Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Benahi Tata Kelola Hutan dan Lahan Bakal Makin Sulit

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

 

 

 

Pemerintah menjadikan Undang-undang Cipta Kerja sebagai payung hukum yang dianggap mumpuni dalam perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Sebaliknya, para pegiat lingkungan khawatir aturan ini menimbulkan masalah baru, apalagi transparansi kebijakan kian minim. Walaupun pada November lalu, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU ini cacat formil tetapi masih disebut inkonstitusional bersyarat.

Perdebatan soal deforestasi kian santer jelang akhir 2021. Perdebatan bermula dari kritik Greenpeace terhadap pidato Presiden Joko Widodo dalam perhelatan COP26 di Glasgow awal November lalu yang mengatakan laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.

Data Greenpeace menyebutkan, deforestasi di Indonesia meningkat dari sebelumnya 2,45 juta hektar pada 2003-2011 jadi 4,8 juta hektar 2011-2019. Dari 2002-2019, terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan 2,77 juta hektar dari kebun sawit.

Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia mengatakan, selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Tren penurunan deforestasi rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi di Indonesia, hingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.

Sedangkan, Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, luas deforestasi Indonesia periode 2019-2020 turun 75%, atau 115.500 hektar, dibandingkan periode 2018-2019, mencapai 462.500 hektar.

Angka ini meningkat kalau dibandingkan periode 2017-2018 sebesar 439.400 hektar. Pada 2016-2017, deforestasi mencapai 480.000 hektar. Pada periode 2015-2016, deforestasi tertinggi dalam enam tahun terakhir, 629.200 hektar. Secara total, kurun enam tahun, deforestasi mencapai 2,1 juta hektar.

Ruandha Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan mengatakan, hasil pemantauan hutan Indonesia 2019 menunjukkan deforestasi netto 2018-2019 baik di dalam maupun luar kawasan hutan Indonesia adalah 462.400 hektar. “Netto deforestasi Indonesia 2019-2020 terjadi penurunan 75%,” katanya.

Dia meyakini, akurasi data deforestasi KLHK bisa 90-95%. Menurut Ruandha, keberhasilan penurunan deforestasi hasil kerja signifikan KLHK antara lain, penerapan Instruksi presiden terkait penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Juga, pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara mengatakan, deforestasi menurun menjadi sinyal bahaya karena hutan di berbagai daerah sudah hilang.

“Deforestasi memang menurun, tapi menurunnya sekarang itu banyak di daerah sudah tidak ada lagi hutan, tinggal taman nasional, hutan konservasi,” katanya.

Dalam lima tahun terakhir (2015-2019), deforestasi terjadi di 10 provinsi kaya hutan bertambah luas dibandingkan lima periode sebelumnya.

Provinsi itu, katanya, antara lain Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Maluku, Sulawesi Tengah, dan Aceh.

Periode 2015-2019, luas hutan alam hilang mencapai 2,81 juta hektar. Sumbangan deforestasi didominasi provinsi kaya hutan mencapai 1,85 juta hektar.

“Dalam 20 tahun terakhir (2000-2019) seluas 12,89 juta hektar hutan hilang, yang nambah itu sawit dari 6,6 juta hektar menjadi 15,4 juta, hutan tanaman dari satu hektar menjadi 3,5 juta dan lubang tambang. “

Sekitar 90% konversi hutan alam , katanya, itu karena agrikultur, pertanian lain dan sawit menjadi dominan faktor dari deforestasi di Indonesia. “Ini driver deforestasi.”

Ke depan, katanya, tren deforestasi adalah legal deforestation. “Karena Undang-undang tidak me-ilegalkan deforestasi. Proyek-proyek pemerintah tidak punya filter lingkungan,” kata Timer.

Data Auriga, lebih dari luas pulau jawa atau 8,8 juta hektar hutan alam di konsesi yang secara legal akan mengalami kehilangan hutan. Terdiri dari 3,6 juta hektar tambang, 2,8 juta hektar hutan tanaman industri dan 2,4 juta hektar perkebunan sawit.

