Mongabay.co.id

Menanti Keseriusan Bank di Indonesia Lepas dari Batubara

Inilah batubara-batubara yang dihasilkan dari menggali perut bumi itu. Foto: Tommy Apriando.

 

 

 

 

Belasan anak muda dari Komunitas Climate Rangers Jakarta aksi di depan Gedung Graha Bank Nasional Indonesia (BNI), 26 November lalu. Mereka sepakat ‘aksi diam’  bermodal spanduk dan poster. Tak ada pengeras suara.

Jam merujuk pukul 11.05 WIB, ketika massa aksi membentangkan spanduk dan mengangkat tinggi poster yang disiapkan sebelumnya.

Demi alasan keamanan, mereka telah mengirimkan surat pemberitahuan kepolisian. Ginanjar tak ingin aksi damai mereka berakhir ricuh.

Komunitas ini ingin mendorong Bank Negara Indonesia (BNI) segera berhenti mendanai energi bersumber batubara yang memicu krisis iklim. Krisis iklim jadi persoalan serius bagi dunia, tak terkecuali Indonesia.

“Aksi diam di BNI merupakan permulaan, kami melihat dampak krisis iklim udah nyata banget. Salah satu penyumbang emisi adalah energi batubara,” kata Ginanjar Ariyasuta, Koordinator Komunitas Climate Rangers Jakarta .

BNI dikenal dekat dengan kalangan anak muda.  Karena itu, Ginanjar ingin bank BUMN inijadi percontohan bagi bank lokal lain yang peduli iklim. Anak muda, katanya, jadi elemen paling terdampak, karena mereka yang akan meneruskan masa depan.

“Kita mendorong komitmen BNI, karena BNI banyak ke anak muda,” katanya.

“Kebetulan saya kuliah di UI [Universitas Indonesia], BNI sudah menjamur banget, karena salah satu ventura terbesar. Unit-unit BNI pasarnya adalah anak muda,” katanya.

Mengutip laporan Urgewald.org, lembaga yang berbasis di Jerman, katanya, BNI terbukti sebagai satu dari enam bank di Indonesia yang masih mendanai proyek energi batubara.

“Ini disayangkan, padahal mereka punya program green banking, punya program pembiayaan sektor berkelanjutan.”

Laporan berkelanjutan BNI pada 2020 menyatakan,  komitmen mendukung penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Nyatanya, BNI,  masih mendanai pembangunan PLTU batubara.

“Untuk pembangunan PLTU, dalam lima tahun terakhir BNI membiayai PLTU Kaltim, PLTU Kebonagung, PLTU Sumut, PLTU Lampung dan PLTU Jawa 9 dan 10.”

Energi fosil merupakan penyumbang kedua terbesar emisi gas rumah kaca (GRK) setelah sektor kehutanan. Emisi GRK terjadi ketika pembangkit listrik batubara dibangun, karena ada pembukaan lahan besar-besaran. Juga, mengakibatkan deforestasi, ruang hidup warga digusur, dan berdampak terhadap kesehatan warga.

“Simpelnya BNI mendanai sesuatu hal buruk, baik dari sisi kesehatan, lingkungan dan kehidupan warga lokal. Kita minta BNI stop mendanai energi batubara,” kata mahasiswa Fakultas MIPA itu.

Naifah Uzlah,  dari Fossil Free Universitas Indonesia (FF UI) mengatakan,  aksi diam mereka bersama Climate Rangers Jakarta bentuk protes kepada BNI karena masih membiayai energi fosil.

“Kita menuntut BNI lebih baik dalam kebijakan terkait pembiayaan agar tidak membiayai energi fosil lagi.”

BNI harus berhenti mendanai energi fosil, karena pembakaran batubara berkontribusi besar terhadap krisis iklim dan menghasilkan emisi GRK.

 

Baca juga: Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

Polusi udara dari sebuah pembangkit listrik bertenaga batubara. Foto : shutterstock

 

Kalau masih didukung lembaga pembiayaan, katanya, untuk jangka panjang target pengurangan emisi 29 persen secara unconditional tak akan terwujud pada 2030.

“Dilihat dari isu perubahan iklim, tahun 2030 merupakan turning point. Jika sebelum 2030,  kita tidak mengambil tindakan signifikan, nanti dampak makin parah dan tidak bisa diperbaiki lagi,” kata Naifah.

