Mongabay.co.id

Geliat Energi Terbarukan di Sulawesi Utara, Bagaimana Pembiayaan Perbankan?

Mahasiswa di Sulawesi Utara tergabung dalam Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Sulut membangun desa energi. Aksi mereka antara lain, dengan memasang panel surya di rumah sawarga. Foto: DEM Sulut

 

 

 

 

Sekumpulan anak muda mengerubuti perangkat solar panel. Mereka mengenakan seragam, ada berkaos oblong, ada juga kemeja lengan panjang merah marun bertuliskan “Dewan Energi Mahasiswa Sulawesi Utara.” Mereka tengah mengutak atik kabel untuk disambungkan ke benda yang bisa menghasilkan listrik itu.

Di bagian lain, para mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Sulawesi Utara ini sedang merangkai kabel dan beberapa peralatan listrik di dalam kotak putih gading (panel listrik). Yang lainn memasang fiting, stop kontak, dan saklar di bagian dalam petak-petak warung.

“Kegiatan ini bagian dari program Desa Energi yang kami (DEM) programkan. Ini juga bagian edukasi kepada masyarakat tentang energi listrik ramah lingkungan dan murah,” kata Erwin Damanik, Ketua Umum DEM Sulawesi Utara.

Di Sulawesi Utara ini, lewat DEM,  anak-anak muda beraksi nyata dorong energi terbarukan, dan meninggalkan penggunaan energi fosil seperti batubara.

Menurut dia, transisi energi yang digaungkan masyarakat dunia, tak terkecuali Pemerintah Indonesia, dari energi fosil ke energi terbarukan harus terimplementasi serius.

Apalagi,  katanya, Indonesia memiliki target pemanfaatan energi terbarukan 23% pada bauran energi nasional dalam 2025. Target ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

“Perubahan iklim sudah sangat terasa beberapa tahun ini harus disikapi serius, dan harus disadari penyebab salah satunya penggunaan bahan bakar fosil,” katanya.

Menurut Erwin, target 23% energi terbarukan pada 2025 seharusnya jadi pegangan Pemerintah Indonesia tak lagi membangun PLTU batubara. Pada 2015,  Indonesia juga menandatangani Kesepakatan Paris 2015 guna membatasi peningkatan suhu hingga 1,5-2 derajat Celsius, antara lain, lewat dari sektor energi.

Sayangnya, di Sulawesi Utara dan Gorontalo—wilayah layanan PT PLN (Persero) Wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo (Suluttenggo)—baru saja selesai bangun PLTU batubara di Desa Kema, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulut dengan kapasitas 2×50 MW. PLTU dengan kapasitas sama (2×50 MW) juga selesai dibangun di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorontalo Utara, Gorontalo.

“Transisi energi disuarakan pemerintah. Tapi itu hanya janji. Lips service. Transisi energi tanpa upaya penghentian pembangunan PLTU batubara, hanya omong kosong!”

PLTU batubara beroperasi 20-25 tahun. “Bagaimana kita akan memenuhi target 23% energi terbarukan di 2025? Tinggal empat tahun, sedangkan pembangkit listrik energi terbarukan hingga 2020 baru mencapai 10.460-an MW. Masih jauh bila dibandingkan target 2025 harus sekitar 45.200-an MW,” ujar Damanik.

Dwi Tamara, dari Climate Rangers Jakarta, berpendapat ada ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam memenuhi janji Kesepakatan Paris. Proyek-proyek PLTU batubara yang terus hadir sepanjang periode sejak Kesepakatan Paris hingga kini membuktikan asumsi  ini.

“Kalau memang pemerintah kita komit, ya, jangan ada lagi pembangunan PLTU, dong. Kenyataannya ada, dan dominan. Tidak mungkin perjanjian operasional hanya lima atau 10 tahun. Artinya, PLTU batubara masih merajai pembangkit listrik di Indonesia untuk belasan sampai puluhan tahun ke depan,” katanya.

 

Mahasiswa yang tergabung dalam DEM Sumut tengah mengerjakan panel surya. Foto: DEM Sumut

 

Menurut dia, target Indonesia nol karbon dengan tak lagi mengoperasikan pembangkit listrik berbahan batubara dan fosil pada 2060 bakal molor. Seharusnya , kata Tamara, Indonesia lebih cepat dari itu kalau pemerintah memiliki komitmen kuat.

