Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun : Biosekuriti, Kunci Menjaga Lalu lintas Perikanan

Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penerapan sistem biosekuriti yang ketat pada produksi perikanan di Indonesia menjamin kualitas produk menjadi lebih bagus dibandingkan dengan cara konvensional. Penerapan tersebut berlaku untuk semua jenis produk perikanan yang akan diekspor ke negara tujuan ataupun dipasarkan di dalam negeri.

Sistem biosekuriti yang bagus, akan memastikan tingkat pengawasan selama proses produksi berjalan dengan sangat ketat. Seluruh unit pengolahan ikan (UPI) yang ada di Indonesia diwajibkan untuk menerapkan sistem tersebut.

Sayangnya, dari 521 UPI yang ada sekarang, sebanyak 35 UPI harus mendapatkan sanksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hukuman diberikan, karena ada pelanggaran administrasi dan juga ketidakmampuan mencapai kualitas produksi yang ditetapkan untuk standar ekspor.

Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Rina menjelaskan, permasalahan yang menyebabkan sejumlah UPI ditangguhkan perizinan untuk melaksanakan ekspor, harus menjadi pelajaran bagi seluruh perusahaan.

Dari 35 UPI tersebut, saat ini sudah ada sebanyak 10 UPI yang sudah mendapatkan kembali perizinan untuk melakukan ekspor. Selain itu, ada juga sejumlah perusahaan yang saat ini sedang memproses kembali perizinan untuk bisa melaksanakan ekspor kembali.

Khusus berkaitan dengan kualitas produk perikanan yang menjadi penyebab diberikan sanksi, adalah karena produk tersebut tidak memenuhi kualitas yang ditentukan setiap negara tujuan. Namun demikian, dari 58 produk konsinyasi dari Indonesia, seluruhnya tidak ada yang dihancurkan.

“Semuanya dikembalikan ke Indonesia. Sebanyak 98 persen dari produk yang dikembalikan, adalah produk (perikanan) beku,” jelas Rina, dalam konferensi pers akhir tahun KKP, Kamis (16/12/2021) di Jakarta.

baca : Catatan Akhir Tahun : Era Baru Pengelolaan Perikanan Tangkap Dimulai pada 2022

 

Kepala BKIPM KKP Rina (tengah) menjelaskan tentang kinerja karantina dan mutu perikanan usai konferensi pers akhir tahun 2021. Foto : KKP

 

Walau ada produk perikanan yang ditolak masuk ke negara tujuan ekspor, namun secara keseluruhan produk dari Indonesia masih banyak diminati oleh negara tujuan ekspor. Dari 195 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), produk Indonesia sudah diterima oleh 171 negara.

Capaian itu bisa terjadi, tidak bisa dilepaskan dari salah satu layanan unggulan KKP, yakni sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Berkat sistem tersebut, produk kelautan dan perikanan dari Indonesia semakin luas menjangkau pasar dunia.

Rina mengaku bangga atas apa yang sudah dicapai tersebut. Namun, dia memastikan bahwa kebanggaan itu tak akan menghentikan tujuan Pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan, agar bisa semakin diterima di banyak negara dunia.

“Produk kita hampir diterima di semua negara di dunia sehingga menggairahkan perekonomian perikanan domestik,” ujar Rina saat memaparkan Refleksi 2021 dan Proyeksi 2022 Kinerja BKIPM.

Bukti bahwa produk semakin banyak diterima di negara lain, saat ini semakin banyak UPI yang sudah terdaftar di negara tujuan ekspor yang menjadi mitra dagang Indonesia. Dengan 521 UPI yang dimiliki Indonesia, saat ini total sudah 3.203 UPI dan unit usaha pembudidayaan ikan (UUPI) yang sudah terdaftar di berbagai negara.

Angka 3.203 menunjukkan bahwa hampir semua UPI yang dimiliki Indonesia sudah bisa diterima. Termasuk, 343 UPI dan UUPI yang sudah resmi terdaftar sebagai mitra ekspor ke Arab Saudi, Vietnam, Kanada, dan Cina pada 2021.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa keseriusan Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan bukan hanya omong kosong. Meskipun, tak bisa dipungkiri kalau masih ada UPI yang belum bisa memenuhi standar kualitas produk yang diinginkan setiap negara tujuan ekspor.