Satu bukti BNI masih dana batubara, katanya, dengan fasilitas pinjaman US$400 juta, setara Rp5,79 triliun kepada PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui sindikasi pinjaman dari sejumlah bank. “BNI salah satunya.”

Berdasarkan laporan keterbukaan informasi Adaro ke OJK dan BEI, pinjaman lima tahun itu untuk pelunasan lebih awal atas seluruh saldo pinjaman terutang satu anak perusahaan, Adaro  Indonesia. Perusahaan itu memiliki lini bisnis utama pertambangan batubara.

“Jadi,  ini menunjukkan BNI masih mendanai industri yang berkaitan dengan energi fosil.”

 

Terus Ngalir ke batubara

Andri Prasetiyo,  periset dan pengkampanye Trend Asia mengatakan, dalam tiga bulan terakhir rajin menelaah pembiayaan sejumlah bank, baik bank global maupun lokal yang berkomitmen terhadap pendanaan hijau. “Termasuk juga sisi krisis iklim.”

Hasilnya, ratusan bank tersebar di seluruh dunia telah bergabung dalam gerakan global untuk keluar dari pendanaan batubara.

Sebelumnya, bank asal Korea dan Jepang spesifik menyatakan berhenti mendanai industri batubara. Disusul Tiongkok, tak akan mendanai pembangunan proyek pembangkit listrik batubara baru di luar negeri.

Saat perbankan global menyatakan keluar dari pembiayaan batubara, bank-bank lokal justru memberikan respons berbeda. Alih-alih ikut dalam gerakan global, mereka malah menganggap itu sebagai ceruk baru yang harus dimanfaatkan.

“Untuk financing tambang dan financing PLTU,” ujar Andri. Alasannya, karena saingan terbatas. Mereka porsinya bisa lebih banyak untuk pendanaan.

Data Urgewald (2021) pinjaman perbankan ke sektor batubara sangat fantastis, mencapai Rp89 triliun. Ada enam bank lokal masih memberikan pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada  Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018-Oktober 2020.

Pinjaman terbesar diberikan adalah Bank Mandiri mencapai US$2,46 miliar atau setara Rp36 triliun (kursRp 14.500/US$), BNI sebesar US$ 1,83 miliar atau sekitar Rp27 triliun, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) US$ 1,76 miliar atau Rp26 triliun.

Berikutnya BCA sebesar US$ 0,82 miliar atau setara Rp12 triliun, Bank Tabungan Negara (BTN) senilai US$ 0,10 miliar atau Rp1,5 triliun, Indonesia Eximbank sebesar US$ 0,03 miliar atau sekitar Rp435 miliar.

Andri bilang, kondisi itu memunculkan paradoks. BRI, misal, bank yang terkenal dalam pembiayaan KUR itu ternyata mendanai PLTU Jawa 9 dan 10 sebesar US$2.5 juta dan PLTU Tarahan US$8.3 juta.

 

Baca juga: Target Karbon Netral, Indonesia Bakal Setop Bangun PLTU?

Tim dokter hewan BKSDA Bengkulu melakukan nekropsi empat bangkai penyu sisik yang ditemukan mati di Pantai Teluk Sepang. Penyu mati di dekat PLTU Teluk Sepang. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia Indonesia

 

Bank Mandiri juga sama. Menurut Andri, Mandiri merupakan bank yang paling besar mendanai energi batubara. Khusus PLTU Jawa 9 dan 10, Mandiri menggelontorkan dana US$2.6 milar dan mendanai Adaro sekitar Rp5.8 triliun.

Tak hanya itu, Mandiri ditengarai sebagai pengatur penerbitan obligasi kepada Indika. Indika selaku produsen batubara terbesar ketiga di Indonesia menerbitkan obligasi valas dengan nilai mencapai US$675 juta atau setara Rp9,86 triliun dengan kurs Jisdor Rp14.609 per dolar AS.

“Secara eksplisit mereka belum menjelaskan kapan berhenti mendanai tambang batubara dan PLTU. Padahal, tren global jelas mendorong green finance,” katanya.

Laporan Keberlanjutan 2020 Bank Mandiri juga mengklaim sudah patuh terhadap peraturan OJK dengan mengedepankan prinsip green finance.

“Kenyataan, dana untuk tambang batubara dan PLTU masih ngucur, bahkan ketika mereka sudah mengikuti aturan OJK,” ujar Andri.