Deforestasi di masa depan, katanya, akan makin meningkat saat proyek pengembangan pangan skala besar (food estate), salah saru proyek proyek stategis nasional dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dari proyek-proyek ini akan ada jutaan hektar hutan alam hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.

 

Kawasan hutan mangrove Sofifi yang menawan dilihat dari udara. Foto : Opan Jacky

Masalah transparansi

Transparansi pemerintah pun masih bermasalah. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB mengatakan, permasalahan transparansi data masih jadi pekerjaan rumah besar dalam sistem pemerintahan Indonesia.

“Semua masalah bisa terlihat secara jelas jika ada keterbukaan informasi. Ini juga bisa meminimalkan risiko korupsi,” katanya.

Dia bilang, analisis risiko dan dampak korupsi terhadap regulasi tata kelola sumber daya alam penting guna mencegah tindak pidana rasuah dan perbuatan koruptif.

“Suap perizinan itu sudah biasa, tetapi yang berkembang sebenarnya korupsi yang biasa disebut melalui instrumen negara,” katanya dalam diskusi virtual belum lama ini.

Analisis risiko korupsi (corruption risk assessment;CRA) dan analisis dampak korupsi (corrupton impact assessment /CIA), katamya, perlu demi mengetahui ada celah atau peluang tindak pidana korupsi pada suatu peraturan. Termasulkah, katanya, tata kelola sumber daya alam di Indonesia, seperti aturan rencana tata ruang wilayah sangat rentan jadi celah perbuatan-perbuatan koruptif.

Satu contoh, Peraturan Daerah Nomor 10/2018 tentang RTRW Riau 2018-2038 yang pernah digugat ke Mahkamah Agung lewat uji materiil pada 2019. Dalam RTRW ini menetapkan, kawasan lindung gambut 21.615 hektar. Penetapan itu, jauh di bawah ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No.71/2014 juncto PP No.57/2016.

Saat itu, pemerintah wajib menetapkan 30% lahan sebagai kawasan hutan lindung. Luasan kawasan saat itu hanya 0,43% dari luas lahan 4,9 juta hektar. “Dari delik putusan, kita buktikan dalam gugatan, kalau kawasan (hutan) lindung yang ada diperkecil oleh penetapan tata ruang.”

Pada 2019, Mahkamah Agung mengabulkan keberatan para penggugat, yakni Jikalahari dan Walhi Riau.

“Analisis risiko dan dampak korupsi sebelum suatu peraturan diundangkan harus dilakukan hingga produk hukum yang berlaku tidak membuka celah bagi tindak pidana korupsi dan perilaku koruptif lain,” kata Hariadi.

Selain CIA dan CRA, katanya, strategi lain menekan peluang korupsi pada pengelolaan sumber daya alam terutama sektor kehutanan, antara lain menerbitkan UU yang mengatur konflik kepentingan. “Kita tidak pernah punya UU yang mengatur benturan kepentingan. Jadi, banyak sekali aspek dalam korupsi, siapa yang siapa yang masih saudara, teman dekat saling berhubungan mengerjakan sesuatu, padahal dua belah pihak, misal, yang satu pelaksana, satu pengawas.”

 

Perkebunan sawit milik PT Bagas Indah Perkasa (BIP) yang berdampingan dengan konsesi HTI milik RAPP di blok Hulu Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau
Photo: © Yudi Nofiandi/Auriga

 

Tata kelola kebun sawit

Karut marut tata kelola kebun sawit, juga potret buruknya tata kelola hutan dan lahan di negeri ini. Pada 2018, September pemerintah keluarkan Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Pada pertengahan September lalu, kelanjutan kebijakan moratorium izin sawit sangat selesai dan tak jelas ujungnya.

Kebijakan yang diharapkan berkontribusi dalam pembenahan tata kelola perizinan sawit, antara lain dengan evaluasi izin termasuk peremajaan sawit rakyat tidak lanjut.