Lebih detail, Rina mengatakan bahwa upaya untuk menjaga kualitas produk menjadi bagian dari pengawasan dan pengendalian terhadap keamanan dan mutu pangan produk perikanan. Tugas tersebut menjadi bagian utama yang sedang dilaksanakan oleh BKIPM KKP.

baca juga : Catatan Akhir Tahun : Pemerintah Jangan Fokus pada Satu Persoalan Kelautan dan Perikanan Saja

 

Proses pengolahan ikan tuna untuk diekspor ke luar negeri di unit pengolahan ikan di Morotai, Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Hama dan Penyakit Perikanan

Tugas lain yang juga menjadi mandat BKIPM, adalah bagaimana melaksanakan sistem pencegahan masuk, keluar dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari suatu area ke area lain, dikeluarkan dari Indonesia dan/atau masuk ke Indonesia.

Selain melaksanakan kegiatan pengawasan ekspor, sepanjang 2021 juga dilakukan pengawasan untuk pelayanan sertifikasi impor. Dari sepuluh komoditas utama yang masuk ke Indonesia, tepung ikan tercatat sebagai komoditas yang paling besar volumenya.

Posisi kedua, diikuti dengan impor bahan baku pakan. Menurut Rina, kedua komoditas tersebut masih tinggi volumenya, karena dibutuhkan untuk bahan baku pembuatan pakan ikan di dalam negeri untuk kebutuhan industri.

Kebutuhan komoditas impor tersebut, rerata didatangkan dari negara importir seperti Cina, Amerika Serikat, Korea Selatan, Norwegia, Jepang, Seychelles, Thailand, Belanda, Cile, dan Argentina. Negara-negara tersebut selain mendatangkan dua komoditas teratas, juga mendatangkan komoditas lain seperti makarel, cakalang, dan tepung cumi.

Untuk komoditas ekspor dari Indonesia, sepuluh besar masih dikuasai oleh udang vaname, tuna, cumi-cumi, rajungan, rumput laut, cakalang, kepiting, udang windu, layur, dan gurita. Seluruh komoditas tersebut dikirim ke AS, Cina, Jepang, Malaysia, Thailand, Taiwan, Vietnam, Singapura, Italia, dan Hong Kong.

perlu dibaca : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Seorang istri nelayan  tengah menjemur udang rebon yang baru didapatkan dari perairan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di luar capaian positif yang sudah berhasil diraih sepanjang 2021, ada capaian minor yang patut untuk diperhatikan dengan baik oleh KKP. Catatan tersebut, adalah karena masih adanya kasus pelanggaran hayati dan karantina ikan di wilayah-wilayah perbatasan Negara.

Dari semua kasus pelanggaran, tercatat upaya penyelundupan Lobster masih tetap menjadi yang paling banyak terjadi sepanjang 2021. Berdasarkan data yang dirilis BKIPM, sebanyak 4.757.806 ekor Lobster berhasil digagalkan untuk diselundupkan ke negara tujuan utama, Vietnam.

Walau nilai kerugian Negara dari pelanggaran tersebut mencapai angka Rp190 miliar dan berhasil diselamatkan, namun itu dinilai menjadi catatan yang harus diperbaiki di tahun mendatang. Terlebih, karena modus operandi yang dipakai para pelaku penyelundupan juga terus berubah.

Jika sebelum 2020 modus penyelundupan dilakukan melalui jalur udara dengan menggunakan pesawat terbang dari kota-kota besar, namun itu mulai berubah setelah pandemi COVID-19 berlangsung di Indonesia dan banyak rute penerbangan berhenti.

Di saat yang sama, pembangunan jalan tol di pulau Sumatera juga berlangsung sangat cepat. Hal tersebut dinilai memberi keuntungan kepada para pelaku penyelundupan, karena pulau tersebut adalah pulau paling dekat untuk mencapai negara tujuan utama penyelundupan, Vietnam.

Dengan menggunakan jalan tol, aksi penyelundupan menjadi semakin mudah untuk dilakukan. Meskipun, pengamanan di jalur perbatasan Negara juga terus ditingkatkan oleh BKIPM bersama aparat keamanan seperti Polri, TNI, dan juga yang lainnya.

Selain jalan tol, upaya penyelundupan semakin sulit dihentikan karena dipengaruhi oleh keberadaan pelabuhan tangkahan. Pelabuhan tersebut biasanya dikelola oleh perseorangan dan di dalamnya ada aktivitas pendaratan hasil tangkapan ikan.

Rina mengakui kalau semua fakta tersebut menjadi tantangan harus dihadapi oleh timnya di lapangan, meski dengan segala keterbatasan yang ada, terutama personel lapangan yang disebutnya sangat minim.

perlu dibaca : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat

 

Benih bening lobster (BBL) dari barang bukti penyelundupan yang digagalkan Kepolisian Resor Tanjung Jabung Timur, Jambi, pada Januari 2021. Foto : KKP

 

Menghadapi 2022 yang sudah di depan mata, upaya penerapan ekonomi biru juga dilakukan dari kinerja karantina dan mutu ikan. Subsektor yang menjadi target utama penerapan prinsip tersebut, adalah perikanan tangkap dan perikanan budi daya.