BNI juga sama. Bank plat merah milik pemerintah itu kedapatan membiayai PLTU Jawa 9 dan 10 sebesar US$ 1,83 miliar atau sekitar Rp27 triliun. Tak hanya itu, BNI juga terlibat dalam peninjauan hutang baru (refinancing) Adaro.

“BNI masuk dalam refinancing yang merupakan syarat penting untuk memastikan perpanjangan izin investor tetap masuk. Adaro tahun depan habis, jadi harus diurus refinancing-nya.”

Sejak 2018, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan. Kebijakan itu diikuti sejumlah bank-bank lokal, seperti BRI, BNI, Mandiri dan BCA, dan beberapa bank lain.

“Cuma menjadi pertanyaan, mengapa BRI, BNI, Mandiri dan BCA yang merupakan bank progresif di ASEAN dan di Indonesia masih banyak pendanaan untuk sumber energi batubara,” kata Andri.

Menurut Andri, green finance penting karena perbankan merupakan bisnis reputasi dan kepercayaan. Saat bersamaan, publik selaku stakeholder perbankan memiliki peranan penting dalam memberikan tekanan.

Kalau kerusakan alam terus terjadi, bank jadi pihak yang disalahkan, karena terlibat membiayai proyek-proyek energi fosil.

“Tanpa ada financing,  proyek-proyek ini tidak jalan. Itu sebabnya bank harus selektif. Mereka harus mengetahui konsekuensinya bagi linkungan.”

Kalau perbankan tak memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap aspek bisnis, maka reputasi jadi buruk. “Ketika reputasi buruk, kemungkinan besar kehilangan nasabah dan investor.”

Sama ketika banyak banyak bank di Eropa mulai meninggalkan pembiayaan terhadap energi batubara. Sepengetahuan Andri, alasan mereka bukan karena isu lingkungan tetapi lebih kepada faktor reputasi.

“Isu lingkungan seringkali jadi alasan kesekian.”

Mereka justru lebih khawatir kalau menimbulkan aset terlantar (stranded aset). Bank-bank yang mendanai energi batubara berisiko besar terhadap stranded aset. Hal itu terjadi, katanya, karena biaya pemeliharaan PLTU sangat besar, sedang harga energi terbarukan kian murah.

Maintanance sosial, lingkungan dari energi fosil kecenderungan naik, karena ada masalah iklim hingga carbon storage,” katanya.

Belum lagi, teknologi baru harga mahal hingga peluang aset terlantar juga besar. “Jika terlantar ada kemungkinan gagal bayar. Karena itu bank perlu berhitung,” katanya.

Sisi lain, uang merupakan kapital paling cair dan mudah digerakkan. Untuk itu, sebaiknya untuk kepentingan jangka panjang lebih menguntungkan.

“Maka harus re-orientasi. Saatnya. setop mendanai industri yang sudah sunset seperti tambang batubara dan PLTU.”

Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader 350.org mengatakan, tidak terkejut saat mengetahui fakta tentang perbankan lokal yang masih membiayai energi batu bara meskipun mengaku menerapkan green finance.

“Ini tidak mengejutkan karena perbankan kita baru memiliki komitmen sustainability di tahun 2018, dimulai dari delapan bank disusul 5 bank lainnya. Jadi bisa dimaklumi bahwa dibutuhkan proses ke sana.”

Publik, katanya, tidak boleh diam. Komitmen bank untuk menjadi hijau harus menjadi pegangan nasabah dalam mendorong bank betul-betul memenuhi janji. “Jika masih membiayai PLTU dan tambang batubara di tengah ancaman krisis iklim merupakan pilihan yang mencederai komitmen itu.”

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Aksi lain Climate Rangers dan Komunitas Fossil Free Kampus Indonesia di Gedung BNI Jakarta, akhir November lalu. Foto: 350.Org

 

Dia menilai, permintaan yang tinggi menjadi alasan perbankan lokal mendanai energi kotor batubara di dalam negeri.

“Risiko bisnis ini terbilang rendah karena ada jaminan dari pemerintah. Misal, dengan power purchase agreement yang mengharuskan PLN untuk membayar listrik kepada PLTU dengan take or pay.

Bahkan, kebijakan masih berpihak kepada industri batubara, meskipun Paris Agreement telah disepakati. “Kita bisa lihat dari UU yang dihasilkan selama pandemi COVID-19, yaitu UU Minerba yang baru dan UU Cipta Kerja yang memberi angin segar bagi industri batubara,” kata Sisilia.

