itu berada di kawasan hutan produksi atau di daerah tangkapan air yang agar lingkungan di hulu sungainya stabil itu harus segera direhabilitasi.

Namun, jika yang rusak itu merupakan kawasan konservasi seperti Taman Nasional atau Cagar Alam itu harus dibiarkan. “Biarkan saja dia melakukan pemulihan secara alami, seperti di Krakatau. Ini merupakan suatu percobaan alam untuk kita pelajari. Agar kita paham dalam mengelola lingkungan itu harus hati-hati,” ungkap pria kelahiran Cilacap ini.

baca juga : Dampak Erupsi Semeru Bagi Petani, Begini Upaya Pemulihannya

 

Akar pohon yang tercerabut, rusak akibat letusan Gunung Semeru. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Belum Bisa Dilakukan Pendataan  

Erupsi Gunung Semeru selain berdampak terhadap vegetasi hutan juga berdampak pada kelangsungan hidup satwa liar yang ada disekitarnya. Direktur Profauna Indonesia, Rosek Nursahid yang pernah melakukan pemantauan satwa liar di kawasan lereng Gunung

Semeru dari Ampelgading, Kabupaten Malang dan Lumajang mengatakan, di wilayah tersebut pernah dijumpai primata jenis Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), dan berbagai jenis burung, salah satunya adalah burung Elang Jawa (Nisaetus bartelsi).

“Dengan habitat yang berubah otomatis juga akan mengubah keberadaan satwa, bahkan dia akan bergeser atau bermigrasi ketempat yang lain,” ujarnya. Untuk itu, menurutnya, langkah yang perlu dilakukan selain mengevakuasi atau mengurus bantuan kemanusiaan terhadap korban erupsi, Pemerintah juga perlu melakukan rehabilitasi hutan yang ada di kawasan Perhutani.

Karena jika tidak segera direhabilitasi dampaknya akan membahayakan ketika terjadi erupsi lagi, atau bencana lain seperti longsor juga bisa mengkhawatirkan.    

baca juga : Hidup Bersama Gunungapi Semeru

 

Kupu-kupu saat ditemukan dilereng Gunung Semeru. Selain kupu-kupu, di wilayah tersebut juga terdapat primata jenis lutung jawa (Trachypithecus auratus) dan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, Khairul Saleh, Plt. Kepala Resort Wilayah Candipuro Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengatakan, karena saat ini awan panas guguran masih terus turun, pihaknya masih belum bisa melakukan pendataan jenis-jenis tumbuhan yang rusak. Sementara ini yang bisa dilakukan adalah pemantauan kawasan melalui drone.

Jadi kami hanya melihat tegakan mana yang habis atau rusak. Kemungkinan sebulan pasca erupsi kami baru bisa melakukan transek kawasan Taman Nasional,” ujar pria berkacamata itu, Rabu (15/12/2021).

Setelah dilakukan pemetaan, bersama masyarakat kemitraan konservasi pihaknya akan melakukan penanaman atau perbaikan ekosistem sesuai dengan tanaman yang sebelumnya yang ada di kawasan lereng Gunung Semeru.

Sementara itu, lanjut Khairul, pendataan yang sudah pernah dilakukan di lereng Gunung Semeru terdapat jenis pohon Cemara Gunung, pohon Kesek (Dodonaea viscosa) yang merupakan pohon endemik, pohon Kapur Barus (Cinnamomum camphora), dll.

Selain itu, di sepadan aliran lahar yang bagian atas Gunung Semeru juga terdapat banyak tanaman anggrek, sehingga dia memprediksi jenis tanaman berbunga dengan anggota jenis terbanyak ini juga rusak.

“Waktu evakuasi warga, kami juga menemukan landak. Setelah itu kami serahkan ke teman-teman BKSDA terdekat,” pungkasnya.

 

Tegakan pohon hutan yang selamat dari letusan Gunung Semeru. Erupsi Gunung Semeru selain berdampak terhadap vegetasi hutan juga berdampak pada kelangsungan hidup satwa liar yang ada disekitarnya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version