Mongabay.co.id

Tanaman Jarak dan Kandasnya Program Kemandirian Energi Sumatera Selatan

 

 

Brory melangkah cepat. Siang itu, pertengahan Desember 2021, dia mendatangi Pabrik Biodiesel di Desa Kota Batu Selatan, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan.

Pabrik ini pernah mencatat kejayaan, sekitar 12 tahun lalu, sebagai pabrik biodiesel pertama di Sumatera Selatan. Pabrik penghasil biodiesel pengganti solar yang bersumber dari tanaman jarak. Catatan apiknya, pernah mengekspor biodiesel ke Jerman.

Brory merupakan satu dari enam teknisi tersisa, yang dulunya berjumlah belasan orang. Dia mengenang pentingnya tanaman jarak sebagai sumber bahan bakar, terutama untuk mesin-mesin pembajak sawah.

Kabupaten OKU Timur memang dikenal sebagai sentra penghasil beras di Sumatera Selatan. Luasan lahan sawahnya sekitar 107.052 hektar, dikelola memanfaatkan mesin-mesin pembajak yang juga membutuhkan sumber bahan bakar.

Baca: Nasib Petani Sawit Mandiri Sumatera Selatan dalam Himpitan Kebijakan BBN

 

Tanaman jarak yang memiliki manfaat sebagai obat tradisional dan digunakan sebagai sumber energi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Brory, inisiatif untuk menghasilkan energi nabati bermula dari sosok Saiman.

Saiman adalah Kepala Bappeda OKU Timur yang juga peneliti. Saat itu, sekitar tahun 2006, dia mengenalkan tanaman jarak sebagai sumber energi bahan bakar, pengganti solar.

“Pak Saiman yang mempopulerkan tanaman jarak, beliau itu peneliti, punya banyak teman (jaringan) di LIPI/BRIN atau BPPT,” ungkap Kepala Bappeda OKU Timur, Maryus, saat ditemui pertengahan Desember 2021.

Dalam perjalanannya, OKU Timur terpilih menjadi salah satu kabupaten percontohan pengembangan energi nabati.

Peresmian Pabrik Biodiesel pertama di Sumatera Selatan ini, dilakukan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada 14 Desember 2008. Dalam batu prasasti tertulis, Pabrik Biodiesel merupakan hasil kerja sama Pemerintah OKU Timur, Sumsel, dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi.

Sebelum pabrik dibangun, masyarakat telah dikenalkan dahulu dengan tanaman jarak. Pemerintah Kabupaten OKU Timur mengharuskan warga menanam Ricinus communis di pekarangan rumah, atau lahan-lahan budidaya lainnya.

Diperkirakan, hampir sebagian besar warga di 20 kecamatan, pernah tersentuh program menanam tersebut. Pemerintah membagikan bibit dan meminta warga menanam lalu menjual biji jarak kembali ke pemerintah.

Saat itu, sudah dibentuk koperasi petani atau warga penanam tanaman jarak yang memudahkan untuk mengumpulkan biji yang akan dijual.

Baca: Sekam Padi, Bahan Bakar Pengering Gabah yang Mudah Dicari

 

Buah jarak yang bisa digunakan sebagai sumber bahan bakar biodiesel pengganti solar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tanaman banyak manfaat

Lisa, warga Desa Kota Batu Selatan yang rumahnya tidak jauh dari pabrik, mengungkapkan hanya mengenal jarak sebatas tanaman obat.

“Iya pernah ada, gerakan tanaman jarak. Orangtua dahulu, menggunakan jarak sebagai tanaman obat, terutama getah atau minyaknya.”

Ibu anak dua ini, menceritakan jika tanaman ini biasanya digunakan untuk obat sakit gigi atau semacam obat kumur untuk membersihkan rongga mulut.

“Saat sakit gigi, kembung atau maag, bisa pakai getah biji jarak,” sambung dia.