Padahal, beberapa daerah mulai pembenahan dengan pakai acuan kebijakan ini. Menurut laporan Koalisi Moratorium Sawit, pemerintah Papua Barat dan KPK telah menelaah ulang perizinan 30 perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir. Hasilnya, di Papua Barat, belasan perizinan perusahaan sawit dicabut dengan luas ratusan ribu hektar.

“Kebijakan ini mampu membuat para kepala daerah punya wewenang review izin dan menghentikan usaha yang tidak memenuhi syarat administrasi dan syarat substansi,” kata Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) kepada Mongabay, awal Desember lalu.

Musdhalifah Machmud, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian mengatakan, kewenangan dalam moratorium sawit bisa dilaksanakan melalui UU Cipta Kerja.

Padahal, kata Dodo, UU itu tidak mengatur pemberhentian izin baru perkebunan sawit. Aturan turunannya, PP Nomor 26/2021 malah memberikan penekanan soal batasan luas perkebunan minimal 6.000 hektar dan maksimal 100.000 hektar.

Pada Oktober lalu, tata kelola sawit yang buruk ini menyebabkan kerugian negara yang dilihat dari pungutan pajak sawit. Mongabay bersama tim kolaborasi menelusuri beberapa perkebunan sawit di Riau yang diduga beroperasi ilegal di kawasan hutan.

Dalam 10 tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit cenderung menurun. Sepanjang 2011-2018, rata-rata penerimaan pajak hanya Rp17 triliun. Angka paling tinggi pada 2015 tadi. Capaian ini kontras dengan produksi sawit yang terus meningkat dan perkebunan sawit Indonesia, makin luas setiap tahun.

Dari luas 16,6 juta hektar kebun sawit, tim menghitung potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) perkebunan sawit mencapai Rp3,98-Rp4,78 triliun. Angka ini lebih dari tiga kali lipat realisasi rata-rata penerimaan PBB dalam lima tahun terakhir yang hanya Rp1,15 triliun. Bahkan, penerimaan tertinggi pada 2020 tak jauh berbeda, Rp1,38 triliun. Hasil analisis kami, ada kehilangan potensi penerimaan PBB perkebunan sawit Rp2,83-Rp3,63 triliun per tahun.

Irfan Bakhtiar, Direktur Program Penguatan Sawit Berkelanjutan Yayasan Keragaman Hayati mengatakan, masih ada persoalan kebun sawit di kawasan hutan masih belum tuntas. Ada 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan, sekitar 700.000 hektar perkebunan sudah mengajukan pelepasan.

“Hingga saat ini hasil moratorium belum dibuka hasilnya ke publik, dan permasalahan itu semua mau diselesaikan melalui UU Cipta Kerja, ada potensi pemberian izin baru pasca moratorium itu tidak dilanjutkan,” katanya.

Kebun sawit rakyat di kawasan hutan juga masih sangat minim teridentifikasi. Langkah penyelesaian yang diharapkan melalui reformasi agraria juga belum dilakukan. Pendataan data kebun sawit, terutama sawit rakyat, belum terkonsolidasi dengan baik antar instansi pemerintah.

Berdasarkan data SPOS Indonesia menunjukkan, sawit rakyat yang punya surat tanda daftar budidaya (STDB) baru seluas 28,000 hektar, dari klaim 40% dari total tutupan sawit.

Ruandha mengatakan, telah menyusun bentuk sanksi atas pelanggaran terhadap perkebunan sawit dalam kawasan hutan. “Usulan-usulan untuk mempercepat penataan sawit sudah kami ajukan ke presiden dan masih menunggu tanggapan dari bapak presiden.”

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat 3,37 juta hektar kebun sawit dalam kawasan hutan dan 2,61 juta hektar belum melalui proses pelepasan kawasan hutan.

 

 

Tidak hanya merusak hutan, dampak tambang emas ilegal juga merusak sungai, sebagaimana terjadi di Aceh Barat ini.

*******

Foto utama:  Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

Exit mobile version