 

Andil perbankan dalam pembiayaan batubara

Bangun PLTU batubara perlu investasi, salah satu sumber pembiayaan dari perbankan.  Damanik katakan, kalau serius akan beralih ke energi terbarukan, perbankan terlebih BUMN perlu ikut andil dengan  membatasi bahkan menghentikan pengucuran dana ke sektor batubara.

“Karena kebijakan pemerintah masih melonggarkan pembiayaan ke energi kotor, maka perbankan milik pemerintah (BUMN) masih mau membiayai proyek pembangkit batubara.”

“Setahu kami ada insentif atau subsidi yang diberikan pemerintah ke sektor itu. Coba saja subsidi yang triliunan rupiah untuk batubara itu dialihkan ke energi terbarukan, kemungkinan besar target 23% di 2025 bisa terwujud.”

Elyana Gloria, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Negeri Manado (Unima) mengatakan, skema pembiayaan perbankan masih mengucur ke sektor batubara mengangkangi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017.

Kebijakan ini, katanya, soal Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.

“Saya percaya, bank-bank besar, terutama milik pemerintah, pasti memiliki perencanaan keuangan berkelanjutan. Apakah mereka sudah patuh dalam penerapannya? Saya tidak yakin. Bank-bank besar masih membiayai energi batubara,” kata aktivis muda di Skola Kuala—perkumpulan pecinta lingkungan penyelamat sumber daya air di Sulut ini.

Merujuk data Urgewald, organisasi lingkungan dan hak asasi manusia berbasis di Jerman menyebutkan, nilai sangat fantastis sebesar Ro89 triliun mengalir ke sektor batubara.

Ada enam bank Tanah Air masih memberikan pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018-Oktober 2020.  Di jajaran bank BUMN,  ada Bank Mandiri US$2,46 miliar atau Rp36 triliun, BNI US$1,83 miliar atau sekitar Rp27 triliun, BRI US$1,76 miliar atau Rp26 triliun, dan BTN US$0,10 miliar atau Rp1,5 triliun. Bank swasta nasional juga mendanai, seperti BCA US$0,82 miliar atau Rp12 triliun, Indonesia Exim Bank US$0,03 miliar atau sekitar Rp435 miliar.

Binbin Mariana, Juru Kampanye Keuangan dan Energi dari Market Forces, mengatakan, dengan masih memberikan pembiayaan ke energi fosil, maka bank-bank ini andil dalam memperparah krisis iklim.

“Bank membiayai energi batubara tanpa mempertimbangkan dampak dari penggunaan batubara itu. Mereka hanya mempertimbangkan potensi keuntungan bisnis dari energi kotor itu,” katanya dalam Workshop Virtual berjatuk Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor Batubara, yang digelar Mongabay Indonesia bersama 350.org, November lalu.

Tren global saat ini, katanya,  banyak negara menyatakan akan berhenti—dan mulai berhenti—menggunakan batubara. Kondisi ini akan mendorong permintaan batubara berkurang. Dengan begitu secara finansial, penyaluran dana ke bisnis batubara pun merupakan pembiayaan berisiko tinggi.

 

Baca jugaGenerasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

Cerobong PLTU yang mengeluarkan asap pembakaran batubara lepas ke udara bebas. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Binbin ingatkan, bank-bank di Indonesia segera menghentikan ke pembiayaan batubara. Dia sarankan, bank-bank mencontoh bank-bank di jiran seperti Malaysia dan Singapura yang memiliki kebijakan berhenti membiayai energi batubara.

“Itu semua ada di policy mereka (bank). Di Indonesia, belum ada bank yang punya kebijakan seperti itu, meski OJK sudah menerbitkan cantolan berupa POJK 51 itu,” ujar Binbin.

Sisilia Nurmala Dewi,  Indonesia Team Leader 350.Org menilai,  perbankan di Indonesia belum kelihatan menghentikan pemberian pinjaman batubara dalam waktu dekat. Karena permintaan masih tinggi hingga perbankan nasional masih mendanai energi batubara.

“Bank mengikuti (pendanaan) karena permintaan besar, dan dijamin pemerintah dengan berbagai kebijakan. Seperti power purchase agreement yang mengharuskan PLN untuk membayar listrik kepada PLTU dengan take or pay,” katanya.

Kebijakan, kata Sisil, masih berpihak kepada industri batubara, meskipun Perjanjian Paris telah disepakati. UU Pertambangan Mineral dan Batubara, maupun UU Cipta Kerja,  memberi angin segar bagi industri batubara.

