Mongabay.co.id

Sulsel Menuju Keruntuhan, WALHI Luncurkan Aplikasi ‘Pantau Sulsel’

Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng

 

WALHI Sulawesi Selatan merilis sebuah aplikasi pemantauan lingkungan yang diberi nama ‘Pantau Sulsel’. Aplikasi itu diharapkan bisa dimanfaatkan masyarakat Sulsel untuk mengawasi dan melaporkan segala masalah atau kasus lingkungan yang terjadi di daerahnya.

Moriska Pasally, staf WALHI Sulsel menjelaskan bagaimana cara akses dan penggunaan aplikasi ini ada pada acara ‘Catatan Akhir Tahun WALHI Sulsel’ di Makassar, Rabu (29/12/2021).

“Setelah masuk ke website walhisulsel.or.id, ada fitur daftar suara dan pantau lingkungan, di-klik fitur pantau lingkungannya,” jelasnya. Selanjutnya, pelapor diarahkan mengisi jenis kasus yang terjadi, tanggal dan jenis kasus.

“Setelah masuk deskripsi, tanggal, jenis kasus, perkiraan korban, setelah laporan diterima akan kami verifikasi dengan orang yang melapor. Terus siapa aktor kejahatan lingkungan siapa, apakah itu perusahaan, atau negara. Di sini juga kontak person orang yang melaporkan. Nanti kami akan verifikasi pelapornya. Kalau dia teridentifikasi berafiliasi dengan industri maka laporannya tidak akan ditanggapi,” lanjutnya.

Aplikasi itu juga meminta pelapor memasukkan lokasi, dimulai dari dusun, kelurahan, kecamatan dan kabupaten dan titik koordinatnya yang terhubung langsung dengan GPS, sehingga akan langsung terdeteksi lokasinya.

“Kita juga bisa meng-udpdate kasus kerusakan lingkungan, masuk di laporan kasus. Ini bisa download kalau lewat hp, kalau melalui laptop bisa lewat website saja. Untuk sementara belum tersedia di playstore.”

Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulsel, peluncuran aplikasi ini sebagai upaya advokasi dan penyelamatan lingkungan hidup di Sulsel, karena dalam empat tahun terakhir tak terlihat adanya upaya pemerintah dalam penyelamatan lingkungan, perlindungan kawasan esensial dan penyelamatan rakyat dari bencana ekologis.

“Tidak ada sama sekali ada satu agenda besar atau blue print nyata yang implementatif, yang bisa dijalankan pemerintah untuk mencegah dari bencana ekologis, sehingga kita berinisiatif untuk membuat aplikasi ini agar memudahkan masyarakat melakukan pelaporan dan berpartisipasi aktif dalam agenda advokasi dan penyelamatan lingkungan hidup,” jelasnya.

Aplikasi ini, menurut Amin, juga sebagai sebuah kritik karena seharusnya dibuat oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan dan perlindungan lingkungan hidup.

“Melalui aplikasi ini, harapan kita di tahun 2022, masyarakat Sulsel bisa secara aktif menggunakan hp-nya melaporkan kasus-kasus lingkungan dan melakukan advokasi lingkungan secara langsung agar paling tidak bisa menghambat laju pengrusakan lingkungan di Sulsel yang kelihatannya sudah mengarah ke keruntuhan.”

baca : Catatan Akhir Tahun WALHI Region Sulawesi: Industri Nikel Ancam Sulawesi

 

Moriska Pasally, staf WALHI Sulsel, menjelaskan cara penggunaan aplikasi ‘Pantau Sulsel’ untuk pemantauan dan pelaporan kasus lingkungan dan kehutanan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Meski terbuka untuk siapa saja, namun WALHI tidak akan menindaklanjuti laporan-laporan kasus dengan sejumlah kriteria, seperti bukan sengketa antarperusahaan, bukan kasus yang bersifat personal seperti sengketa tanah pribadi. “Kita mau menerima kasus bersifat kolektif, banyak orang dan keaktifan masyarakatnya sangat tinggi,” katanya.

Selain itu, aplikasi ini juga tidak menerima laporan terkait sengketa lingkungan yang bertujuan permintaan dana CSR atau bantuan perusahaan atau laporan yang berpotensi pada ganti rugi lahan atau konflik dan laporan yang dimotori oleh praktisi politik atau parpol.

Terkait kerahasiaan, Amin menjamin kerahasiaan data pelapor. Meski publik bisa melihat progres pelaporan tersebut, tetapi tidak bisa mengakses siapa pelapornya.

“Kami rahasiakan betul, baik nama, identitas serta hal-hal rahasia lain. Kami jamin kerahasiaannya dan tidak akan bocor ke mana-mana,” tambahnya.

Sebelumnya, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) Wilayah Sulawesi, Dodi Kurniawan, dalam diskusi tentang kehutanan yang digelar Jurnal Celebes, Jumat (28/12/2021), menjelaskan adanya mekanisme pengaduan kasus kehutanan dan lingkungan yang bisa diakses di website Gakkum KLHK.

Dodi menjelaskan kasus kehutanan dan lingkungan di Sulsel dalam lima tahun terakhir cukup besar dibanding daerah-daerah lain di Sulawesi yang menjadi wilayah kerja Gakkum Sulawesi.

“Hampir sebagian besar ada di Sulsel. Bukan berarti balai lain tidak ada (kasus), tapi ada atau kurang tetapi karena Balai Gakkum itu ada di Sulsel dan personilnya banyak di Sulsel sehingga banyak yang ditemukan dan dilapokan di Sulsel.”