Binbin Mariana, Juru Kampanye Keuangan dan Energi dari Market Forces mengatakan, dengan masih memberikan pembiayaan ke energi fosil, maka bank-bank ikut andil dalam memperparah krisis iklim.

“Bank membiayai energi batubara tanpa mempertimbangkan dampak dari penggunaan batubara, dan hanya mempertimbankan potensi keuntungan bisnis kotor itu,” katanya.

Dengan trend global saat ini, dimana banyak negara menyatakan akan berhenti menggunakan batubara, maka permintaan akan berkurang. Dengan begitu, katanya, justru pembiayaan ke bisnis batubara berisiko tinggi secara financial.

Karena itu Binbin menyerukan bank-bank lokal segera mengambil peran yang lebih signifikan dengan mencontoh bank-bank di negara tetangga Malaysia dan Singapura yang telah memiliki kebijakan untuk berhenti membiayai energi batu bara.

“Itu semua ada di policy mereka. Di Indonesia, belum ada bank yang punya kebijakan seperti itu,” kata Binbin.

 

Sudah berkomitmen ‘hijau’?

Di tengah kritik perbankan di Indonesia, yang belum lepas dari pembiayaan ke sektor yang berakibat buruk baik iklim dan lingkungan seperti ke energi batubara, Wimboh Santoso Ketua Dewan Komisioner OJK menegaskan sebaliknya.

Dia bilang, sustainable banking network telah menempatkan Indonesia bersama Tiongkok sebagai negara penggerak utama (First Movers) dalam implementasi keuangan berkelanjutan. Bahkan, akan ditingkatkan ke tahapan selanjutnya, pembiasaan perubahan sikap secara menyeluruh (mainstreaming behaviour change).

Untuk mencapai komitmen dan implementasi keuangan berkelanjutan, katanya, perlu perubahan pola pikir kalau faktor risiko lingkungan hidup dan sosial merupakan peluang sekaligus tantangan bagi sektor jasa keuangan.

Peluang untuk menciptakan pembiayaan yang inovatif, sekaligus tantangan melakukan transisi dari bisnis ‘seperti biasa’ menuju pendekatan yang berkelanjutan (sustainable).

“Peran OJK sangat penting dan strategis untuk mempercepat implementasi keuangan berkelanjutan, sejalan dengan usaha menjaga stabilitas ekonomi dan stabilitas keuangan akibat Covid-19 ditengah penerapan digitalisasi perekonomian di seluruh dunia,” katanya saat membuka Webinar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dengan tema Keuangan Berkelanjutan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional, Juni lalu.

Untuk itu, kolaborasi bersifat global perlu dibangun sesuai arah yang disepakati bersama komunitas global, seperti World Bank, IMF, maupun Organization for Identity and Cultural Development (OICD)melalui sejumlah inisiatif yang bersifat global maupun lokal.

 

Darmawan Junaidi, Direktur Utama Bank Mandiri . Foto: Jekson Simanjuntak

 

Apabila kolaborasi secara optimal, harus mengadopsi pola investasi hijau, dimana setiap keputusan yang diambil memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola.

Untuk mendukung implementasi keuangan berkelanjutan, OJK menerbitkan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan untuk lembaga jasa keuangan, emiten, juga perusahaan publik, Juga POJK No.60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan Green Bond.

Sejauh ini, katanya, stakeholder merespons kebijakan OJK dengan baik. Terbukti, implementasi pembiayaan berkelanjutan di delapan bank peserta pilot project (first movers) telah dilanjutkan dengan bergabungnya lima bank lain.

Di saat bersamaan, penyaluran portfolio ‘hijau’ pada perbankan sebesar Rp809.75 triliun. Demikian juga dengan penerbitan green bond PT. Sarana Multi Infrastructure sebesar Rp500 miliar dan peningkatan indeks Sri Kehati dengan dana kelolaan Rp.2.5 triliun.

“Selain itu, ada penerbitan ESG Leader Index oleh bursa efek Indonesia untuk mewadahi permintaan yang tinggi atas reksadana dan ITF yang bertema ESG.”

OJK juga mengeluarkan instentif mendukung kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) melalui pengecualian pemenuhan aturan rasio batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dalam proyek produksi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.

Juga memberikan keringanan perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), dan penilaian kualitas kredit dalam pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai oleh konsumen.

