Mongabay.co.id

Perlu Dorong Perbankan Nasional Biayai Energi Terbarukan

 

 

 

 

Eksploitasi batubara kian jadi sorotan karena salah satu aktivitas yang menghasilkan pencemaran lingkungan. Mulai banyak investor global enggan membiayai proyek batubara karena daya rusak terhadap lingkungan massif. Ia juga antara lain jadi biang kerok kenaikan temperatur bumi dan penyebab perubahan iklim.

Di beberapa negara, sebut saja Tiongkok, Korea, dan Jepang, sudah menyatakan akan berhenti mendanai perusahaan batubara di Indonesia. Untuk yang satu ini, boleh dibilang pertanda baik.

Bahkan dalam satu kesempatan, CEO Adaro, Dharma Djojonegoro, katakan, saat ini sudah sulit mendapatkan pinjaman dari bank-bank di luar negeri, seperti dari Eropa dan Jepang.

Perbankan di Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, mulai mengalihkan pembiayaan ke energi terbarukan, sejalan dengan energi ini sudah lebih murah dan ramah lingkungan.

Di Indonesia, cuan Rp89 triliun mengalir dari enam bank nasional ke para pelaku industri energi fosil antara 2018-2020. Keenam bank nasional ini antara lain, Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank. Demikian data dari Lembaga riset Urgewald yang berbasis di Jerman.

Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, menilai, pada dasarnya sektor pertambangan batubara maupun energi fosil acapkali mendapatkan posisi yang labil. Hanya, mereka kemudian ditopang pilar-pilar penyokong, seperti dukungan pinjaman keuangan dari sektor perbankan, atau kurang aware-nya sebagian masyarakat terhadap isu lingkungan.

Buktinya, hingga kuartal III (Q3) 2019, ada 15 bank di Indonesia masih menjadi pendana pembangunan PLTU batubara. Bahkan tiga di antaranya bank pelat merah, yakni, Bank mandiri, BRI, dan BNI.

Padahal pada Mei 2018, ada delapan bank di Indonesia berkomitmen membentuk inisiatif keuangan berkelanjutan (IKBI).

Para bank acapkali mengklaim mereka rutin menggelontorkan dana hijau. Namun sisi lain, dana hijau yang disalurkan masih cukup kecil dan lemah.

”Kita mau ada transisi yang berkeadilan. Bank dan institusi keuangan bisa menjadi katalis yang powerful untuk misi itu,” kata Sisil.

Baca jugaGenerasi Muda Suarakan Setop Pembiayaan Batubara, Alihkan ke Energi Terbarukan.

 

Tambang batubara yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

***

Pada 5 Desember 2014, Otoritas Jasa keuangan (OJK) merilis peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan. Di roadmap ini ada langkah strategis dan sistematis mengarahkan sektor jasa keuangan agar berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada 3P (profit, people, dan planet).

Peta jalan ini juga bertujuan menjabarkan kondisi yang ingin dicapai terkait keuangan berkelanjutan di Indonesia dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang (2015-2025).

Secara umum, seperti dalam laman Otoritas Jasa keuangan (OJK), definisi keuangan berkelanjutan adalah dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara tata kelola ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

OJK juga mengembangkan ekosistem keuangan berkelanjutan yang meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian/lembaga, dukungan non pemerintah (LSM/NGO), sumber daya manusia, dan kepedulian masyarakat (awareness).

Adapun strategi roadmap keuangan berkelanjutan (RKB) bakal melalui dua tahapan, yakni, RKB tahap I (2015-2019) untuk program jangka pendek dan menengah, kemudian RKB tahap II (2021-2025) untuk jangka panjang.

RKB tahap pertama, akan fokus pada peletakan kerangka dasar pengaturan dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pengetahuan serta kompetensi sumber daya manusia pelaku IJK, pemberian insentif, dan koordinasi dengan instansi terkait.

Kemudian RKB tahap kedua, fokus pada integrasi manajemen risiko, tata kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank, dan pembangunan sistem informasi terpadu keuangan berkelanjutan.