Produk kelautan dan perikanan yang dihasilkan dari kedua subsektor tersebut, harus bisa melewati proses agar bisa dikirim untuk ekspor. Untuk itu, sistem jaminan mutu hasil perikanan hulu-hilir akan diberlakukan untuk produk-produk tersebut.

Tujuan akhir dari proses tersebut, adalah penerbitan sertifikat jaminan mutu hasil perikanan yang akan diberikan kepada produk yang berhasil lolos melewatinya. Cara tersebut diharapkan bisa mengontrol dan mengendalikan setiap produk kelautan dan perikanan yang akan keluar dari Indonesia.

 

Stop Penyelundupan!

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi memberikan pandangannya tentang kinerja karantina ikan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan (KIPM). Menurut dia, catatan yang harus diperhatikan oleh KKP, adalah bagaimana aksi penyelundupan ikan bisa dihentikan.

Walaupun kasus penyelundupan sudah banyak yang berhasil digagalkan, namun Dedi meyakini bahwa ada yang berhasil lolos dan jumlahnya tidak sedikit. Untuk itu, perlu upaya ekstra dari KKP untuk melakukan pengawasan lalu lintas pengiriman produk perikanan ke luar negeri dengan sangat ketat.

“Yang masih menjadi problem adalah masih banyak ikan yang lari ke luar (negeri) tidak melewati karantina,” jelasnya saat dihubungi Mongabay, Senin (27/12/2021).

Contoh kasus yang masih belum bisa diatasi, adalah aksi penyelundupan lobster dan benih bening lobster (BBL). Walau setiap tahun ditingkatkan pengawasannya, namun selalu saja ada yang berupaya melakukan penyelundupan.

Dedi menilai, masih maraknya upaya penyelundupan, bisa dihentikan jika ada itikad baik dari semua pihak terkait, utamanya di internal KKP yang menjadi tantangan tersendiri. Tantangan tersebut hanya bisa dihadapi oleh internal saja.

“Indonesia itu problemnya adalah kelembagaan, ada ego sektoral di dalamnya. Saya minta hilangkan ego sektoral, ini adalah tantangan yang harus dilewati. Selain itu, juga diperlukan sinergitas antar lembaga untuk bisa menjaga wilayah kelautan,” tegas dia.

baca juga : Menyelamatkan Benih Lobster dari Eksploitasi Eksportir

 

Seorang nelayan menunjukkan lobster jenis mutiara hasil tangkapannya di perairan Laut Jawa, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tentang UPI yang belum menerapkan standar kualitas sesuai syarat dari negara tujuan ekspor, itu juga menjadi persoalan yang harus diselesaikan oleh KKP. Walau jumlahnya tidak banyak, namun UPI yang tidak bisa menjaga kualitas produksi, dinilai akan mengganggu kinerja ekspor secara keseluruhan.

Dedi Mulyadi menerangkan, tanpa ada perbaikan, maka UPI akan terus seperti itu dan akhirnya berimbas pada kepercayaan negara tujuan ekspor serta pasar perikanan internasional kepada Indonesia. Bukan tidak mungkin, akan ada negara yang tidak mau lagi mengimpor produk perikanan dari Indonesia.

“Kepercayaan itu penting. Ketika itu terganggu, maka tidak akan ada produk perikanan yang bisa dipasarkan lagi. Pemerintah harus tegas, kalau tidak memenuhi standar baku mutu, maka tutup saja izinnya,” ungkap dia.

Selain menyoroti proses produksi, Dedi juga menyinggung tentang raihan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan. Sepanjang 2021, PNBP perikanan mencapai raihan tertinggi sepanjang sejarah, dan itu menjelaskan kalau berbagai upaya yang dijalankan sudah berhasil.

Tetapi, dia mengingatkan kepada KKP untuk melaksanakan janji dengan memberikan timbal balik melalui perbaikan layanan perizinan dan juga pembangunan semua hal yang dibutuhkan untuk kemajuan sektor KP.

Selain itu, tidak boleh dilupakan juga adalah bagaimana janji untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan bisa ditunaikan hingga tuntas. Semua itu bisa dilakukan, jika PNBP bisa kembali menjadi anggaran KKP dan diserap dengan baik.

“Nelayan itu problemnya itu rumah. Mereka banyak yang tidak punya rumah dan layak huni. Tidak ada salahnya jika dari PNBP digunakan untuk membangun rumah nelayan. Atau, membangun tempat pelelangan ikan yang selalu kumuh,” pungkas dia.

 

***

 

Keterangan foto utama : Ikan tuna yang ditangkap nelayan di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version