Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Transisi Energi Masih Setengah Hati?

Pembangkit surya, salah satu sumber energi potensial dikembangkan di Indonesia. Foto: IESR

 

 

 

 

Presiden Joko Widodo Mei lalu menyatakan akan setop pembangunan PLTU baru setelah program 35 gigawatt rampung. Presiden juga meminta percepatan pengembangan energi terbarukan. Tahun ini, Indonesia juga mengumumkan target dekarbonisasi 2060.

“Ini langkah penting, pemerintah akhirnya setuju untuk transisi energi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essensial Services Reform (IESR).

Saat COP 26 di Glasgow, pemerintah juga umumkan soal pensiun PLTU dan peluang menggantikan dengan energi terbarukan.

“Bagaimana ini diterjemahkan? Bagaimana implementasinya?” katanya dalam peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 beberapa waktu lalu. IETO adalah laporan tahunan IESR.

Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dinilai belum cukup ambisius menjaga bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Untuk mencapai target Paris Agreement sektor energi, emisi harus mencapai puncak pada 2025 dan nol emisi pada 2050.

Untuk itu, pada 2030 Indonesia harus mencapai bauran energi 47% dengan 140 gigawatt energi terbarukan, termasuk 108 gigawatt energi matahari. Indonesia, mestinya tak lagi membangun PLTU baru dan pensiunkan PLTU yang sudah lewat 15 tahun. Di sektor transportasi, perlu 110 juta kendaraan motor listrik, 3 juta mobil listrik dan 24 juta bus listrik. Penggunaan biofuel mestinya bisa 30 juta kiloliter.

Pada 2021, sejumlah kebijakan muncul untuk mendukung target dekarbonisasi. Pertama, dokumen rencana dekarbonisasi yang disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan target nol emisi Indonesia 2060. Sayangnya, kata Fabby, masih mengandalkan energi fosil dan carbon capture.

Kedua, pemerintah juga mengeluarkan RUPTL 2021-2030 yang diklaim lebih hijau karena memberikan porsi 51%, atau sekitar 21 gigawatt (4,7 gigawatt energi surya) untuk energi terbarukan, dengan target energi terbarukan 25% pada 2030.

Ketiga, phase out PLTU yang dimulai dengan tak ada pembangunan PLTU baru setelah 2028, pensiun PLTU tua, di atas 30 tahun, dan pensiun dini 9,3 gigawatt PLTU. Keempat, penetapan pajak karbon US$2 per ton CO2 mulai 1 April 2022.

Kelima, perbaikan regulasi energi surya yang memungkinkan pengguna PLTS atap untuk mengirimkan produksi listrik sepenuhnya kepada PLN (perbandingan 1:1) dan perpanjangan akumulasi produksi listrik dari tiga bulan jadi enam bulan. Kebijakan ini, katanya, juga membuka potensi jual beli karbon.

 

Baca juga: Generasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

Polusi udara dari sebuah pembangkit listrik bertenaga batubara. Foto : shutterstock

 

Menurut IESR, Indonesia masih enggan lepas sepenuhnya dari batubara. Penambahan energi terbarukan lima tahun terakhir kurang dari 400 megawatt dengan total kapasitas hanya 10,9 gigawatt.

Sementara itu, 300 megawatt PLTU mulai beroperasi dalam periode ini dan akan bertambah 4 gigawatt pada 2022. Porsi PLTU juga masih 65%. Investasi energi terbarukan masih di bawah US$2 miliar.

Mengapa? Laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) menyebut, karena iklim investasi energi terbarukan tak menarik, terutama mengurus izin dan bunga yang masih tinggi.

Bankability yang rendah karena tarif energi terbarukan rendah dan PPA energi terbarukan dianggap jadi sandungan.

Selain itu, juga terus tertunda beberapa regulasi penting seperti Rancangan Undang-undang Energi Terbarukan dan Perpres Tarif Energi Terbarukan bikin investor merasa tak ada kepastian regulasi.

“Pilihan-pilihan strategis yang diputuskan saat ini akan mempengaruhi sistem ketenagalistrikan beberapa puluh tahun ke depan dan uang yang dikeluarkan pemerintah, dan masyarakat sebagai konsumen listrik,” kata Julius Christian Adiatma, peneliti IESR.

Memang ada beberapa rencana menutup PLTU, namun dinilai tak cukup memenuhi target Kesepakatan Paris. Dalam dokumen-dokumen target karbon netral 2060 dinyatakan tak ada PLTU baru setelah 2028 dan pensiun PLTU berumur lebih 30 tahun mulai 2030, juga pensiun dini 9,2 gigawatt PLTU.