RKB tahap II juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi sektor jasa keuangan dan rujukan untuk kementerian/lembaga terkait dalam mengembangkan inisiatif-inisiatif pembiayaan inovatif.

”Mengubah pola pikir bisnis konvensional menjadi bisnis berkelanjutan harus didasari oleh kepemimpinan dan semangat untuk segera bersiap menghadapi perubahan arah pengembangan sektor jasa keuangan ke depan, yaitu perkembangan teknologi dan bisnis berkelanjutan,” kata Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK.

Konsep green banking juga dipapar Perkumpulan Prakarsa melalui paper Responsi Bank Indonesia.  Di sana tertulis, konsep green economy, seharusnya mendorong setiap kegiatan ekonomi meminimalkan dampaknya bagi lingkungan. Hal itu bisa diadopsi sektor perbankan melalui konsep green banking.

Dalam green banking, pihak perbankan memprioritaskan pemenuhan keuangan berkelanjutan dalam penyaluran kredit dan kegiatan operasionalnya.

Meski sektor perbankan tidak secara langsung sebagai penyumbang pencemaran lingkungan yang tinggi, namun sektor ini tidak sekonyong-konyong bisa lepas dari persoalan meningkatnya degradasi lingkungan hidup.

Contohnya, dengan memberikan pinjaman atau pembiayaan kepada nasabah, bank dapat menjadi pemicu bagi kegiatan–para peminjam tadi–yang bisa saja berdampak pada lingkungan.

Disebut juga, sebelum OJK berdiri, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Melalui aturan itu, BI mendorong perbankan nasional untuk mempertimbangkan faktor kelayakan lingkungan dalam melakukan penilaian suatu prospek usaha.

 

Baca juga: Geliat Energi Terbarukan di Sulawesi Utara, Bagaimana Pembiayaan Perbankan?

Sulawesi Selatan memiliki kekayaan energi terbarukan sebagaimana energi angin di Kabupaten Jeneponto. Foto: Andi Amriani Mansyur/Indonesiainside

 

Aturan ini, merupakan tongkat estafet yang ditangkap BI atas penetapan Undang-undang No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan. Juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5/2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).

Beberapa kebijakan ‘hijau’ untuk lembaga keuangan sebenarnya sudah ada. Kondisi lapangan yang berbeda.

 

Dorong biayai energi terbarukan

Bagaimana mendorong sektor perbankan berhenti mendanai perusahaan energi kotor dan mengalihkan ke energi terbarukan?

Sisil bilang, sebagai nasabah punya power yang besar, dan bank peduli dengan kemauan nasabah, karena selain mengelola uang, mereka juga membutuhkan kepercayaan masyarakat.

Hal lain yang bisa dilakukan dengan mengikuti proses-proses rapat umum pemegang saham (RUPS), dan pastikan bank tidak lagi mendukung perusahaan industri energi fosil.

Selain itu, generasi muda juga punya kekuatan menggalang tekanan perbankan mengubah arah pembiayaan dari energi fosil seperti batubara ke energi terbarukan.

Salah satu kampus komunitas di Indonesia, yang menggaungkan kampanye fossil free ini ada Universitas Indonesia (UI). Rizqy Maulana dari Komunitas Fossil Free Universitas Indonesia (FF-UI) menyebut, terus melakukan literasi kepada masyarakat terkait dampak energi fosil untuk keberlangsungan masa depan bumi.

”Kita memang baru dibentuk tahun ini (2021), tapi upaya-upaya kita menyuarakan energi terbarukan terus digaungkan. Salah satunya kami menyambangi Kepulauan Seribu dengan mulai melakukan sosialisasi solar panel,” katanya.

Rizqy berharap, pemerintah dan para investor perusahaan tambang atau energi kotor mau memperhatikan isu perubahan iklim secara serius.

 

Anda ingin berpartisipasi menghentikan pembiayaan batu bara? Bisa ditandatangani petisi di link ini.

 

*Mustafa Iman adalah wartawan di Good News From Indonesia. Artikel ini merupakan karya fellowship “Krisis Iklim & Telisik Kontribusi Pembiayaan Perbankan pada Sektor Batubara” diadakan Mongabay Indonesia dan 350.Org.

Exit mobile version