Sisil pun sepakat roadmap transisi energi dilakukan dengan penghentian proyek energi fosil yang baru dan memensiunkan lebih dini proyek yang masih ada. Selain itu, juga mempersiapkan komponen dan sistem energi terbarukan.

“Elektrifikasi di titik ini bisa langsung menggunakan energi terbarukan sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokalnya,” katanya.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Pembangkit panas bumi di Sulut. Foto: PGE

 

Energi di Sulawesi Utara

Indonesia punya sumber energi terbarukan berlimpah. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, total potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 417,8 giga watt (GW). Terdiri atas potensi laut 17,9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, bayu 60,6 GW, hidro 75 GW, dan surya 207,8 GW.

Riset dari Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menunjukkan hal serupa, bahkan potensi lebih besar. “Riset IESR itu menyebutkan data potensi energi terbarukan Indonesia mudah untuk diproduksi jadi listrik. Jangankan 2060, sebelum 2050 pun Indonesia bisa mewujudkan nol karbon,” kata Tamara, juga Koordinator Bidang Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA Universitas Indonesia 2021. Kuncinya,  katanya, komitmen kuat dari pemerintah.

Bagaimana di Sulawesi Utara? Data Dinas ESDM Sulawesi Utara menyebutkan dari total 524,48 mega watt (MW) pembangkit listrik terpasang di provinsi itu, 195,06 MW atau 37,19% merupakan pembangkit energi terbarukan. Terdiri atas PLTP 120 MW, PLTS 15,64 MW, PLTA/PLTMH 59,34 MW, dan PLTB (angin) 0,08 MW.

Charles Taju,  Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Sulut, mengatakan,  Pemerintah Sulut terus melakukan optimalisasi potensi energi terbarukan di daerah itu. Antara lain dengan menawarkan potensi investasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan kepada investor, baik dalam maupun luar negeri.

“Hanya dari potensi panas bumi saja sudah hampir 800 MW, belum lagi tenaga surya (PLTS), angin (PLTB) karena kita wilayah kepulauan, dan air untuk PLTA maupun PLTMH. Ini yang sedang digencarkan,” katanya.

Menurut dia, Sulut juga mendorong PLN sebagai operator utama penyedia listrik di negeri ini segera melakukan penggantian mesin diesel PLTD (dedieselisasi) di pulau-pulau di provinsi ini dengan pembangkit listrik bersumber energi lain seperti PLTS atau PLTB. Sebab, selama ini penyediaan listrik di wilayah kepulauan seringkali bermasalah.

“Masalahnya antara lain penyediaan BBM untuk genset PLTD yang sering terkendala dengan cuaca buruk. Begitu juga dengan kondisi mesin-mesin yang sudah tua. Memang rencana PLN akan melakukan dedieselisasi pembangkit PLTD di pulau-pulau itu harus dipercepat,” katanya.

Tamara mengapresiasi Sulut dengan bauran energi pembangkit listrik energi terbarukan lebih 30%.

“Harus ada desakan pemerintah agar mengoptimalkan potensi energi terbarukan di Sulawesi Utara. Saya pikir semua sumber energi terbarukan banyak tersedia di sini.”

Meskipun sudah 30% lebih, katanya, jumlah itu masih kalah dibandingkan PLTU batubara sebesar 210 MW atau 40,04%. Sisanya,  22,77% PLTD (solar) yang banyak tersebar di wilayah kepulauan.

Melansir data Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) Sulut,  subsektor energi listrik menempati posisi keempat investasi ke Sulut sepanjang 2021 pada semester I (Januari-Juni). Dengan nilai Rp212,8 miliar atau 7% dari total investasi sepanjang 2021.

Data itu menyebutkan, ada sembilan perusahaan kelistrikan melaporkan investasi berkaitan dengan operasi mereka di sini.

Dari sembilan perusahaan itu, yang membangun PLTU Sulut 3 berbahan baku batubara, PT Minahasa Cahaya Lestasi, di Desa Kema, Minahasa Utara menempati posisi tertinggi nilai investasinya, Rp92,2 miliar. PLTU berkapasitas 2×50 MW itu dalam proses persiapan commercial on date (COD).