Ada rencana penambahan energi terbarukan 21 gigawatt hingga 2030, katanya, tetapi yang dibutuhkan 130 gigawatt. Ada pula beberapa strategi mengurangi emisi termasuk co firing, dediselisasi, rencana pembangkit nuklir dan carbon capture.

“Pemerintah belum rela melepaskan diri dari batubara dengan membuat demand baru dengan hilirisasi,” katanya.

Masalahnya, kata Julius, co firing lebih mahal dan dampak terbatas. Carbon capture storage (CCS) juga lebih mahal (80/mwh) dari energi surya bahkan kalau ditambah baterai (40/mwh) pada 2040.

PLTS yang diandalkan pun pertumbuhan stagnan, hanya PLTS atap yang meningkat. Solar PV tumbuh hanya 18 mw sebagian besar PLTS atap dengan total kapasitas 176 megawatt, 39 megawatt antara lain, PLTS atap. Total PLTS atap rumah tangga mencapai 10,5 megawatt, sedang potensi ada 6,5 gigawatt untuk Jawa Bali.

PLTS, kata Julius, sangat menjanjikan di masa depan terlebih sudah ada rencana penambahan 4,7 gigawatt hingga 2030 sesuai RUPTL terbaru. Yang terpopuler, adalah PLTS terapung, tercatat 700 megawatt dalam dokumen sama. Lahan bekas tambang juga jadi alternatif lokasi untuk PLTS. Dalam RUPTL tercatat 430 megawatt proyek yang diusulkan.

Tantangannya, industri modul PLTS belum siap menangkap potensi ini. Harga impor masih lebih murah dan memenuhi syarat regulasi.

Bagaimana dengan baterai? Teknologi baterai masih terbatas untuk sistem off grid. Baterai kecil hingga 1 kWh bisa dipakai untuk rumah tangga di daerah terpencil. Baterai 1,8 GWh untuk program dediselisasi. Untuk ekspor, PLTS menggunakan baterai 12 GWh.

Hal itu, katanya, bisa diakali dengan pumped hydroelectrical energy storage (PHES) yang lebih murah dan menyalurkan lebih banyak energi dibanding baterai. Ada 4,2 gigawatt dalam RUPTL, satu gigawatt diharapkan dapat beroperasi pada 2025. Potensi PHES ada 7,3 TWh.

Sisi lain, kendaraan listrik masih terbatas dan bahan bakar terbarukan masih didominasi biodiesel. Opsi lain, belum mendapat dukungan padahal biodiesel dari sawit punya masalah keberlanjutan dan risiko kenaikan harga.

 

Baca juga: Menguji Keseriusan Indonesia Lepas Energi Batubara Beralih ke Terbarukan

Seorang warga melintas di depan Kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Kayubihi di Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Provinsi siap transisi energi?

Ada kabar baik, beberapa provinsi siap melaksanakan transisi energi. Ada 22 provinsi sudah punya rencana umum energi daerah (RUED) dan punya kebijakan sendiri. Jakarta, misal, sudah targetkan nol emisi 2050 dan mengalokasikan APBD untuk PLTS atap di gedung pemerintah, memberi insentif green building dan pengadaan bus listrik.

Jawa Tengah, punya inisiatif solar province yang mengalokasikan PLTS atap sebagai bagian program pemulihan pandemi COVID-19.

Di Bali, ada Bali Clean Energy juga menggunakan PLTS atap untuk peta jalan 53% energi terbarukan pada 2045. Jambi, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat juga akan menerbitkan aturan untuk adopsi PLTS atap.

Untuk mencapai target energi terbarukan, perlu investasi US$20-25 juta per tahun, karena itu perlu ada investor.

Untuk meningkatkan iklim investasi, katanya, langkah krusial yang bisa dilakukan untuk menambah 10 gigawatt pada 2025. Perpres soal tarif energi terbarukan, regulasi soal konservasi energi dan RUU Energi Terbarukan, katanya, mesti diikuti lelang rutin yang transparan, memperlancar urusan izin, akses pendanaan bunga rendah dan meningkatkan bankability proyek terbarukan.

“Sebetulnya risiko sama saja antara fossil fuel dan energi terbarukan. Namun bank belum terbiasa dengan assessment energi terbarukan. Perlu bantuan pemerintah dan swasta untuk support di situ,” kata Julius.