Gakkum Sulawesi mencatat dalam lima tahun terakhir terdapat 149 penanganan kasus kehutanan dan sebanyak 121 kasus-kasus lingkungan lainnya, seperti pencemaran dan pengrusakan.

“Potensi permasalahan kelihatan sekali, ini juga nilai-nilai tertulis 149 ini penindakan yang dilakukan oleh dirjen Gakkum. Potensi permasalahan ini dilanjutkan dengan tindakan-tindakan nyata di lapangan,” katanya.

baca juga : Dua Kasus Kejahatan Lingkungan di Sulawesi Segera Disidangkan

 

Lokasi tambang emas liar di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Seksi Wilayah III Manado, melimpahkan kasus tambang emas liar itu kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Senin (20/4/20). Foto: Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi/Mongabay Indonesia.

 

Sulsel Menuju Runtuh

Dalam paparannya tentang kondisi Sulsel setahun terakhir, WALHI Sulsel menjelaskan salah satu akar masalah lingkungan di Sulsel adalah terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No.362/2019 terkait perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Sulsel.

“Menurut saya SK ini menjadi pintu masuk yang memicu kerusakan lingkungan dan membubat Sulsel runtuh. SK menteri ini mengeluarkan 91 ribu hektar kawasan hutan lindung di Sulsel menjadi kawasan nonhutan. Bisa dibayangkan hutan yang memiliki fungsi lingkungan yang luar biasa, fungsi ekologis yang tinggi diubah oleh pemerintah. Hutan yang merupakan habitat flora fauna dengan gampangnya diubah oleh pemerintah menjadi kawasan nonhutan,” kata Amin.

Melalui SK No.362/2019 itu, ada 91.330 hektare kawasan hutan di Sulsel yang berubah peruntukan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Terluas berasal dari hutan lindung mencapai 45.700 hektare dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 23.600 hektare.

“Dampaknya, fungsi hutan yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan manusia, habitat flora fauna tiba-tiba berubah menjadi daerah yang tidak memiliki fungsi apa-apa. Itu adalah pemicu dan pembuka jalan keruntuhan (lingkungan) di Sulsel.”

Akibat SK ini, lanjutnya, kawasan hutan di Sulsel tinggal 32 persen, sehingga tersisa 2 persen lagi dimana Sulsel akan berada di situasi genting. Padahal dalam UU Tata Ruang mewajibkan tiap daerah memiliki cadangan hutan minimal seluas 30 persen.

Amin juga menyoroti kondisi sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Sulsel yang mengalami kerusakan parah. DAS Walanae yang melintas mulai dari Sinjai, Bone, Soppeng, Sidrap dan Pinrang, disebutnya kini kondisinya sangat parah, kritis, dimana tutupan hutannya sudah mengalami penurunan yang signifikan.

“Tanah di DAS Sadang yang berupa hutan, yang memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air tinggal 17 persen, sementara curah hujan di Sulsel selalu di atas 200 mm per detik. Maka orang-orang yang hidup di sekitar DAS Sadang pasti mengalami bencana. Kemudian DAS Walanae tutupan hutan tinggal 14 persen dan DAS Jeneberang tutupan hutannya tinggal 16 persen. “

perlu dibaca : Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Bukti Kegagalan Pemerintah Jaga Hutan dan DAS

 

Banjir bandang di wilayah Walmas Kabupaten Luwu 3 Oktober 2021 lalu menyebabkan kerusakan yang cukup parah, mengakibatkan 4 orang meninggal dunia, 771 kepala keluarga atau 3.084 jiwa terdampak kerugian materiil. Foto: WALHI Sulsel

 

Amin menduga kondisi ini tak diketahui oleh Plt. Gubernur Sulsel saat ini, sehingga harus disampaikan dan diingatkan.

“Ini yang harus kita sampaikan kepada gubernur, karena gubernur kita sedang menyiapkan jalan menuju keruntuhan, sedang ingin sedikit demi sedikit mematikan kita melalui bencana ekologis.”

Amin juga mengkritisi upaya-upaya yang dilakukan pemerintah selama ini, yang tidak mengedepankan upaya pencegahan, namun hanya bertindak ketika bencana telah terjadi melalui pemberian bantuan.

“Yang diharapkan adalah bagaimana hidup di daerah yang aman dan nyaman, tanpa ada gangguan bencana. Kalau cara-cara itu yang dipakai maka kita harus mengganti pemimpin Sulsel.”

Kerusakan juga terjadi di wilayah laut dan pesisir yang menjadi kawasan penghidupan masyarakat pesisir, yang dialihfungsikan sebagai zona-zona pertambangan.

“Di mana logikanya ketika pemerintah berusaha merasionalisasi bahwa kegiatan pertambangan dapat akur dengan daerah penangkapan ikan? Pemerintah pada dasarnya telah menciptakan konflik yang berkepanjangan kalau tidak menyelesaikannya secara cepat.”

Pada akhirnya, lanjut Amin, pemerintah baik itu pemerintah baik pusat dan daerah sedang membangun jalan bebas hambatan menuju kolaps, apalagi dengan hadirnya UU Cipta Kerja yang kemudian oleh MK dianggap prosesnya cacat formil.

 

***

 

Keterangan foto utama : Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng

 

Exit mobile version