Apa kata perbankan? Darmawan Junaidi, Direktur Utama Bank Mandiri mengatakan, akan mendanai perusahaan yang melakukan inisiatif ramah lingkungan. Misal, pabrik yang memiliki kemampuan menangkap kembali panas (heat) yang seharusnya dibuang ke lingkungan, melalui proses yang dikenal sebagai waste heat repowering generator (WHRPG).

Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan membiayai industri batubara kala harga sedang naik, meskipun secara keekonomian dinilai lebih murah dibandingkan minyak bumi.

Kalau industri ingin patuh perlu penyesuaian, terutama dari sisi perlengkapan. “Atau mungkin pabrik sudah bisa pakai tidak lagi langsung batubara, tetapi gasifikasi batubara,” katanya pada acara CEO Talk Bank Mandiri, 18 Oktober lalu.

Ketika pertambangan batubara mengarah ke proses lebih ‘hijau’, ditandai dengan partikel debu berkurang, yang digunakan sebagai energi adalah gasnya. “Nah, proses-proses ini tidak bisa tanpa teknologi. Teknologi baru yang membuat tercipta energi baru.”

Darmawan bilang, penting perencanaan, baik secara operasional maupun finansial yang berkaitan dengan investasi. “Jika peralatan di pabrik diubah, otomatis beberapa bagian dari peralatan harus replacement. Tentu ini membutuhkan biaya,” katanya.

“Dari sisi perbankan, mungkin perlu uang untuk memberikan pembiayaan dan untuk kredit,”

BNI pun masih akan menyalurkan kredit ke proyek PLTU. Secara selektif dan terbuka BNI akan membiayai pembangkit listrik berbasis batubara yang menerapkan teknologi ultra super critical (USC) yang diklaim ramah lingkungan.

Saat ini, BNI memiliki pipeline sindikasi untuk pembiayaan proyek PLTU berbasis teknologi USC. Teknologi USC mulai diterapkan karena membuat pembakaran lebih efisien, dimana material dikonversi dengan panas dan tekanan lebih tinggi. Hasilnya, CO2 dan emisi gas lain akan berkurang.

 

Harus lebih progresif

Trend Asia menyesalkan laporan tahunan sejumlah bank lokal yang menyebut mematuhi peraturan OJK dan mengikuti kerangka framework sebagai lembaga keuangan berkelanjutan. Hal itu terjadi akibat aturan yang tidak spesifik mensyaratkan penghentian pembiayaan terhadap energi batu bara.

“Jadi di OJK masih agak loose peraturannya. Hingga muncul semacam tipuan pemasaran atau bangun citra palsu dari pembiayaan hijau, tetapi di saat bersamaan mendanai PLTU,” katanya.

Itu sebabnya, Andri bersama koalisi Bersihkan Indonesia mendorong OJK untuk menerbitkan aturan yang lebih ketat terkait energi batubara.

“PLTU seharusnya tidak boleh dibiayai dengan alasan pendanaan berwawasan lingkungan. Jika berwawasan lingkungan yang harus dibiayai seharusnya instalasi energi terbarukan. Kategorisasinya harusnya lebih jelas,” katanya.

Kalau melihat pola, Andri menilai, bank-bank lokal tidak langsung melanggar peraturan OJK. Hanya, kalau mengikuti tren global, bank-bank lokal seharusnya tidak lagi membiayai energi kotor batubara.

“Hingga tidak bisa mengatakan ini tidak sesuai aturan, jika aturannya masih memungkinkan untuk itu.”

Pentingnya aturan OJK lebih progresif diamini Sisilia. Menurut dia, aturan soal produk keuangan berkelanjutan harus dipatuhi oleh bank-bank lokal, meskipun skemanya bersifat sukarela.

“Ke depan keuangan berkelanjutan harus menjadi kewajiban,” katanya.

Saat ini, green taksonomi OJK sudah berlaku pada industri sawit. Misal, pendanaan untuk sawit mendapat sertifikasi ISPO dianggap sustainable dan terhitung sebagai pendanaan hijau, meski nature dari industri ini adalah ekstraktif.

“Saya berharap, OJK tidak menerapkan hal serupa terhadap industri energi fosil. Karena tidak ada batubara yang bersih. Emisi dari energi fosil tetap tinggi dibandingkan dengan energi terbarukan,” kata Sisilia.