Pensiun dini PLTU juga penting untuk transisi energi guna membuka lebih banyak ruang bagi akselerasi energi terbarukan.

Dia bilang, ada 9,2 gigawatt PLTU akan pensiun dini melalui mekanisme energy transition mechanism (ETM), 5 gigawatt proyek belum konstruksi dan 7 gigawatt PLTU lebih 30 tahun pada 2030.

Satu gigawatt PLTU yang pensiun atau dibatalkan bisa membuka ruang untuk 4 gigawatt PLTS. Sebesar 1,8 gigawatt pilot project yang akan pensiun dini, katanya, akan jadi langkah penting.

“Indonesia harus menangkap kesempatan saat teknologi dan biaya baterai makin turun. Indonesia punya potensi yang bisa memenuhi kebutuhan dekarbonisasi energi pada 2050,” kata Handriyanti Diah Puspitarini, penulis laporan ini.

 

Sawit, sebagai bahan baku biodiesel utama di Indonesia. Kalau hanya andalkan sawit ada kekhawatiran, perluasan lahan sampai soal fluktuasi harga dan lain-lain. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Kesiapan sistem kelistrikan

Masalahnya, apakah Indonesia punya infrastruktur yang siap menerima energi terbarukan? Siapkah sistem kelistrikan Indonesia berganti ke energi terbarukan? Secara politik dan kebijakan, kata Yanti, Indonesia belum memadai.

Dokumen baik NDC, long-term strategy for low carbon and climate resilience 2050 (LTS), kebijakan energi nasional (KEN) dan rencana umum energi nasional (RUEN), katanya, hanya menggiring Indonesia punya bauran energi 15% pada 2025 dan 23% dalam 2030.

Pandanaan publik untuk energi bersih juga minim. Pada kuartal ke tiga 2021, hingga September, bauran energi terbarukan masih 11%, dan batubara 66%.

Rencana kelistrikan ini, kata Yanti, perlu regulasi stabil, transparan, konsisten dan jangka panjang. Termasuk, dukungan regulasi soal kualitas udara, efisiensi energi, elekstrifikasi daerah terpencil, green building dan RUED.

“Kebijakan saat ini tak mendukung investasi di energi terbarukan. Investor masih melihat risiko besar untuk proyek energi terarukan dan kesulitan memasuki pasar Indonesia. Ada peningkatan untuk kebijakan energi terbarukan tahun ini, tapi itu tak cukup.”

Fabby bilang, pemerintah tak semestinya menganggap pendanaan energi terbarukan sebagai beban, namun kesempatan dan strategi mengalihkan investasi dari fosil ke energi terbarukan. Pemerintah, katanya, bisa gunakan APBN untuk pemetaan sumber daya energi terbarukan, riset teknologi, dan mengadakan pilot project untuk proyek baru energi terbarukan yang belum dikembangkan seperti energi arus laut.

“Serta menyediakan instrumen derisking untuk menarik investasi.”

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

PLTU batubara Pangkalan Susu, Langkat, Sumut. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Transisi yang adil

Dengan kondisi batubara masih mendominasi dalam sistem kelistrikan Indonesia menimbulkan pertanyaan untuk keadilan transisi energi. Lima tahun terakhir produksi batubara selalu di atas target, 400 juta ton. Keadaan ini bertentangan dengan tren global yang konsumsi batubara stagnan bahkan cenderung menurun.

Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), mengutip COP di Cancun 2010 mengatakan, langkah menuju ekonomi rendah karbon harus adil, berkelanjutan dan legitimate di mata warga.

Belajar dari Uni Eropa, kata Pius, mekanisme transisi adil mesti menyediakan dukungan keuangan ke wilayah dan sektor ekonomi yang bergantung pada bahan bakar fosil yang terdampak transisi.

Mekanisme transisi ini, katanya, harus menyeimbangkan antara social justice dan socio technical. Social justice meliputi perlindungan terhadap hak pekerja, meciptakan lapangan pekerjaan untuk ekonomi hijau, dan menyediakan peluang reskilling bagi pekerja.

Sementara aspek sociotechnical berkaitan dengan investasi di teknologi produksi, transportasi, energi terbarukan, dan digitalisasi yang bersahabat dengan alam dan karbon netral.