Selain sebagai tanaman obat, warga biasanya memanfaatkan tanaman jarak sebagai pagar atau tanda pembatas lahan. Dengan daun rimbun dan ukuran batang rata-rata setinggi orang dewasa, tanaman ini indah dijadikan sebagai pagar taman.

“Sampai sekarang, saya masih tanam jarak 1-2 pohon, untuk jaga-jaga. Ya, semacam apotek hidup,” ujarnya.

Lisa juga mengenang orangtuanya yang mendapatkan bibit jarak untuk ditanam lalu dijual lagi ke koperasi.

“Untuk dibuat minyak sejenis solar, tapi saya belum pernah coba langsung (minyak jarak).”

Selain melibatkan masyarakat, pemerintah pun memiliki lahan seluas 1,5 hektar yang diperuntukkan sebagai lokasi budidaya terpusat tanaman jarak. Lokasinya berdekatan dengan Pabrik Biodiesel.

Video: Melirik Kopi Sebagai Bahan Bakar Nabati Potensial

 

Tanaman jarak merupakan tanaman banyak manfaat, mulai dari biji, getah, hingga dapat dijadikan pagar taman. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Biaya produksi biodiesel jarak lebih mahal

Kepala Bappeda OKU Timur, Maryus menuturkan, produksi minyak biodiesel dari tanaman jarak waktu itu dilakukan tahun 2008 hingga 2010.

Saat itu, Bappeda secara khusus membentuk UPTD Biodiesel. Alokasi anggaran dilakukan sebagai bentuk subsidi, agar program kemandirian energi terwujud. Terutama, menutupi kebutuhan operasional yang tidak termasuk dalam program hibah kementerian.

Hitungan produksinya, pabrik dalam kondisi kapasitas terpasang menghasilkan 6 ton minyak biodiesel. Untuk menghasilkan 1 liter minyak jarak, dibutuhkan sekitar 3 kilogram biji.

Biodiesel tanaman jarak merupakan pencampuran 30 persen minyak jarak. Dengan kata lain, dibutuhkan 30 liter minyak jarak untuk menghasilkan minyak biodiesel 100 liter (B30).

Selain tantangan menyediakan bahan baku, biaya produksi minyak jarak juga lebih tinggi dari solar. Dalam perhitungannya, pemerintah membeli biji jarak dari masyarakat seharga Rp1.500-Rp2.000/kg. Jika 1 liter minyak jarak membutuhkan sekitar tiga kilogram, maka kebutuhan anggaran membeli tanaman jarak tersebut sekitar Rp6.000/kg.

Baca juga: Dana Alokasi Sawit Masih Berpihak pada Biodiesel, Bagaimana Kondisi Petani?

 

Inilah Pabrik Biodiesel yang berada di Desa Kota Batu Selatan, Kecamatan Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Belum lagi, biaya produksi menjadikannya minyak biodiesel, dibutuhkan rata-rata Rp3.000/liter. Keseluruhan, untuk menghasilkan 1 liter biodiesel dari biji jarak menghabiskan Rp9.000/liter.

Dengan nilai produksi itu, Pemerintah OKU Timur setidaknya menjual minyak biodiesel pada harga demikian. Ini berbeda jauh dengan harga bahan bakar berasal fosil jenis solar, yang saat itu dijual seharga Rp4.500/liter.

Perbedaan itu menjadi pertimbangan petani membeli minyak solar jarak.

“Pemerintah pernah mencoba menerapkan subsidi, tapi tidak bisa terus menerus,” jelasnya.

 

Pabrik ini hanya menyisakan 6 teknisi dan tidak lagi memproduksi biodiesel jarak. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Selain biaya produksi tinggi, ketersediaan bahan baku juga menjadi permasalahan.

Masyarakat yang mendapatkan penetapan harga jual Rp1.500/kg-Rp2.000/kg biji jarak juga membandingkan nilai keuntungan dengan tanaman lain. Apalagi ini, sambung Maryus, yang dipanen bijinya.