Bank-bank lokal yang memberikan pinjaman terhadap proyek energi kotor, dipastikan bertolak belakang dengan ekonomi hijau. Pola-pola seperti itu, kata Andri, bukanlah green financing namun greenwashing atau berdiri di dua kaki. Di satu sisi membiayai proyek energi bersih, dan di waktu bersamaan mendukung PLTU batubara.

“Itu ibaratnya mencuci nama baik. Mereka melakukan sesuatu yang jelek, tetapi pada saat yang sama melakukan hal baik. Sebenarnya gak related tetapi dianggap bahwa ini dalihnya,” katanya.

Setuju dengan Andri, Sisilia juga menilai potensi penyalahgunaan yang mengarah pada greenwashing sangat mungkin terjadi. “Maka dari itu, kita perlu dorong transparansi dunia perbankan.”

 

Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

Selain pemberian label hijau pada pinjaman yang memenuhi standar ESG, bank juga perlu transparan terhadap pendanaannya. Inisiatif untuk mendorong ini dilakukan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosure.

“Bank yang punya komitmen keuangan berkelanjutan perlu tunjukan juga pendanaan mereka yang dapat memperparah krisis iklim,” katanya.

Greenwashing merupakan distraksi, saat sejumlah bank lokal menutupi praktek kotornya dengan atribut hijau. Akibatnya, tidak ada perubahan mendasar. “Greenwashing merupakan pembohongan publik, konsumen, nasabah yang sebetulnya mulai peduli kepada lingkungan hidup,” kata Sisilia.

 

***

Publik, kata Andri, berhak tahu tentang dana yang mereka titipkan di bank-bank lokal. Jangan sampai bank malah membiayai proyek-proyek yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Sebagai nasabah, Sisilia menolak keras jika dananya untuk membiayai energi batubara. Karena itu, dia meminta bank-bank lokal yang menerapkan green finance segera menyusun peta jalan (roadmap) yang jelas agar sejalan dengan Perjanjian Paris.

Sisilia lalu merujuk langkah taktis sesuai rekomendasi Reclaim Finance agar tagline pembiayaan berkelanjutan tidak dipandang sebagai jargon. Hal yang harus dilakukan, seperti; mengakhiri semua dukungan untuk proyek batubara, mengecualikan perusahaan yang mengembangkan proyek batubara baru, mengecualikan perusahaan dengan eksposur tinggi terhadap batubara dan mengecualikan perusahaan batubara terbesar.

“Serta harus mengadopsi strategi keluar yang kuat untuk mendukung penutupan aset batubara yang ada.”

Selaku anak muda, Naifah, dari Fossil Free Universitas Indonesia (FF UI) juga mengeluhkan hal serupa. Dia berharap BNI hanya terlibat dalam pembiayaan berkelanjutan sebagaimana terangkum dalam BNI Enviromental, Social, Govermance (ESG).

Dia tidak rela kalau dana yang ia simpan untuk industri kotor batubara. Menurut dia, masa depan tanpa krisis iklim harus terwujud. “Kita ingin BNI korporatif dan tetap menyediakan masa depan buat kita selagi memakai jasa mereka.”

Ginanjar juga mendesak BNI tidak lagi mendanai energi batubara. Menurut dia, gerakan anak muda di Indonesia sudah sangat besar dan mereka menyadari dampak buruk energi fosil terhadap krisis iklim. Mereka juga akan terus menekan bank-bank lokal agar memperhatikan lingkungan.

“Baru-baru ini anak muda tersadar jika industri batubara sangat ditunjang oleh perbankan, karena itu sebagai nasabah, kami tidak ingin BNI mendanai energi fosil,” tegas mahasiswa angkatan 17 itu.

 

 

*Komunitas Fossil Free Kampus Indonesia melayangkan petisi ke Direktur Utama BNI untuk segera menghentikan pendanaan ke proyek batu bara. Ikut dukung petisi ini, sila tandatangani petisi di change.org/GaPakeNanti

 

 

*Jekson Simanjuntak adalah jurnalis dari Beritalingkungan.com. Liputan ini merupakan karya fellowship “Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor BatuBara” oleh Mongabay Indonesia dan 350.Org.

 

******

Foto utama: Batubara dari Kalimantan Timur, diangkut pakai tongkang untuk terdistribusi antara lain ke pembangkit listrik di Pulau Jawa. Foto: Tommy Apriando

Exit mobile version