“Kami hanya menerima laporan pelaksanaan investasi oleh perusahaan-perusahaan yang telah memiliki izin berinvestasi di Sulut. Kami juga tidak berwenang menolak investasi energi batu bara, selama tidak ada regulasi pemerintah pusat tentang pelarangan untuk investasi itu,” kata Kepala Dinas PM-PTSP Sulawesi Utara,  Fransiscus Manumpil didampingi Kepala Bidang Pengendalian Investasi Rolly Karamoj.

Peminat investasi energi terbarukan di Sulut pun cukup besar. Setidaknya ada enam perusahaan dengan investasi ke energi terbarukan  antara lain, Pertamina Geothermal Energi (PGE), perusahaan yang membangun PLTA Poigar 2 di Minahasa Selatan, perusahaan pengembang PLTS 15 MW di Likupang Minahasa Utara, dan beberapa investor yang sedang membangun PLTMH.

“Khusus untuk energi kelistrikan, kami mendorong dan memberi kemudahan pada investasi ramah lingkungan yang potensi sangat besar di Sulawesi Utara,” kata Manumpil.

 

Mahasiswa DEM Sulut sedang memasang solar panen di rumah warga. Foto: DEM Sulut

 

Aksi dan edukasi

Pengembangan energi terbarukan tak hanya dilakukan pemerintah ataupun pebisnis. Komunitas atau badan-badan non pemerintah dan non bisnis ikut berperan, seperti yang dilakukan Erwin Damanik lewat Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Sulawesi Utara.

Mereka  tidak hanya melakukan tekanan agar pemerintah segera ambil langkah kongkrit transisi energi. DEM Sulut juga mengambil ‘jalur’ lain untuk mempercepat transisi energi ini. Mereka sudah membangun Desa Energi di dua desa di  provinsi itu.

“Justru sampai saat ini kami dari DEM  belum sekali pun diterima pemerintah daerah, meski sekadar audiens, untuk menjelaskan upaya kami mempercepat transisi energi. Kami memilih jalan mengedukasi masyarakat betapa mudahnya beralih ke energi terbarukan, seperti listrik tenaga matahari (PLTS),” kata Erwin.

Pingkan Kainde, anggota bidang Keilmuan DEM Sulut, mengatakan, upaya mengedukasi masyarakat tentang energi terbarukan ini telah dilakukan DEM Sulut melalui program Desa Energi di Desa Pulisan, Likupang, Minahasa Utara. Di desa yang merupakan salah satu desa pengembangan pariwisata nasional ini, penerangan di lingkungan pantainya menggunakan solar cell.

“Ada delapan warung mirip ruko di pantai Pulisan yang kami pasangi solar cell yang operasionalnya full seharian, tanpa penerangan listrik dari PLN. Selain untuk kebutuhan warung-warung itu, listriknya untuk penerangan di sekitar pantai,” ungkap Pingkan. “Ini murni upaya DEM Sulawesi Utara dengan mencari pendonor.”

Sementara di Desa Sendangan Tompaso, Minahasa, kata Pingkan, PT PGE Tomohon memberikan dana corporate social responsibility (CSR untuk desa itu melalui BUMDes. PT PGE dan pemerintah Desa Sendangan menggandeng DEM Sulut  untuk menyediakan PLTS mandiri di beberapa rumah.

“Kami bersama masyarakat desa memasang solar cell di rumah-rumah. Dengan ada PLTS mandiri ini, ketergantungan pada listrik PLN di desa itu sudah makin kecil,” kata Pingkan.

Program Desa Energi itu, kata Erwin, tujuannya mengedukasi masyarakat tentang kemandirian energi dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki desa tersebut. Nantinya, DEM Sulawesi Utara akan merambah ke desa-desa yang memiliki potensi PLTMH.

“Kami akan mendata terlebih dulu, selanjutnya melakukan riset, dan mencari pendonor. Kami pikir, upaya ini jadi sumbangsih kami untuk transisi energi,” kata Erwin.

 

Pembangkit listrik matahari di Likupang, Sulut. Foto: Pemerintah Sulut

***

 

Anda ingin berpartisipasi menghentikan pembiayaan batu bara? Bisa ditandatangani petisi di link ini.

 

 

*Bahtin A. Razak merupakan jurnalis dari Gosulut.com. Artikel ini merupakan karya fellowship “Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor Batubara” diadakan Mongabay Indonesia dan 350.Org.

 

 

*******

Foto utama:  Mahasiswa di Sulawesi Utara tergabung dalam Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Sulut membangun desa energi. Aksi mereka antara lain, dengan memasang panel surya di rumah sawarga. Foto: DEM Sulut

Exit mobile version