“Butuh banyak pohon untuk mengumpulkan biji jarak hingga 1 kg atau lebih. Masyarakat tentu memilih komoditas yang lebih menguntungkan.”

Dengan akumulasi permasalahan dari hilir dan hulu, program kemandirian energi di daerah sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat.

“Sebagai daerah percontohan, kala itu OKU Timur tentu butuh solusi. Bapak Herman Deru (Gubernur Sumsel saat ini) yang saat itu, Bupati OKU Timur, telah berusaha berkoordinasi terkait permasalahan ini,” ujarnya.

 

Pabrik ini merupakan pabrik biodiesel pertama di Sumatera Selatan dengan bahan baku buah jarak, dengan rencana besar menjadikan Sumatera Selatan mandiri energi. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Dalam kesempatan mengenalkan potensi daerah, Gubernur Herman Deru mengungkapkan kisahnya mengenalkan tanaman jarak sebagai sumber kemandirian energi di daerah.

Menurut dia, harusnya ada kebijakan mendukung pemerintah daerah dalam mengembangkan sumber energi, terutama energi nabati sebagai sumber energi substitusi.

“OKU Timur pernah mampu membuat solar mandiri. Tapi sayang, pangsa pasar sulit. Andai, perusahaan sekelas PT. Pertamina atau adanya kebijakan atas peraturan kebijakan pengelolaan energi baru terbarukan bisa melimpahkan kewenangan di daerah, saya yakin Sumsel makin mandiri energi disamping mandiri pangan,” imbuh Herman Deru.

Pabrik biodiesel tidak lagi beroperasi sejak 2012, namun masih bisa berfungsi dengan upaya revitalisasi. Pemerintah Kabupaten OKU Timur punya wacana memaksimalkan aset ini dengan mengelola minyak jelantah sebagai sumber bahan bakar solar.

Namun, untuk mengubah jenis komoditas yang diolah dibutuhkan pula penyesuaian teknik dan mekanisme pabrik.

 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada 14 Desember 2008, meresmikan Pabrik Biodiesel ini. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Pemda butuh banyak kewenangan 

Pengembangan energi nabati atau bioenergi di daerah membutuhkan dukungan penuh pemerintah pusat. Sehingga nantinya, pengembangan energi tersebut layak memenuhi aspek ekonominya. Misalnya, kewenangan melibatkan pihak investor.

Hal ini disampaikan Peneliti Traction Asia, Ricky Amukti dalam acara diskusi daring yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani, belum lama ini.

Menurut Ricky, Rancangan UU Energi Baru Terbarukan yang nantinya disahkan, sebaiknya memberikan proporsi kewenangan untuk daerah. Dengan kondisi ini, akan lebih memudahkan pemerintah daerah untuk mengembangkan energi tersebut.

“Misalnya angka atau nilai menghasilkan energi nabati, seperti dari tanaman jarak, nyamplung, dan lainnya yang bisa mencapai harga ekonomis dibandingkan energi fosil,” katanya.

 

Pengembangan energi nabati atau bioenergi di daerah membutuhkan dukungan penuh pemerintah pusat. Foto: Suara.com/Tasmalinda

 

Dengan demikian, maka angka kelayakan ekonomi harus terpenuhi. “Karena, jika biaya operasionalnya tinggi, maka harga jual mengikuti. Jika mahal, tentu energi itu sulit dijangkau. Ya, memang kemandirian energi terwujud, tapi nilai energinya jadi mahal.”

Kecuali, jika daerah tersebut punya permasalahan kelangkaan bahan bakar. Dengan demikian, pengembangan bioenergi guna memenuhi kebutuhan energi bisa diwujudkan.

“Misalnya, pada daerah-daerah yang BBM belum satu harga, maka pengembangan energi nabati bisa menjadi solusi,” ungkapnya.

 

*Tasmalinda, jurnalis Suara.com [Sumatera Selatan]. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan

 

 

Exit mobile version