Dalam studi AEER di PLTU Pangkalan Susu, Sumatera Utara, memang beri kesempatan kerja bagi 1.200 orang, termasuk dari Desa Pintu Air dan Desa Pulau Sembilan, serta ada bantuan akses air minum dan kemanusiaan. Meskipun begitu, juga ada dampak buruk berupa perubahan lingkungan seperti debu PLTU, mencemari laut dan ikan makin menjauh dari perairan desa.

Di Desa Pintu Air, yang masuk ring satu PLTU, jadi prioritas penerimaan pegawai kerja. Ada sekitar 70-80 orang bekerja di PLTU. Mereka juga menerima bantuan sumur bor. Mayoritas warga lain bekerja sebagai petani.

PLTU dengan kapasitas 2×210 megawatt yang beroperasi sejak 2019 ini berdampak terhadap pertanian dan tambak warga. Lahan pertanian, katanya, alami kekeringan karena sistem irigasi hanya mengandalkan air hujan dan air parit, hingga panen menurun.

Budidaya kepiting dan udang tambak mulai tercemar limbah. Nelayan pun harus mencari ikan lebih jauh.

“Padahal, dua potensi ini bisa dikembangkan sebagai mata pencaharian selain juga wisata Pantai Jigo,” kata Pius.

Tak jauh beda, di Desa Pulau Sembilan, juga masuk ring 1 PLTU, ada 50-60 orang bekerja di PLTU. Mereka dapat bantuan akses listrik dari PLTU dengan kabel bawah laut 750 meter. Juga ada bantuan akses air bersih, gerobak untuk berjualan dan bantuan kemanusiaan lain.

Namun, katanya, area ini jadi tempat bersandar kapal penarik tongkang yang membuat ikan keramba mati. Di wilayah ini, lahan pertanian kena hama tikus, ikan mulai menjauh karena limbah batubara.

Di Desa Pulai Kampai, ring 2, tak ada warga yang bekerja di PLTU, dan tak ada akses listrik. Di desa ini, kata Pius, pertanian mulai rusak karena masuk air asin dalam sistem irigasi. Sistem perikanan masih bagus, dan budidaya keramba berhasil baik bahkan, kepiting dari desa ini masuk kualitas ekspor.

Perempuan di desa ini terus berinovasi mengembangkan industri rumah tangga dengan membuat terasi udang.

Di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan, katanya, tambang batubara dan nikel mengubah mata pencaharian warga dan mempersempit ruang hidup. Di Kaltim, kata Pradama Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim, sampai 2020 ada 167 perpanjangan izin tambang batubara.

Riset Jatam menemukan, masyarakat di sekitar Sungai Santan yang semula sejahtera mengandalkan hasil bumi seperti kelapa, pala dan ikan di perairan dekat.

“Semua berubah sejak 2000-an saat PT Indo Minco Mandiri masuk,” katanya.

Saham perusahaan batubara ini sebagian besar milik kerajaan Thailand, sisanya 1,16% BUMN, dan Badan Penyelenggara Jasa Kesehatan (BPJS).

Ironis, kata Rupang, karena BPJS yang menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Masyarakat di tiga desa, Santan Hulu, Hilir dan Tengah jadikan sungai ini sebagi urat nadi kehidupan terutama untuk kegiatan ekonomi dan transportasi. Aktivitas perusahaan berkontribusi terhadap pencemaran sungai yang mengganggu ekosistem sungai seperti ikan dan buaya.

Catatan Jatam, setidaknya ada 11 warga desa meninggal diterkam buaya karena habitat terus bergeser ke hulu. Banjir pun membuat desa ini selalu jadi desa siaga.

Masyarakat juga mulai sulir dapat kerang, dan udang galah yang jadi sumber pendapatan nelayan. Tak heran, katanya, banyak nelayan berganti profesi.

Di Santan Hilir, butiran batubara jamak dijumpai di bibir pantai. Nelayan pun sulit menjala ikan dan harus pindah wilayah tangkap yang lebih jauh. Kondisi ini, praktis membuat ongkos produksi membengkak.

Di wilayah yang mengandalkan rumput laut sebagai penghasilan utama, produktivitas juga menurun sejak ada PLTU.

“Sistem ekonomi yang dibangun puluhan tahun lalu rontok dan tak ada solusi dari pemerintah. Masyarakat ditarik kerja di PLTU, saat pandemi mereka di-non aktifkan dan tak punya ekonomi alternatif,” kata Rupang.

 

******

Foto utama: Pembangkit surya, salah satu sumber energi potensial dikembangkan di Indonesia. Foto: IESR

Exit mobile version